Senin, 08 September 2014

Misi Kristiani Pisahkan Budaya Tapanuli

18/02/2010


Pembentukan Provinsi Tapanuli merupakan usaha memelihara identitas politik yang khas bagi masyarakat Tapanuli Utara. Identitas ini terbentuk karena proses Kristenisasi, pemisahan budaya dan politik dari saudaranya di selatan.
Oleh: Dwi Hardianto

Apa yang dikhawatirkan tokoh masyarakat Sipirok, Mandailing, dan Angkola–sebutan sosiologis tiga sub kultur budaya Tapanuli di Tapanuli Selatan–kini menjadi kenyataan. Saat itu, ketika Belanda akan mendirikan satu Read Batak (semacam DPRD) di Keresidenan Tapanuli, tokoh masyarakat Tapanuli Selatan (Tapsel) menolak keras. Mereka beralasan, masyarakat Tapanuli Utara jangan dipisahkan dengan saudaranya di Tapsel, karena sekali berpisah akan sulit disatukan lagi.Kini, ketika rencana pembentukan Provinsi Tapanuli yang diusung tokoh-tokoh dari Tapanuli Utara (Taput) kian kencang disuarakan, proses pemisahan kedua rumpun budaya Tapanuli ini makin nyata. Masyarakat, pemerintah, dan DPRD di Tapsel–yang saat ini dimekarkan menjadi Kabupaten Tapanuli Selatan, Mandailing Natal dan Kota Padang Sidempuan–menolak bergabung dalam pembentukan provinsi baru itu.
Sebaliknya, Panitia Pembentukan Provinsi Tapanuli, juga enggan mengajak saudaranya serumpun untuk bergabung. Padahal, secara sosiologis–antropologis, Taput dan Tapsel merupakan satu rumpun budaya. Kedua wilayah ini juga pernah bersatu secara politik dan administratif dalam Keresidenan Tapanuli pada masa penjajahan Belanda.
Sosiolog dari Universitas Negeri Medan, Prof Dr Usman Pelly MA menjelaskan pada Sabili. Menurutnya, perbedaan masyarakat Taput dan Tapsel dalam berbagai hal, termasuk dalam pembentukan Provinsi Tapanuli tidak turun tiba-tiba dari langit, tapi memiliki akar sejarah, politik dan budaya yang panjang. Yang jelas, perbedaan ini terjadi akibat kebijakan politik kolonial Belanda.
Disertasi Dr Lance Castles yang berjudul ”Tapanuli: Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera,” menurut Prof Pelly bisa menjelaskan mengapa terjadi perbedaan yang tajam antara masyarakat Taput dengan Tapsel. Dalam penelitiannya itu, sosiolog asal Belanda ini mengungkapkan, saat menduduki Tapanuli (1915–1942), Belanda menetapkan Taput sebagai daerah penyangga (penyekat) antara Aceh dan Minangkabau.
Untuk menyekat kedua wilayah Islam ini, Belanda melancarkan strategi Kristenisasi dan penguasaan politik di Taput. Belanda berkeyakinan, hanya dengan dikristenkan, masyarakat Taput bisa menjadi ’benteng’ meluasnya pengaruh Islam dari Aceh dan Minang. Selain itu, Jika Aceh dan Minang bersatu, secara geostrategi, akan menyulitkan posisi Belanda (Disertasi Castles hlm 20–21).
Selanjutnya, Prof Pelly yang juga menjadi Staf Ahli Gubernur Sumatera Utara ini, menjelaskan proses ”pencerai-beraian” rumpun budaya Tapanuli oleh Belanda yang ditulis Castles.Pertama, sebagai bekas daerah pendudukan Kaum Paderi dari Sumatera Barat, Tapsel mengenal Islam dalam situasi perang. Belanda berusaha keras menyebarkan Kristen di wilayah ini, tetapi gagal. Sampai pendudukan Belanda berakhir, misionaris Kristen hanya merekrut 4.000 penganut, sedangkan Islam dianut oleh lebih dari 16.000 penduduk Tapsel.
Kepala-Kepala Kuria (Kepala Adat) yang diangkat Belanda, agar masuk Kristen dan mau membantu kegiatan misionaris, ternyata tetap keukeuh (konsisten) memegang Islam. Bahkan, hingga akhir abad ke 19, semua Kepala Kuria di Tapsel, berbalik melawan misionaris dan melindungi Islam (hlm 21).
Kedua, berdasarkan perhitungan Castles, untuk memisahkan Aceh dan Minang, sebenarnya tidak perlu mengkristenkan Taput. Cukup dengan mendukung agama asli orang Batak Toba. Tapi Belanda berkeras bahwa hanya dengan cara dikristenkan, masyakarakat Taput bisa dimanfaatkan untuk menghalangi masuknya Islam di kawasan ini (hlm 25).
Ketiga, akibat Kristenisasi, Belanda harus berhadapan dengan Sisingamangaraja ke–XII. Setidaknya, terdapat dua kali pertempuran besar antara pasukan Sisingamangaraja dengan Belanda. Yakni pada 1878 di pantai Selatan Danau Toba dan tahun 1883 di Tanggbatu (sekarang Balige, ibukota Kabupaten Toba Samosir).
Keempat, setelah pertempuran, Belanda memperlambat gerak maju menguasai Samosir dan Dairi. Apalagi, Belanda harus menghadapi pertempuran di Aceh melawan pasukan Islam yang dipimpin Cut Nyak Dien. Meski begitu, misionaris Kristen terus disusupkan Belanda memasuki wilayah-wilayah pedalaman, sehingga hampir 100% penduduknya mengimani Kristen.
Prof Pelly menjelaskan, serangkaian proses penaklukan di atas menyebabkan satu rumpun budaya yang sama, kini tercerai-berai. Belanda menggunakan agama (Kristen) untuk memisahkan keduanya dari pengaruh Islam di Aceh dan Minang. ”Tapi, di luar dugaan ahli antropologi, Tapsel justru muncul menjadi perpanjangan kekuatan Islam Minangkabau di Tapanuli. Sedangkan Taput, tumbuh menjadi Kristen yang berfungsi menyekat pengaruh Islam dari Aceh dan Minang,” lanjutnya.
Proses politisasi Islam dan Kristen di Tapanuli, melahirkan identitas politik pada masing-masing kelompok. Menurut Erickson (1989: 182), identitas politik ini adalah suatu bentuk penyadaran yang tajam akan keberadaan diri sendiri dan kelompoknya. Selain itu, identitas ini merupakan satu kesatuan unik untuk memelihara masa lampaunya sendiri, baik bagi dirinya maupun orang lain.
Karenanya, ujar Pally, jika masyarakat Taput ingin memelihara masa lalunya dengan mendirikan Provinsi Tapanuli, maka pembentukan provinsi ini bisa dilihat sebagai usaha untuk memelihara identitas politiknya yang khas. Yaitu, identitas politik yang terbentuk karena proses Kristenisasi, pemisahan budaya dan politik dari saudaranya serumpun di selatan.
Hal yang sama, juga berlaku bagi masyarakat Tapsel. Penolakan mereka bergabung dalam satu provinsi merupakan manifestasi kesadaran politik, budaya dan keberagamaan masyarakat Tapsel. Mereka merasa memiliki identitas politik yang khas sebagai manifestasi identitas politik Islam yang berbeda dengan saudaranya di Taput yang Kristen.
Uraian di atas, makin membuat terang statemen keras beberapa tokoh masyarakat di Medan, Sibolga, dan Tapanuli Tengah. Mereka sepakat menyebut, pembentukan Provinsi Tapanuli merupakan ”Provinsi Ideologis.” Pertanyaannya? Penolakan yang juga terjadi di Sibolga dan Tapanuli Tengah (Tapteng), apa juga bisa dijelaskan dengan tesisnya Lance Castles?
Dilihat dari komponen masyarakat yang menolak di Sibolga dan Tapteng, sebagian besar juga berasal dari kalangan Islam. Jika pendekatan Castles diterapkan pada kasus ini, sungguh riskan jika Panitia Pembentukan Provinsi Tapanuli tetap memaksa Sibolga dan Tapteng terus bergabung. Pasalnya, masyarakat Sibolga dan Tapteng juga merasa memiliki identitas politik, budaya, dan keberagamaan yang berbeda dengan Taput.
Ketua Gerakan Masyarakat Peduli Tapanuli (GEMA PETA), Kusnan Efendi menyatakan, di Sibolga dan Tapteng kondisi masyarakatnya jauh lebih beragam secara agama dan etnis. Tapi secara umum, nuansa keislamannya lebih kental. Karena itu, sebagian besar masyarakat menolak rencana pembentukan Provinsi Tapanuli. ”Kami khawatir, ada agenda tersembunyi untuk menyingkirkan minoritas umat Islam di Tapanuli,” Tandasnya.
Karena itu, semua pihak harus lebih berhati-hati, arif, dan bijak dalam menyikapinya. Jika tidak, pro–kontra yang terus memanas ini bisa saja berujung pada konflik SARA. Meski tokoh masyarakat, baik yang Islam maupun Kristen menolak kemungkinan ini,  tak ada salahnya, jika kita mencegahnya sebelum terlambat.
Publications: SABILI No 12 TH XIV/Desember 2006

~o~

sumber: http://dwihardianto01.wordpress.com/2010/02/18/misi-kristiani-pisahkan-budaya-tapanuli/

Si Singamangaraja XII; Gugur Sebagai Pahlawan Islam


Posted on  by imbalo

Tulisan ini di kutip dari 
Opini publik dewasa ini kurang menyadari bahwa Si Singamangaraja XII adalah seorang Muslim, yang di angkat sebagai Maharaja di negri Toba di kota Bakara pada 1304 Hijria. Sebagai seorang pejuang yang bertempur terus hingga akhir hayatnya ketika ditangkap dan di tembak oleh Belanda pada 17 Juni 1907.
Untuk menghargai dan menghormati jasa yang telah di korbankan bedasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia No. 217 tahun 1957, pemerintah telah mengangkat Si Singamangaraja XII sebagai pahlawan kemerdekaan nasional. Adapun yang dimaksud dengan batasan Pahlawan Kemerdekaan Nasional adalah seorang yang masa hidupnya terdorong oleh rasa cinta tanah airnya dan sangat berjasa dalam memimpin suatu kegiatan yang teratur menentang penjajah di Indonesia melawan musuh dari luar negeri, ataupun sangat berjasa baik dalam lapangan politik, ketatanegaraan, sosial ekonomi, kebudayaan maupun dalam lapangan ilmu pengetahuan yang erat hubungannya dengan perjuangan kemerdekaan dan perkembangan Indonesia.
Mungkin dasar kriteria semacam di atas, di tambah dengan adanya sistem penyusunan cerita Sejarah Nasional yang tidak menonjolkan tentang agama yang di peluknya, menyebabkan kita tidak menyadari bahwa Si Singamangaraja adalah pejuang Islam yang gugur sebagai syuhada pada tanggal 17 juni 1907.
Silsilah

Perlu pula kita ketahui bahwa nama Si Singamangaraja adalah nama dinasti dari keluarga “Sinambela”. Yang kita bicarakan di sini adalah keturunan yang ke-12. Adapun silsilahnya sebagai berikut:



1.  Raja Munghuntal                           -Si Singamangaraja I
2.  Ompu Raja Tianaruan                   -Si Singamangaraja II
3.  Raja Itubungna                               -Si Singamangaraja III
4.  Sori Mangaraja                               -Si Singamangaraja IV
5.  Pallongos                                         -Si Singamangaraja V
6.  Pangulbuk                                       -Si Singamangaraja VI
7.  Ompu Tuan Lumbut                      -Si Singamangaraja VII
8.  Ompu Sotaronggal                         -Si Singamangaraja VIII
9.  Ompu Sohalompoan                       -Si Singamangaraja IX
10. Ompu Tuan Nabolon                     -Si Singamangaraja X
11. Ompu Sohahunon                           -Si Singamangaraja XI
12. Patuan Besar Ompu Pulo Baru     -Si Singamangaraja XII

Kristenisasi
Perlu saya jelaskan telebih dahulu tentang kristenisasi disini tidak bertujuan menggoyahkan kerukunan beragama, tetapi sekedar mengisahkan kembali tentang cara Belanda menguasai daerah Tapanuli melalui Kristenisasi. Jadi sebagai fakta sejarah yang benar-benar telah terjadi dan memang masalah Kristenisasi inilah yang nantinya menjadi sumber pangkal permasalahan mengapa Si Singamangaraja XII mengadakan perlawanan bersenjata terhadap Belanda. Tampaknya penyebaran agama Kristen di Tapanuli saat itu mempunyai tujuan politik untuk menguasai wilayah tersebut. Dan tujuan politis inilah yang mengubah sikap rakyat Tapanuli terhadap agama Kristen.
Penyebaran agama itu sendiri tidaklah mendapat perlawanan. Tetapi tujuan politik penjajah membangkitkan rakyat untuk mengangkat senjata.

Adapun tujuan politik yang menyertai penyebaran agama Kristen saat itu adalah seperti yang diyatakan oleh J.P.G Westhoff: “menurut pendapat kami untuk tetap memiliki jajahan-jajahan kita untuk sebagian besar adalah tergantung dari pengkristenan rakyat yang sebagian besar belum beragama atau yang telah beragama Islam”.

Gerakan agresi agama ini besar kemungkinan mulai di lancarkan ke daerah Tapanuli pada 1824. Hal ini terbukti dengan adanya pembunuhan terhadap Baptis Amerika yakni Munson dan Lyman di Sinaksak. Kemudian gerakan ini di perhebat pada 1861 yang di lakukan oleh Rijnsche Zending yang memusatkan gerakannya di Padang Sindempuan.
Dari sini gerakan akan diarahkan memasuki daerah Toba. Untuk keperluan ini pemerintah kolonial Belanda menunjuk misionaris Nommensen dan Simoniet. Daerah-daerah serta rakyatnya yang telah di pengaruhi oleh penyebaran agama ini kemudian secara administratif di serahkan kepada kolonial Belanda. Atas jasa yang demikian besar ini pemerintah Belanda merasa berhutang budi terhadap Nommensen, dan pada 1911 Nommensen di beri bintang Officer van Oranje-Nassau.
Penyebaran agama semacam di atas mempunyai efek politik dan ekonomi sosial yang sangat merugikan rakyat Tapanuli. Penyerahan daerah kepada pemerintah kolonial Belanda, membawa akibat timbulnya sistem monopoli di bidang perdagangan. Termasud ke dalam masalah pertanian, penjualan hasil bumi di monopoli oleh Belanda. Di bidang politik tindakan tersebut berarti mempersempit daerah kekuasaan Si singamangaraja, di bawah kondisi yang demikian mendorong pandangan politik dan ekonomi rakyat Tapanuli untuk lebih bersahabat dengan Aceh dan Sumatra Barat.
Si Singamangaraja XII

Penobatan Si Singamangaraja XII sebagai Maharaja di negri Toba bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu terbuka). Belanda merasa perlu mengamankan modal asing yang beroperasi di Indonesia yang tidak mau menandatangani Korte Verkaring ( perjanjian pendek) di Sumatra terutama Aceh dan Tapanuli. Kedua konsultan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Belanda sendiri berusaha menanamkan monopilinya di kedua kesultanan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan peperangan yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.

Daya tempur yang sangat lama ini karena di tunjang oleh ajaran agama Islam. Hal ini jarang jarang di kemukakan oleh para sejarawan, karena merasa kurang relevan dengan predikat Pahlawan Nasional. Atau karena alasan-alasan lain merasa kurang perlu membicarakannya. Kalau toh mau membicarakan tentang agama yang di anut oleh Si Singamangaraja XII, mereka lebih cenderung untuk mengakui Si Singamangaraja XII beragama Pelbagu.
Pelbagu semacam agama animisme yang mengenal pula pemujaan dewa. Debata Mulajadi sebagai mahadewa. Juga mengenal ajaran Trimurti: Batara Guru (dewa kejayaan), Debata Ser
Satu hal yang sukar diterima adalah bila Si Singamangaraja XII beragama animisme, karena kalau kita perhatikan Cap Si Singamangaraja XII yang bertuliskan huruf arab berbunyi; Inilah Cap Maharaja di negri Toba kampung Bakara kotanya. Hijrah Nabi 1304.
Pada cap tersebut terlihat jelas penggunaan tahun hijriah Nabi. Hal ini memberikan gambaran tentang besarnya pengaruh ajaran Islam yang menjiwai diri Si Singamangaraja XII. Adapun huruf batak yang masih pula di abadikan, adalah sama dengan tindakan Pangeran Diponegoro yang masih mengguakan huruf jawa dalam menulis surat.
Begitu pula kalau kita perhatikan bendera perangnya. Terlihat pengaruh Islam dalam gambar kelewang, matahari dan bulan. Akan lebih jelas bila kita ikuti keterangan beberapa majalah atau koran Belanda yang memberitakan tentang agama yang di anut oleh Si Singamangaraja XII, antara lain;

Volgens berichten van de bevolking moet de togen, woordige titularis een 5 tak jaren geleden tot den Islam jizn bekeerd, doch hij werd geen fanatiek Islamiet en oefende geen druk op jizn ongeving uit om zich te bekeeren. ( Sukatulis, 1907, hlm, 1)

Menurut kabar-kabar dari penduduk, raja yang sekarang (maksud Titularis adalah Si Singamangaraja XII) semenjak lima tahun yang lalu memeluk agama Islam yang fanatik, demikian pula dia menekan supaya orang-orang sekelilingnya menukar agamanya.

Berita di atas ini memberikan data kepada kita bahwa Si Singamangaraja XII beragama Islam. Selain itu, di tambahkan pula tentang rakyat yang tidak beragama Islam, dan Si Singamangaraja XII tidak mengadakan paksaan atau penekanan lainnya. Hal ini sekaligus memberikan gambaran pula tentang penguasaan Si Singamangaraja XII terhadap ajaran agama itu sendiri.

Sebaliknya tindakan penyebaran agama yang dilakukan Rijnsche Zending di Toba di sertai dengan serbuan militer Belanda. Serangan yang semacam ini baik yang di lancarkan pada 1861 ataupun 1877 pada masa pemerintahan Si Singamangaraja XII, mempunyai motif penguasaan daerah Toba yang subur.
Tidaklah mengherankan kalau Si Singamangaraja XII memimpin rakyatnya membendung usaha perluasan wilayah tersebut. Dalam pelawanan bersenjata ini beliau di bantu oleh Panglima Nali yang berasal dari Minangkabau dan Panglima Teuku Muhammad yang berasal dari Aceh.

Letak geografis Tapanuli yang berada di tengah-tengah antara Aceh dan Sumatra Barat memungkinkan kedua daerah atau kesultanan tersebut saling kerjasama. Selain adanya kesamaan keyakinan agama, ditunjang oleh kondisi politik yang sama menghadapi ekspedisi wilayah dari Belanda. Itulah sebabnya memungkinkan kedua panglimanya berasal dari kedua kesultanan di atas.

Belanda sendiri ketika melihat situasi geografis yang demikian itu, mempunyai kepentingan lain. Dengan di lancarkanya operasi militer ke Toba, mempunyai motif melaksanakan tujuan wig pilitic (politik bayinya) “O. Hashem, 1968, hlm. 31″ yang untuk memisahkan daerah Tapanili dati pengaruh Aceh dan Sumatra Barat.
Sekalipun Belanda memiliki persenjataan yang lebih unggul, namun usaha penguasaan wilayah Tapanuli tidaklah semudah yangdiperkirakan semula. Secara fisik memang sepintas dapat menguasai Bahal Batu, Butar, dan Lobu Siregar. Tetapi apa artinya kalau penguasaan wilayah ini tidak mampu menundukan kemauan rakyat. Faktor terkhir inilah yang menjadi problem dalam setiap peperangan. Karena tidak ada rumus bagaimana caranya menguasai kemauan dari bangsa yang telah di kuasai negaranya. Dan tampaknya sedah menjadi kodrat alam tidak ada suatu bangsa pun yang mau di jajah. Apalagi bangsa tersebut memiliki daya tempur yang tinggi. Dan hal ini kebanyakan hanya di miliki oleh bangsa yang telah mempunyai ajaran agama yang di dalamnya mengajarkan pembelaan diri apabila di serang.
Di sini Si Singamangaraja XII telah memeluk agama yang demikian itu, yaitu Islam. Keyakinanya telah menunjangnya untuk mampu bertahan dan berjuang selama tiga puluh tahun lamanya. Suatu kenyataan sejarah yang tidak dapat di sangkal lagi bahwa ajaran agama Islam mempunyai pengaruh besar tehadap perkembangan dan sikap jiwa bangsa Indonesia.
Seseorang yang memeluk agama akan merasa dirinya kuat dan lagi peperangan tidak dapat di kerjakan oleh seorang pemimpin, melainkan merupakan hasil dari kerjasama. Hasil ini akan mudah dicapai apabila masyarakatnya tersebut terbina dalam ajaran agama. Karena dasar ajaran agama tidak mengajarkan hidup secara individual sifatnya, melainkan lebih menekankan kepada kegotongroyongan. Apabila masyarakat tersebut telah meletakan kepercayaan sepenuhnya kepada kepemimpinan di atasnya. Ini adalah sebagai faktor yang memudahkan untuk menumbuhkan kesatuan gerak perjuangan.
Persyaratan yang demikian itu telah tumbuh dalam masyarakat Tapanuli. Si Singamangaraja XII tidak hanya di anggap sebagai seorang Maharaja tapi juga sebagai Imam di bidang agama. Faktor kepercayaan yang telah di berikan rakyatnya ketangan Si Singamangaraja XII merupakan factor yang dominan yang memungkinkan dirinya di angkat sebagai seorang keramat, sehingga Si Singamangaraja XII menjadi seorang pemimpin yang kharisma nya besar.

Sekalipun demikian besar kekuasaan Si Singamangaraja XII, tidak menjadikan dirinya sebagai seoarang sultan absolut. Malahan rakyatnya memberikan gelar sebagai juru damai, yang selalu berpihak kepada kepentingan rakyat.

Menghadapi seorang pemimpin rakyat yang demikian besar pengaruhnya, Belanda harus menggunakan cara lain. Ibu, permaisuri, dan kedua putranya di tangkap. Dengan cara ini belanda berharap dapat membawa Si Singamangaraja XII kemeja perundingan.
Kompromi ini tidak mungkin tercapai. Karena kebencian Si Singamangaraja XII terhadap Belanda telah ditanamkan sejak lama oleh ayahnya. Juga di lakukan oleh bukti sejarah Si Singamangaraja X (Ompu Tuan Nabolon) dan Raja Lambung putranya, dibunuh oleh Belanda.
Sejalan dengan situasi di Tapanuli tersebut, Belanda melancarkan yang membabi buta pula terhadap ulama di Aceh. Vetter melanjutkan operasi militer seperti yang pernah di kerjakan oleh Van der Heijden. Tindakan mereka ini merupakan realisasi nasehat Snouck Hurgroje yang mengadakan pengejaran tanpa henti terhadap para ulama yang memimpin gerilya. Operasi  yang demikian kejam dengan mengadakan pembunuhan semena-mena terhadap pemuka-pemuka Islam mendapat restu pula dari mentri Bergsman.
Gerakan operasi militer yang demikian ini terdorong oleh usaha ingin mematahkan saingan Inggris yang menjadikan Pulau Penang sebagai pelabuhan yang mengekspor rempah-rempah dari Aceh. Saingan ini ingin dipatahkan dengan menguasai daratan Aceh dan Tapanuli. Pulau Sabang dijadikan pelabuhan batu bara yang mensuplai kapal-kapal yang memblokade Aceh. Tentu saja untuk mendapatkan batu bara ini di perlukan penguasa Ombilin dan Sawah Lunto di Sumatra Barat. Kedua daerah terakhir ini telah berhasil di kuasainya. Hanya Tapanuli sebagai daerah subur yang terletak di kedua wilayah tersebut yang masih belum mau menandatangani “Korte Verklring”.


Dengan latar belakang berbagai kepentingan di atas, Belanda berusaha keras melancarkan operasi mematahkan kekuasaan Si Singamangaraja  hal ini akan menjadi mungkin karena gerilya ulama Aceh mulai satu persatu terpatahkan.

Selain sekutu Si Singamangaraja XII mulai lemah, juga di sebabkan persenjataan yang di milikinya tidak seimbang dengan yang dimiliki Belanda. Politik Pintu Terbuka dengan adanya tuntunan pengamanan modal asing, melibatkan negara-negara imprealis lainya menunjang usaha Belanda untuk mengakhiri perlawanan bersenjata Umat Islam Indonesia. Termaksud Si Singamangaraja XII. pada 17 juni 1907 di bawah pimpinan Kapten Christoffel, Belanda  menggempur pusat pertahanan Si Singamangaraja XII. Sampai saat pertempuran terakhir ini, Si Singamangaraja XII bersama putrinya, Lopian, memilih jalan gugur sebagai syuhada dari pada menyerahkan Tapanuli di atas Korte Verklaring kepada Belanda.
Seluruh bangsa Indonesia merasa kehilangan jasad seorang pahlawan Si Singamangaraja XII, tetapi tidak kehilangan jiwa dan cita-citanya. Si Singamangaraja XII gugur sebagai syuhada, tetapi tidak mati melainkan hidup abadi di hati bangsa di sisi Allah SWT.

Catatan:

Artikel ini disadur oleh teman seapartemen saya sendiri (Aulia Rahman Nursyahid) dari sebuah buku usang di antara tumpukan buku asing dengan kondisi yang menghawatirkan dengan judul “MENEMUKAN SEJARAH WACANA PERGERAKAN ISLAM INDONESIA” Oleh: Prof. Drs. Ahmad Mansur Surya Negara dan dipubilkasikan oleh Penerbit Mizan, Cetakan I: Muharram 1416/Juni 1995.
Dikarenakan buku ini termasuk langka, maka kami menyarankan kepada siapapun yang memilkinya untuk menjaganya sebaik mungkin sehingga nantinya bisa dinikmati oleh generasi setelah kita. Dan jika saudara/i mempunyai versi PDF-nya tolong dikirim ke mj.institute@ yahoo.com

~O~

SUMBER: http://imbalo.wordpress.com/2009/02/20/si-singamangaraja-xii-gugur-sebagai-pahlawan-islam/

identitas kabur

Padahal, menurut Daniel Perret, penulis buku ini, Batak yang kita cerna dengan pandangan sebelah mata saat ini sejatinya adalah “Batak” sebagai ciri kultural yang ditemukan (invented), didefinisikan, dibentuk, dan dirawat oleh kaum kolonial. Sejak 1990-1993, di bawah bimbingan Indonesianis Denys Lombard, Perret terjun langsung ke kawasan Sumatra Timur Laut -kini Sumatra Utara- untuk membuktikan kebenaran tesisnya itu. Maka jangan heran jika semua kata “Batak” di buku ini tertulis dalam tanda kutip.
Identitas Kabur
Selain mengendus bau keringat kolonialisme di tubuh “Batak”, Perret juga menemukan fakta bahwa pada awalnya “Batak” dan “Melayu” itu tak terpisah. Sebagai kesatuan sosial, mereka terdiri dari beragam asal dan terbuka pada segala pusparupa budaya (kosmopolitan). Meskipun mereka terkelompokkan dalam topografi hulu-hilir/darat-pantai/pedalaman-pesisir, tapi makna hulu/darat/pedalaman tak mengacu pada tabiat kebiadaban atau keterbelakangan budaya. Faktanya, merekalah penonggak sistem perdagangan daerah, antar daerah, dan internasional sejak era prakolonial (hal. 78).
Melalui analisis ruang dan jejaring sosial-politik-ekonomi-kultural-religi di Sumatra Timur Laut era prakolonial (hal. 81-257), Perret samasekali tak menjumpai musabab penakdir identitas “Batak”. Istilah “Batak” sendiri sangat garib. Ia tak tertera dalam berbagai literatur tradisional pedalaman. Baik pustaha Toba maupun Simalungun, Syair Putri Hijau (1924), Pustaka Kembaren (1927), dan Pustaka Ginting (1930). Dalam Hikayat Deli, “Batak” hanya sekali digunakan tanpa didahului oleh kata “orang”. Sedangkan di stempel Sisingamangaraja, hanya ada kalimat “Ahu Raja Toba”, bukan “Ahu Raja Batak”. Dengan demikian, “Batak” adalah identitas kabur (evasive identity). Sebab orang Batak sendiri tak pernah menyebut diri mereka “Batak”.
“Batak” dan -otomatis- “Melayu” muncul sebagai buah silaturahmi ekonomi-politik-budaya-agama (Islam) antara pesisir Sumatra dengan semenanjung Melayu sejak abad ke-16. “Melayu” dibarut oleh para pedagang Malaka yang mengubah nama Deli menjadi Tanah Melayu untuk membahasakan narasi besar kebudayaan saat itu. Sementara “Batak” dieja oleh “ruang-ruang Melayu” secara sembarangan sebagai narasi pelengkap untuk memindai orang yang bukan Melayu, tak berpengetahuan, berperilaku kasar, dan kanibal (hal. 170-171).
Meski dipojokkan sebegitunya, tak sekutilpun ada gandalan dalam resiprokalitas antara pedalaman dan pesisir karena kesesatan pelabelan ini. Ketika krisis ekonomi menjangkit, kekacauan politik di kesultanan Aceh meriuh, dan permintaan lada pasar dunia meningkat di pangkal abad ke-19, elit-elit pesisir (para sultan) malah mengembangkan ruang budi-daya pertanian lada, kopi, gambir, dan kapas di pedalaman. Tentu raut intimitas pesisir dan pedalaman semakin sumringah karenanya. Bahkan para sultan pesisir pun mengambil istri dari kalangan warga pedalaman demi kelancaran pengolahan lahan mereka (hal. 121).
Etnitisasi
Jika “Batak” di era prakolonial cuma sekedar label, maka “Batak” sebagai identitas mulai terbentuk seturut ekspansi kolonial pekebun-pekebun Barat ke kawasan Sumatra Timur Laut pada tahun 1863. Bagi para kapitalis-kolonialis itu, orang pedalaman adalah hijab untuk memperoleh konsesi lahan perkebunan dari sultan-sultan pesisir. Maka mereka sengaja menunaikan misi etnitisasi untuk memutilasi buhul kemesraan pesisir-pedalaman sekaligus menyekat ruang sosial keduanya. Sejak itu, mereka mulai menyiagakan kontrolir yang bertugas untuk menata urusan masyarakat di setiap blok pedalaman.
Bersama aparatus kolonial lainnya seperti pejabat perkebunan, residen, asisten residen, hingga misionaris, para kontrolir tak hanya menyuntikkan perasaan kekomunitasan dan kesadaran “Batak” di tubuh sosial warga pedalaman, tapi juga menguatkan ruang sosio-geografis, menggali bahasa dan nilai-nilai adat-budaya, serta mendakwahkan agama (Kristen). Perlahan-lahan “Batak” pun ditemukan. Pada tahun 1910, dalam laporan akhir tugasnya, seorang kontrolir bernama Kok telah menginventarisasi daftar ciri-ciri budaya dan psikologi orang “Batak” untuk diwariskan kepada kontrolir penerusnya (hal. 298).
Satu lagi, jangan lupakan peran akbar ilmuwan kolonial dalam penemuan “Batak” ini. Terutama sejak berdirinya Bataksch Instituut di Leiden pada tahun 1908 dengan cabangnya di Medan, Bataksch Vereeniging (hal. 299-300), yang memusatkan kegiatannya untuk memfolder jibunan data tentang Bataklanden di semua bidang. Lembaga ini pun sempat menerbitkan sejumlah hasil penelitian ihwal “bangsa Batak” yang hingga kini masih diacu untuk mendefinisikan “Batak”. Mahabenar Edward W. Said dengan firman orientalismenya: bahwa Barat menyaring dan mengerangkeng Timur dalam teori maupun praktek yang sengaja diciptakannya hingga menjadi sebuah sistem ilmu (Orientalism: 1977: 14).


Eksplosif


Buntut etnitisasi ini amat eksplosif. Misalnya Perang Sunggal (1872-1895), perang saudara antara pesisir dan pedalaman yang disebut Belanda sebagai Batak Oorlog. Tak hanya itu, di bagian Selatan Tapanuli muncul sekelompok “bangsa Mandailing” (hal. 315-330). Mereka enggan disebut “Batak”. Sebab sejak lama mereka merasa telah beradab (civilized) dan beragama Islam seperti orang-orang Melayu.

Sayangnya, buku yang semula merupakan disertasi doktoral Perret di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Paris, ini alpa mencacah forma buntut termutakhir etnitisasi. Sehingga bobot kekiniannya agak berkurang. Ia akan lebih berbunyi jika saja Perret berkenan membicarakan tuntutan pembentukan Provinsi Tapanuli (Protap) yang menyeruak belakangan ini di Sumatera Utara. Setakat dengan itu, rasanya perang terselebung antara “Batak”, “Melayu”, dan “Mandailing” dalam “politik rekrutmen” punggawa birokrasi di Sumatera Utara pun perlu dibahas di sini.

Tapi kegigihan Perret untuk meruntuhkan “Batak” dan menggodam sakralitas konsep etnis justru membuka kemungkinan riset ilmiah yang lebih menantang. Apakah pembaca tergerak untuk menyoal satuan etnisitas di wilayah lain Nusantara yang memiliki struktur geo-etnis seperti Sumatra Timur Laut? Jika iya, maka keterpisahan etnis Jawa-Sunda di Jawa dan Melayu-Dayak di Kalimantan hanya tinggal menunggu jadwal pemakaman.

Dengan begitu, akan jelas bahwa “Batak” dan semua wajah etnisitas itu bukanlah takdir. Tapi cuma label budaya saja. Maknanya akan terus berubah di setiap era.

polemik gordang


Abstrak

Warisan Budaya Bersama Asia Tenggara : Refleksi Atas Klaim Gordang Sembilan Sebagai Milik Malaysia

Dr.phil.Ichwan Azhari
(Universitas Negeri Medan)


Dengan latar sejarah migrasi penduduk yang panjang, Asia Tenggara dihuni oleh penduduk dengan beragam budaya. Sejarah migrasi penduduk yang membawa konsekuensi pada kebudayaan itu bahkan lebih tua dari sejarah pembentukan negara moderen yang dikonstruksi rezim kolonial barat. Orang-orang Aceh, Mandailing dan Minangkabau dari Sumatera, orang Jawa dari Pulau Jawa, orang Banjar dari Kalimantan ataupun orang Bugis dari Sulawesi sebagai contoh, sudah berada di kawasan semenanjung Malaysia sebelum negara Indonesia, Malaysia ataupun Singapura muncul.

Sementara itu pembentukan dan dengan demikian batas-batas negara moderen sebagai perpanjangan dari batas-batas wilayah kolonial juga membelah kawasankawasan budaya yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Penduduk Melayu pesisir Timur Sumatera dengan penduduk Melayu Semenanjung, orang Dayak di Kalimantan misalnya yang selama ratusan tahun berada dalam satu wilayah kultural kemudian dipilah dalam dua garis negara Indonesia dan Malaysia. Begitu juga terjadi pada orang-orang Melayu di daerah Pattani di Semenanjung Malaysia, dipilah dalam dua negara moderen, Malaysia dengan Thailand. Keadaan yang mirip juga terjadi pada kawasan Filipina Selatan, Brunei Darussalam, Timor Leste bahkan Papua Nuigini. 

Latar sejarah pembentukan negara moderen di Asia Tenggara ini merupakan hal yang penting dalam memahami bagaimana kawasan ini merupakan rumah tinggal warisan budaya bersama, melampaui batas-batas negara moderen yang dikonstruksi belakangan. Ketika warisan budaya yang sama oleh pewaris yang sama dikembangkan di dua negara yang berbeda maka ini merupakan kekayaan bagaimana kebudayaan berkembang melintas batas-batas desain negara. Selama puluhan tahun hal itu sudah berkembang dan tidak ada masalah terhadap berkembangnya budaya atau tradisi atau seni yang sama di dua negara berbeda di Asia Tenggara. 

Akan tetapi akhir-akhir ini muncul ketegangan di wilayah politik antara Indonesia dengan Malaysia karena Malaysia mengklaim budaya Indonesia yang di “klaim” sebagai milik Indonesia. Ketegangan itu berada di wilayah politik dan belum tentu ada diwilayah kebudayaan. Dalam wilayah kebudayaan, proses hidupnya budaya yang sama oleh pewaris yang sama di dua negara yang berbeda selama puluhan tahun tidak menimbulkan masalah. Masalah muncul ketika negara sebagai entitas politik mendaftarkan warisan budaya yang berkembang di negaranya (Malaysia) terdaftar sebagai warisan negara itu, sementara negara asal warisan budaya itu (Indonesia) merasa yang paling berhak, walau negara asal itu tidak merawat bahkan membiarkan warisan budaya itu perlahan-lahan lenyap, terancam punah dari wilayah negara asalnya. 

Paper ini akan menelaah secara kasuistik ketegangan antara Indonesia dan Malaysia karena Gordang Sembilan, satu kesenian dari daerah Mandailing Sumatera Utara, dituduh telah diklaim Malaysia sebagai milik Malaysia. Akan dijelaskan sejarah migrasi orang Mandailing ke Malaysia sebelum negara Indonesia dan Malaysia lahir, munculnya Gordang Sembilan di Malaysia sebagai pencarian identitas generasi ke 3 dan ke empat keturunan Mandailing di Malaysia, dukungan budayawan di Mandailing, Indonesia agar Gordang dapat berkembang di Malaysia sampai dukungan negara malaysia terhadap kesenian itu sebagai sesuatu yang tumbuh di kalangan warga Malaysia keturunan Mandailing. 

Pertikaian dan keriuhan politik di Indonesia itu memperlihatkan ketidak arifan pemimpin kita dalam memahami warisan bersama Asia Tenggara. Setelah pertikaian politik karena Gordang Sembilan itu, nasib Gordang di Mandailing, di level provinsi Sumatera Utara dan di pentas negara Indonesia tetap seperti kerakap tumbuh di batu. Di Malaysia, orang-orang dan Universitas dengan seksama menabuh Gordang dengan meriah, yang di negeri asalnya, Indonesia, hanya sayup-sayup terdengar suaranya. 

kki_2013@kemdikbud.go.id

~0~

Tapanoeli

KRISTENISASI DAN KOLONIALISME
DI BATAK


PENDAHULUAN
Relasi antara kristenisasi dan kolonialisme Belanda telah lama bergulir menjadi perbincangan serius di kalangan peminat sejarah pekabaran Injil di Indonesia.  Kenyataan ini membuat pihak Kristen, termasuk Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), hari ini merasa bahwa hal tersebut merupakan beban sejarah.[1] Di satu sisi banyak penulis yang berusaha mengungkapkan kaitan keduanya sebagai semacam simbiosis mutualisme, sementara di pihak lain berupaya menegasikannya.
W.B. Sidjabat, akademisi Kristen, menegaskan bahwa misi penginjilan sama sekali terlepas dari kolonialisme. Ia berargumen bahwa tujuan Belanda sangat berbeda dengan maksud bangsa Portugis. Kedatangan bangsa Portugis ke dunia Timur memiliki 2 (dua) tugas yaitu berdagang dan sekaligus menyebarkan agama Kristen. Sementara niat Belanda hanya untuk berdagang. Sebagai penguat argumentasi, Sidjabat memperlihatkan bukti kasus berupa kasus pengusiran orang Portugis dan Spanyol oleh Hideyoshi dari Jepang pada tahun 1595. Sikap Hideyoshi ini dilatarbelakangi oleh tindakan orang Portugis dan Spanyol yang berusaha menyebarkan Kristen di Jepang. Sementara orang Belanda, menurut Sidjabat, diterima baik oleh Jepang pada tahun 1600, sebab hanya bermaksud berdagang dan bukan menyebarkan agama Kristen.[2] Contoh yang digunakan oleh Sidjabat ini tidak tidak cukup kuat untuk mendukung gagasannya. Orang-orang Belanda justru membuktikan bahwa mereka tidak berbeda dengan bangsa Spanyol maupun Portugis. Belanda juga mengalami nasib serupa, diusir dari Jepang akibat menyebarkan agama Kristen.[3]
Terkait Pekabaran Bible di Tanah Batak, W.B. Sidjabat mengarahkan bahwa para pejuang Batak yang mengambil sikap anti-kolonialis tidak pernah memiliki “masalah” dengan para zending. Sidjabat membuat sebuah imaginasi bahwa sejak Sisingamangaraja X hingga XII senantiasa memelihara hubungan baik dengan para misionaris asing tersebut.[4] Tulisan W.B. Sidjabat ini sejatinya adalah upaya menyelamatkan wajah zending dari konklusi yang mengarahkan kepada adanya relasi antara misionarisme dan kolonialisme. Pendekatan yang bersifat hitam putih semacam ini agaknya tidak sesuai dengan realitas yang terjadi. Juga kurang didukung dengan bukti yang berasal dari catatan para penginjil asing itu sendiri yang justru memperlihatkan fakta sebaliknya.

“BATAK” DAN EVASIVE IDENTITY
Berdasarkan kajian etnologi, Daniel Perret, seorang akademisi di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Perancis – merupakan salah satu ilmuwan yang berkecimpung mendalami tema ini dengan mengambil lingkup penelitian di Tanah Batak – memperlihatkan bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah “keluarga besar Batak” baru terjadi pada era kolonialisme Belanda. Bahkan disertasi J. Pardede tahun 1975, sebagaimana disebutkan oleh Perret, mengemukakan bahwa istilah “Tanah Batak” dan “rakyat Batak” merupakan sebuah terminologi baru yang diciptakan oleh pihak asing.[5]
Perret menyebutkan bahwa perbedaan antara “Batak” dan “Melayu”, seperti telah menjadi sebuah kesepakatan para penulis, hanya terletak pada faktor kanibalisme.[6] Dalam literatur sekitar tahun 1290-an, Marcopolo menyebutkan bahwa Kerajaan Ferlec (Perlak), wilayah Aceh bagian Timur, belum lama menjadi penganut Islam. Rakyat kerajaan ini sebelumnya merupakan para penyembah berhala. Hal ini hanya berlaku bagi penduduk yang tinggal diperkotaan. Namun penduduk yang tinggal di wilayah lebih pedalaman di Sumatera bagian Utara masih hidup seperti binatang. Marcopolo mengambarkan bahwa mereka memakan daging apa pun baik dalam keadaan bersih maupun kotor, termasuk daging manusia.[7]
Friedrich Martin Schnitger, sarjana ilmu Purbakala dalam penelitiannya pada 1935 di sebuah Candi di Padang Lawas, Batak sebelah Selatan, mengungkapkan bahwa keberadaan Agama Hindhu-Budha dari sekte Bhairawa turut mempengaruhi kanibalisme di “tanah Batak”. Candi-candi tersebut dibangun secara tidak serentak selama masa antara abad XXI sampai XXIV.[8] Pemujaan kaum Bhairawa ini dilakukan pada malam hari dengan mempersembahkan tumpukan mayat manusia yang dibakar kepada para dewa. Semakin menyengat bau mayat yang terbakar semakin menyenangkan bagi mereka, sebab bau tersebut disetarakan dengan wangi sepuluh ribu bunga yang membawa keselamatan bagi mereka. Biasanya manusia-manusia yang masih hidup dikorbankan pula. Korban tersebut ditelentangkan, kemudian seorang pendeta akan menusukkan pisau besar ke perut korban dan mengirisnya ke arah tulang rusuk bagian bawah. Jantungnya kemudian diambil dan darahnya diperas ke dalam sebuah gelas tengkorak atau bejana lainnya untuk selanjutnya diminum sampai habis. Proses menuang dan meminum darah ini dilakukan berulangkali. Sang pendeta yang mengalami kondisi trance kemudian menari-nari sambil bersuara histeris. Upacara keagamaan yang mengerikan ini biasanya diringi ritual persetubuhan dengan para perempuan.[9] Secara rinci ritual ini meliputi perilaku antara lain bersemadi, menari-nari, mengucapkan mantra-mantra, membakar jenazah, memakan daging jenazah, minum darah, tertawa-tawa, dan mengeluarkan bunyi seperti banteng[10] serta termasuk persetubuhan.
Nicolo de’ Conti yang pernah tinggal di kota Samudra (Sumatra) pada tahun 1430, menjadi orang pertama yang menyebutkan nama tempat “Batech” yang dikaitkan dengan sebuah populasi yang bersifat kanibal dan gemar berperang. Keberadaan bangsa kanibal ini telah diketahui sejak abad II M, melalui tulisan Ptolemaeus yang menyebutkan bahwa bagian utara Sumatra merupakan daerah yang dihuni masyarakat pemakan manusia. Hal ini bahkan masih berlangsung hingga awal abad XX.[11]
Oleh karena itulah, awalnya sebutan nama  “Batak” awalnya dianggap sebagai sebuah penghinaan bagi penduduk setempat. Nama “Batak” tidak dipakai oleh orang setempat ketika berbicara tentang diri mereka sendiri. Kata ini menjadi semacamevasive identity yang secara umum digunakan untuk menunjuk “orang lain” atau untuk memperlihatkan sebuah kategori yang meliputi pemakan babi darimanapun asalnya.[12] Van der Tuuk, ahli Bahasa yang bekerja untuk Nederlands Bijbelgenootschap (NBG), dalam suratnya tertanggal 15 November 1855, pernah mengusulkan kepada pengurus NBG agar  istilah “Batak” dan “Melayu” tidak digunakan secara resmi. Usulan ini penyebabnya adalah istilah “Batak” telah berubah menjadi ungkapan yang bersifat makian. Keberadaan ungkapan ini selanjutnya juga menegaskan bahwa orang Melayu yang telah memeluk Islam seolah derajatnya lebih tinggi dari orang yang berada di wilayah yang sekarang disebut “Batak”. Sebagai gantinya van der Tuuk mengusulkan penyebutan seperti “Mandailing”, “Angkola”, dan lain sebagainya.[13]
Daniel Perret mengungkapkan adanya fenomena yang lebih aneh bahwa sebutan “Batak” justru digunakan oleh penduduk dusun untuk  mengidentifikasi para misionaris Belanda dan orang Tiong Hwa, karena alasan yang sama, yaitu mereka memakan babi. Sebutan “Batak” tampaknya juga tidak dapat ditemukan dalam karya sastra era pra-kolonial.[14] Dalam perkembangan waktu selanjutnya istilah “Batak” ini kemudian diterima sebagai sebuah identitas etnis tertentu. Daniel Perret mengungkapkan, setelah keberadaan”orang-orang Batak” diterima oleh orang Barat, kemudian mulailah diciptakanlah batas-batas “Tanah Batak”.[15]
Versi lain tentang arti “Batak” dapat ditemukan dalam buku Riwayat Poeloe Soematrayang ditulis pada 1903 oleh Dja Endar Moeda, tokoh yang mendapat julukan sebagai “Raja Koran Sumatra”. Menurut Dja Endar Moeda, sebagaimana dikutip oleh Baharuddin Aritonang dalam buku Orang Batak Berpuasa, istilah “Batak” memiliki makna “orang yang pandai berkuda”.[16] Pemaknaan istilah yang terakhir ini tentu baru timbul pada era yang lebih belakangan. Sebab jika istilah tersebut sekedar bermakna “ahli berkuda” maka tidak akan menimbulkan evasive identity, sebuah identitas yang pada masa lalu justru sedapat mungkin dihindari.
Berdasarkan kajian etnografi yang dilakukan oleh Daniel Perret di atas, dapat dikemukakan sebuah benang merah bahwa istilah “Batak” merupakan identitas yang sengaja diciptakan pada sekitar era kolonialisme di daerah Sumatra Utara. Penciptaan istilah yang awalnya “kurang” dikenal oleh etnis setempat ini sangat mungkin memiliki kepentingan yang identik dengan sebuah upaya segregasi sosial. Studi Perret menunjukkan adanya pola dimana istilah “Batak” sengaja dimuncul sebagai pembeda sebuah etnis di Sumatra Utara dengan bangsa Melayu yang identik memeluk Islam. Pertanyaan apakah pemunculan identitas “Batak” ini merupakan bagian dari strategi misionarisme terhadap suatu etnis tertentu, kurang terpotret dengan jelas dalam kajian Daniel Perret. Namun bisa dicermati, bahwa saat ini etnis “Batak” seringkali diidentikkan pula sebagai “etnis Kristen”, meskipun terdapat kenyataan bahwa dari etnis ini juga terdapat kalangan pemeluk agama Islam. Selanjutnya, kita hanya berharap akan muncul kajian lain yang akan mengungkapkan fenomena ini secara lebih jelas.

KEPENTINGAN KOLONIAL
Kehadiran para zendeling di tanah Batak, terutama di dataran tinggi Toba, tidak disetujui oleh Sisingamangaraja XII yang mulai memeritah sejak 1867. Penguasa daerah ini beranggapan bahwa kehadiran mereka merupakan wahana dan alat pemerintah kolonial untuk menganeksasi wilayahnya. Perlawanan Sisingamangaraja selama 30 tahun ditujukan kepada para penginjil dan sekilagus pemerintah kolonial Belanda. Kekhawatiran Sisingamangaraja ini beralasan. Berdasarkan laporan resmi lembaga penginjilan Jerman Rheinische Missions-Gessellschaft (RMG)[17] yang bergerak di Sumatra dalam majalah Berichte der Rheinische Missions-Gessellshaft(BRMG) tahun 1869 dan 1871, sebagaimana diungkap oleh Uli Kozok, mengungkapkan bahwa ketika Batakmission mengundang Gubernur Pantai Barat Sumatra Arriens menjelang Natal 1868, para misionaris memanfaatkan kesempatan tersebut dengan membuat pernyataan yang mendukung sepenuhnya aneksasi tanah Batak. Bahkan misionaris Johannsen menganggap Arriens sebagai “sungguh-sungguh wakil Allah yang membawa kesenangan bagi Silindung”.[18]
Pada 1877, empat tahun setelah perang Aceh, Sisingamangaraja XII memutuskan untuk menjalin kerjasama dengan Aceh mengusir para misionaris yang dianggap sebagai pelopor kekuasaan Belanda. Pada Januari 1878 para misionaris diperintahkan segera meninggalkan wilayah Sisingamangaraja. Disebabkan peritiwa inilah maka para misionaris meminta bantuan kepada tentara Belanda. Dalam laporan resmi lembaga penginjilan Jerman Jahresberichte der Rheinischen Missiongessellschaft, sebagaimana dikutip Uli Kozok, para misionaris bukan hanya berperan mendampingi tentara kolonial Belanda namun juga berupaya melemahkan semangat perjuangan rakyat Batak dan sekaligus memuluskan upaya penjajahan di wilayah tersebut. Hal ini diungkapkan sebagai berikut:
“Ekspedisi itu sangat berhasil dan berlangsung dengan sangat cepat pula – dari awal Februari hingga akhir Maret. Ekspedisi itu begitu luar biasa berhasil karena Silindung menjadi pangkalan yang sangat aman [bagi tentara Belanda], dan karena tentara dipandu dan dinasihati oleh para misionaris yang sangat mengetahui masyarakat Batak dan daerahnya. Dukungan dan bantuan para misionaris yang mendampingi ekspedisi militer hingga ke Danau Toba juga mempunyai tujuan yang lain, yaitu meyakinkan bahwa perlawanan mereka sia-sia saja dan mendesak mereka agar menyerahkan diri”.[19]
Daniel Perret dalam disertasinya mengungkapkan, berdasarkan masukan dari J.T. Cremer, seorang anggota Tweede Kamer, pengembangan agama Kristen di “Batak” memiliki fungsi yang cukup strategis bagi penguasa kolonial Belanda. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dengan berpindah agama menjadi Kristen, orang “Batak” tidak akan menimbulkan masalah bagi penjajah Kolonial. Berdasarkan latar belakang ini maka keputusan mendirikan misi segera diambil. Apalagi keberadaan Islam yang mulai masuk ke Bataklanden, dirasakan sebagai sebuah potensi bahaya bagi kepentingan penjajah.[20]
Hal yang bisa menjelaskan bahwa Kristenisasi menguntungkan bagi pemerintah Kolonial ini dapat pula dilihat dari beberapa perintis penginjilan seperti Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864). Menurut Prof. Dr. Uli Kozok, akademisi Jerman yang banyak melakukan penelitian di Sumatra Utara, Junghuhn mungkin merupakan orang pertama yang menganjurkan penginjilan dilakukan di Batak. Menariknya dokter yang tertarik pada dunia botani dan geologi ini merupakan tokoh anti-Kristen dan cukup liberal untuk ukuran orang pada jaman itu. Junghuhn menganjurkan adanya penginjilan sebab ia mencoba “memperkenalkan agama kontra Islam”. Pencegahan agar Islam tidak masuk dan berkembang di Batak merupakan “kebijakan yang teramat penting”.[21]
Tokoh lain yang penting dikemukakan adalah Herman Neubronner van der Tuuk (1824-1894). Sebagai ahli bahasa, ia dipekerjakan oleh Nederlands Bijbelgenootschap (NBG), lembaga bible Belanda, untuk meneliti Bahasa Batak dan menerjemahkan Injil ke Bahasa Toba. Saat mempekerjakannya, NBG telah menyadari sejak awal bahwa Van der Tuuk berpaham atheis. Sikap antipatinya terhadap kekristenan ditujukkan dengan menjuluki para penginjil sebagai “pengobral buku murahan”. Meskipun ia seorang atheis namun ia memiliki kesimpulan yang hampir sama dengan Junghuhn bahwa orang Batak harus dikristenkan untuk membendung pengaruh Islam yang hakikatnya bersifat anti-Belanda.[22]
Manifestasi simbiosis mutualisme antara misionarisme dan kolonialisme semakin ditegaskan oleh sikap pemerintah kolonialis Belanda terhadap penganut dan penganjur agama Islam (da’i). Daniel Perret mengungkapkan bahwa bagi orang Islam, pemerintah Kolonial hanya membebaskan mereka dari kerja paksa di tempat-tempat yang memiliki tempat ibadah saja. Sebagai tambahan Pemerintah Kolonial Belanda juga melarang para mubaligh memasuki kuta Kristen, sementara misionaris Kristen dibiarkan bebas pergi ke daerah kantong-kantong muslim.[23] Hal ini sengaja dilakukan sebagai upaya untuk membendung penyebaran Islam dan memperbanyak kantong-kantong Kristen.
Misionaris terkemuka di Batak adalah Ludwig Ingwer Nommensen. Ia dianggap sebagai semacam “saint” atau “tokoh suci” dan bahkan digelari sebagai “Rasul suku-bangsa Batak” di kalangan orang Batak Protestan.[24] Penginjilannya pertama kali dimulai dari lembah Silindung pada tahun 1862. Tokoh Nommensen ini pernah menjadi salah satu pemimpin tertinggi gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Dalam kancah peran, Nommensen yang mendapat gelar sebagai “rasul” senantiasa menyandang atribut ke-“suci”-annya. Termasuk dalam relasinya dengan pemerintahan Kolonialis Belanda, peran Nommensen diangkat sedemikian rupa sehingga sosoknya terlihat bersih dari noda-noda berdarah penjajahan.
Dr. Ichwan Azhari yang memberikan pengantar buku karya Uli Kozok “Utusan Damai di Kemelut Perang”, tidak kurang menceritakan adanya upaya untuk “membela” reputasi Nommensen. Tulisan Uli Kozok menunjukkan bahwa Nommensen ternyata tidak anti penjajahan dan bahkan mendukungnya sepenuh hati. Melalui surat-suratnya Nommensen mengakui keterlibatannya dalam perang Toba. Ia menyebut dirinya bergabung bersama pasukan Belanda dan turut menumpas perlawanan para pahlawan Batak yang menentang kolonialisme di lembah Silindung. Saat buku Uli Kozok “Utusan Damai” pertama diterbitkan oleh Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial (Pussis) Universitas Negeri Medan, pernah digelar diskusi yang menghadirkan Uli Kozok (penulis Buku), Dr. J. Hutauruk (mantan ephorus atau pucuk pimpinan HKBP), dan Limantina Sihaloho (peneliti dari Gereja Kristen Protestan Simalungun atau GKPS). Baik Dr. J. Hutauruk maupun Lamantina Sihaloho tidak meragukan kebenaran dokumen Nommensen yang menjadi dasar bagi penulisan buku Utusan Damai. Lamantina nampak bersikap netral dengan menyatakan agar generasi muda mau meneliti secara kritis terhadap sumber sejarah sejarah baru tanpa harus terbebani dengan hal yang bersifat doktrinatif. Berbeda pandangan dengan Lamantina, Dr. Simanjuntak meragukan otentitas dokumen Nommensen yang digunakan oleh Uli Kozok. Ia beranggapan bahwa penulis buku Utusan Damaitidak menggunakan teks asli tulisan tangan Nommensen, melainkan tulisan Nommensen yang sudah diterbitkan, sehingga tidak menutup kemungkinan pernyataan Nommensen itu telah diedit oleh pihak RMG.[25]
Namun anggapan Dr. J. Hutauruk ini segera terbantah pada penerbitan ulang bukuUtusan Damai. Uli Kozok mengkonfirmasi bahwa semua naskah tulisan tangan Nommensen masih tersimpan rapi di Pusat Arsip RMG yang namanya kini sudah berubah menjadi Pusat Arsip VEM di Wuppertal. Dalam penerbitan edisi buku selanjutnya, Uli Kozok menyertakan bukti-bukti tulisan tangan Nommensen tersebut. Dengan demikian keraguan terhadap otentisitas sumber buku telah terjawab. Artinya, tegas Dr. Ichwan Azhari, “pengakuan Nommensen yang turut terlibat bersama pasukan Belanda menyerang para pejuang Batak yang menentang kolonialisme berasal dari sumber yang otentik”.[26] Dalam perkiraan Dr. Ichwan Azhari arsip dan karya tulis Nommensen dan para misionaris Jerman lainnya selama masa 150 tahun di Sumatra meliputi nominal di atas 100 ribu lembar. Sekumpulan sumber karya ilmiah yang menanti sentuhan untuk dipublikasikan.
Müller Krüger, penulis Kristen, menekankan bahwa pemerintah kolonial bersikap netral terhadap agama dan pemerintah sendiri baru masuk ke Batak setelah Injil diberitakan selama 11 tahun lamanya.[27] Senada dengan Müller Krüger, W.B. Sidjabat, akademisi Kristen lainnya, menekankan bahwa kebanyakan penginjilan dimulai dari prakarsa pribadi atau kelembagaan misionaris. Individu dan kelembagaan ini bergerak secara mandiri dan bukan bergerak atas inisiatif pribadi atau bukan pula badan milik pemerintah kolonial Belanda. Dalam kasus Tapanuli, menurut Sidjabat, pekerjaan penginjilan diprakarsai oleh RMG dari Jerman.[28]Hingga pada akhirnya tulisan-tulisan Nommensen mengungkapkan fakta yang berseberangan dengan pernyataan-pernyataan yang bersifat defensif tersebut. Penginjilan yang dilakukan atas prakarsa pribadi da organisasi non pemerintah berjalan dengan kesuksesan yang terbatas atau boleh dikatakan kurang berhasil. Perlawanan rakyat pribumi dan sikap antipati pejuang-pejuang kemerdekaan “Batak” menjadi hambatan yang cukup mengganjal. Dengan demikian tidak ada pilihan lain bagi penginjil selain ikut terlibat langsung bersama pemerintah Belanda menumpas para pejuang kemerdekaan di “Batak”.
Usaha memotret keterlibatan penginjil dalam upaya aneksasi “Batak” sebenarnya sudah dilakukan oleh sejumlah akademisi maupun rohaniawan Kristen sendiri. Umumnya, upaya-upaya eksploratif ini kalah “pamor” dengan statemen-statemen apologetik yang berusaha menyembunyikan “beban sejarah” penginjilan ini. Sebagai contoh ungkapan salah seorang pemimpin Jemaat Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) yang menyebutkan bahwa pos misi Jerman adalah pos orang Toba untuk menjarah tanah Simalungun. Catatan Christiaan De Jonge, seorang akademisi Kristen, secara lebih lugas menjelaskan pandangan paling mendasar dari penginjil secara umum bahwa pekabaran Injil menyetujui status quo yaitu bercokolnya penjajah Belanda di nusantara, sebab menguntungkan kemajuan gereja.[29]
Sejalan dengan hal tersebut di atas, Uli Kozok menggarisbawahi bahwa kebanyakan penginjil, baik Katholik maupun protestan, sepenuhnya mendukung kolonialisme dan tidak pernah ada pernyataan menentang kolonialisme baik dari pihak gereja Katholik maupun dari pihak gereja Protestan.[30] Hal ini bukan berarti bahwa penginjil selalu menyetujui tindakan pemerintah kolonial, namun hampir tidak ada sikap anti-kolonialisme dari kalangan mereka. Lebih jelas lagi, tulisan-tulisan Nommensen sebagai pelaku penginjilan menegaskan hal yang sama bahwa penginjilan dan kolonialisme memiliki wujud yang sebangun dalam kepentingan aneksasi terhadap tanah “Batak”.

RASIALISME SEBAGAI MOTIVASI PENGINJIL
Penyebaran Injil di Indonesia yang dilakukan dimasa lampau oleh orang asing, bagi sejarawan Kristen pribumi selalu digambarkan dengan bahasa-bahasa bercorak slogan. Istilah-istilah yang ada dipilih berdasarkan pertimbangan diksi untuk mengagungkan proses yang berjalan sehingga terlihat mulia. Dapat dijumpai bahwa pekabaran Injil diwartakan sebagai penyebaran “penyebaran berita gembira”, “kedamaian”, “keselamatan”, dan lain sebagainya. Hal yang paling jarang disentuh adalah ideologi primordial yang dimiliki penginjil yang dibawa langsung dari negeri tempat mereka berasal.
Para penginjil pada era ini memang memiliki semangat mengkristenkan dunia timur secara masif dan terencana. Namun fakta telanjang yang kurang mendapat perhatian dinegeri-negeri jajahan asing yang menjadi ladang misionaris adalah ketiadaan persamaan derajat. Tokoh spiritual RMG seperti Ludwig von Rohden (1815-1889) dan Friedrich Fabri (1824-1891) nyatanya termasuk diantara orang terasuki oleh paham yang dominan pada masa itu, yakni rasisme. Terkait hal ini menurut Rohden, meskipun Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak menyebutkan keberadaan Asia Tenggara, ia menciptakan interpretasi bahwa bangsa-bangsa di kawasan ini merupakan keturunan Ham[31] yang menurut Bible ditakdirkan sebagai budak. Rohden berpendapat bahwa warna kulit keturunan Nuh, yang dikenal sebagai “bapak manusia” menentukan derajad dosa yang dipikulnya. Semakin hitam warna kulit suatu bangsa, maka semakin berdosa bangsa tersebut. Ia berkesimpulan bahwa negro yang paling rendah sekalipun, karena warna kulitnya yang hitam, akan berangsur-angsur menjadi berkulit putih apabila menganut Agama Protestan. Hal ini diungkapkan oleh Rohden  sebagai berikut:
Negro yang paling rendah derajat pun masih bisa diangkat menjadi manusia terdidik bila dididik dengan cara yang tepat melalui pengaruh Kekristenan yang bersifat menyembuhkan. Seiring dengan [proses penyembuhan] itu maka raut muka yang kebinatangan menghilang, pandangan mata dan tubuhnya akan menjadi sempurna, bahkan warna kulitnya secara turun temurun menjadi lebih putih”.[32]
Interpretasi Bible sebagaimana dilakukan oleh pimpinan penginjilan semacam Rohden, menurut pi juga Uli Kozok, tidak hanya membenarkan kolonialisme tetapi juga perbudakan. Bangsa kulit putih diposisikan berhak menjajah dan mengeksploitasi bangsa kulit berwarna, termasuk bangsa di nusantara. Penjajahan malah merupakan tindakan manusiawi untuk memajukan bangsa berkulit hitam. Uli Kozok menggambarkan bahwa menurut cara pandang ini, salah satu cara mengangkat martabat bangsa yang tekutuk (karena memiliki kulit berwarna) adalah dengan mengkristenkan mereka. Akan tetapi meskipun sudah menjadi Kristen, menurut pendapat ini, bangsa keturunan Ham tetap lebih rendah dari ras Eropa yang menjadi keturunan Yafet.[33]
Pemahaman yang dianut Rohden tidak terlalu berbeda dengan pendapat Fabri. Fabri menganggap bahwa bangsa Batak lebih unggul dari bangsa Melayu. Namun bangsa Batak tetap lebih rendah daripada ras kulit putih karena dosa yang dipikul keturunan Ham abadi dan tidak berkurang kendati mereka sudah memeluk agama Kristen.[34]Selama menjadi Direktur RMG, lembaga penginjilan Jerman, Fabri bahkan tiba pada kesimpulan bahwa penjajahan merupakan salah satu cara terbaik untuk mengatasi persoalan sosial yang semakin nyata di Jerman. Menurutnya, kepentingan misi hakikatnya sejajar dengan kepentingan penjajah. Oleh karenanya penginjilan harus menjadi alat untuk merintis penjajahan. Teori ini dirumuskan oleh Fabri dalam ceramahnya yang berjudul “Die Bedeutung geordneter politischer Zustände für die Entwicklung der Mission” (Keadaan Politik yang Stabil sebagai faktor Pendukung Penginjilan) pada Sechste Kotinentale Missionkonferenz (Konferensi Penginjilan Eropa Daratan) yang berlansung di Bremen pada 20-23 Mei 1884. Bersama mantan missionaris RMG, C.G. Bütter dan superintendent missionaris Merensky, Fabri menjadi salah satu perintis konsep Penginjilan Kolonial (Koloniale Missionsauffassung). Fabri juga dijuluki sebagai “bapak gerakan kolonial” dan “laba-laba dalam sarang jajahan”. [35]
Bahkan RMG sendiri sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam penginjilan, menurut Uli Kozok, benar-benar terlibat dalam perdagangan senjata dan memasok senjata kepada suku-suku yang bertikai. Termasuk terlibat dalam perdagangan senjata dan amunisi yang terjadi pada tahun 1879-1880, kurun yang sama dengan ketika orang “Batak” yang beragama Kristen dipersenjatai oleh tentara kolonial Belanda untuk menumpas perjuangan Sisingamangaraja.[36]
Pengganti Fabri sebagai direktur RMG, August Schreiber memang berupaya menjaga jarak dengan pemerintah kolonial. Namun ia tetap memiliki keyakinan bahwa perampasan wilayah merupakan sebuah kewajaran. Menurutnya, bangsa pribumi seharusnya bersyukur kepada penjajah. Schreiber sempat mengeluhkan bahwa “sayang sekali hal ini jarang disadari oleh bangsa yang ditaklukkan.”[37]

PENUTUP
Usaha-usaha apologetik untuk memisahkan relasi antara missionarisme dan kolonialisme sedang berlangsung dalam dunia akademis. Pengaruhnya telah masuk dalam kajian bidang sejarah dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Dalam kasus yang terjadi di Indonesia, kebanyakan penginjil asing dan sebagian pribumi yang bergerak, sepenuhnya mendukung kolonialisme dan tidak pernah ada pernyataan menentang kolonialisme baik dari pihak gereja Katholik maupun dari pihak gereja Protestan. Sebagaimana pernyataan Uli Kozok, ini bukan berarti bahwa penginjil selalu menyetujui tindakan pemerintah kolonial, namun hampir tidak ada sikap anti-kolonialisme dari kalangan mereka.
Kasus Nommensen merupakan contoh gambaran fakta telanjang. Selama ini ia dianggap sebagai “orang suci” yang telah “membawa damai” bagi tanah Batak. Telah banyak tulisan-tulisan yang memuji perannya dalam aktivitas sebagai penginjil di lembaga penginjilan Jerman (RMG) yang dianggap tidak berkompromi dengan penjajah. Namun melalui pengungkapan terhadap tulisan tanggannya, baru diketahui beberapa masa kemudian bahwa ia telah terlibat dalam proses aneksasi tanah Batak oleh pemerintah kolonial Belanda. Termasuk tidak bisa dinafikan adalah keterlibatannya dalam penumpasan para pejuang Batak. Kadangkala pemerintah kolonial memang bertindak seolah membatasi aktivitas penginjilan. Namun hakikatnya hal ini bersifat pengaturan semata. Bagaimanapun, pemerintah kolonial mendapatkan keuntungan secara langsung maupun tidak langsung dari pribumi yang telah dikristenkan. (susiyanto)

Sukabumi, 5 Agustus 2011
Penulis: Susiyanto
Peneliti Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI)
Dipublikasikan ulang seizin penulis dari www.susiyanto.wordpress.com


FOOTNOTE



[1] Lihat Tim Balitbang PGI. Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia: Theologia Religionum. Cetakan III. (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2003). Hal. 7
[2] Lihat artikel Dr. W.B. Sidjabat. Latar Belakang Sosial dan Kultural dari Geredja-geredja Kristen di Indonesia. Dalam Dr. W. B. Sidjabat (ed.). Panggilan Kita di Indonesia Dewasa ini. (Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1964). Hal. 23
[3] Belanda melanggar perjanjian untuk tidak menyebarkan agama Kristen di Jepang. Akibatnya, benteng Belanda di pantai selatan Pulau Honsyu, Deshima, dihancurkan oleh Jepang akibat pelanggaran tersebut. Belanda memang masih diperbolehkan berada di Jepang, namun dengan kontrol dan pembatasan yang sangat ketat. Jumlah kapal Belanda yang keluar masuk diawasi. Hubungan Belanda dengan Jepang akhirnya memburuk. Kamp konsentrasi orang Belanda yang ada di Jepang akhirnya dibubarkan pada tahun 1868. Lihat Dri Arbaningsih. Kartini Dari Sisi Lain: Melacak Pemikiran Kartini Tentang Emansipasi ”Bangsa”. (Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005). Hal. 70-71. Juga Th. Muller Kruger. Sedjarah Geredja di Indonesia. (Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1959). Hal. 30
[4] Lihat Prof. Dr. Uli Kozok. Utusan Damai di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba Berdasarkan Laporan L.I. Nommensen dan Penginjil RMG lain. (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2010). Hal. 102. Sisingamangaraja XII, misalnya, bahkan berusaha menentang masuknya penginjil ke wilayah kekuasaannya karena dianggap sebagai alat penjajahan Belanda. Sisingamangaraja justru menjalin hubungan baik dengan Aceh yang beragama Islam. Lihat Pdt. Dr. Jan S. Aritonang. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Cetakan II. (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2005). Hal. 114
[5] Daniel Perret. Kolonialisme Kolonialisme dan Etnisitas:Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut. Diterjemahkan dari judul asli La Formation d’un Paysage Ethnique: Batak & Malais de Sumatra Nord-Est oleh Saraswati Wardhany. (Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2010). Hal. 22
[6] Daniel Perret. Kolonialisme … Hal. 67
[7] Marcopolo. Para Kanibal dan Raja-raja: Sumatera Utara Pada 1290-an. Dalam Anthony Reid (ed.). Sumatera Tempo Doeloe: dari Marcopolo Sampai Tan Malaka.  Diterjemahkan dari Witnesses to Sumatra: A Travelers Anthology oleh Tim Komunitas Bambu. (Komunitas Bambu, Jakarta, 2010). Hal. 6-11
[8] Lihat tulisan Friedrich Schnitger. Reruntuhan Kerajaan Tak Bernama. Dalam Anthony Reid (ed.). Sumatera … Hal. 258. Lihat juga tulisan Ny. Dra. S. Soeleiman.Peninggalan-peninggalan Purbakala di Padang Lawas. Dalam Jurnal AMERTA No. 2. (Dinas Purbakala Republik Indonesia, Jakarta, 1954). Hal. 21
[9] Friedrich Schnitger. Reruntuhan … Hal. 257-258
[10] Ny. Dra. S. Soeleiman. Peninggalan … Hal. 22
[11] Daniel Perret. Kolonialisme … Hal. 55-56
[12] Daniel Perret. Kolonialisme … Hal. 73
[13] J. L. Swellengrebel. Mengikuti Jejak Leijdecker: Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara. Jilid I (1820-1900). Hal. 133
[14] Hikayat Deli yang ditulis pada era sekitar seperempat pertama abad XIX, istilah “Batak” sama sekali tidak dipergunakan. Padahal dalam teks tersebut setiap penyebutan nama kelompok-kelompok manusia selalu disebut dengan kata “orang” yang diikuti dengan nama tempat. Dalam Syair Putri Hijau yang pertama kali diterbitkan oleh Rahman tahun 1924, namun telah populer pada masa sebelumnya, istilah “Batak” atau “Melayu” juga tidak ditemukan. Demikian juga dalam Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting yang diterbitkan pada 1927 dan 1930, tidak memuat sebutan “Batak” atau “Karo” dan hanya nama-nama marga saja yang dipergunakan. Kata “Batak” juga tidak dijumpai dalam pustaha Toba maupun Simalungun. Lihat: Daniel Perret. Kolonialisme … Hal. 74-75. Istilah pustaha di “Batak” mengacu pada sebutan untuk buku atau kitab yang dibuat dari kulit kayu. Biasanya sebuah pustahaberisi catatan tentang sihir, ramalan, dan pengobatan serta sedikit diantaranya berbicara tentang sejarah atau legenda. Lihat: Rene Teygeler. Pustaha: A Study into the production process of the Batak Book. Dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI) Vol. 149 No. 3. (Leiden, 1993). Hal. 593-594
[15] Daniel Perret. Kolonialisme … Hal. 75
[16] Baharuddin Aritonang. Orang Batak Bepuasa. Cetakan II. (PT Gramedia, Jakarta, 2008). Hal. 4-5
[17] Rheinische Missionsgesselschaft (RMG) didirikan pada tahun 1828 dan berpusat di kota Barmen, Jerman. Sejak tahun 1836 utusan-utusannya bekerja di Kalimantan-Tenggara, tetapi karena pemberontakan suku Dayak pada tahun 1859, RMG mencari lapangan baru. RMG selanjutnya menuai keberhasilan di Batak, Sumatra Utara (1861) dan Pulau Nias (1865). Lantas masuk ke Mentawai (1901) dan Enggano (1903).  Lihat Dr. H. Berkhof dan Dr. I. H. Enklaar. Sejarah Gereja. Cetakan IX. (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1991). Hal. 311
[18] Prof. Dr. Uli Kozok. Utusan Damai …. Hal. 21-22. Resistensi terhadap pengaruh Barat, termasuk kolonialisme dan Kristenisasi, juga berpusat pada sosok Sisingamangaraja XII yang melancarkan serangan-serangan terhadap sejumlah markas Belanda. Lihat Anthony Reid (ed.). Sumatera Tempo Doeloe … Hal. 240. Juga Dr. Th. van den End. Harta dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas. Cetakan III. (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1982). Hal. 265-266
[19] Lihat dalam laporan Jahresberichte der Rheinischen Missiongessellschaft Tahun 1878 hal. 31 sebagaimana dikutip Prof. Dr. Uli Kozok. Utusan Damai … Hal. 23
[20] Lihat Daniel Perret. Kolonialisme …. Hal. 260-261
[21] Prof. DR. Uli Kozok. Utusan Damai... Hal. 23
[22] Prof. Dr. Uli Kozok. Utusan Damai … Hal. 28-29. Terkait pengutusan van der Tuuk sebagai ahli Bahasa dan penterjemah Bible ke Bahasa Batak lihat Th. Müller Krüger.Sedjarah Geredja di Indonesia. (Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1959). Hal. 181-187. Juga J. L. Swellengrebel. Mengikuti Jejak Leijdecker …. Jilid I (1820-1900). Hal. 125-128
[23] Daniel Perret. Kolonialisme … Hal. 264
[24] Lihat Dr. H. Berkhof dan Dr. I. H. Enklaar. Sejarah Gereja .. Opcit. Hal. 316. Juga Dr. Ichwan Azhari dalam Kata Pengantar buku Prof. Dr. Uli Kozok. Utusan Damai … Opcit. Hal. 7. Juga Th. Müller Krüger. Sedjarah Geredja … Opcit. Hal. 184
[25] Lihat kata pengantar Dr. Ichwan Azhari dalam Uli Kozok. Utusan Damai … Ibid. Hal. 7-9
[26] Kata Pengantar Dr. Ichwan Azhari dalam Uli Kozok. Utusan Damai … Ibid. Hal. 9-10
[27] Th. Müller Krüger. Sedjarah Geredja … Opcit. Hal. 187
[28] Lihat artikel Dr. W.B. Sidjabat. Latar Belakang … Opcit. Hal.  24
[29] Lihat footnote Martin Lukito Sinaga. Identitas Poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat Sipil: Studi tentang Jaulung Wismar Saragih dan Komunitas Kristen Simalungun. (PT LkiS, Yogyakarta, 2004). Hal. 62
[30] Uli Kozok. Utusan Damai … Hal. 85
[31] Ham merupakan salah satu nama keturunan Nuh menurut Perjanjian Lama, kitab umat Kristen dan sekaligus Yahudi. Dalam kitab Kejadian 9: 18 sampai 29 dikisahkan bahwa Ham (ayah dari Kanaan) melihat ayahnya, Nuh, yang sedang telanjang akibat mabuk lantas memberitahukan kepada kedua saudaranya yaitu Sem dan Yafet. Sem dan Yafet, menutupi tubuh ayahnya tersebut sambil memalingkan muka. Setelah sadar dari mabuknya, Nuh mengetahui perbuatan anak bungsunya (Ham). Nuh kemudian mengucapkan kutukan kepada Kanaan (anak Ham) bahwa ia akan menjadi budak bagi Sem dan Yafet.
[32] Lihat Uli Kozok. Utusan Damai … Hal. 60
[33] Uli Kozok. Utusan Damai …. Hal. 60-61
[34] Uli Kozok. Utusan Damai … Hal. 65
[35] Uli Kozok. Utusan Damai … Hal. 67
[36] Uli Kozok. Utusan Damai … Hal. 70
[37] Uli Kozok. Utusan Damai … Hal. 71-71

SUMBER: http://muslimdaily.net/artikel/studiislam/kristenisasi-dan-kolonialisme-di-batak.html