18/02/2010
Pembentukan Provinsi Tapanuli merupakan usaha memelihara identitas politik yang khas bagi masyarakat Tapanuli Utara. Identitas ini terbentuk karena proses Kristenisasi, pemisahan budaya dan politik dari saudaranya di selatan.
Oleh: Dwi Hardianto
Apa yang dikhawatirkan tokoh masyarakat Sipirok, Mandailing, dan Angkola–sebutan sosiologis tiga sub kultur budaya Tapanuli di Tapanuli Selatan–kini menjadi kenyataan. Saat itu, ketika Belanda akan mendirikan satu Read Batak (semacam DPRD) di Keresidenan Tapanuli, tokoh masyarakat Tapanuli Selatan (Tapsel) menolak keras. Mereka beralasan, masyarakat Tapanuli Utara jangan dipisahkan dengan saudaranya di Tapsel, karena sekali berpisah akan sulit disatukan lagi.Kini, ketika rencana pembentukan Provinsi Tapanuli yang diusung tokoh-tokoh dari Tapanuli Utara (Taput) kian kencang disuarakan, proses pemisahan kedua rumpun budaya Tapanuli ini makin nyata. Masyarakat, pemerintah, dan DPRD di Tapsel–yang saat ini dimekarkan menjadi Kabupaten Tapanuli Selatan, Mandailing Natal dan Kota Padang Sidempuan–menolak bergabung dalam pembentukan provinsi baru itu.
Sebaliknya, Panitia Pembentukan Provinsi Tapanuli, juga enggan mengajak saudaranya serumpun untuk bergabung. Padahal, secara sosiologis–antropologis, Taput dan Tapsel merupakan satu rumpun budaya. Kedua wilayah ini juga pernah bersatu secara politik dan administratif dalam Keresidenan Tapanuli pada masa penjajahan Belanda.
Sosiolog dari Universitas Negeri Medan, Prof Dr Usman Pelly MA menjelaskan pada Sabili. Menurutnya, perbedaan masyarakat Taput dan Tapsel dalam berbagai hal, termasuk dalam pembentukan Provinsi Tapanuli tidak turun tiba-tiba dari langit, tapi memiliki akar sejarah, politik dan budaya yang panjang. Yang jelas, perbedaan ini terjadi akibat kebijakan politik kolonial Belanda.
Disertasi Dr Lance Castles yang berjudul ”Tapanuli: Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera,” menurut Prof Pelly bisa menjelaskan mengapa terjadi perbedaan yang tajam antara masyarakat Taput dengan Tapsel. Dalam penelitiannya itu, sosiolog asal Belanda ini mengungkapkan, saat menduduki Tapanuli (1915–1942), Belanda menetapkan Taput sebagai daerah penyangga (penyekat) antara Aceh dan Minangkabau.
Untuk menyekat kedua wilayah Islam ini, Belanda melancarkan strategi Kristenisasi dan penguasaan politik di Taput. Belanda berkeyakinan, hanya dengan dikristenkan, masyarakat Taput bisa menjadi ’benteng’ meluasnya pengaruh Islam dari Aceh dan Minang. Selain itu, Jika Aceh dan Minang bersatu, secara geostrategi, akan menyulitkan posisi Belanda (Disertasi Castles hlm 20–21).
Selanjutnya, Prof Pelly yang juga menjadi Staf Ahli Gubernur Sumatera Utara ini, menjelaskan proses ”pencerai-beraian” rumpun budaya Tapanuli oleh Belanda yang ditulis Castles.Pertama, sebagai bekas daerah pendudukan Kaum Paderi dari Sumatera Barat, Tapsel mengenal Islam dalam situasi perang. Belanda berusaha keras menyebarkan Kristen di wilayah ini, tetapi gagal. Sampai pendudukan Belanda berakhir, misionaris Kristen hanya merekrut 4.000 penganut, sedangkan Islam dianut oleh lebih dari 16.000 penduduk Tapsel.
Kepala-Kepala Kuria (Kepala Adat) yang diangkat Belanda, agar masuk Kristen dan mau membantu kegiatan misionaris, ternyata tetap keukeuh (konsisten) memegang Islam. Bahkan, hingga akhir abad ke 19, semua Kepala Kuria di Tapsel, berbalik melawan misionaris dan melindungi Islam (hlm 21).
Kedua, berdasarkan perhitungan Castles, untuk memisahkan Aceh dan Minang, sebenarnya tidak perlu mengkristenkan Taput. Cukup dengan mendukung agama asli orang Batak Toba. Tapi Belanda berkeras bahwa hanya dengan cara dikristenkan, masyakarakat Taput bisa dimanfaatkan untuk menghalangi masuknya Islam di kawasan ini (hlm 25).
Ketiga, akibat Kristenisasi, Belanda harus berhadapan dengan Sisingamangaraja ke–XII. Setidaknya, terdapat dua kali pertempuran besar antara pasukan Sisingamangaraja dengan Belanda. Yakni pada 1878 di pantai Selatan Danau Toba dan tahun 1883 di Tanggbatu (sekarang Balige, ibukota Kabupaten Toba Samosir).
Keempat, setelah pertempuran, Belanda memperlambat gerak maju menguasai Samosir dan Dairi. Apalagi, Belanda harus menghadapi pertempuran di Aceh melawan pasukan Islam yang dipimpin Cut Nyak Dien. Meski begitu, misionaris Kristen terus disusupkan Belanda memasuki wilayah-wilayah pedalaman, sehingga hampir 100% penduduknya mengimani Kristen.
Prof Pelly menjelaskan, serangkaian proses penaklukan di atas menyebabkan satu rumpun budaya yang sama, kini tercerai-berai. Belanda menggunakan agama (Kristen) untuk memisahkan keduanya dari pengaruh Islam di Aceh dan Minang. ”Tapi, di luar dugaan ahli antropologi, Tapsel justru muncul menjadi perpanjangan kekuatan Islam Minangkabau di Tapanuli. Sedangkan Taput, tumbuh menjadi Kristen yang berfungsi menyekat pengaruh Islam dari Aceh dan Minang,” lanjutnya.
Proses politisasi Islam dan Kristen di Tapanuli, melahirkan identitas politik pada masing-masing kelompok. Menurut Erickson (1989: 182), identitas politik ini adalah suatu bentuk penyadaran yang tajam akan keberadaan diri sendiri dan kelompoknya. Selain itu, identitas ini merupakan satu kesatuan unik untuk memelihara masa lampaunya sendiri, baik bagi dirinya maupun orang lain.
Karenanya, ujar Pally, jika masyarakat Taput ingin memelihara masa lalunya dengan mendirikan Provinsi Tapanuli, maka pembentukan provinsi ini bisa dilihat sebagai usaha untuk memelihara identitas politiknya yang khas. Yaitu, identitas politik yang terbentuk karena proses Kristenisasi, pemisahan budaya dan politik dari saudaranya serumpun di selatan.
Hal yang sama, juga berlaku bagi masyarakat Tapsel. Penolakan mereka bergabung dalam satu provinsi merupakan manifestasi kesadaran politik, budaya dan keberagamaan masyarakat Tapsel. Mereka merasa memiliki identitas politik yang khas sebagai manifestasi identitas politik Islam yang berbeda dengan saudaranya di Taput yang Kristen.
Uraian di atas, makin membuat terang statemen keras beberapa tokoh masyarakat di Medan, Sibolga, dan Tapanuli Tengah. Mereka sepakat menyebut, pembentukan Provinsi Tapanuli merupakan ”Provinsi Ideologis.” Pertanyaannya? Penolakan yang juga terjadi di Sibolga dan Tapanuli Tengah (Tapteng), apa juga bisa dijelaskan dengan tesisnya Lance Castles?
Dilihat dari komponen masyarakat yang menolak di Sibolga dan Tapteng, sebagian besar juga berasal dari kalangan Islam. Jika pendekatan Castles diterapkan pada kasus ini, sungguh riskan jika Panitia Pembentukan Provinsi Tapanuli tetap memaksa Sibolga dan Tapteng terus bergabung. Pasalnya, masyarakat Sibolga dan Tapteng juga merasa memiliki identitas politik, budaya, dan keberagamaan yang berbeda dengan Taput.
Ketua Gerakan Masyarakat Peduli Tapanuli (GEMA PETA), Kusnan Efendi menyatakan, di Sibolga dan Tapteng kondisi masyarakatnya jauh lebih beragam secara agama dan etnis. Tapi secara umum, nuansa keislamannya lebih kental. Karena itu, sebagian besar masyarakat menolak rencana pembentukan Provinsi Tapanuli. ”Kami khawatir, ada agenda tersembunyi untuk menyingkirkan minoritas umat Islam di Tapanuli,” Tandasnya.
Karena itu, semua pihak harus lebih berhati-hati, arif, dan bijak dalam menyikapinya. Jika tidak, pro–kontra yang terus memanas ini bisa saja berujung pada konflik SARA. Meski tokoh masyarakat, baik yang Islam maupun Kristen menolak kemungkinan ini, tak ada salahnya, jika kita mencegahnya sebelum terlambat.
Publications: SABILI No 12 TH XIV/Desember 2006
~o~
sumber: http://dwihardianto01.wordpress.com/2010/02/18/misi-kristiani-pisahkan-budaya-tapanuli/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar