Jumat, 03 Oktober 2014

Mardikir


DIKIR DI MANDAILING



DIKIR adalah salah satu bentuk kesenian Islam yang sudah sejak lama hidup dan berkembang di banua Mandailing. Seni pertunjukan Dikir terdiri atas tiga atau empat pemain “gondang dikir” sebagai pengiring nyanyian Dikir, namun adakalanya salah seorang pemain “gondang dikir” itu sekaligus bertindak sebagai penyanyi utamanya dan yang lainnya bertindak sebagai “penyanyi latar”. Seni pertunjukan Dikir ini dapat dikategorikan sebagai “musik polifoni” yang diselenggarakan pada hari-hari besar Islam seperti Maulid Nabi dan Hari Raya Islam Idul Fitri. Selain itu, Dikir sering pula dipertunjukkan dalam upacara adat perkawinan seperti "orja aroan boru" dan "mebat". 

Gondang Dikir” adalah sejenis rebana berukuran besar dengan diameter 600 hingga 900 mm berbentuk bulat. Bagian atasnya dilapisi dengan membran dari kulit lembu atau kambing, sedangkan bagian bawahnya tidak ditutup (terbuka). Adapun lagu-lagu yang dibawakan berbahasa Arab dengan memakai modus-modus tertentu dari tradisi musik Pan-Islam di Jasirah Arab. Tema lagu antara lain berisi sejarah Nabi Muhammad SAW, ajaran-ajaran agama Islam dan lain sebagainya. 


Dalam hal ini, yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah dari manakah masuknya seni pertunjukan Dikir ke Mandailing? Di sebelah selatan luat Mandailing terdapat etnik Minangkabau yang sejak dari dahulu sudah mengadakan kontak dengan masyarakat Mandailing. Dalam hubungan ini dapat dikemukakan bahwa di daerah Mandailing Julu (Kecamatan Kotanopan) sampai sekarang masih ditemukan tempat-tempat yang bernama Garabak ni Agom” di sekitar Huta na Godang. Julukan ”Garabak ni Agom” diberikan kepada bekas tempat "orang Agam" (orang Minangkabau) menambang emas di Mandailing Julu pada masa lalu. Di samping itu dari bahan-bahan bacaan perihal gerakan Kaum Paderi di Minangkabau dapat diketahui bahwa pada masa dasa warsa kedua abad ke 19 (antara tahun 1815-1820) Kaum Paderi sudah mulai memasuki wilayah Mandailing untuk menyebarkan agama Islam. Di tahun-tahun sebelumnya beberapa raja di Mandailing sudah beragama Islam, tetapi penyebarannya secara luas waktu itu belum terlaksana, dimana sebagian besar anak negeri Mandailing masih menganut animisme (kepercayaan Sipelebegu, yang memuja roh-roh leluhur). 


Dapat ditambahkan, sudah ada pula orang-orang Mandailing yang pergi belajar agama Islam ke Bonjol, seperti yang dikemukakan oleh Hamka dalam bukunya Dari Perbendaharaan Lama (1963:96). Sementara itu Kaum Paderi yang melakukan penyebaran agama Islam di wilayah Mandailing sudah sampai ke daerah Angkola dan Padang Lawas yang pada masa itu dipimpin oleh Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai (lihat F.M. Schanitger, The Forgotten Kingdom in Sumatera, 1964:71-84). 

Berangkat dari fakta sejarah di atas, bahwa Islam dibawa oleh Kaum Paderi ke Mandailing, namun kesenian Dikir belum dapat dipastikan berasal atau atas prakarsa Kaum Paderi. Hal ini mengingat Kaum Paderi sendiri adalah Kaum Wahabi yang sangat membenci atau tidak membenarkan praktek kesenian. 

Mangaraja Onggang Parlindungan dalam bukunya Tuanku Rao, dimana pada halaman 179 dituliskan bahwa sebagian kecil dari penduduk Padang Lawas Selatan sudah beragama Islam, yang berkembang dari Kesultanan Malaka sejak kurang lebih tahun 1451 M. Apabila keterangan ini dapat dibuktikan kebenarannya, dimana dari Padang Lawas Selatan tersebut penyebaran agama Islam bergerak ke Mandailing. Kenyataan ini dapat kita kaitkan pula dengan keterangan bahwa sebelum Kaum Paderi memasuki wilayah Mandailing sudah ada raja-raja Mandailing yang memeluk agama Islam. Bahkan lebih awal dari Minangkabau dimana Syekh Burhanuddin, kira-kira bersamaan dengan masa kejayaan Islam di Aceh. Sementara itu, di Semenanjung Malaya sendiri hingga sekarang kita temukan pula praktek pertunjukan Dikir seperti yang dikemukakan oleh William P. Malm dalam bukunya Music Cultures of the Pacific, The Near East, and Asia, edisi kedua, halaman 133. 

Dari jurusan barat laut, Mandailing berbatasan dengan wilayah Tapanuli Tengahdan di pesisir pantai barat ini terletak kota tua Barus yang sejak dahulu dikenal sebagai ”kota pelabuhan dan perdagangan” yang banyak dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai penjuru dunia. Di samping itu, kota Barus diasumsikan sebagai tempat masuknya agama Islam ke wilayah Sumatera Utara. 

Di kota perdagangan Barus pada masa itu diperjual-belikan berbagai komoditi dan salah satu yang cukup potensil dan terkenal adalah komoditi ”kapur barus”. Dalam hubungan ini diketahui bahwa orang Mandailing ada yang bermata pencaharian sebagai pencari ”kapur barus” di hutan-hutan dan mungkin juga sekaligus sebagai pedagangnya. Hal ini dapat diketahui dari peninggalan bahasa sirkumlokusi yang mereka pergunakan sewaktu mencari ”kapur barus” di dalam hutan, yaitu ”hata parkapur” sebagai salah satu dari lima ragam bahasa yang dimiliki suku-bangsa Mandailing (Marapi, 1957:61).


Bertolak dari fakta di atas tidak tertutup kemungkinan bahwa orang Mandailing memperdagangkan komoditi ”kapur barus"nya sampai ke kota perdagangan Barus tersebut, dimana mereka menyusuri pantai barat pulau Sumatra yang berawal dari Natal. Bahkan ada juga kemungkinan bahwa setelah mereka sampai di Barus, ada pula yang membawa barang dagangannya itu ke kota-kota pusat perdagangan lainnya seperti ke Malaka atau pun Samudera Pasai di Aceh. Di kota-kota perdagangan tersebut mereka (orang Mandailing) berdagang dan bergaul dengan para pedagang Islam seperti dari Persia, Arab, Gujarat dan lain-lain. Sebagai akibat dari interaksi tersebut, sampai sekarang di daerah Mandailing masih kita dengar perkataan-perkataan seperti ”ratib jongjong” (dzikir berdiri), ”podang Saidina Ali” (pedang Saidina Ali), ”tenju Saidina Ali” (tinju Saidina Ali), dan sebagainya, dimana perkataan-perkataan seperti ini berasal dari paham Islam Syiah, yang banyak peranannya dalam mengembangkan kesenian dalam dunia Islam. 

Dari berbagai keterangan di atas untuk sementara dapat dikemukakan bahwa kesenian Dikir yang terdapat di Mandailing dibawa oleh para pedagang ”kapur barus” orang Mandailing ke banua Mandailing. Dimana para pedagang Mandailing tersebut mengambil kesenian Dikir dari pusat perdagangan pada masa dahulu (Barus, Malaka, ataupun Sumadera Pasai) dan mereka kembangkan di tanah leluhurnya, yaitu Tano Sere Mandailing.** 

Dimuat dalam Harian Waspada Medan, 1991 

~o0o~