SARO
MANDAILING
Oleh:
Syamsir Alamsyah Batubara
PENDAHULUAN
K
|
elompok etnik atau
suku-bangsa Mandailing yang mendiami pedalaman pesisir pantai barat daya Pulau
Sumatera memiliki bahasanya sendiri, yaitu Hata Mandailing. Namun dalam
kehidupan sehari-hari, anggota masyarakat Mandailing lebih sering menyebut
bahasa etnik mereka itu dengan istilah Saro Mandailing. Dalam hal ini,
perkataan “saro” secara harafiah artinya “cara” atau “ala”. Dengan demikian,
dari satu sisi, pengertian “saro Mandailing” dapat berarti “cara atau ala
Mandailing”. Sebagai contoh misalnya dalam hal pemuda dan pemudi Mandailing
berpacaran di masa lalu adalah dengan cara “markusip” (berbisik-bisik) pada
malam hari melalui lobang kecil yang ada di dinding rumah. Kebiasaan pemuda dan
pemudi Mandailing dahulu kala memadu kasih seperti itu cukup unik dan spesifik,
sehingga dapat dikatakan sebagai “saro
Mandailing” (“ala Mandailing”) dalam hal anak-anak muda berpacaran di masa
lalu, bila dibandingkan misalnya dengan tradisi berpacaran muda-mudi pada
kelompok-kelompok etnik lain di Indonesia.
Dalam
konteks lain, manakala para perantau orang Mandailing yang telah menetap di
beberap wilayah tertentu di kota Medan misalnya, bila ditanyakan bahasa apa
yang sesama mereka gunakan dalam percakapan sehari-hari, mereka umumnya
menjawab: “Saro Mandailing”, seperti di kalangan orang-orang Mandailing yang cukup
banyak menetap di wilayah Sei Mati (Medan Maimun), Marendal (Simpang Limun
hingga Medan Amplas), Sei Agul (Medan Barat), Gelugur, dan wilayah Bandar Selamat
atau disebut juga “Kobun Pisang” oleh orang-orang Mandailing.
Pembangunan
jalan tol diwilayah Kobun Pisang atau Bandar Selamat ini telah menyebabkan
wilayah tersebut menjadi lokasi perwakilan kendaraan antar kota, baik yang
mengangkut barang maupun penumpang. Lokasi-lokasi perwakilan kendaraan antar
kota diwilayah ini didominasi oleh usaha kendaraan yang berasal dari daerah
Mandailing dan sekitarnya. Hal ini kemudian menyebabkan banyaknya masyarakat
Mandailing yang mendiami wilayah ini, dan dalam perkembangannya terdapat pula organisasi
keluarga Mandailing yang cukup terkenal di kota Medan, yaitu HIKMA. Organisasi kemasyarakatan
ini setidaknya menaungi masyarakat Mandailing yang terdiri dari beberapa marga,
dan tujuan organisasi ini adalah untuk merekatkan hubungan antar sesama orang Mandailing
perantau di kota Medan.
Sebagaimana diketahui bahwa pendukung aktif kebudayaan
dalam pengertian kesepakatan internasional mengandung beberapa konten
persyaratan. Hal ini dapat dilihat dalam tujuh unsur yang dapat kita sebut
sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan yang ada di dunia, yaitu: (1) Bahasa;
(2) Sistem pengetahuan; (3) Organisasi sosial; (4) Sistem
peralatan hidup dan teknologi; (5) Sistem mata pencaharian hidup;
(6) Sistem religi; dan (7) Kesenian, sebagaimana dikutip oleh
Koentjaraningrat dari C. Kluckhohn : Universal
Categories of Culture(1953), di dalam Pengantar
Antropologi (1980 : 203). Bahasa
ditempatkan para ahli di urutan pertama, penting karena bahasa adalah alat
transformasi kebudayaan. Makna yang terkandung dalam point 2-7 dapat diinterpretasikan dengan
bahasa. Secara singkat kita sering bilang "bahasa menunjukkan
bangsa", dalam skop yang lebih kecil adalah suku-bangsa. Dan semua unsur
kebudayaan hanya bisa diterjemahkan dengan bahasa. [1]
Kenapa konklusinya sampai begitu? Karena "kosa
kata" dan cara menyampaikan "kata" berkaitan langsung dengan
tujuan berpikir dan pengalaman suatu bangsa atau suku-bangsa. Suatu
"kata" ada karena "kata" itu dibutuhkan. Seperti suku-bangsa
Eskimo di kutub Utara yang hidup di daerah bersalju punya kosa kata yang banyak
untuk salju. Mereka mempunyai banyak sebutan untuk kata salju, misalnya, aput (salju
yang sudah ada di tanah), gana (salju yang
jatuh/turun), piqsirpoq (salju yang melayang), dan qimuqsuq (salju
yang berembus) dan lain-lain yang menurut beberapa keterangan sampai 14 (empat
belas) kosa kata untuk salju.[2]
Suatu bangsa yang hidup di daerah hijau, seperti
suku-bangsa Mandailing, memiliki kosa kata lebih banyak untuk sumber air
seperti, simulmulan (mata air alami), sumbur (air
sumur), rura (anak sungai), dan aek atau aek
godang (sungai). Suku-bangsa yang tidak berperang mungkin tidak akan
memiliki kata yang bisa dinisbahkan sebagai “senjata”. Beberapa keistimewaan
bahasa yang dipakai suatu bangsa tertentu membatasi cara-cara berpikir dan
pandangan bangsa yang bersangkutan terhadap fenomena tempat mereka hidup. Saya
menganggap bahwa susunan bahasa dan keistimewaan lain yang dimiliknya merupakan
faktor dasar bagaimana suatu masyarakat memandang hakikat alam dan tempat
mereka berada. Dengan demikian, “bahasa Mandailing menunjukkan suku-bangsa
Mandailing”.[3]
HATA
MANDAILING (BAHASA MANDAILING)
Terkait dengan
eksistensi Hata Mandailing (Bahasa
Mandailing) ini, Z Pangaduan Lubis ada mengemukakan, bahwa secara
tradisional Bahasa Mandailing terdiri dari lima ragam:
(1) Hata Somal, ialah ragam bahasa yang digunakan dalam
percakapan sehari-hari; (2) Hata Andung, yaitu semacam
ragam Bahasa Sastra, yang pada masa dahulu khusus digunakan pada
waktu meratapi jenasah dalam upacara kematian (disebut: mambulungi)
dan seorang gadis yang meratap di hadapan orang tuanya pada saat akan berangkat
meninggalkan mereka untuk selanjutnya dibawa ke rumah keluarga calon suaminya;
(3) Hata Teas Dohot Jampolak, adalah ragam bahasa caci-maki
yang khusus digunakan ketika terjadi hal-hal yang tidak baik (pertengkaran atau
perkelahian); (4) Hata Sibaso, ialah ragam bahasa yang
khusus digunakan oleh tokoh Sibaso (medium perantara alam
nyata dan alam gaib) ketika berada dalam keadaan trance (kesurupan)
dan juga digunakan oleh Datu (penyembuh tradisional) pada
waktu melakukan pengobatan; dan (5) Hata Parkapur, yaitu
ragam Bahasa Sirkumlokusi yang dahulu digunakan oleh
orang-orang Mandailing pencari kapur barus ketika berada di dalam hutan. [4]
Di samping kelima
macam ragam Bahasa Mandailing tersebut, pada masa lalu orang
Mandailing juga memiliki satu lagi ragam bahasa lain yang dinamakan Hata
Bulung Bulung (Bahasa Daun-daunan[5]). Berbeda dari bahasa
yang biasa, yang digunakan sebagai kata-kata dalam Hata Bulung Bulung ialah
daun tumbuh-tumbuhan yang dalam Bahasa Mandailing disebut bulung-bulung.
Dedaunan yang digunakan ialah daun-daunan yang namanya punya persamaan bunyi
dengan kata-kata yang terdapat dalam Bahasa Mandailing. Misalnya
ialah daun tumbuh-tumbuhan yang bernama hadungdung digunakan
untuk menyampaikan perkatan dung(setelah); daun tumbuh-tumbuhan
yang bernama sitata digunakan untuk menyampaikan
perkataan hita (kita); daun tumbuh-tumbuhan yang bernama sitarak digunakan
untuk menyampaikan kata marsarak (berpisah); daun
tumbuh-tumbuhan yang bernama sitanggis (setanggi) digunakan
untuk menyampaikan perkataan tangis (menangis); dan daun
tumbuh-tumbuhan yang bernama pau (pakis) digunakan untuk
menyampaikan kata diau (pada saya); daun tumbuh-tumbuhan yang
bernama podom-podom digunakan untuk menyampaikan
perkataan modom (tidur). Kalau misalnya kesemua daun tersebut
dikirimkan oleh seorang pemuda kepada kekasihnya, maka sang kekasih akan
mengerti bahwa sang pemuda mengatakan kepadanya: ”dung hita marsarak jolo tangis
au anso modom”. Artinya ”setelah kita berpisah, menangis saya dahulu baru
bisa tertidur”.[6]
Di Mandailing, pengguna Hata
Bulung Bulung ini umumnya adalah kaum muda-mudi (disebut Naposo
Nauli Bulung), terutama pada waktu mereka berpacaran. Dahulu,
kegiatan berpacaran (asmara) antara pemuda dan pemudi dalam masyarakat Mandailing
sama sekali tidak boleh dilakukan secara terbuka. Hubungan dan kegiatan
berpacaran harus dirahasiakan atau dilakukan secara rahasia. Oleh sebab
itu, jika dua orang muda (muda-mudi) yang berpacaran hendak menyampaikan
sesuatu di antara mereka, maka mereka menggunakan Hata Bulung Bulung.
Dan jika seorang kekasih hendak menyampaikan daun-daunan sebagai “surat cinta”
kepada kekasihnya, dia harus melakukannya secara rahasia. Misalnya dengan
meletakkan daun-daunan tersebut di satu tempat tertentu yang sudah mereka
sepakati dan tidak diketahui orang lain. Secara sembunyi-sembunyi mereka yang
berpacaran itu akan mengunjungi tempat rahasia tersebut secara bergiliran,
untuk melihat apakah di tempat itu terdapat “surat cinta” yang terdiri dari
daun-daunan tertentu.[7]
Pada masa
sekarang, Hata Bulung Bulung dan penggunaannya sudah hilang
sama sekali dari tradisi budaya masyarakat Mandailing. Demikian pula halnya
dengan ragam-ragam bahasa tersebut di atas, kecuali Hata Somal yang
masih terus mereka pergunakan dalam percakapan sehari-hari, dan hata somal inilah yang sering disebut
orang Mandailing sekarang ini sebagai Saro Mandailing.
SURAT TULAK-TULAK
Selain memiliki bahasa
sendiri (Hata Mandailing), orang
Mandailing juga memiliki aksara etnis sendiri (tradisional) yang
dinamakan Surat Tulak Tulak. Aksara ini di masa lalu tidak
digunakan untuk mencatat atau menulis sejarah, melainkan untuk menuliskan
Tarombo (silsilah keluarga). Selain itu juga banyak
digunakan untuk mencatat ilmu pengobatan tradisional dan ilmu peramalan dalam
kitab tradisional yang disebut Pustaha.[8]
Dari segi fonologis, Bahasa Mandailing adalah bahasa yang bersistem silabis dan di masa lalu dituliskan dalam aksara tradisional yang disebut Surat Tulak Tulak (aksara Mandailing) yang terdiri atas 21 fonem:a, ha, na, ma, nga, la, pa, ga, ja, ba, ta, ra, sa, da, ka, ca, nya, wa, i, ya, u. Fonem-fonem tersebut dilambangkan dengan 21 Induk Ni Surat (“Huruf Induk”) dan 5 Anak Ni Surat (“Anak Huruf”) sebagai berikut:[9]
Dari segi fonologis, Bahasa Mandailing adalah bahasa yang bersistem silabis dan di masa lalu dituliskan dalam aksara tradisional yang disebut Surat Tulak Tulak (aksara Mandailing) yang terdiri atas 21 fonem:a, ha, na, ma, nga, la, pa, ga, ja, ba, ta, ra, sa, da, ka, ca, nya, wa, i, ya, u. Fonem-fonem tersebut dilambangkan dengan 21 Induk Ni Surat (“Huruf Induk”) dan 5 Anak Ni Surat (“Anak Huruf”) sebagai berikut:[9]
a
|
h
|
n
|
m
|
g
|
l
|
p
|
g
|
|||
a
|
ha
|
na
|
ma
|
nga
|
la
|
pa
|
ga
|
|||
j
|
b
|
t
|
r
|
s
|
d
|
k
|
c
|
|||
ja
|
ba
|
ta
|
ra
|
sa
|
da
|
ka
|
ca
|
|||
[
|
w
|
I
|
y
|
U
|
||||||
nya
|
wa
|
i
|
ya
|
u
|
||||||
sE
|
so
|
si
|
S
|
s^
|
(s)e
|
(s)o
|
(s)i
|
(s)u
|
sang
|
alk\ mn\dIli^ alak
Mandailing
|
mr\koUm\ sislo\kto\ markoum sisolkot
|
sopo siao rnc^ mgod^ sopo sio rancang
magodang
|
sopo siao dlmo\ mgod^ sopo sio dalom magodang
|
gno\d^ tro\tro\ gondang tortor
|
mr\sialp\ ari Incogto\ marsialap ari
incogot
|
mr\bbo sb bolk\ marbabo saba
bolak
|
mr\bso
bso marbaso-baso
|
aro\j god^ orja godang
|
KARAKTERITIK SARO
MANDAILING
Apabila dikaji lebih
mendalam, ada beberapa karakteristik Bahasa Mandailing yang
cukup menonjol, antara lain: [10]
Pertama, fonem ”k” velar dan glotal di akhir kata
dilambangkan dengan satu tanda, meskipun pada hakikatnya berbeda, seperti kata
“tetek” bermakna “tetes” dan “buang air besar”; “sosak” bermakna
“cepat” (buru-buru) dan “sesak” (nafas); “golak” bermakna “gelak” dan
“ejek”; “etek” bermakna “bibi” (tante) dan “alat musik pukul dari bambu”.
Kedua, penggunaan bunyi (huruf) vokal yang sangat
produktif dan variatif pula seperti contoh berikut: sa: sarsar,
saksak; si: sirsir, siksik; su: sursur, suksuk; se:
serser, seksek; so: sorsor, soksok. ta: taktak,
tartar; ti: tiktik, tirtir; tu: tuktuk, tultul; te:
tektek, terter; to: toktok, tortor. pa: pakpak,
paspas; pi: pirpir, pispis; pu: purpur, puspus; pe:
perper, pespes; po: porpor, potpot.
Ketiga, terdapat kata yang terdiri atas gugus vokal
seperti: aua, uai, ee, dan aa. Untuk
jelasnya dapat dilihat pada kalimat: uai iaua ia au i (artinya:
“wah akan diapakannyalah aku itu”) yang terdiri atas dua belas gugus vokal yang
belum pernah ditemukan, bentuk seperti itu, di dalam Bahasa Ibu yang
dimiliki kelompok etnis lain. Selain itu, satu vokal saja dapat berfungsi
sebagai satu morfem seperti: ”a” pada kata bilangan adua (bermakna
“keduanya”); ”i” dapat bermakna ”itu” (misalnya kata ima,
yang bermakna ”itulah”) dan awalan ”di” (misalnya kata isadu,
bermakna ”disana”), ”e” bermakna ”hai”, ”u” bermakna ”ku”, dan ‘o’
yang bermakna ”ya” atau ”kau”.
Keempat, intonasi pada kata sangat memengaruhi arti.
Pada kata dasar ”bagas” misalnya, tekanan tempo sangat berperan
menentukan arti. Kata ba’gas berarti ”rumah”, sedangkan bag’as berarti
”dalam”. Contoh lain misalnya kata ”parmangan”. Dengan pengucapan yang
berbeda dapat bermakna: (1) suka makan; (2) uang yang digunakan untuk membeli
makanan; dan (3) cara makan. Begitu juga dengan bentuk-bentuk lain
seperti da’bu berarti ”jatuhkan”, dandabu’ berarti
”dalam keadaan terjatuh”.
Kelima, ”akar kata” sangat berperan dalam
pembentukan kata dasar. Untuk jelasnya dapat dilihat pada contoh kata-kata
berikut: (1) antuk, batuk, kurtuk, lantuk, maturutuk, potuk, retuk,
sotuk, tuktuk, utuk; (2) apit, ubit, lompit, sipit, pitpit,
jungkit, dalkit, gigit, ancit, singit, rongit, angit, arit, sirit, gorit, ririt;
(3) andarohot, dapot, dohot, lolot, morot, korot, sorot, porot,,
potpot, lampot, sangkot, sungkot, singkot, sohot ,ngot, tungkot, ingot,
sirohot, salohot, moncot, to’pot, topo’t. Dari ketiga contoh di atas
masing-masing kelompok memiliki relevansi makna. Untuk contoh nomor satu
memiliki hubungan dengan bunyi, pada contoh kedua hubungan maknanya berhubungan
dengan sesuatu yang minim, kecil, dan hampir, sedangkan contoh ketiga memiliki
hubungan makna dengan tempat, proses menuju atau meninggalkan tempat.
Keenam, pemakaian ”imbuhan” sangat produktif. Di
samping jumlah imbuhan banyak, fungsi dan nosi yang muncul lebih variatif. Satu
kata dasar dapat diimbuhi oleh lebih dari dua puluh imbuhan. Awalan ma
+ dabu dapat menjadi: (1)mada’bu (terjatuh); (2) ma’dabu
(sudah/dalam keadaan terjatuh; dan (3) mandabu (menjatuhkan).
Alomorf atau variasi morfem tidak hanya terjadi pada awalan me- dan pe-, tetapi
awalan sa-, misalnya dalam bentuk sambola,sandok, sanggotap.
Gabungan imbuhan dapat terjadi di akhir kata misalnya untuk kata dokon
+ on (dokonon), + kon(dokononkon), +
on (dokononkonon), dorapkononkon. Selain itu,
imbuhan juga dapat membentuk tingkat kata sifat, misalnya pada kata: godang,
godangan, gumodang, mago’dang, ma’godang, magodangan, magodangtu, murgodang,
murmagodang, murmurmagodang, targodang, tarumgodang, tartargodang,
sagodang-godangna.
Ketujuh, pemakaian ”partikel” sangat dominan.
Partikel yang digunakan antara lain: ba, bo, da, do, ke, le, ma, pe, te,
dan lain-lain. Dalam Bahasa Tutur (lisan), penggunaan partikel
tersebut sering disingkat menjadi sebuah akronim, seperti: ro ma ho tu
son menjadi roson, kehe ma ho tu si menjadi kesi,
dan lain sebagainya.
Memang, Hata
Somal (saro Mandaling) ini sebagai Bahasa
Ibu di Mandailing masih mampu bertahan hingga ke era globalisasi ini.
Tetapi seiring dengan perkembangan dan kemajuan yang terjadi selama puluhan
tahun terakhir ini pada berbagai aspek kehidupan masyarakat Mandailing,
sehingga Hata Somal ini pun ternyata telah banyak mengalami
perubahan. Hal ini ditandai dengan banyaknya kata-kata serapan yang berasal
dari bahasa lain, terutama yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi, yang digunakan oleh para pelajar dan kaum terpelajar orang
Mandailing dalam berkomunikasi sehari-hari.[15] Tidak jarang, bahwa
setelah kata-kata serapan tersebut menjadi Hata Somal bagi
mereka, tetapi pengertiannya tidak sama lagi dengan pengertian asalnya.
Contohnya seperti kata “angsa” yang semula adalah “merek dagang” dari
sejenis barang (kuali) dengan logo gambar itik angsa, namun kemudian
dalam Hata Somalartinya menjadi lain, yaitu “kuali besar”. Dengan
demikian kata ”angsa” bermakna ganda yaitu hewan (itik) dan wajan besar yang terbuat
dari besi (logam). Demikian juga untuk perkataan ”honda” yang bermakna
merek dagang dan sepeda motor. Hal lain misalnya kalau orang Mandailing dahulu
hendak mengukur panjang seutas tali dengan rentangan kedua tangan
(disebut: sangkolak, duangkolak, dst.), namun kini
mereka sudah lazim menggunakan ukuranmeter dan centimeter.
Ternyata, kalau kita cermati lebih jauh dan mendalam akan memperlihatkan betapa
banyaknya kata-kata serapan yang sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan
lagi dari Hata Somal yang mereka pergunakan
sekarang. Sebaliknya, mungkin tidak sedikit pula dari perbendaharaan Hata Somal
yang sudah hilang karena sudah sejak lama tidak lagi mereka pergunakan dalam
kehidupan sehari-hari.[11]
Ditambahkan Edi
Nasution, “masih segar dalam ingatan saya semasa kecil di kampung halaman,
ketika bermain bersama teman-teman sebaya seringkali salah seorang di antara
kami, ada yang terluka pada kaki atau tangan karena terkena pecahan kaca
misalnya. Untuk mengobati luka itu kami cepat-cepat mencari bulung
balerang, yaitu daun tumbuhan sejenis rumput-rumputan berbau belerang, yang
mudah ditemukan tumbuh begitu saja di sekitar perkampungan. Setelah bulung
balerang itu ditemukan, tanpa perlu dicuci terlebih dahulu, tetapi
langsung dikunyah-kunyah di dalam mulut. Setelah bulung balerang itu
menjadi halus, barulah kemudian ditempelkan pada bagian yang luka tersebut agar
darahnya tidak mengucur terus. Bedanya dengan keadaan sekarang, mungkin tidak
ada lagi anak-anak Mandaling yang mengenalbulung balerang dan
begitu juga khasiatnya karena untuk mengobati luka mereka sudah terbiasa dan
lebih yakin menggunakan “ubat merah” (antiseptik) yang diproduksi
pabrikan dan itu harus ditukar dengan uang (dibeli) di kedai”.[12]
ada lagi sebuah kata
yang tidak pernah lagi muncul dalam percakapan sehari-hari orang Mandailing,
yaitu mandersa. Padahal, kata mandersa yang
artinya “mesjid”, adalah tempat peribadatan bagi pemeluk agama Islam, yang
sudah sejak lama mereka anut dan tergolong pemeluk yang taat. Sekarang mereka
menamakan tempat peribadatan (sholat) itu dengan perkataan musojid,
yang sudah pasti berasal dari kata “mesjid”. Sementara nama tempat peribadatan
yang ukurannya lebih kecil dan sederhana yaitu suro, yang artinya
“surau”, masih tetap bertahan sampai sekarang. Umumnya suro ini
didirikan di tepi sungai, seperti di sepanjang Batang Gadis yang
mengalir dari arah selatan ke utara melewati banyak perkampungan di Mandailing.[13]
Dari sisi lain, bahwa
adanya kecenderungan yang terjadi pada orang Mandailing sekarang, terutama
mereka yang merantau dan kemudian menetap di kota-kota besar di Indonesia,
meskipun ada sebagian dari mereka yang tampaknya tidak begitu respek terhadap
eksistensi dan manfaat dari Bahasa Ibu ini dengan tidak lagi
mengajari keturunannya menggunakan Bahasa Mandailing, namun tidak
sedikit pula di antara sesama mereka yang masih tetap menggunakan Bahasa
Ibu dalam berkomunikasi, seperti pada kegiatan ”pengajian rutin”
(disebut parwiritan) yang diselenggarakan oleh perkumpulan para
pemilik toko kelontong (parwarung) di Jakarta, sebanyak 3 atau 4 kali
dalam setahun. Komunitas parwarung yang masih
menggunakan Bahasa Ibu ini pun umumnya tidak memiliki
kesadaran yang tinggi dan kemauan yang kuat agar keturunannya mampu
menggunakan Bahasa Mandailing dalam kehidupan sehari-hari. Hal
ini terjadi mungkin karena waktu dan perhatian mereka lebih banyak tersita
untuk kegiatan bisnis, sebagaiparwarung, agar mereka tetap dapat hidup
layak (survive) di kota-kota besar itu. Sementara di tanah leluhur
(Mandailing) pun mungkin hanya segelintir orang saja yang
benar-benar perduli akan seperti apa dan bagaimana kelak Bahasa Ibu mereka
itu. Penyebabnya mungkin relatif sama dengan apa yang dialami oleh sebagian
besar para perantau Mandailing yang bermukim di perkotaan, yaitu himpitan
ekonomi. Mereka yang hidup di kampung halaman ini, yang sebagian besar
adalah kaum petani yang masih bercocok tanam padi di sawah dan mengolah kebun
di hutan secara tradisional dengan areal lahan yang terbatas pula, sehingga
untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan membiayai sekolah
anak-anak mereka sudah cukup pusing memikirkannya.[14]
Ada pengamat yang berpendapat bahwa anak didik yang menguasai
Bahasa Ibu dengan baik, akan memiliki fondasi yang kuat untuk belajar bahasa
asing, sehingga si anak didik nantinya mampu menguasainya dengan mudah. Di
samping itu, si anak didik akan terhindar dari resiko mengalami kesulitan
belajar atau masalah-masalah lainnya akibat ketidaksiapan belajar bahasa asing.
Jika kita ingin mengajarkan bahasa asing sejak dini kepada anak didik, maka
orangtua perlu merencanakan dan mempersiapkan diri sendiri pula. Artinya,
orangtuanya juga harus menguasai bahasa asing tersebut dengan baik, sehingga
bisa menyediakan lingkungan yang konsisten antara di rumah dan di sekolah. Kalau
itu tidak dilakukan maka perkembangan kecerdasan linguistik (kecerdasan
berbahasa) si anak didik justru dapat terhambat dan akan mempengaruhi
aspek-aspek kehidupan lainnya. Cara yang baik untuk mengajar anak-anak
berbahasa asing adalah dengan membiasakan berkomunikasi sehari-hari dengan
mereka dalam dua bahasa (bilingual).
Selain mudah, anak-anak
juga tidak merasa terpaksa karena tidak harus les atau belajar secara formal.
Cukup dengan membiasakan anak mendengar atau diajak bicara dengan bahasa asing
tersebut, maka dengan mudah anak didik (siswa-siswi) dapat menguasai bahasa
asing tersebut.[15]
Tri
Budhi Sastri yang dalam makalahnya antara lain menuliskan bahwa Edith Lam,
seorang guru matematika, yang membantu dua peneliti bahasa, Veronica Hsueh dan
Tara Goldstein, yang mengamati dan merekam bagaimana Bahasa Ibu dapat membantu
siswa menguasai bahasa asing, ternyata memperoleh kesimpulan yang cukup
mengejutkan. Terbukti bahwa Bahasa Ibu tidak hanya membantu para siswa
berkomunikasi antar sesama mereka tetapi juga membantu penguasaan bahasa asing
lebih cepat.[16]
PENUTUP
Banyak ahli kebudayaan
sependapat bahwa semua perilaku manusia dimulai dengan penggunaan lambing-lambang.
Bahasa, kesenian, dan bahkan sistem
kepercayaan (agama) manusia pun melibatkan pemakaian lambang. Aspek simbolis
yang terpenting dari kebudayaan adalah bahasa, sebagai pengganti objek dengan
kata-kata (bahasa simbolis). Bahasa simbolis adalah fundamen tempat kebudayaan
manusia terkonsep, dibangun dan dikembangkan. Dengan demikian pranata-pranata
kebudayaan, seperti struktur politik, agama, kesenian, organisasi sosial dan ekonomi
tidak mungkin ada tanpa lambang-lambang. Manusia menyampaikan gagasan, emosi,
dan keinginan-keinginanya dengan menggunakan sistem lambang sehingga manusia
dapat meneruskan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan
kata lain, kebudayaan tersebut dipelajari dan diwariskan melalui sarana bahasa,
bukan diwariskan secara biologis.
Bahasa pertama yang
dikuasai manusia sejak awal hidupnya melalui interaksi dengan sesama anggota
masyarakat bahasanya (bahasa ibu atau native
language), diperoleh secara intuitif. Dalam memperoleh kebudayaan (etnik) setempat
oleh seorang anak manusia yang menjadi anggota masyarakat di tempat itu
berlangsung pula secara intuitif dan simultan tatkala mereka mempelajari bahasa
ibunya melalui ungkapan-ungkapan yang sudah mapan, sistem gramatika dan leksikon
yang tersedia dalam bahasa ibu tersebut. Dengan demikian, seorang anak manusia
yang menjadi anggota masyarakat telah dibentuk cara pandang, dan nilai-nilai
budaya setempat dimana ia dibesarkan.
Dalam konteks dunia
pendidikan dasar, peran bahasa ibu ini jua sangat penting. Dengan tingkat usia yang
masih subur dalam pemerolehan bahasa (termasuk bahasa ibu), maka sebaiknya
penggunaan bahasa pengantar dalam pendidikan dasar ini seyogiyanya menggunakan
bahasa ibu. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Freeman dan Freeman
(1992), bahwa peserta didik yang belajar di sekolah-sekolah dengan menggunakan
bahasa pengantar bahasa kedua (bahasa Inggris) sering mengalami kesulitan dalam
belajar mata pelajaran lain, seperti matematika, IPA, IPS dan sejenisnya. Namun
sebaliknya, siswa yang belajar di sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa ibu
sebagai bahasa pengantar, cenderung tidak mengalami kesulitan dalam mengikuti
kegiatan belajar-mengajar yang menggunakan bahasa pengantar bahasa kedua. Di
samping itu, pemberian pelajaran dengan menggunakan bahasa ibu pada tingkat
permulaan dapat menjadi sarana bagi pembentukan sikap percaya diri pada peserta
didik. Dalam hal ini, mereka merasa dihargai, karena bahasa yang mereka gunakan
yang sekaligus menjadi sarana sosialisasi budaya yang membentuk diri mereka
digunakan sebagai sarana dalam penyampaian pengetahuan di sekolah tempat mereka
menuntut ilmu. Dalam pada itu, secara psikologis mereka merasa aman berada di
sekolah dan akan selalu siap untuk menerima pelajaran.
Alasan lain pentinya
penggunaan bahasa ibu ini sebagai bahasa pengantar pada tingkat permulaan di
sekolah dasar adalah terkait dengan pembinaan dan pengembangan bahasa itu
sendiri. Mu‟adz Chalik (1998) menyebutkan bahwa dengan digunakannya bahasa
ibu sebagai bahasa pengantar maka dimungkinkan bahasa etnik tersebut terhindar
dari kepunahan. Berbagai kosa kata yang berhubungan dengan konsep-konsep dan
terminologi dalam bahasa asing akan teradopsi ke dalam bahasa etnik dan
sekaligus akan memperkaya kosa kata dalam bahasa etnik itu sendiri. Dan
eksistensi bahasa-bahasa Ibu yang ada di seluruh penjuru tanah air secara
yuridis-formal dijamin oleh konstitusi negara kita yaitu Undang-Undang Dasar
1945.
Medan, Mei 2013
~o0o~
DAFTAR PUSTAKA
Darwin Nasution, “Bahasa Mandailing Menunjukkan
Suku-Bangsa Mandailing”, Mandailing-Sumatera-Indonesia
page, see: http://www.facebook.com/
notes/ mandailing-sumatera-indonesia/bahasa-mandailing-menunjukkan-suku-bangsa-mandailing/278928428894166
[7
Mei 2013]
Edi Nasution, “Bahasa Ibu Kita Dulu, Kini, dan
Esok”, http://gondang.blogspot.
com/ 2010/07/bahasa-ibu-kita.html {2 April 2013].
Kushartanti, Untung Yuwono dan Multamia RMT Lauder (ed), Pesona
Bahasa: Langkah Awal Memahami
Lingusitik, Jakarta: Gramedia, 2001.
Mahsun, lihat http://kemdikbud.go.id/dokumen/pdf/PERAN-BAHASA-IBU-DALAM-MEMBANGUN-KEBUDAYAAN-DERAH.pdf
[5 April 2-13].
Sumut Pos, "Mau Anak Bilingual, Kuasai Dulu
Bahasa Ibu", Sumut Pos, 24
Oktober 2009.
Tri Budhi Sastrio, “Bahasa Ibu – Bagaimana Nasibmu
Kini? Antara Perubahan, Kepunahan dan Kebertahanan”, http://fs.unitomo.ac.id/wp-content/uploads/2009/02/bahasa-ibu-bagaimana-nasibmu-kini-makalah-univ-udayana.doc.
[4
April 2013].
Z. Pangaduan Lubis, ”Bahasa Mandailing”, http://www.mandailing.org/ind/rencana 20.html, [2 April 2013].
Footnote
[1] Darwin Nasution, “Bahasa
Mandailing Menunjukkan Suku-Bangsa Mandailing”, Mandailing-Sumatera-Indonesia page, see: http://www.facebook.com/notes/mandailing-sumatera-indonesia/bahasa-mandailing-menunjukkan-suku-bangsa-mandailing/278928428894166
[7 Mei 2013]
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Z. Pangaduan Lubis, ”Bahasa
Mandailing”, http://www.mandailing.org/ind/rencana20.html,
[2 April 2013]
[5] Mantan inspektur jenderal
pendidikan pemerintah kolonial Belanda Ch. A. van Ophuijsen menamakan Hata Bulung Bulung sebagai Bladerentaal. Selain meneliti Bahasa Melayu, beliau juga
pernah meneliti Bahasa
Mandailing, termasuk Hata
Bulung Bulung. Ibid.
Ch. A. van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib
Soetan Ibrahim menyusun ejaan baru pada tahun 1896. Pedoman tata bahasa yang
kemudian dikenal dengan nama Ejaan
Van Ophuijsen itu resmi
diakui pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1901. Lihat Kushartanti, Untung
Yuwono dan Multamia RMT Lauder (ed), Pesona
Bahasa: Langkah Awal Memahami
Lingusitik, Jakarta: Gramedia, 2001.
[6] Z. Pangaduan Lubis, ”Bahasa
Mandailing”, http://www.mandailing.org/ind/rencana20.html,
[2 April 2013].
[7] Ibid.
[8] Oleh sebab itulah hingga
sekarang tidak ditemukan catatan sejarah Mandailing yang dituliskan dengan Surat Tulak Tulak di dalam Pustaha. Hal-hal yang
berkaitan dengan masa lalu Mandailing hanya terekam sebagai "sejarah
lisan" berupa kisah-kisah Mandailing pada masa lalu yang kadang-kadang
dituturkan oleh orang-orang yang masih mengingatnya dan sama sekali tidak
pernah dituliskan dengan Surat
Tulak Tulak. Z. Pangaduan Lubis, Ibid.
[9] Edi Nasution, “Bahasa Ibu Kita
Dulu, Kini, dan Esok”, http://gondang.blogspot.com/2010/07/bahasa-ibu-kita.html
{2 April 2013].
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Lihat "Mau Anak Bilingual,
Kuasai Dulu Bahasa Ibu", Sumut Pos,
24 Oktober 2009.
[16] Lihat “Bahasa Ibu – Bagaimana
Nasibmu Kini? Antara Perubahan, Kepunahan dan Kebertahanan”, http://fs.unitomo.ac.id/wp-content/uploads/2009/02/bahasa-ibu-bagaimana-nasibmu-kini-makalah-univ-udayana.doc.
[4 April 2013].