Kamis, 18 Agustus 2011

Gordang: Musik Adat Mandailing











GORDANG SAMBILAN o=====ooo>

Pada setiap kerajaan (huta atau banua) di Mandailing dahulu memiliki satu ensambel musik (saraban) Gordang Sambilan yang dimainkan dalam berbagai upacara adat dan ritual. Gordang Sambilan adalah ensambel musik adat orang Mandailing yang dipandang memiliki nilai-nilai luhur dan sakral. Oleh karena itu Gordang Sambilan ditempatkan pada satu bangunan khusus yang dinamakan Sopo Godang (Balai Sidang Adat), yang letaknya berdekatan dengan tempat kediaman raja yang disebut Bagas Godang. Penggunaan Gordang Sambilan dalam upacara adat disertai dengan peragaaan benda-benda kebesaran adat lainnya seperti “bendera adat” yang dinamakan tonggol, “payung kebesaran” yang dinamakan payung raranagan, dan berbagai jenis senjata seperti pedang (podang) dan tombak (sijabut).

Semasa orang Mandailing menganut animisme yang disebut Sipelebegu, Gordang Sambilan digunakan untuk upacara memanggil roh nenek moyang apabila diperlukan pertolongannya. Ritus tersebut dinamakan Pasusur Begu atau Paturuan Sibaso yang artinya memanggil roh untuk merasuki tokoh Shaman (Sibaso) yang berfungsi sebagai medium. Tujuannya untuk minta pertolongan roh leluhur guna mengatasi kesulitan yang sedang menimpa masyarakat huta atau banua, misalnya mewabahnya penyakit berjangkit dan menular seperti kolera. Selain itu, Gordang Sambilan juga digunakan untuk upacara meminta hujan atau sebaliknya menghentikan hujan yang turun terlalu lama dan menimbulkan kerusakan ekosistem.

Sedangkan penggunaannya dalam upacara adat, Gordang Sambilan dimainkan pada upacara perkawinan yang dinamakan Orja Godang Markaroan Boru dan upacara kematian yang dinamakan Orja Mambulungi. Penggunaan Gordang Sambilan untuk kedua upacara adat tersebut, karena untuk kepentigan pribadi maka harus lebih dahulu mendapat izin dari pemimpin tradisional yang dinamakan Namora Natoras dan Raja Panusunan Bulung sebagai kepala pemerintahan Huta/Banua. Permohonan izin itu dilakukan melalui suatu musyawarah adat yang disebut Markobar Adat yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Namora Natoras dan Raja Panusunan Bulung beserta pihak yang akan menyelenggarakan upacara adat. Selain harus mendapat izin dari Namora Natoras dan Raja Panusunan Bulung untuk penggunaan Gordang Sambilan dalam kedua upacara tersebut, harus pula disembelih paling sedikit satu ekor kerbau jantan dewasa yang disebut longit. Jika persaratan tersebut tidak dipenuhi maka Gordang Sambilan tidak boleh digunakan. Dapat ditambahkan bahwa untuk upacara kematian (Orja Manbulungi), gordang yang digunakan hanya dua buah yang terbesar yang dinamakan Jangat, namun dalam konteks penyelenggaraan upacara kematian dinamakan Bombat.

Ensambel musik adat Gordang Sambilan terdiri dari sembilan buah gendang besar dengan ukuran yang relatif cukup besar dan panjang (drum chime) yang dibuat dari kayu ingul dan dimainkan oleh empat atau lima orang dengan memakai alat pemukul yang terbuat dari kayu. Ukuran dan panjang dari kesembilan gendang tersebut bertingkat mulai dari yang paling kecil sampai kepada yang paling besar. Tabung resonator dibuat dengan cara melobangi kayu, dan salah satu ujung lobangnya (bagian kepalanya) ditutup dengan membran yang terbuat dari kulit lembu kering (disebut jangat) yang diregangkan dengan rotan sekaligus sebagai alat pengikatnya.

Kesembilan gendang tersebut mempunyai nama sendiri yang tidak sama di semua huta/banua di Mandailing. Nama-nama instrumen Gordang Sambilan di Tamiang dan Huta Pungkut (Mandailing Julu) dari yang besar hingga yang kecil adalah: (1) Jangat (Siangkaan); (2) Jangat (Silitonga); (3) Jangat (Sianggian); (4) Pangaloi; (5) Pangaloi; (6) Paniga; (7) Paniga; (8) Udong-Kudong; dan (9) Eneng-Eneng.

Instrumen musik tradisional Gordang Sambilan dilengkapi dengan dua buah ogung (gong) besar. Gong yang paling besar dinamakan ogung boru-boru (gong betina) dan yang lebih kecil dinamakan ogung jantan (gong jantan); satu gong kecil berpencu yang dinamakan doal dan tiga gong lebih kecil lagi yang dinamakan salempong atau mongmongan. Dalam pertunjukan musik adat Gordang Sambilan juga dilengkapi dengan alat musik tiup yang terbuat dari bambu bernama Sarune atau Saleot dan sepasang simbal kecil yang dinamakan tali sasayat atau tali sasayak.

Repertoar musik Gordang Sambilan antara lain seperti gondang Sampuara Batu Magulang, Roba Na Mosok, Udan Potir, Aek Magodang, Mamele Begu, Jolo-jolo Turun, Alap-alap Tondi, Pamulihon, Raja-raja, Tua, Porang, Mandailing, Sarama Babiat, Orja, Lima (Bombat), dan Sabe-sabe.


Gandoang, Agustus 2011
Edi Nasution

Note: Uraian rinci mengenai Gordang Sambilan lihat http://edinasution.wordpress.com/ dan http://editorsiojo85.wordpress.com/.

Talk about Gordang Sambilan kilck hereGordang Sambilan Music
Radio DinoFM Panyabungan Online: http://dinofmpanyabungan.listen2myradio.com/

Tulila: Musik Untuk Merayu Anak Gadis Mandailing Di Malam Hari












TULILA o=====ooo>
Di dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat Mandailing terdapat suatu tradisi berkencan antara pemuda dan anak gadis yang disebut markusip. Secara harafiah markusip artinya berdialog dengan cara berbisik. Pada tradisi markusip, si pemuda dan si anak gadis saling mengungkapkan isi hati dan perasaan mereka dengan cara berbisik. Dalam dialog yang dilakukan dengan cara berbisik itu tidak jarang si pemuda menggunakan tulila, dan juga ende-ende (pantun). Menurut tradisi markusip hanya boleh berlangsung pada waktu tengah malam agar tidak terlihat orang lain karena sifatnya rahasia. Ketika kegiatan markusip berlangsung, si anak gadis berada di dalam sebuah rumah tertentu yang disebut bagas podoman, sementara itu si pemuda berada di luar rumah tersebut. Mereka markusip melalui sebuah lobang kecil yang terdapat pada salah satu sisi dinding bagas podoman yang disebut lubang pangkusipan. Dalam proses awal kegiatan markusip biasanya ada dua tahapan yang dilakukan oleh seorang pemuda yaitu marngoti boru bujing dan mengelek boru bujing. Apabila si pemuda telah berhasil membangunkan dan membujuk si anak gadis, biasanya si gadis akan mangalus (menyahut) dari dalam bagas podoman melalui lubang pangkusipan, dan selanjutnya mereka markusip untuk saling mengungkapkan isi hati dan perasaan masing-masing. Penjelasan yang lebih rinci dan mendalam mengenai budaya markusip dan tulila ini dapat dibaca dalam buku berjudul TULILA: MUZIK BUJUKAN MANDAILING.




















Talk about Tulila klick here: Tulila Music