Rabu, 30 Juni 2010

Pembalakan Liar Dapat Merusak Tatanan Sosial-Budaya Masyarakat Mandailing

oleh:
Edi Nasution

Sejak tahun 2001, upaya membasmi kejahatan yang berkaitan dengan kehutanan telah menjadi isu yang berkembang di tingkat internasional. Sejumlah negara penghasil kayu di Asia, Afrika dan Amerika Latin terlibat dalam program multilateral atau bilateral dengan negara-negara pengkonsumsi kayu untuk bersama-sama melawan kejahatan kehutanan. Pada 13 September 2001, pemerintah Kamboja, Cina, Indonesia, Laos, Papua Nugini, Filipina dan Thailand menandatangani Deklarasi Tingkat Menteri di Bali untuk Penegakan dan Pengaturan Hukum Kehutanan (FLEG). Deklarasi ini menyerukan agar segera diambil tindakan untuk memperkuat usaha-usaha nasional serta mempererat kerjasama bilateral, regional dan multilateral dalam rangka mengatasi pelanggaran hukum kehutanan dan kejahatan kehutanan (terutama pembalakan liar), perdagangan ilegal terkait dan korupsi, serta dampak negatif pelanggaran-pelanggaran tersebut bagi penegakan hukum.

Inisiatif Bali tersebut kemudian diikuti oleh inisiatif-inisiatif internasional lainnya seperti: Inisiatif Presiden AS mengenai Pembalakan Liar (Februari 2002); Letter of Intent Norwegia-Indonesia (Agustus 2002); Nota Kesepahaman (MOU) Cina–Indonesia (Desember 2002); Rencana Aksi Uni Eropa (EU) untuk Pengaturan Penegakan Hukum Kehutanan dan Perdagangan (Mei 2003); MOU Jepang–Indonesia (Juni 2003); Deklarasi Menteri Afrika mengenai Penegakan dan Pengaturan Hukum Kehutanan- Africa FLEG (Oktober 2003); Letter of Intent Cina-Inggris (Mei 2004); Lokakarya Tipologi Kelompok Asia Pasifik (APG) untuk pencucian uang 2004 di Brunei Darussalam. Perlunya menggalang kerjasama secara bilateral, regional dan multilateral dalam memerangi praktik pembalakan liar (illegal logging) berangkat dari kesadaran bahwa upaya pencegahan dan pemberantasannya tidak akan dapat dilakukan sendiri oleh hanya satu negara saja.

Menurut Departemen Kehutanan, pada periode tahun 2001–2003 jumlah kayu yang diselundupkan keluar dari Indonesia sekitar 9 juta m3. Perkiraan nilai dari perdagangan kayu ilegal tersebut adalah 2,16 miliar dollar AS, sebuah jumlah yang mendekati bantuan keuangan yang diberikan oleh Consultative Group on Indonesia (CGI) kepada Pemerintah Indonesia pada tahun 2003 dan 2004. Sekitar 90% dari keuntungan pembalakan liar di Indonesia berakhir di rekening bank di negara lain. Keuntungan dari operasi pembalakan liar mungkin saja besar, akan tetapi biaya operasinya juga sangat besar. Para pembalak liar tersebut harus membeli peralatan berat, membayar masyarakat lokal, menyewa kapal, memalsukan dokumen ekspor impor, dan lain sebagainya. Upaya untuk menghentikan perdagangan kayu ilegal bukan saja diperlukan, bahkan usaha ini dapat mendukung upaya penangkapan para pelakunya. Akan tetapi, apabila masyarakat internasional hanya menekan Indonesia saja untuk melakukan perubahan paradigma penanganan pembalakan liar, hasilnya kemungkinan besar akan kontra produktif karena praktik pembalakan liar di Indonesia pada dasarnya bukan hanya persoalan Indonesia semata.

Kawasan hutan sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia dari tahun ke tahun terus terdegradasi akibat pembalakan liar, namun para pelakunya sulit dijerat hukum. Hutan yang terdegradasi diperkirakan telah mencapai 59 juta Ha dari total luas hutan 120 juta Ha. Dalam setahun laju kerusakan hutan mencapai 2,8 Ha dan apabila tidak dihentikan maka pada tahun 2015 seluruh hutan alam di negara ini akan punah alias hancur. Kita tahu bahwa akibat fatal yang ditimbulkan pembalakan liar adalah bencana alam yang akan mengancam kehidupan generasi berikutnya. Bencana alam itu, seperti banjir, kekeringaan dan longsor akan selalu menghantui kita bila pembalakan liar tidak dihentikan, bahkan akibat hutan yang rusak berat saat ini berarti kita mempersiapkan kemiskinan jangka panjang di Indonasia. Luas hutan Indonesia yang tergradasi mencapai 59 juta Ha, sedangkan kemampuan kita untuk merehabilitasinya hanya 600 ribu Ha per tahun. Ini berarti untuk menghijaukan kembali seluruh hutan yang sudah terlanjur rusak butuh waktu 120 tahun, itu pun bisa dicapai dengan catatan bahwa hutan yang masih ada saat ini tidak dirusak lagi.


Memang berbagai upaya sudah dilakukan pemerintah Indonesia. Masyarakat kita menaruh harapan besar dalam upaya pemberantasan pembalakan liar (illegal logging) sejak MS Kaban terpilih sebagai Menteri Kehutanan RI. Banyak pihak merasa kagum terhadap Menteri Kehutanan yang dengan tegas menyatakan perang terhadap pembalakan liar. Berbagai kebijakan Menteri Kehutanan telah membuat gerah pelaku illegal logging, selain meninjau langsung dan membuat kesepakatan pemberantasan illegal logging di berbagai daerah, Menteri Kehutanan juga menyerahkan beberapa nama kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu orang-orang yang diduga kuat melakukan praktik illegal logging di Indonesia. Dalam hal ini, Pemerintah menyadari bahwa jika hutan rusak berarti mempersiapkan kemiskinan jangka panjang. Untuk itu pemerintah mengeluarkan Inpres No. 4 tahun 2005 tentang pemberantasan penebangan kayu secara illegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh Indonesia. Inpres ini menjadi landasan hukum untuk memberantas illegal logging. Bahkan Presiden telah meminta 12 instansi terkait seperti Kapolri, Jaksa Agung, Kepala BIN, Menhut, para Gubernur, dan Walikota/Bupati seIndonesia untuk menindaklanjuti instruksi ini hingga jajarannya ke bawah. Selain itu, pemerintah juga telah memasukkan pemberantasan praktik illegal logging dalam 36 agenda penting yang harus dituntaskan sebelum 2009. Sehubungan dengan itu operasi besar-besaran melibatkan berbagai unsur terkait digelar seperti di Papua, Kalimantan dan Sumatera, namun pelaku illegal logging sepertinya masih sulit dijerat hukum padahal sudah ada dasar hukum untuk mengusutnya yaitu Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Di era reformasi ini, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang cukup besar termasuk dalam hal pemanfaatan sumber daya hutan. Untuk menebang kayu di hutan para pengusaha dapat menggunakan ijin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. Namun sejak awal tahun 2002, berdasarkan peraturan kehutanan nasional, Pemerintah Daerah tidak dapat lagi mengeluarkan ijin penggunaan hutan dan harus melaporkan rencana produksi tahunan perusahaan-perusahaan kayu yang ada di daerahnya masing-masing kepada Departemen Kehutanan. Berdasarkan penelitian yang pernah dilaksanakan oleh tim ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB) diketahui bahwa kerugian negara akibat pembalakan liar di Kecamatan Natal Kabupaten Madina cukup besar. Besarnya angka kerugian negara tersebut karena kerusakan hutan alam yang sangat fatal dengan tanda-tanda bekas penebangan pohon dan land clearing di lapangan. Untuk pemulihannya dibutuhkan biaya yang cukup besar. Sekalipun mungkin ada dana untuk melakukan pemulihan, namun karena kerusakan hutan alam di Kecamatan Natal Kabupaten Madina tersebut, sepertinya mustahil bisa dipulihkan seperti sediakala, sebab ekosistem hutan alam itu, menurut para ahlinya, adalah klimaks yang terbentuk dari hasil suksesi vegetasi selama jutaan tahun.

Dalam konteks pembalakan liar di Madina, tidak sedikit warga masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menyebut bahwa kebijakan Pemerintah terhadap pembalakan liar adalah ”kebijakan tebang pilih”, bahkan boleh dibilang terkesan "setengah hati". Dengan kata lain, aktor kelas teri memang ditangkap namun pemodal dan aktor intelektualnya masih bebas melenggang. Konsekuensi dari tidak seiramanya aparat penegak hukum dalam upaya menghukum para pelaku illegal logging, mendorong berbagai elemen masyarakat berunjuk rasa seperti elemen Mahasiswa yang tergabung dalam KAIL-SU (Komite Anti Illegal Logging Sumatera Utara), Pengurus Pusat GEMASU (Gerakan Mahasiswa Sumatera Utara), PEMA USU, IMA Tapsel USU, PP GEMA Padang Lawas dan DPD BM PAN Kota Medan pada tanggal 31 Desember 2006 ke KEJATISU dan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara atas putusan sela yang dilakukan Pengadilan Negeri Madina terhadap seseorang yang diduga pelaku pembalakan liar. Di samping melakukan unjuk rasa, beberapa elemen mahasiswa dan pemuda di Medan membuat pernyataan sikap antara lain mendesak Kejati Sumut untuk menyita aset/harta para pelaku illegal logging dan bertanggungjawab atas reboisasi hutan yang telah rusak, serta mendesak pemerintah untuk melakukan moratorium (penghentian penebangan hutan) baik yang legal maupun illegal.

Pada masyarakat arkhais umumnya, termasuk leluhur orang Mandailing di masa lalu, air mereka pandang sebagai sesuatu yang "sakral" karena air merupakan sumber dan asal semua eksistensi kehidupan. Oleh sebab itulah cerita tentang air di Mandailing merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dunia mitos dan realitas kehidupan warga masyarakatnya. Seperti orang-orang bermarga Lubis mengenal betul hikayat leluhurnya Namora Pande Bosi yang menasihati anaknya Silangkitang dan Sibaitang, ketika mereka harus meninggalkan kampung Hatongga, agar menyusuri Batang Gadis untuk membuka tempat pemukiman baru. Dengan menuruti nasihat orang-tuanya, turunan Namora Pande Bosi tersebut kemudian mendirikan pemukiman baru di suatu tempat bernama Muara Patontang. Di tempat itu Aek Singengu dan Aek Singangir sama-sama bermuara ke Batang Gadis namun dari arah yang saling berlawanan. Tempat ini, menurut salah satu versi cerita rakyat Mandailing, kemudian mereka namai Huta Panopaan, yang selanjutnya menjadi Huta Nopan dan terakhir disebut Kotanopan. Sampai sekarang perkampungan orang Mandailing selalu didirikan berdekatan dengan sumber-sumber air, apakah itu sungai (batang), anak sungai (aek), atau ranting sungai (rura), bahkan mata air (mual). Nama-nama sungai atau muaranya bahkan banyak dijadikan sebagai acuan nama pemukiman orang-orang Mandailing antara lain misalnya Muara Pungkut, Muara Siambak, Muara Mais dan Muara Soro di kawasan Mandailing Julu.

Bagi orang Mandailing, keberadaan air sungai maupun anak sungai yang ada di sekitar mereka berperan multiguna, yaitu sebagai air minum dan MCK, mengairi lahan pertanian, mendukung fungsi sosial-budaya (misalnya dalam ritus patuaekkon boru), relijius (mendukung pelaksanaan ibadah), dan juga ekonomi (mencari emas/manggore, ikan, bahan bangunan berupa pasir, kerikil dan juga batu). Dalam kepercayaan lama, orang Mandailing juga mengenal tempat-tempat tertentu di sekitar hutan dan sumber air yang disebut "naborgo-borgo" (tempat-tempat yang dingin dan dihuni mahluk-mahluk halus), yang secara sadar maupun tidak sadar mengandung makna konservasi terhadap sumber-sumber mata air. Dengan kata lain, bagi orang Mandailing air merupakan "mata air kehidupan" yang sekaligus bertali-temali dengan institusi sosial, budaya, ekonomi dan ekologis. Karena demikian banyak kepentingan orang Mandailing dengan sumberdaya air, terutama yang sudah mengalir menjadi sungai atau anak sungai, maka apabila ekosistem tano rura Mandailing terganggu sebagai akibat dari praktik pembalakan liar (illegal logging) misalnya, pada gilirannya juga akan merusak tatanan sosial-budaya masyarakat Mandailing itu sendiri.

Untuk lebih mengefektifkan pemberantasan praktik illegal logging di Indonesia, pendekatan rezim anti pencucian uang (AML Regime) sebagai paradigma baru dalam penanganan “kejahatan serius” (serious crime) atau disebut juga “kejahatan luar biasa” (extra ordinary crime) dapat dimanfaatkan. Dengan menggunakan paradigma baru ini diharapkan pemberantasan kejahatan lebih difokuskan pada pengejaran hasil-hasil kejahatan (proceeds of crime) melalui metode deteksi dan penelusuran aliran dana (follow the money) dari hasil-hasil kejahatan. Pendekatan AML Regime yaitu follow the money dalam penanganan kasus-kasus extra ordinary crime di banyak negara diakui lebih menjanjikan keberhasilannya ketimbang mengejar pelaku kejahatannya semata, yang biasanya memiliki kekuatan untuk melakukan perlawanan dengan berbagai macam cara.

Pendekatan AML Regime pertama sekali diperkenalkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada tahun 1988 dengan disahkannya Konvensi Wina tentang perdagangan gelap narkotika dan psikotropika. Dalam hubungan ini, secara populer istilah money laundering atau pencucian uang dapat diartikan sebagai upaya untuk menyembunyikan dan menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana sehingga seolah-olah harta kekayaan itu berasal dari kegiatan yang sah. Upaya untuk menjauhkan atau menyamarkan itu dilakukan dengan cara menjauhkan antara pelaku dengan harta kekayaan hasil tindak pidana tersebut. Misalnya seorang pelaku illegal logging dengan mudah menyimpan hasil pembalakan liarnya di bank luar negeri dengan memanfaatkan jasa perbankan (wire transfer) yang beroperasi 24 jam sehari.

Pendekatan AML Regime berusaha melacak harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana, kemudian direkonstruksikan dari mana harta kekayaan itu dan tindak pidana apa yang melahirkan kekayaan tersebut berdasarkan laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) yang wajib disampaikan oleh setiap penyedia jasa keuangan (PJK) bank dan non-bank kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Metode dan teknik analisis seperti ini, yaitu follow the money methods, pada umumnya lebih efektif dan efisien jika dibandingkan dengan pendekatan konvensional (follow the suspect) yang hanya mengejar pelaku tindak pidana saja. Oleh karena “hasil tindak pidana” itu sendiri adalah mata rantai yang paling lemah dari suatu rangkaian tindak pidana tersebut, maka dengan mengejar hasil tindak pidana ini berarti memerangi “aliran darah” yang menghidupi kejahatan (lifeblood of the crime). Singkatnya pendekatan ini dapat dilakukan mulai dari hilir hingga ke hulu, sehingga semua pihak yang terlibat dalam extra ordinary crime dapat dideteksi. Dengan demikian pendekatan AML Regime ini, dari segi kemamfaatannya terasa lebih adil dan lebih menjamin kepastian hukum itu sendiri.

Di Indonesia, tindak pidana pencucian uang (TPPU) dapat berasal dari berbagai macam tindak pidana (predicate crimes). Pasal 2 ayat (1) UU TPPU menetapkan bahwa hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: (i) korupsi; (ii) penyuapan; (iii) penyeludupan barang; (iv) penyeludupan tenaga kerja; (v) penyeludupan imigran; (vi) di bidang perbankan; (vii) di bidang para modal; (viii) di bidang asuransi; (ix) narkotika; (x) psikotropika; (xi) perdagangan manusia; (xii) perdagangan senjata gelap; (xiii) penculikan; (xiv) terorisme; (xv) pencurian; (xvi) penggelapan; (xvii) penipuan; (xviii) pemalsuan uang; (xix) perjudian; (xx) prostitusi; (xxI) di bidang perpajakan; (xxii) di bidang kehutanan; (xxiii) di bidang lingkungan hidup; (xxiv) di bidang kelautan; atau (xxv) tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih; yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

Dalam UU TPPU terdapat dua macam TPPU, yaitu yang dilakukan secara aktif dan pasif. TPPU aktif diatur dalam Pasal 3, misalnya perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan, menitipkan menukarkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana. Sedangkan TPPU pasif diatur dalam Pasal 6, misalnya menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan atau penukaran harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana. Dengan demikian pelaku aktif dan pasif dapat dipidana, contohnya orang yang menerima sumbangan yang berasal dari korupsi. Kedua jenis TPPU tersebut diancam dengan hukuman yang sama, yaitu pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimum 15 tahun ditambah denda minimum seratus juta rupiah dan paling banyak 15 miliar rupiah.

TPPU dapat dilakukan oleh pelaku tindak pidana asal atau orang lain. Dalam hal TPPU dilakukan oleh pelaku tindak pidana asal disebut dengan self laundering, misalnya pelaku illegal logging yang menyembunyikan dan menyamarkan hasil kejahatannya dengan cara memanfaatkan berbagai macam fasilitas jasa perbankan. Di Indonesia self laundering dapat dipidana. Berdasarkan UU TPPU, untuk memulai penyelidikan dan penyidikan TPPU tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Pengaturan yang demikian dalam TPPU mirip dengan tindak pidana penadahan yang diatur dalam Pasal 480 KUHP, karena untuk memulai penyidikan tindak pidana penadahan tidak perlu dibuktikan tindak pidana pencurian atau tindak pidana lain yang melahirkan barang yang ditadah tersebut.

Besar harapan kita bahwa semoga dengan adanya Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) ini, praktik pembalakan liar sebagai tindak pidana asal (predicate crime) dari TPPU dapat dicegah dan diberantas di bumi persada yang kita cintai ini, termasuk di Tano Sere Mandailing.***

Gandoang, 29 Juni 2009

REFERENSI

• Bambang Setiono & Yunus Husein, CIFOR Occasional Paper No. 44 (1), 2005.
• Harian Global, Thursday 18 January 2007.
• Hary Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Mircea Aliade, Yogyakarta: Kanisius, 1987.
• Kepala Kepolisian Daerah Sumatra Utara 2004, “Penegakan hukum dan Penerapan UU Tindak Pidana Pencucian Uang”, Makalah pada Seminar Pengimplementasian Hukum Anti Pencucian Uang untuk Mengurangi Kejahatan Kehutanan. Medan, 6 Mei 2004.
Kompas, 3 Agustus 2004.
• Malik Assalih Harahap, ST, “Hutan Hancur - Bencana Alam Mengancam”, Waspada Online, 28 Maret 2007.
• Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003.
Waspada Online, “Ketika Pengadilan Menjadi Surga Bagi Cukong Kayu ”, 1 Mei 2007.
• Yunus Husein, “Strategi Memberantas Pembalak Liar”, Fi-Crime, Financial Crime Report Magazine, Edisi ke-2, November 2006.
• Zulkifli B. Lubis, “Membangun Kebersamaan Untuk Memelihara Mata Air Kehidupan”, http://www.mandailing.org/