Si Bisuk Na Oto
By Edi Nasution
PENGANTAR
Puji dan syukur
dipanjatkan kehadirat Allah SWT karena atas karunia, rahmat dan hidayah-Nya
maka penulisan “buku kecil” bertajuk Si Bisuk Na Oto ini dapat
diselesaikan. Sesungguhnya ada dua hal pokok yang memotivasi penulis untuk membuat "buku kecil" ini. Pertama, sejak duduk
di bangku sekolah dasar hingga ke akhir tahun 2007 ini, ternyata istilah Si Bisuk Na Oto, masih cukup populer di
sebagian orang Mandailing, sehingga menimbulkan rasa ingin tahu siapa
sebenarnya Si Bisuk Na Oto ini dalam
konteks kehidupan sosial-budaya orang Mandailing di masa lalu. Kedua, apa relevansinya sosok Si Bisuk Na Oto dengan keadaan sekarang.
Dengan
melakukan penelitian singkat, diketahui bahwa Si Bisuk Na Oto ini memiliki perangai yang sangat buruk. Hal ini
tercermin dalam ungkapan: bisuk na so
tarparguru, oto na so tarajari (si bijak yang tidak bisa dijadikan guru,
dan si bodoh yang tidak bisa diajari), sehingga eksistensinya seringkali menjadi
“bahan pergunjingan” dalam kehidupan masyarakat Mandailing.
Masih lekat dalam ingatan kita, bahwa
orang-orang tua kita dahulu senantiasa melarang untuk menebang dan mengambil
pohon kayu secara sembarangan di kawasan hutan karena tindakan seperti itu akan
membuat manggora na so nida (datangnya teguran/hukuman dari penghuni alam gaib
atau roh-roh leluhur), bisa-bisa nanti menimbulkan bala godang (malapetaka
besar) bagi semua penduduk huta atau banua. Si Panggora na so nida (si
penghuni alam gaib) ini menghuni tempat-tempat tertentu di dalam hutan yang
disebut na borgo-borgo (“tempat yang basah dan dingin”). Kuat dugaan
bahwa, adanya tempat-tempat hunian mahluk-mahluk halus atau roh-roh leluhur
yang dinamakan na borgo-borgo,
sebagai suatu tempat yang ditakuti dan disegani orang, itu pada hakikatnya
adalah untuk mewujudkan suatu keseimbangan ekosistem yang baik sehingga
keharmonisan hidup antara manusia dan alam sekitar selalu terpelihara dan terjaga
kelestariannya. Dalam konteks pengrusakan hutan misalnya, istilah kerennya Illegal
Loging, mungkin sebagian dari kita tidak lagi merasa takut dan segan
terhadap tempat atau kawasan na
borgo-borgo beserta penghuninya, itu terjadi mungkin karena ada antara kita
yang telah bersahabat dan berkolusi dengan para penghuni na borgo-borgo untuk bersama-sama melakukan tindak kejahatan. Dalam
hal ini, orang-orang yang ikut serta menghancurkan ekosistem di Mandailing
dapat dikategorikan sebagai Si Bisuk Na
Oto, yang hanya mementingkan keperluan sesaat tanpa melihat manfaat yang
jauh lebih besar di kemudian hari.
Kita memang
patut bersyukur dan gembira bahwa kawasan Aek Batang Gadis sekarang telah
ditetapkan oleh Pemerintah RI sebagai kawasan lindung yang disebut Taman Nasional Batang Gadis (TNBG).
Begitupun, kita harus tetap waspada dan berjaga-jaga agar TNBG tidak dijarah
dan dihancurkan oleh “Si Bisuk Na Oto”
seperti yang telah terjadi di kawasan-kawasan hutan lindung lainnya di tanah
air tercinta ini. Untuk itu, nilai-nilai budaya luhur seperti olong dohot domu, sasiluluton sasiriaon, salumpat
saindege, sahata saoloan satumtum sapartahian, mate mangolu sapartahian,
dan sebagainya sangat perlu dan mendesak untuk lebih dihayati dan diterapkan
kembali oleh orang Mandailing dalam kehidupan untuk kemajuan dan kemaslahatan bersama
di masa-masa mendatang, Semoga!
Bisuk na so tarparguru, oto na so tarajari
S
|
emasa duduk di bangku sekolah
dasar sekitar 40 tahun lalu dan hingga sampai sekarang sesekali masih terdengar
orang Mandailing mengucapkan satu istilah yang ternyata mampu “merangsang”
syaraf-syaraf otak kita untuk berpikir dan merenungkannya kembali, yaitu Si Bisuk Na Oto, yang secara harafiah artinya "Si bijak
yang bodoh". Gambaran utuh mengenai pola pikir dan prilaku Si Bisuk Na
Oto ini dapat diketahui dari cerita-cerita rakyat Mandailing yang pernah
digali dan kemudian dituliskan oleh Muhammad Kasim Dalimunte dalam cerpennya
yang berjudul Bertengkar Berbisik (1929).
Muhammad Kasim Dalimunte atau lebih dikenal dengan sebutan M. Kasim saja, termasuk
salah seorang pelopor cerita-cerita pendek (cerpen) di tanah air kita, sehingga sosok
pengarang berdarah Mandailing ini dinobatkan sebagai “Bapak Cerpen Indonesia”.
Menurut Ahmadun Yosi Herfanda (wartawan Republika), 'cerpen' di Indonesia mulai dikenal luas pada dasawarsa
1930-an. Cerpen-cerpen tersebut membawa cita rasa yang sangat urbanistik dan
menjadi bagian dari bentuk ekspresi masyarakat terpelajar perkotaan. Sejak saat
itu, cerpen telah menjadi media baru untuk menuturkan kembali kebiasaan
atau tradisi masyarakat dalam cita rasa modern. Namun lebih dari itu, tradisi-tradisi
masyarakat yang dituliskan dalam bentuk cerpen tersebut ditafsirkan kembali, didialogkan,
dipertanyakan, bahkan digugat. Cerpen-cerpen yang dibuat dalam bentuk karya
sastra bertipologi cerita pendek ini boleh dikatakan lebih merujuk pada
tipologi short story dalam khasanah kesusastraan Barat. Sejarah mencatat
bahwa di Indonesia cerpen merupakan genre
sastra yang jauh lebih muda usianya dibandingkan dengan puisi, novel, atau pun drama.
Penulisan cerpen di Indonesia mulai bergairah dan semakin semarak karena
didukung oleh terbitnya dua majalah penting saat itu, yaitu Pedoman Masjarakat dan Poedjangga Baroe. Tema-tema
yang semula hanya mengungkap hal yang ringan dan lucu, seperti cerita-cerita
pendek tentang Si Bisuk Na Oto, kemudian
mulai berkembang ke tema-tema yang serius seperti kemanusiaan, pergerakkan dan
kebangsaan, serta revolusi.
Cukup populernya istilah Si Bisuk Na Oto di kalangan masyarakat
Mandailing dari dahulu sampai sekarang mengindikasikan tiga hal penting: pertama, sampai sekarang mungkin masih
ada di antara orang Mandailing yang memiliki pola pikir dan perilaku seperti
itu, namun siapa orangnya, tinggal di mana dan berapa jumlahnya tidak diketahui;
kedua, pola pikir dan prilaku Si Bisuk Na
Oto ini dipandang "tidak baik" karena tidak sesuai atau bertentangan
dengan orientasi nilai-nilai budaya Mandailing; dan ketiga, sejalan dengan itu, orientasi nilai-nilai budaya Mandailing
menghendaki agar setiap orang tidak seharusnya memiliki bisuk naso
peto, melainkan bisuk na peto untuk
dapat menjadi sosok manusia yang arif dan bijaksana, atau dengan kata lain,
keselarasan antara kepekaan hati nurani ("kecerdasan emosional")
dan daya nalar ("kecerdasan akal-pikiran") sudah seyogiyanya
dimiliki oleh setiap orang Mandailing semenjak ketentuan adat dohot ugari yang mengandung nilai-nilai luhur
itu dihayati dan diamalkan sepanjang hayat, semisal: olong dohot domu (saling menyayangi dan bersatu-padu); salumpat-saindege (seiring dan seja-lan),
sangap marmora (menghormati dan
memuliakan pihak mora), elek maranakboru (pandai mengambil hati
dan menyayangi anakboru), manat-manat markahanggi (selalu bersikap
hati-hati antar sesama saudara semarga); mate mangolu sapartahian
(hidup dan mati sepenang-gungan),
sahancit sahasonangan (susah dan senang sama-sama dirasakan), sasiluluton sasiriaon (kemala-ngan dan
kegembiraan dipikul bersama-sama), sahata
saoloan satumtum sapartahian (sepakat untuk selalu seia-sekata), marbaso (mentaati tata-krama pergaulan antara pria dan
wanita), sangko (bersikap hormat
terhadap orang-orang yang lebih tua dan orang yang sudah sepatutnya dihormati
seperti Raja, Hatobangon atau Namora
Natoras), dan yang lain-lainnya.
'Losok' dan 'Pargabus'
S
|
ehubungan dengan parange (tabiat) Si Bisuk Na Oto ini, antropolog Zulkifli B. Lubis secara lisan
mengatakan, bahwa untuk lebih memahami tabiat buruk Si Bisuk Na Oto dapat dilakukan dengan cara menggali dan mengkaji
sejumlah parumpamaan (ungkapan
tradisional) yang dimiliki oleh masyarakat Mandailing. Salah satu parumpamaan yang pernah ada berbunyi: bisuk naso tarparguru, oto naso tarajari.
Artinya, meskipun Si Bisuk Na Oto ini
cenderung “merasa” dirinya bisuk dan pistar (pintar), akan tetapi ia tidak
akan pernah bisa menjadi “seorang guru” yang baik dalam membimbing dan
mengajari orang lain. Sebaliknya, orang Mandailing umumnya memandang bahwa Si Bisuk Na Oto ini sebenarnya orang yang
bodoh. Ironisnya, meskipun ia itu sesungguhnya tergolong orang yang bodoh, namun
karena ia merasa dirinya juga pistar,
sehingga baik koum-sisolkot (kaum-kerabat)
maupun alak na balok (“orang/bangsa
lain”) tidak akan pernah bisa membimbing dan mengajarinya untuk menjadi alak na bisuk, yaitu manusia yang
memiliki akal-pikiran dan budi pekerti yang baik. Dalam hubungan ini, perlu
dikemukakan bahwa manurut sistem nilai budaya Mandailing, seseorang yang pistar belum tentu tergolong orang yang bisuk, tetapi seseorang yang dikatakan bisuk sudah pasti orang yang juga pistar.
Itulah sebabnya mengapa Si Bisuk Na
Oto ini diumpakan pula sebagai alak na marguru di ulu totna, yaitu seseorang
yang belajar pada dengkulnya sendiri. Maksudnya seseorang yang tidak mau belajar
sungguh-sungguh, baik dari pengalaman sendiri maupun orang lain, sehingga
membuat dirinya menjadi orang yang selalu ingin menang sendiri dan tidak mau
kalah dari orang lain. Di Mandailing, orang yang memiliki sifat seperti itu
disebut alak na gutgut. Dan sejalan
dengan itu, untuk menutup-nutupi sisi-sisi lemah atau ketidak-cakapannya dalam
banyak hal, karena Si Bisuk Na Oto
ini pun sebenarnya termasuk alak na losok
(orang yang malas) belajar, maka ia tidak pernah merasa malu menceritakan
pengalaman-pengalaman hidupnya yang selalu ia bumbui dengan bual atau gabus (kebohongan), seperti kebohongan yang terungkap dalam
cerita-cerita rakyat Mandailing yang pernah digali dan dituliskan M. Kasim
dalam cerpen Bertengkar Berbisik.
Bagi kita yang pernah membaca cerpen M. Kasim tersebut, mungkin masih ingat
akan gabus atau bual (kebohongan) yang dituturkan oleh Si Bisuk Na Oto kepada pembaca ketika ia berburu di hutan dengan menggunakan
bodil (senapang) dan menangkap ikan
di sungai dengan memakai jala. Sekedar
mengingatkan kembali, bahwa konon pada suatu hari Si Bisuk Na Oto ini pergi berburu ke dalam hutan. Dari pagi hingga menjelang sore hari, ia terus
berkeliaran di dalam hutan namun binatang buruan yang diharapkan belum juga
didapatkan. Setelah sekian lama berputar-putar di dalam hutan, akhirnya ia
merasa lelah dan lapar. Karena itu ia beristirahat di bawah pohon sambil terus
memegang senapang dengan kedua belah tangannya. Tangan kirinya memegang bagian
bawah (pangkal) senapang, sementara jari telunjuk tangan kanannya menempel pada
bagian pelatuk senapang yang setiap saat dapat ditekan untuk memuntahkan peluru
panas dari laras senapangnya. Tidak lama kemudian, masih dalam posisi seperti itu, ia pun tertidur. Namun
tidak lama berselang ia tiba-tiba terbangun karena ada ”sesuatu” yang mengusik
tidurnya. Ketika matanya sedikit terbuka (melirik), ia melihat seekor balom (burung balam) bertengger persis di
pucuk senapangnya. Lalu, tanpa menimbulkan gerakan sedikit pun, dengan cepat ia
menekan pelatuk senapangnya: ”dor”, lalu sang balom pun mati seketika itu dan kemudian ”puk”, burung pun jatuh ke
atas tanah tepat di antara kedua belah kakinya. Hatinya pun sangat senang
sembari mikim-mikim (tersenyum simpul)
pertanda hatinya cukup puas, setelah mendapatkan binatang buruan pada hari itu.
Di hari yang lain, Si Bisuk Na Oto
pergi ke batang aek (sungai) membawa
jala untuk menangkap gulaen (ikan).
Tidak lama kemudian ia pun sudah sampai di pinggir sungai dan mempersiapkan
jalanya. Jala pun dilemparkan ke sungai, adakalanya jala dilempar ke pinggir,
kadang agak ke tengah sungai: singkatnya begitulah ia lakukan secara bergantian
dan berulang-ulang sehingga baluang
(wadah tempat ikan) sejak dari belum juga berisi gulaen. Padahal gulaen di
batang aek itu cukup banyak dan
jenisnya pun bermacam-macam antara lain: aporas,
sulum, cen-cen, siating, baung, tingkalang, lonjing, aruting, garing, abaro dan mera. Saking bening dan bersihnya air
sungai di kala itu (semasa belum rusaknya ekosistem di Mandailing), ikan-ikan
tampak jelas berkeliaran di dalam air sungai dan berlarian kesana-kemari terlebih-lebih
ketika ada orang kampung yang sedang manjala
atau pun mandehe (menangkap ikan
dengan kedua tangan). Kurang lebih sepenanakan nasi berlalu, ia masih tetap manjala namun ia belum juga beruntung.
Tak disangka-sangka, matanya yang jeli itu melihat sepasang ruak-ruak (burung belekek) sedang asyik
mencari makan di rerumputan di pinggir sungai, sementara di dalam air tampak
beberapa ikan berenang-renang. Seketika itu pula muncul keinginan yang kuat di
dalam hatinya untuk mendapatkan sepasang ruak-ruak
dan gulaen tersebut. Tanpa berpikir
panjang, ia lalu melemparkan jalanya: tebaran jalanya setengah bagian mengenai
daratan di pinggir sungai dan setengahnya lagi jatuh ke sungai. Alhasil, burung
dan ikan pun dapat ditangkapnya sekaligus. Setelah memasukkan ikan hasil
tangkapan ke dalam baluang dan
mengikat kaki burung agar dapat dijinjing, kemudian ia pun beranjak pulang
sembari mikim-mikim pula karena ia
membayangkan betapa enaknya nanti makan di rumah dengan lauk ikan dan burung
hasil tangkapannya.
'Oto' dan 'Dangol'
K
|
ecemasan segelintir alak na bisuk di Mandailing terhadap
persoalan "kebodohan" ini sudah muncul sejak ratusan tahun lalu,
semisal Willem Iskander (1840-1876) pernah mengungkapkannya melalui karya
sastra (sajak-sajak) yang cukup populer semasa hidupnya hingga saat ini berjudul Ajar Ni
Amangna di Anakna na Kehe tu Sikola, yang sebagian sajaknya
berbunyi:
Iabo ale amang sinuan
tunas!
Langkama ho amang marguru tu sikola
Ulang hum baen song luas-luas
Tai ringgas ko amang
marsipoda
Imale nian amang
Por ni roangku ho marbisuk
Ampot sogot madok-dokma
ulala pamatang
Anso ho doma ubaen
usuk
(Duhai
ananda generasi penerusku
Pergilah
engkau belajar ke sekolah
Janganlah
engkau berprilaku sesuka hatimu
Tetapi
rajinlah engkau menuntut ilmu
Begitulah
ananda
Aku
ingin engkau menjadi orang yang arif lagi bijaksana
Siapa
tahu besok ragaku semakin rapuh
Agar
engkaulah penggantiku)
Dalam kedua sajak Willem Iskander tersebut di atas
mengandung pesan moral penting bahwa pendidikan guna memiliki ilmu pengetahuan
yang luas dan mendalam adalah "kunci pembuka pintu kebahagiaan" di
masa depan. Seseorang
yang malas belajar, baik dari pengalaman diri sendiri maupun dari orang lain,
akan membuat dirinya sendiri tetap bodoh selamanya. Selain itu, muatan
moral yang relatif sama juga tersirat dan tersurat dalam ungkapan
tradisional yang sering dilontarkan antar sesama anak-anak kecil dan
remaja Mandailing berbunyi: Sate Soto Mate Na Oto, artinya
orang yang bodoh sangat potensial mengalami kesengsaraan (malarat) sepanjang hidupnya dan karena itu membuatnya selalu sedih
(dangol). Ini terjadi tidak
lain dan tidak bukan adalah karena kemalasan belajar sehingga ilmu
pengetetahuan yang dimiliki menjadi sangat terbatas (miskin). Karena
itulah orang-orang bijak selalu berkata bahwa: "kebodohan adalah pangkal
keseng-saraan manusia dalam hidupnya". Begitupun jangan coba-coba
mengatakan: "na oto ma ho!" atau Si Bisuk Na Oto kepada koum-sisolkot
ataupun alak na balok, sebab
perkataan seperti itu akan membuat orang tersinggung dan “naik darah”,
sehingga sangat potensil menimbul-kan perkara (parbadaan), baik
secara verbal (martongkar) maupun fisik (martenju).
Sajak-sajak lain karangan Willem Iskander yang meng-inginkan
generasi penerus Mandailing selalu ringgas
marsiajar (rajin relajar) untuk menemukan bisuk na peto agar kelak menjadi alak na bisuk, terungkap dalam sajak-sajak yang berjudul Mandailing.
Beliau
menuliskan sajak-sajaknya itu ketika sedang berada di Adian Bania. Sajak-sajak tersebut berisi sipaingot (nasehat) kepada para orang tua agar jangan pernah lupa
menasehati anak-anak untuk mencari dan menemukan bisuk na peto: sebelum beliau meninggalkan tano rura Mandailing sementara waktu berhubung karena adanya “kesempatan
emas” untuk menimba ilmu di negerinya Si
Bontar Mata (Belanda) selama beberapa tahun. Dua bait terakhir dari
sajak-sajaknya yang mengandung sipaingot
itu berbunyi:
Tinggal ma ho jolo ale
Anta piga taon ngada uboto
Muda uida ho mulak muse
Ulang be nian sai maoto
Lao ita marsarak
Marsipaingot dope au di o
Ulang lupa paingot danak
Manjalai bisuk na
peto
(Tinggallah tanah airku Mandailing
untuk sementara
Entah berapa tahun aku tidak tahu
Bila kulihat kembali engkau setelah aku pulang
Janganlah masih tetap bodoh
Ketika kita akan berpisah
Aku masih perlu menasehatimu
Jangan lupa menasehati anak-anak
Mencari ilmu pengetahuan yang
benar)
Salah satu cara yang ditempuh Willem Iskander untuk memberantas kebodohan
di Mandailing adalah melalui seni-budaya (karya sastra) dan pendidikan. Sampai
sekarang masih banyak di antara orang Mandailing yang mengingat, bahwa Willem
Iskander kelahiran Pidoli Lombang (Mandailing
Godang) ini, ayahnya adalah Raja Tinating sedangkan ibunya Si Anggur (boru
Lubis) berasal dari Rao-rao, adalah sebuah desa di seberang Aek Batang Gadis dan tidak jauh dari
desa Tambangan di Mandailing Julu. Ia pernah mengenyam pendidikan sekolah rendah yang
didirikan pemerintah kolonial Belanda di Panyabungan dan kemudian menjadi guru
di situ. Karena beliau ketika itu termasuk orang yang rajin mencari bisuk na peto sehingga membuatnya
menjadi alak na bisuk, maka ia pun memperoleh
”kesempatan” (bea siswa) untuk menambah ilmu pengetahuan (belajar) ke negeri
Belanda. Setelah menyelesaikan pendi-dikannya, namun karena terus sakit-sakitan
sehingga tidak dapat melanjutkan pelajarannya, maka ia pun pulang ke kampung
halaman. Beberapa tahun kemudian ia berhasil mendirikan ”sekolah guru” di Tano
Bato (di dekat desa Kayu Laut sekarang yang cukup terkenal dengan penganan Kue Bika
yang dijual ketika Ari Poken) untuk
mewujudkan cita-cita mulia yang telah cukup lama dipendamnya, yaitu
mencerdaskan alak Mandailing atau koum-sisolkot melalui pendidikan dan
seni-budaya.
Dalam bukunya Manusia dan Seni
(1984), Dick Hartoko ada mengemukakan pandangan Aristoteles, bahwa puisi (seni
pada umumnya) lebih bersifat filsafati dan lebih berbobot dari pada sejarah
karena ungkapan-ungkapan seni bersifat umum, sedangkan sejarah hanya berurusan
dengan hal-hal yang khusus. Dengan kata lain, dalam melukiskan hal-hal yang
mungkin dapat terjadi, sang seniman harus memperhatikan ”logika intern” atau
keniscayaan hal-hal yang mungkin dapat terjadi. Para kritikus sastra
menyatakan, bahwa peristiwa-peristiwa atau bagian-bagian sebuah syair harus ”kait-mengkait”
(”Poems are supposed to cohere”). Dalam
hal ini, tidak begitu penting apakah suatu peristiwa sungguh-sungguh terjadi,
karena yang penting adalah apakah masuk akal bahwa peristiwa itu mungkin pernah
terjadi. Melalui pengamatan seorang seniman, sebuah peristiwa diangkat pada
suatu tataran yang lebih bersifat universal, sehingga karyanya dapat menjernihkan
(katharsis) alam perasaan kita.
Hingga ke jaman Kant, para filsuf cenderung memasukkan pengalaman estetik dalam
bidang Logika (ilmu yang mengajarkan bagaimana harus bernalar dengan tepat)
atau dalam bidang Moral (ilmu yang mengajarkan bagaimana harus berbuat dengan
tepat). Hal ini tidak mengherankan karena dalam pengalaman estetik tersebut terdapat
baik unsur-unsur kognitif (yang menyangkut pengetahuan) maupun unsur-unsur
moral. Contohnya dalam filsafat Cina didapati hanya satu istilah bagi rasa
keindahan dan moral, yaitu ”tao”,
artinya ”jalan”. Ajaran Tao mengajarkan, bahwa barang siapa menempuh ”jalan”
yang tepat akan bisa membedakan antara kebaikan dan kejahatan, juga antara yang
indah dan jelek. Diketahui bahwa dalam pendidikan tradisional di masa lampau,
baik di Timur maupun Barat, para orang bijak berpendapat bahwa apabila
cita-rasa seorang muda terdidik dengan baik maka ia tidak akan sampai hati
untuk berbuat jahat terhadap sesama manusia dan mahluk hidup lain.
Sementara itu, Donald B. Calne di dalam bukunya Within Reason (1999) mengemukakan bahwa ”kekuatan puisi tergantung
pada pilihan kata dan bagaimana kata-kata dirangkai”, sehingga menjadi satu
kesatuan yang utuh dan mengandung makna-makna mendalam yang mampu merangsang
emosi manusia. ”Setiap karya seni itu khas dan masing-masing dibuat khusus
untuk kebudayaannya sendiri. Setiap jenis kesenian paling baik dalam menyampaikan
serba-rasa, jika ditujukan kepada masyarakat pendukung kebudayaannya. Begitulah
pan-dangan baru menggunakan nalar untuk mempertanyakan adanya Seni dengan huruf
besar S, yang nilainya sama buat semua orang. Pandangan baru melihat semua
bentuk seni secara langsung mempunyai tujuan-tujuan sosial”, antara lain untuk
memperkuat kekompakan antar sesama warga masyarakat pendukungnya. Dari segi
perannya, ”seni masih tetap merupakan daya penyatu buat budaya dan subbudaya” suatu
masyarakat, sejak dahulu sampai sekarang.
Sebagaimana tertulis di dalam buku karangannya Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk, selain mengarang sajak-sajak yang
sarat dengan pesan-pesan moral, etika dan pentingnya mencari bisuk na peto melalui proses belajar (pendidikan)
yang baik, Willem Iskander juga mengarang beberapa cerita pendek dengan maksud
dan tujuan yang relatif sama dengan penulisan sajak-sajak tersebut. Intinya adalah, beliau memiliki keinginan yang
kuat untuk dapat memperkecil jumlah Si
Bisuk Na Oto dan selanjutnya berharap agar Alak Na Bisuk semakin bertambah terus dari hari ke hari, adalah modal
dasar utama untuk dapat merencanakan dan melaksanakan pembangunan tatanan
kehidupan koum-sisolkot di Banua Mandailing yang jauh lebih baik di
masa-masa mendatang.
Beberapa sajak dan cerita pendek yang dikarang oleh Willem Iskandar
tersebut, agar lebih mudah memahami makna-maknanya, baik yang tersurat maupun
yang tersirat, maka disadur secara bebas ke dalam bahasa Indonesia seperti berikut
ini.
Marburu Di Bagasan Bilik
(Berburu
di Dalam Kamar Tidur)
Konon dahulu ada seorang Sutan yang gemar sekali berburu dan
kegemarannya itulah yang membuatnya seringkali menetap di luar kampung. Namun
sudah sejak lama ia jatuh miskin, ladangnya terpaksa dijual, termasuk hutan
tempat perburuan-nya. Yang tersisa adalah anjingnya Si Baruang dan sebuah canang
(metalofon) bernama Si Tingguang yang
sebagai kenangan apabila nanti ia tinggal menetap di dalam kampung.
Di kampung ia menempati sebuah rumah besar. Biliknya luas dan jendelanya
lebar-lebar pula. Lantainya terbuat dari papan yang dilapisi tikar rotan. Pada
dinding tergantung gambar anjing dan rusa. Melihat semua itu sang Sutan merasa
gembira dan senang karena tempat itu bak seperti rimba perburuannya. Seketika
itu juga darahnya seperti mendidih dan jantungnya berdebar-debar, telah muncul keinginan
yang kuat untuk berburu seperti yang sering dilakukannya dahulu.
Tidak lama kemudian, canang pun ia pukul bertalu-talu sambil
berlari kesana-kemari, tak ubahnya seperti berburu yang sesungguhnya. Di bilik
ia melihat gambar rusa yang sudah terkapar menanti ajal, sementara itu Si
Baruang ikut pula menggonggong keras dengan perasaan yang sama seperti yang
dirasakan tuannya, darahnya kembali bergejolak. Keadaan ini membuat kegaduhan
dan keributan yang luar biasa di rumah tersebut sehingga mengganggu ketentraman
orang lain.
Karena kegaduhan itu, orang lain yang menempati bilik rumah di atasnya
berteriak dan memohon agar kegaduhan itu dihentikan karena telinganya sakit
mendengarnya. Namun sang Sutan menjawab asal saja dengan mengatakan bahwa apa
yang dilakukannya itu adalah pekerjaan yang sering dilakukannya di hutan
perburuan dan berburu di hutan adalah kegemaran dan kesenangannya. Untuk
itu ia tidak boleh dilarang oleh siapapun untuk melakukannya.
Tanpa menghiraukan orang yang merasa keberatan itu, sang Sutan terus melakukan
kegiatan berburunya yang menimbulkan suasana hiruk-pikuk itu.
Tidak lama kemudian, dari atas turunlah air yang cukup
deras bak seperti pancuran di tapian sehingga membanjiri bilik
kamarnya. Melihat air bah itu, sang Sutan pun berteriak berusaha menegur orang
yang menempati bilik atas itu, sebab biliknya telah terendam air dan semuanya
pakaiannya basah. Apapun yang dikatakan oleh sang Sutan sudah tidak ada artinya
lagi karena air sudah membanjiri bilik kamar dan membahasahi sebagian isinya.
Tak pelak lagi sang Sutan menjadi marah besar dan ia buru-buru pergi menemui
orang yang tinggal di bilik atas itu.
Sesampainya di bilik atas, ia melihat bilik atas itu tergenang air bak
danau karena si pemilik kamar menumpahkan banyak air ke lantai kamarnya, setelah
itu ia duduk di atas dulang dan tidak basah-basahan. Lelaki
itu duduk santai sambil memegang joran (alat pancing ikan) seraya
berkata: "aku di sini sedang iseng, kita saling berbuat semaunya, engkau
di bawah berburu rusa, maka jangan larang aku memancing ikan di sini".
Siakkak Dohot Landuk
(Gagak
dan Kancil)
Pengalaman dan realitas mengajari kita, bahwa orang yang senang
dipuja-puji sesungguhnya adalah orang yang sangat mudah sekali dibodohi.
Siapapun tahu bahwa burung Gagak sebenarnya tidak pernah memiliki suara yang
bagus dan merdu, kicauannya memekakkan telinga (bising) karena bak suara
kambing yang diseret tengah malam.
Sang Kancil yang cerdik melihat sisi lemah sang Gagak dan dengan
memanfaatkan kelemahan si Gagak ini ia sering memperoleh makanan enak (buah
pisang) milik sang Gagak. Suatu ketika sang Gagak bertengger di pohon yang
tinggi dan di paruhnya terjepit buah pisang, Melihat itu, sang Kancil lalu
berkata: "Wahai Gagak, bulumu sangat indah sekali, selain itu suaramu
pun sangat merdu dan indah bagaikan suara tulila (alat musik tiup yang
bentuknya pendek dan kecil). Meskipun kicauan burung cecak rowo cukup merdu,
namun kalau dibandingkan dengan suaramu lah yang lebih merdu. Duhai sang Gagak,
bernyanyilah dulu sambil duduk-duduk santai agar hatiku yang sedang risau ini
terhibur menjadi gembira".
Mendengar sanjungan sang Kancil itu, lalu sang Gagak begitu senang dan
menimbulkan keinginannya bernyanyi mempertunjukkan kebolehannya. Tapi sayang,
ketika paruh dibuka untuk bernyanyi, tiba-tiba pisang yang terjepit diparuhnya
itu terlepas dan jatuh ke tanah. Dengan hati senang sambil menertawakan
kebodohan sang Gagak, sang Kancil memungut buah pisang yang enak itu dan
melarikannya ke dalam hutan.
Ama ni Marpuli Odong
(Si Peragat Nira)
Selain bertani di sawah dan berkebun di ladang, orang Mandailing juga
mengambil air buah pohon enau (disebut ngiro) melalui
tandannya untuk dijadikan gula aren, tetapi ada juga yang dibuat menjadi tuak
(sejenis minuman keras) sebagai mata pencaharian tambahan. Untuk
mengolah ngiro ini menjadi gula aren, biasanya mereka membuat dangau
di pinggir hutan atau di dalam hutan, tetapi ada juga sebagian yang membawanya
ke kampung. Dangau tempat pembuatan gula itu tidak jarang juga digunakan
sebagai tempat tinggal sementara bagi satu keluarga batih (ayah, ibu dan
anak-anaknya).
Kegiatan si pengambil air buah enau ini (disebut siparagat) tidak
hanya pagi dan sore hari karena jika matahari mulai terbenam, si paragat
pergi ke pohon enau yang akan diambil airnya itu untuk melakukan suatu ritus
kecil yang disebut manggual bargot. Dengan melantunkan
nyanyian-nyanyian pendek tertentu, ia berharap agar ngiro yang
diperolehnya itu kualitasnya baik dan juga banyak.
Terbutlah seorang si paragat bernama Ama ni Marpuli Odong,
yang sangat rajin bekerja karena ia ingin cepat kaya dan bisa membeli seekor
kuda yang sangat diinginkannya. Dia rela tinggal menetap di dangau selama
berhari-hari dan jarang pulang ke kampung, tidak lain adalah untuk dapat
mewujudkan hasratnya memiliki seekor kuda.
Suatu hari ketika ia sedang bekerja manggual bargot, di dalam
hatinya timbul kesombongan saat melihat cucuran air enau yang banyak masuk ke
dalam penampungannya. Di dalam hatinya ia berjanji akan membeli seekor kuda
Toba dari hasil penjualan tuak miliknya itu. Tanpa sadar ia
menunggang pelepah pohon enau bak seperti orang yang sedang berkuda sambil
meminum tuak yang diperolehnya hari itu. Namun tidak disangka-sangka,
tiba-tiba pelepah pohon enau yang ditungganginya itu patah, dan si paragat
itu pun jatuh ke bawah. Kejatuhannya dari atas pohon enau itu mengakibatkan
tangan kanannya yang "bertuah" itu patah dan anggota badan lainnya
juga sakit. Karena itu hatinya selalu sedih dan berduka sebab setelah
kecelakaan itu terjadi mengakibatkan ia tidak lagi bisa bekerja untuk
menghidupi diri dan keluarganya.
Nasib tragis yang menimpa si
paragat ini menjadi pelajaran dan nasihat yang baik agar kita jangan sampai
menginginkan sesuatu harta-benda yang tidak akan mungkin diperoleh, dan agar
hati kita tenang dalam mengharungi kehidupan ini, seberapa pun yang ada itulah
kita cukup-cukupkan dan syukuri.
Na Dangol Muda Na So
Binoto
(Ketidaktahuan Penyebab Penderitaan dan Kesedihan)
Willem Iskander berpesan agar kita tidak merasa malu bertanya kepada orang
yang mengetahui agar kita tidak mendapat malu di hadapan para pembesar. Seperti kata pepatah ”malu
bertanya sesat di jalan”. Tidak jarang, meskipun kita misalnya seseorang (Raja)
yang dihormati oleh orang-orang yang sekeliling kita, namun karena tidak
mengetahui cara melakukan sesuatu hal, akhirnya ditertawakan orang.
Ketika duduk bersama para pembesar dan orang-orang yang memiliki etika
serta moral yang baik, banyak hal yang harus kita jaga dan perhatikan dengan
seksama. Kadang kala ada orang yang tidak mengetahui etika ketika duduk bersama
para pembesar, misalnya menguap dan menggaruk-garuk bagian tertentu pada tubuh
kita adalah sangat tidak pantas (pantang) dilakukan.
Ada suatu cerita yang mengkisahkan tentang seorang raja besar. Ketika ada
”tuan-tuan” yang bertamu ke rumahnya dan menyuguhkan tempat rokok kepadanya,
bukannya ia mengambil sebatang, namun semuanya diambil. Cerita lain membuktikan
dengan jelas betapa sedihnya bila kita tidak mengetahui sesuatu.
Seorang raja di Pulau ”P”, pada suatu sore berangkat menuju rumah Tuan
Residen (Orang Belanda). Di dalam rumah itu ada dua orang ”tuan” yang sedang
bertamu. Tidak lama kemudian Tuan Residen datang menghampiri para tamunya dan
mempersilahkan raja untuk duduk di atas kursi. Sebagaimana kebiasaan orang
Eropa meminum teh di sore hari, maka seorang pembantu Tuan Residien datang
dengan membawa empat cangkir teh panas, dan satu diletakkan di hadapan sang
raja. Sebenarnya sang raja belum pernah meminum teh, sehingga ia tidak tahu
etika dan tata-cara minum teh di sore sesuai kebiasaan orang Eropa. Karena itu
sang raja menjadi resah dan gelisah memikirkannya. Karena malu bertanya, maka
ia secangkir teh panas yang di hadapannya itu ia minum.
Melihat sang raja meminum teh yang masih panas itu semua, sehingga pembantu
Tuan Residen mengira sang raja kehausan. Maka si pembantu mengambil cangkir teh
yang telah kosong itu dan mengisinya kembali. Melihat cangkir teh itu telah
diisi kembali, sang raja mengira ia harus cepat-cepat menghabiskan teh panas
yang baru diisi ke cangkir itu. Si pembantu mengira bahwa sang raja benar-benar
sangat kehausan, lalu ia kembali mengambil dan mengisi cangkir yang telah
kosong itu. Begitulah terus sampai tujuh cangkir teh panas telah masuk ke dalam
perut sang raja, sehingga membuat Tuan residen, Tuan yang dua orang lagi, Tuan
Residen dan pembantunya serta sang raja masing-masing tercengang. Tuan Residen membiarkan
itu terjadi karena ia takut sang raja malu karenanya.
Sebenarnya di dalam hati sang raja sudah merasa pasti bahwa dia telah
melakukan kesalahan besar dan sebagai hukuman dari Tuan Residen adalah meminum
beberapa cangkir teh panas tersebut. Sang raja merasa lebih baik dikurung
selama delapan hari ketimbang meminum teh panas sebanyak itu yang telah membuat
perutnya kepenuhan air.
Si pembantu Tuan Residen tampaknya sudah kesal dan merengut karena terus
bolak-balik tujuh kali dari dapur ke ruang tamu. Ketika mengantar cangkir teh
panas yang ke delapan kalinya, ia berkata kepada temannya: ”Saya kira perut
raja ini sudah bocor”. Ketika cangkir teh panas yang ke delapan itu sampai di
hadapannya, raja pun sudah tidak sanggup lagi meminumnya, lalu berkata kepada
Tuan Residen: ”Tuan Residen, kalau saya memang bersalah, kasihanilah,
berikanlah hukuman yang lain, jangan yang seperti ini, karena rasanya air sudah
penuh sampai ke tenggorakanku”.
Mendengar perkataan sang raja itu, mereka semua tiba-tiba tertawa
terbahak-bahak, termasuk si pembantu Tuan Residen. Tak lama kemudian Tuan
residen berkata, bahwa itu bukan hukuman, melainkan karena ia takut melarang
raja sehingga menjadi malu karenanya.
Setelah kejadian yang cukup memalukan itu, sang raja sudah mengetahui adat
minum teh. Jadi yang boleh diminum hanyalah yang menjadi bagian kita sendiri.
'Alak Na Bisuk': 'sangap marmora', 'manat-manat markahanggi', boti 'elek maranak boru'
D
|
alam konteks mencari dan
menemukan bisuk na peto, ada pepatah
lama yang mengatakan: ”Tuntutlah ilmu
dari buaian hingga ke liang lahat” dan ”Tuntutlah
ilmu sampai ke negeri Cina sekalipun”. Untuk dapat menuntut ilmu di negeri
Cina, selain membutuhkan biaya yang cukup tinggi, juga (dahulu) memakan waktu
yang relatif lama dan kita pun memiliki keterbatasan berbahasa Cina sebagai
salah satu syarat pokok untuk dapat menggali dan menemukan bisuk na peto (”ilmu pengetahuan”) di negeri Tirai Bambu,
habitatnya Panda yang cantik dan mempesona itu. Artinya, belajar itu memang
sulit, melelahkan dan suatu ”tantangan besar” karena untuk itu dibutuhkan dana,
menyita waktu, tenaga dan pikiran kita selama hayat dikandung badan. Namun bila
nafas telah berhenti maka belajar pun berhenti sampai di situ.
Alak na balok (”orang/bangsa lain”), yang menarik perhatian
Willem Iskander adalah bangsa Eropa yang sudah sejak lama menjadi bangsa yang
maju dan hidup berkecukupan. Mereka bisa seperti itu karena alak
na bisuk relatif banyak ditemukan di antara orang-orang Eropa. Salah
seorang diantaranya ialah Tuan Colombus,
di samping tergolong alak na bisuk,
ia juga gagah dan berani mengharungi lautan luas dengan kapal layar untuk mencari
dan menemukan ”benua baru”, sebagai-mana dituliskan oleh Willem Iskander dalam bukunya
Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk. Cerita
tentang Tuan Colombus ini kemudian disadur secara bebas ke dalam bahasa
Indonesia agar lebih mudah untuk memahami makna-makna yang terkandung di
dalamnya, sebagai berikut:
Ni Binuat Tingon Barita
Ni Tuan Colombus
("Dikutip dari Berita tentang Tuan Colombus")
Menurut Willem Iskander, margabus (berbohong) adalah suatu perbuatan
yang sangat tercela. Apatah lagi berbohong yang disengaja mengakibatkan
kita bisa dicaci-maki orang. Jika orang mengamati kita sering berbohong, maka
sekalipun kadang-kadang benar apa yang kita ucapkan, namun kita kadung tidak
dipercayai orang lagi. Begitupun, terkadang ada bohong (gabus) yang
baik karena orang yang melakukannya itu berhati tulus dan lurus, di samping itu,
tujuannya berbohong itu bermaksud baik sehingga memperoleh manfaat yang baik
pula, seperti yang pernah dilakukan oleh Tuan Colombus sewaktu menjelajah dunia
untuk menemukan benua baru di masa lalu.
Sejarah mencatat bahwa Tuan Colombus yang berkebang-saan Eropa ini adalah
seorang yang pintar dan berani pula. Di masa ini, orang Eropa belum
mengetahui adanya benua Amerika. Suatu ketika, bangkai manusia terdampar di
pantai Eropa setelah dihempas-hempaskan ombak, yang diduga berasal dari benua
sebelah barat. Bangkai manusia yang terdampar itu berbeda dengan orang Eropa:
kulitnya hitam kemerah-merahan. Kejadian ini menyadarkan mereka bahwa ternyata
ada orang lain yang hidup dan berdiam di benua lain. Untuk mencari tahu
asal-muasal manusia yang terdampar itu, mereka mempersiapkan kapal untuk
berlayar dan yang bersedia menjadi nakhodanya adalah Tuan Colombus.
Diperkirakan Tuan Colombus berlayar ke arah barat pada tahun 1500.
Satu-dua bulan kemudian mereka sampai ke sebuah pulau kecil dan mereka
menemukan orang yang mendiami pulau kecil itu memiliki wajah dan ciri-ciri
fisik yang sama dengan orang yang pernah terdampar di pantai Eropa dahulu.
Karena itu Tuan Colombus sangat senang dan gembira sebab ia telah menemukan apa
yang dicarinya. Namun seiring itu pula muncul masalah yang menyusahkan hatinya
karena perbekalan mereka sudah habis. Mereka mencoba membeli makanan kepada
penduduk pulau kecil itu, namun tidak berhasil karena pimpinan (raja) setempat
tidak menyukai pendatang asing ke tempatnya dan melarang warganya untuk menjual
makanan kepada orang-orang asing.
Sebenarnya Tuan Colombus bisa dengan mudah
mendapat-kan makanan misalnya dengan cara kekerasan. Di kapalnya tersedia
senjata perang berupa senapang dan meriam. Namun itu tidak dilakukannya karena
ia ingin menjalin persahabatan dengan penduduk pulau kecil itu. Lalu ia
berpikir, apa yang harus dilakukannya untuk dapat mendapatkan makanan.
Kebetulan sekali saat itu sedang berlangsung Bulan Purnama yang bertepatan pula
saat terjadinya Gerhana Bulan. Gerhana Bulan terjadi karena tiga benda langit
berjejer: paling depan adalah Matahari, di tengah adalah Bumi, dan paling
paling belakang adalah Bulan. Dengan adanya sinar Matahari, maka Bulan menjadi
terang pula. Dalam kejadian seperti ini di malam hari, Bumi berada tepat
diantara Matahari dan Bulan. Itulah sebabnya Bulan menjadi gelap sebagian.
Karena dihalangi Bumi, maka cahaya Matahari tidak sampai ke Bulan. Bayangan
Bulan masih tetap muncul. Bumi sekali berada di antara Matahari dan Bulan,
namun tidak selamanya tepat sekali posisinya. Kadang-kadang agak diatas,
kadang-kadang agak di bawah, sehingga cahaya Matahari tidak terhalang ke Bulan.
Dalam hal ini, para ahlinya dapat memperhitungkan kapan saatnya terjadi Bulan
dihalangi Bumi.
Kembali kepada Tuan Colombus, suatu momen yang
"tepat benar" katanya dalam hatinya. Setelah itu ia menyuruh juru
bicaranya untuk menghadap raja di pulau itu untuk memberitahukan, bahwa apabila
orang yang di pulau itu tidak memjual makanan kepada mereka, maka Tuhan akan
marah kepada raja di pulau itu. Tandanya nanti sore sekali pun bulan sudah
penuh, namun bulan akan tetap sebelah". Apa yang disampaikan Tuan Colombus
melalui juru bicara-nya itu membuat sang raja tertawa mendengarnya. Lalu raja
berkata: "Mungkin nakhodamu itu mengira, saya masih bayi yang baru puput
pusar untuk dibodohinya. Katakan padanya, saya tidak takut apa yang
dikatakannya itu". Sekalipun ia berkata begitu, namun di dalam
hatinya ia merasa cemas dan takut. Karena itu tatkala hari sudah sore, sang
raja selalu memandang-mandang ke langit. Setelah saatnya tiba, tanpa
diduga wajah sang raja menjadi pucat karena ia benar-benar menyaksikan
bahwa bulan telah gelap sebelah. Ditunggunya beberapa saat kemudian, sebatang
rokok yang dari tadi dihisapnya sudah habis, ternyata bulan masih tetap gelap
sebelah. Sampai-sampai ia melumat sirih-sekapur, ia tetap menunggu, namun
keadaan bulan masih tetap seperti keadaan semula. Karena itu sang raja mulai
cemas, dan mulai mengakui kebenaran yang dikatakan nakhoda (Tuan
Colombus) itu. Lalu dipanggilnya orang-orang tua dan orang ramai. Setelah
semuanya hadir, ia memerintahkan untuk memberitahukan kepada nakhoda itu, agar
dimohon kepada Tuhan jangan lagi Ia marah. Soal makanan itu, raja bersedia
memberikan sebanyak yang dikehendaki Tuan Colombus.
Tuan Colombus tersenyum ketika mendengar permintaan sang raja. Kepada
utusan sang raja, Tuan Colombus berkata: "Kalau begitu baiklah, raja
kalian tidak perlu takut lagi karena bulan itu akan berhenti gelap sebagai
pertanda bahwa Tuhan tidak marah lagi".
Seusai Tuan Colombus berujar, tidak lama kemudian bulan pun terang
semuanya. Sebenarnya, Tuan Colombus sudah mengetahui sebelumnya berapa lama
bulan itu mengalami gerhana. Setelah bulan terang sepenuhnya, raja segera
memerintahkan kepada penduduknya untuk mengantarkan makanan ke kapal, sebanyak
yang diinginkan Tuan Colombus. Bagitupun Tuan Colombus tetap membayar makanan
itu sesuai harga yang sepatutnya, dan diberikannya pula kain dan barang-barang
bagus kepada sang raja. Dengan adanya makanan yang cukup itu Tuan Colombus
kembali melanjutkan pelayarannya, dan mereka berpisah sebagai orang yang
bersahabat karib.
Sekembalinya Tuan Colombus ke kampung halamannya, banyak nakhoda yang
berlayar ke sana. salah satunya bernama Amerikus, orang yang pertama melihat
benua Amerika. Itulah sebabnya
negeri-negeri yang baru ditemukan itu bernama Amerika dalam bahasa Belanda dan
orang Mandailing menyebutnya Marikin. Karena hal ini, Tuan Colombus sering mengeluh.
Dialah yang pertama sekali berangkat mencari negeri yang terletak di sebelah
barat itu, namun nama Tuan Amerikus lah yang dijadikan nama negeri itu. Suatu
ketika di pagi hari Tuan Colombus makan pagi dan duduk-duduk santai bersama
kawan-kawannya, ia masih menceritakan keluhannya itu. Mendengar keluhan Tuan
Colombus itu, kawan-kawannya bertanya: "Apa lagi kelebihanmu? Sebab banyak
nakhoda mencari negeri itu".
Dahi Tuan Colombus
tiba-tiba berkerut, lalu ia mengambil sebuah telur ayam rebus seraya berkata:
"Siapa yang pandai mendirikan telur ayam ini, akan saya berikan hadiah
seratus ringgit". Ternyata tidak seorang pun yang dapat melaku-kannya.
Setelah itu diambilnya sebutir telur, lalu bagian ujung telur ia ketukkan ke
piringnya. Setelah telur rebus itu penyok, barulah ia dirikan di atas
piringnya. melihat kejadian itu, satu-persatu kawan-kawannya berkomentar:
"Kalau begitu caranya aku pun pandai". Tuan Colombus lantas menjawab:
"Setelah saya perlihatkan caranya barulah kalian tahu. Sebelumnya tidak
seorang pun yang dapat melakukannya. Itulah sebabnya aku sakit hati. Sebelum aku berangkat ke
barat, tidak ada yang berani melakukannya. Tetapi setelah saya tunjukkan jalan
yang harus dilalui, sekarang sudah mudah orang lalui, kenapa masih dikatakan
lagi kepadaku: "Apa susahnya menempuh itu!" kata Tuan Colobus
menambahkan, sehingga membuat kawan-kawannya itu merasa jengah dan malu.
Memang benar apa yang dikatakan Tuan Colombus itu.
Kalau hanya meniru mudah sekali, tetapi mengadakan yang belum ada, memperlihatkan
yang belum pernah dilihat orang, mencoba yang belum dicoba orang, itulah yang
paling sulit.
Dalam hubungan ini, yang
menimbulkan pertanyaan mendasar bagi kita adalah bagaimana cara yang tempuh
bangsa-bangsa lain sehingga mereka menjadi maju dan hidup berkecukupan,
sementara kita masih tetap miskin dan melarat hingga ke ini hari. Seminggu yang
lalu, saya ada menerima e-mail berisi "renungan" dari Fachruddin
Mangunjaya yang diforward oleh Abdur-Razzaq Lubis dari Penang-Malaysia bertajuk "Refleksi & Tindakan" (copyright@1997 Michael J. Bonnel: www.mikebonnel. com).
Isi
”renungan” tersebut menjelaskan, bahwa ”perbedaan antara negara berkembang
(miskin) dan negara maju (kaya) sesungguhnya tidak tergantung pada umur negara
itu. Contohnya negara India dan Mesir yang umurnya lebih dari 2000 tahun,
tetapi mereka tetap terbelakang (miskin). Di sisi lain, Singapura, Kanada,
Australia dan New Zealand, adalah negara yang umurnya kurang dari 150 tahun
dalam membangun, saat ini mereka adalah bagian dari negara maju di dunia, dan
penduduknya tidak lagi miskin. Ternyata, ketersediaan sumber daya alam dari
suatu negara juga tidak menjamin negara itu menjadi kaya atau miskin. Seperti
negara Jepang mempunyai area yang sangat terbatas. Daratannya, 80% berupa
pegunungan dan tidak cukup untuk meningkatkan pertanian dan peternakan. Namun
sekarang Jepang menjadi Raksasa Ekonomi nomor dua di dunia. Boleh dikatakan Jepang
laksana suatu negara ”Industri Terapung” yang besar sekali, mengimpor bahan
baku dari semua negara di dunia dan mengekspor barang jadinya.
Contoh
negara lain adalah Swiss yang tidak mempunyai perkebunan coklat tetapi terkenal
sebagai sebagai negara pembuat coklat terbaik di dunia. Negara Swiss sangat
kecil hanya 11% daerahnya yang bisa ditanami. Swiss juga mengolah susu dengan
kualitas terbaik (Nestle adalah
salah satu perusahaan makanan terbesar di dunia). Sebagaimana kita ketahui
selama ini, Swiss juga tidak mempunyai cukup reputasi dalam keamanan,
integritas dan ketertiban – tetapi saat ini bank-bank di Swiss menjadi bank
yang sangat disukai di dunia.
Para
eksekutif dari negara maju yang berkomunikasi dengan temannya dari negara
terbelakang sependapat, bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal
kecerdasan. Ras atau warna kulit juga bukan faktor penting. Para imigran (Afrika)
yang dinyatakan di negara asalnya ”pemalas” ternyata menjadi sumber daya yang
sangat produktif di negara-negara maju dan kaya di Eropa. Jadi hal-hal apa
yang membedakannya? Perbedaannya adalah pada attitude (sikap dan perilaku) masyarakatnya, yang telah dibentuk
sepanjang tahun melalui kebudayaan dan pendidikan.
Berdasarkan
analisis atas perilaku masyarakat di negara maju tersebut, ternyata bahwa
mayoritas penduduknya sehari-harinya mengikuti dan mematuhi prinsip-prinsip
dasar kehidupan sebagai berikut: (1) etika, sebagai prinsip dasar dalam
kehidupan sehari-hari; (2) kejujuran dan integritas; (3) bertanggungjawab; (4) hormat
pada aturan dan hukum masyarakat; (5) hormat pada hak orang/warga lain; (6) cinta
pada pekerjaan; (7) berusaha keras untuk menabung dan investasi; (8) mau
bekerja keras; dan (9) tepat waktu.
Di
negara miskin atau berkembang hanya sebagian kecil masyarakatnya
mematuhi prinsip-prinsip dasar kehidupan tersebut. Sesungguhnya kita miskin atau
terbelakang bukan karena kurang sumber daya alam, atau karena alam yang kejam
kepada kita. Kita lemah dan miskin karena perilaku kita yang tidak
baik. Kita kekurangan kemauan untuk mematuhi dan mengajarkan prinsip-prinsip
dasar kehidupan yang akan memungkin-kan masyarakat kita pantas membangun
masyarakat, ekonomi, dan negara”.
Kalau
kita cermati ke sembilan prinsip-prinsip dasar kehidupan yang diterapkan anggota
masyarakat negara-negara maju dan kaya tersebut, pada dasarnya secara
subtansial tidak jauh beda dengan attitude
(perilaku) dari orang-orang yang tergolong alak
na bisuk di Mandailing. Namun mengapa sebagian
besar orang Mandailing sampai sekarang masih miskin dan tidak maju-maju? Hal
ini bisa terjadi mungkin karena masih banyak di antara orang Mandailing yang
memiliki tabiat seperti Si Bisuk Na Oto,
sebaliknya alak na bisuk relatif
sedikit. Untuk itu, mutu pendidikan dan apresiasi seni orang Mandailing masih perlu
untuk lebih ditingkatkan lagi. Begitu pula dalam hal penghayatan dan penga-malan
nilai-nilai budaya warisan leluhur (adat-istiadat) sebagaimana diutarakan
sebelumnya, atau dalam bentuk ende-ende
yang mengandung makna sama dengan nilai budaya olong dohot domu seperti berikut:
Songon siala sampagul
Rap tu incat rap tu toru
Muda malamun saulak lalu
Muda magulang rap margulu
(Seperti
buah Siala Sampagul
Sama-sama
ke atas sama-sama ke bawah
Ketika
matang sekaligus
Apabila
jatuh-berguling bersama-sama pula)
Kesemuanya
itu bersumber dari nilai budaya Mandai-ling tertinggi dan paling abstrak yaitu olong
(kasih sayang). Nilai budaya olong
inilah yang menjadi landasan paling dasar bagi hubungan fungsional antar
kelompok kerabat mora, kahanggi dan anakboru dalam sistem atau organisasi sosial Adat Dalian Na Tolu. Meskipun
berdasarkan strukturnya sistem Dalian Na
Tolu (”Tiga Tungku Sejarangan”) memiliki tiga unsur utama, yaitu mora, kahanggi dan anakboru, akan tetapi pada hakikatnya adalah dua saja sehubungan dengan eksistensi setiap (individu) orang
Mandailing, yaitu koum karena adanya hubungan perkawinan antar dua pihak, dan sisolkot
berdasarkan hubungan darah yang disebut samarga
atau markahanggi. Itulah sebabnya
mengapa orang Mandailing juga menyebut adat-istiadat mereka yang modelnya seperti
itu dengan istilah Adat Markoum-Sisolkot.
Bolang dan Bisuk
D
|
i Mandailing, berbagai macam bentuk ornamen atau hiasan tradisional dapat
kita temukan pada bagian tutup ari
dari Sopo Godang (Balai Sidang Adat)
dan Bagas Godang (Rumah Besar). Dalam
bahasa Mandai-ling, ornamen-ornamen tersebut disebut juga dengan istilah bolang. Bolang ini merupakan simbol atau per-lambang yang memiliki
makna-makna yang sangat mendalam bagi masyarakat Mandailing karena di dalamnya
terkandung nilai-nilai, gagasan-gagasan, konsep-konsep, norma-norma,
kaidah-kaidah, hukum dan ketentuan adat-istiadat yang menjadi landasan dan
pegangan dalam mengharungi bahtera kehidupan. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa para leluhur orang Mandailing yang menciptakan bolang ini tergolong sebagai alak
na bisuk.
Dalam bukunya An
Essay on Man, Ernst Cassirer mengemukakan bahwa simbol atau perlambang, yang
hanya memiliki nilai fungsional, itu merupakan petunjuk kepada eksistensi
dan kodrat manusia. Pemikiran
dan perilaku simbolis merupakan ciri khas manusiawi, sehingga hampir dapat
dipastikan bahwa seluruh kemajuan kebudayaan manusia umumnya bertitik tolak
dari pemikiran dan perilaku simbolis. Ciri-ciri khas simbolisme manusia antara
lain dapat diterapkan secara umum (universal), dan beranekaragam sehingga
simbol manusiawi itu tidak ketat atau kaku, melainkan luwes. Dalam pada itu,
ciri utama manusia adalah karyanya, yaitu sistem kegiatan-kegiatan manusiawi
seperti bahasa, mitos, religi, kesenian, dan sejarah, adalah sektor-sektor yang
sangat penting dan struktur dasarnya harus dipahami sebagai kesatuan organis
yang satu sama lain saling kait-mengkait dalam satu ikatan yang bersifat
fungsional (vinculum functionale).
Fungsi dasar dari berbagai kegiatan manusia itulah yang harus digali di balik
berbagai perwujudan dan pengucapan, sehingga pada akhirnya kita menemukan
sumber yang sama. Meskipun nantinya ditemukan berbagai macam perbe-daan dan
pertentangan antara berbagai bentuk kegiatan manusia, namun semua bentuk
kegiatan manusia itu menuju ke tujuan bersama. Di sana akan ditemukan suatu ciri yang menonjol dan
bersifat umum, yang menyatukan semua bentuk kegiatan manusia itu dalam suatu
keseimbangan (harmoni). Sebagaimana halnya dengan semua bentuk simbolis
lainnya, seni bukanlah semata-mata reproduksi dari realitas yang terberi, yang
“selesai”. Dengan kata lain, seni merupakan salah satu jalan ke arah pandangan
objektif atas benda-benda dan kehidupan manusia. Seni sesungguhnya bukanlah
imitasi realitas semata, melainkan suatu upaya manusia untuk menyingkap
realitas itu sendiri. Di sisi lain, karena seni memiliki
kekuatan konstruktif untuk menyusun dunia manusiawi, maka bentuk-bentuk seni
bukanlah bentuk-bentuk yang kosong melompong tanpa ”isi”, melainkan memikul dan
mengemban tugas-tugas tertentu dalam upaya membangun dan menata pengalaman
manusia itu sendiri.
Bolang atau ornament tradisional Mandailing yang digunakan sebagai perlambang
terbuat dari tiga jenis material: (1) tumbuh-tumbuhan, seperti batang bambu
yang melambangkan huta atau bona bulu; burangir atau aropik
melambangkan Raja dan Namora Natoras sebagai tempat meminta
pertolongan; pusuk ni robung yang
disebut bindu melambangkan adat Dalian Na Tolu atau adat Markoum-Sisolkot; (2) hewan atau
binatang, seperti hala (kala) dan lipan melambangkan “bisa/racun” yang
mempunyai kekuatan hukum; ulok (ular)
melam-bangkan keberasaran dan kemuliaan; parapoti
(burung merpati) melambangkan kegiatan mencari nafkah untuk menghidupi
keluarga; tanduk ni orbo (tanduk
kerbau) melambangkan kebangsawanan; (3) peralatan hidup sehari-hari, seperti timbangan dan podang (pedang) melambangkan keadilan; takar (batok kelapa) melam-bangkan pertolongan bagi yang
membutuhkan; loting (pemantik api) melambangkan
usaha-usaha dalam mencari nafkah, dan lain sebagainya.
Pembuatan bolang
pada Sopo Godang dan Bagas Godang tersebut dilakukan dengan
cara menganyam atau menjalin dan ada pula yang diukir. Bahan yang dipakai
sebagai bahan anyaman adalah lembaran-lembaran bambu yang telah diarit dengan
bentuk-bentuk terentu dan kemudian dipasang pada bagian tutup ari Bagas Godang dan
Sopo Godang. Ornamen-ornamen itu sebagian besar diberi warna na rara (merah), na lomlom (hitam) dan na
bontar (putih) yang erat kaitannya dengan kosmologi Mandailing. Dalam hal
ini, na rara melambangkan kekuatan,
keberanian dan kepahlawanan; na bontar
melambang-kan kesucian, kejujuran dan kebaikan; na lomlom melambangkan kegaiban (alam gaib) dalam sistem
kepercayaan animisme yang disebut Sipelebegu
yang pernah dianut orang Mandailing dahulu.
Berikut ini
diterakan ornamen-ornamen yang terdapat pada tutup ari dari Sopo Godang
dan Bagas Godang.
1. Bona Bulu melambangkan sistem pemerintahan
Huta
2. Bindu/Pusuk ni Robung
melambangkan sistem organisasi sosial
Makna:
kehidupan sosial-budaya masyarakat Mandailing berlandaskan Adat Dalian Na Tolu (Tiga
Tungku Sejarangan) atau Adat Markoum-Sisolkot
(adat berkaum-kerabat)
Makna:
segala sesuatu perihal, baik itu menyangkut pelaksanaan upacara adat dan ritual
harus terlebih dahulu meminta pertimbangan dan ijin kepada Raja dan Namora Natoras.
Makna:
Raja berkewajiban menjaga dan memelihara ketertiban dalam masyarakat agar
mereka dapat hidup aman dan damai serta saling menghormati antar sesama demi
tegaknya hukum dan adat.
5. Bintang na Toras melambangkan pendiri huta
Makna: Huta tersebut didirikan
oleh Natoras yang sekaligus
berkedudukan sebagai pimpinan pemerintahan dan pimpinan adat yang dilengkapi
dengan Hulubalang, Bayo-bayo Nagodang,
Datu, dan Sibaso.
6. Rudang melambangkan
suatu Huta yang sempurna
Makna:
hubungan antar kekerabatan sangat erat dan berlangsung secara harmonis dengan
terjadinya hubungan perkawinan antar marga
(klan), baik sesama warga huta maupun
dengan orang yang berasal dari huta
lain.
8. Sancang Duri
melambangkan suatu kejadian yang tak terduga
Makna:
seseorang yang datang ke suatu huta
dan ia langsung ke Sopo Godang, maka Namora Natoras wajib memberinya makan
selama ia berada di huta itu, dan
apabila ia meninggalkan huta harus
diberi bekal makanan.
9. Jagar-jagar melambangkan
kepatuhan masyarakat terhadap adat-istiadat
Makna:
dalam setiap huta telah ada ketentuan
mengenai adat Marraja, Marmora, Markahanggi, Maranak boru, dan adat Naposo Nauli Bulung.
10. Bondul na Opat melambangkan ketentuan dalam berperkara
11. Alaman Bolak (Alaman Silangse Utang) melam-bangkan
wewenang dan kekuasaan Raja
Makna: kalau terjadi perkelaian
misalnya dan salah seorang diantaranya berlari ke Alaman Bolak yang terdapat di depan Bagas Godang (Istana Raja), maka orang tersebut tidak boleh
diganggu oleh siapapun. Kalau ada orang lain yang mengganggu, maka yang menjadi
lawannya adalah semua warga huta.
12. Bulan melambangkan pelita
hidup
Makna:
Bulan yang bersinar pada malam hari
dapat menerangi mata hati segenap warga huta
itu akan membawa mereka menuju taraf hidup yang lebih baik yaitu keberuntungan,
kemuliaan dan kesejahteraan.
Makna:
seorang Raja yang memerintah dengan
adil dan bijaksana akan membuat segenap warga huta merasa bahagia. Raja
harus menjadi pelindung rakyatnya dalam segala hal, baik dalam adat maupun
menyangkut kehidupan sehari-hari. Sikap Raja
yang demikian disebut marsomba di balian
marsomba di bagasan.
Makna:
kepemilikan Raja atas sawah yang cukup
luas dan persediaan bahan makanan (padi) yang cukup itu menjadi parsalian (tempat memohon bantuan) bagi
setiap warga huta yang kekurangan
bahan makanan.
Makna:
setiap warga huta yang sedang
mengalami kesusahan baik masalah makanan maupun hal-hal lainnya dapat meminta
bantuan Raja. Demikian pula setiap orang wajib menolong orang lain yang
kesusahan, baik pertolongan moril maupun materil.
16. Lading/Upak melambangkan kesiap-siagaan
Makna:
benda tajam ini cukup penting ini da-lam berbagai aktifitas kehidupan
sehari-hari. Selain itu juga dapat berguna sebagai senjata ketika pergi ke
tengah hutan untuk berburu atau untuk kepentingan lainnya.
17. Podang melambangkan penegakan hukum
Makna:
Terhadap sese-orang yang melanggar hukum, raja memiliki wewenang untuk memu-mutuskan
apakah sese-orang yang telah terbukti bersalah itu di hukum mati atau hukum
gantung maupun hukuman buang.
18. Tanduk ni Orbo
melambangkan kebangsa-wanan dan kekuasaan
Makna:
setiap rumah yang memiliki tanduk kerbau pada bagian atas atap rumahnya
menandakan bahwa yang punya rumah adalah Raja
atau kaum Bangsawan yang memiliki pengaruh atau kekuasaan di dalam suatu huta.
19. Lipan melambangkan asas
permusyawaratan untuk mufakat
20. Ulok melambangkan
kedudukan dan fungsi Raja
Makna: Raja
pada setiap Huta memiliki kemuliaan
dan kebesaran yang berfungsi sebagai pelindung dan pemersatu bagi segenap
rakyatnya.
Makna: keputusan bersama yang disebut ”Janjian”
adalah dasar hukum yang paling kuat dan tidak dapat dibantuk oleh pihak manapun
juga. Maknanya kurang lebih sama dengan pengertian lipan.
21. Barapati/Parapoti
melambangkan kegiatan men-cari nafkah
Makna: kegiatan mencari nafkah hidup seperti burung
merpati yang terbang di pagi hari untuk mencari nafkah, dan pada sore hari
kembali ke rumah dengan membawa nafkah yang diperolehnya untuk dimakan
bersama-sama keluarganya.
22. Manuk na Bontar melambangkan sanksi
hukum yang berat
Makna: setiap orang yang melanggar adat, misalnya
kawin semarga (incest) dikenakan
hukuman dengan memotong seekor kerbau dan memberi makan orang banyak serta
melepaskan seekor ayam putih (pahabang
manuk na bontar). Orang yang melanggar adat ini selanjutnya diusir dari Huta dan hubungan kekerabatannya dengan
warga Huta diputuskan pula.
23. Timbangan melambangkan kebenaran dan keadilan
Makna: dalam memeriksa, membahas, menimbang serta
memutuskan suatu perkara harus berdasarkan kebenaran dan keadilan serta
bijaksana agar tidak menimbulkan perasaan tidak senang bagi pihak yang berperkara.
24. Bintang
melambangkan Natoras
Makna: dengan adanya lambang ini suatu pertanda
bahwa di Huta tersebut ada Natoras sebagai pendiri Huta yang pertama sekali (Pamungka Huta).
25. Horis melambangkan
kesejahteraan, kesela-matan dan kedamaian
26. Gancip melambangkan tugas
dan kewajiban Raja
Makna: Raja
melaksanakan adat dan hukum secara adil dan bijaksana. Apabila rakyat
memerlukan bantuan, maka Raja wajib menolongnya,
baik itu bantuan moril maupun materil. Selain itu Raja harus bersikap tegas dan konsisten terhadap siapapun yang
melakukan kesalahan diberi hukuman berdasarkan keputusan adat.
27. Loting Pak-pak melambangkan kesungguhan
dalam berusaha dan bekerja
Makna: Untuk dapat meme-nuhi
kebutuhan hidupnya maka setiap orang harus bekerja dan berusaha de-ngan
menggunakan seluruh tenaga dan pikiran sehingga setiap pekerjaan tidak sia-sia
dilakukan, tak ubahnya seperti besi dan batu yang apabila diadu akan menghasilkan
percikan api (membuahkan hasil yang nyata).
28. Gumbot melambangkan Raja sebagai suri tauladan dan panutan
rakyat
Makna: sebagai seorang pemimpin yang beradat dan
mengetahui hukum, maka seorang Raja harus memiliki sifat welas asih, lapang dada,
respek dan memiliki etika yang tinggi sehingga ia selalu menjadi panutan
rakyatnya.
29. Parbincar Mataniari melambangkan matahari sebagai sinar penerangi dalam kehidupan
29. Parbincar Mataniari melambangkan matahari sebagai sinar penerangi dalam kehidupan
Makna: Matahari diumpamakan sebagai penerangi dalam kehidupan, sumber
rezeki dan penghidupan, kebahagiaan, kesejahteraan bagi Namora-Natoras dan seluruh rakyatnya. Ornamen ini terdapat di atas
pintu masuk ruang tengah Bagas Godang.
PENUTUP
Dapat diasumsikan bahwa orang-orang
yang tergolong Si Bisuk Na Oto ini
juga membutuhkan ongkos hidup yang teramat sangat besar. Sehingga apabila suatu negara-bangsa dipimpin oleh seseorang yang
memiliki pola pikir dan prilaku seperti Si Bisuk Na Oto ini, karena tidak
adanya keselarasan antara "daya nalar" dan "kecerdasan
emosional" pada dirinya sebagai pemimpin maka hampir dapat dipastikan
bahwa negara-bangsa yang dipimpinnya akan mengalami kebangkrutan dan
ketertinggalan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam
waktu yang tidak terlalu lama bisa jadi rakyatnya semakin banyak pula yang
menjadi Si Bisuk Na Oto karena pimpinannya juga adalah Si Bisuk Na
Oto. Endingnya adalah keterpurukan dan kehancuran negara-bangsa itu
sendiri sehingga rakyat sepenuhnya kemudian hidup dalam kesengsaraan dan
kehinaan, yang pada gilirannya dinistakan dan ditertawakan oleh bangsa-bangsa
yang sudah maju dan kaya.
Sehubungan dengan itu, menurut
hemat saya, meng-ungkap eksistensi dan menganalisis tabiat Si Bisuk Na Oto ini, dari banyak sisi
bermanfaat baik bagi insider maupun outsider. Terlebih-lebih bagi orang
Mandailing, yang dalam hal ini, gambaran ringkas tentang pola pikir dan
perilaku Si Bisuk Na Oto ini bisa dijadikan sebagai "alat-ukur" sederhana untuk
mengetahui apakah para pimpinan masyarakat di Madina, ada atau tidak, yang masih
memiliki tabiat seperti Si Bisuk Na Oto.
Sebagai bagian integral dari NKRI ini, tentu saja masyarakat
Mandailing-Natal (“Masyarakat Madina yang Madani”) tidak akan pernah
menginginkan Madina dipimpin oleh Si Bisuk Na Oto karena kepemimpinan Si Bisuk Na
Oto berpotensi besar untuk menambah jumlah Si Bisuk Na
Oto di dalam masyarakat Madina, yang pada akhirnya akan membuat 'orang Madina' itu sendiri menjadi masyarakat yang semakin terbelakang dan tertinggal
di Era Globalisasi ini.
ooooo
Ahmadun
Yosi Herfanda, “Antara Lokalitas dan Urbanitas Cerpen Indonesia”, Bagian
Pertama dari Dua Tulisan, Sastra, Republika
Online, 17 September 2006.
Buletin
MANDAILING, (Medan: Yayasan
Pengkajian Budaya Mandailing/ YAPEBUMA, 1998).
Buletin PARATA NA
MALOS, (Medan: HIKMA Tingkat I Sumatera Utara, 1997).
Dick Hartoko, Manusia
dan Seni, (Yogyakarta: Kanisius, 1984).
Donald B. Calne, Batas
Nalar: Rasionalitas dan Perilaku Manusia, (Jakarta: Kepustakaan Popuker
Gramedia, 2004).
Edi Nasution, Tulila:
Muzik Bujukan Mandailing, (Penang: Areca Books, 2007).
Ernst Cassirer, Manusia
dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia, diindonesiakan oleh Alois A.
Nugroho, (Jakarta: PT Gramedia, 1987).
Laporan
Penelitian Pengumpulan dan Dokumentasi Ornamen Tradisional Di Sumatera Utara
1979/1980, (Medan: Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Sumatera
Utara).
M. Kasim, Cerpen ”Bertengkar
Berbisik”, (Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka, Desember 2004).
Raja Junjungan Lubis, ”Sirih Adat Lambang Persatu Paduan
dan Kegotong Royongan” dalam H. Anwar Harahap, (ed), Buku Warisan Marga-Marga Tapanuli Selatan Turun-Temurun, (Medan:
Yayasan Manula Glamour, Punguan Marga-Marga Tapanuli Selatan, 1980).
Siregar, Rukiyah & Ch. St. Tinggi Barani Perkasa Alam,
Burangir Na Hombang, (Jakarta:
Depdikbud, 1981).
Willem Iskander, Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk, (Medan:
Sjarikat Tapanoeli, 1967).
Z. Pangaduan Lubis, Kisal
Asal-Usul Marga Di Mandailing, (Medan: Yayasan Pengkajian Budaya
Mandailing/ YAPEBUMA, 1986).
Z. Pangaduan Lubis, Namora
Natoras: Kepemimpinan Tradicional Mandailing, (Skripsi Sarjana FISIP USU
Medan, 1986).
Zulkifli B. Lubis, Manipol:
Studi Orientasi Budaya Mandailing, (Skripsi Sarjana FISIP USU Medan, 1988).
Informan
(Penelitian Lapangan 1990-1995 di Mandailing)
·
Mangaraja Lelo Lubis (Medan)
·
Z. Pangaduan Lubis (Medan)
·
Zulkifli Matondang (Medan)
·
Sutan Singasoro (Huta Godang)
·
Sutan Baringin (Habincaran)
·
Zulkarnain Nasution (Panyabungan)
·
Mangaraja Sende Tua Lubis (Kotanopan)
·
Raja Hidayat Nasution (Maga)
·
Abdul Hakim Nasution gelar Batungkek
(Tombang Bustak)
·
Mangaraja Lobi Lubis (Huta Padang, Ulu
Pungkut)
·
Sutan Guru Panusunan Lubis (Tamiang)
·
Burhanuddin Lubis (Huta Pungkut)