Minggu, 08 Agustus 2010

Sistem Sosial












PENGANTAR

Pada masa dahulu pernah terjadi titik balik dalam kebudayaan dan pemikiran Yunani ketika Plato menafsirkan semboyan “Kenalilah dirimu sendiri”, dengan cara yang sama sekali baru. Kemudian penafsiran Plato ini menimbulkan persoalan yang tidak hanya tidak terdapat pada pemikiran pra-Sokrates, tetapi juga di luar jangkauan metode Sokrates sendiri. Pada masanya Sokrates mendekati manusia sebagai individu, yang menurut Plato dianggap memiliki banyak keterbatasan. Untuk memecahkan persoalan pengenalan diri sendiri itu, bagi Plato, kita harus membuat rancangan yang lebih luas. Karena dalam pengalaman individu, kita menghadapi gejala-gejala yang beraneka ragam, sangat rumit dan saling bertentangan, sehingga jarang sekali kita mampu melihatnya secara jernih. Manusia seharusnya dipelajari dari sudut kehidupan sosial dan politis. Manusia, menurut Plato, ibarat teks yang sulit, maknanya harus diuraikan oleh filsafat.[1]

Dalam filsafat Comte, salah satu semboyan dasar yang dipakai untuk mempelajari manusia memang harus subjektif, tetapi tidak boleh bersifat individual. Hal yang ingin kita ketahui bukanlah kesadaran individual, melainkan subjek universal. Bila masalahnya kita rumuskan sebagai “kemanusiaan”, maka kita mesti mengatakan bahwa bukan kemanusiaan yang akan diterangkan oleh manusia, melainkan manusialah yang akan diterangkan oleh kemanusiaan. Masalah ini harus dirumuskan kembali dan dikaji ulang, harus diletakkan di atas dasar yang lebih luas dan lebih masuk akal. Dasar semacam itu dapat kita temukan dalam pemikiran sosiologis dan historis. “Mengenal diri”, kata Comte, “adalah mengenal sejarah”.[2]

Sesungguhnya ciri utama manusia, ciri khasnya, bukan kodrat fisik atau kodrat metafisik – melainkan karyanya. Karyanyalah, sistem kegiatan-kegiatan manusialah yang menentukan dan membatasi dunia “kemanusiaan”. Bahasa, mitos, religi, kesenian, sejarah adalah sektor-sektor penting dalam dunia itu. Suatu “filsafat manusia” harus bersifat filsafat yang mampu memberi kita pemahaman atas struktur dasar masing-masing kegiatan itu. Serentak filsafat itu harus mampu pula memberi kita pemahaman atas seluruh kegiatan itu sebagai kesatuan organis. Bahasa, kesenian, mitos, religi bukanlah hasil karya yang tidak saling kait-mengkait. Mereka tergabung dalam satu ikatan. Namun ikatannya itu bukan berupa vinculum substantiale (ikatan substansial) seperti pernah dipahami dan digambarkan oleh pemikiran skolastik, melainkan berupa vinculum functionale (ikatan fungsional). Fungsi dasar dari bahasa, mitos, kesenian, religi itulah yang harus kita gali di balik berbagai perwujudan dan pengucapan. Pada analisis terakhir, kita harus berusaha untuk mengusut dan menemukan sumber yang sama.[3] Sekiranyapun istilah “kemanusiaan” itu pada akhirnya memiliki arti, maka ini berarti bahwa, biarpun ada berbagai perbedaan dan pertentangan antara berbagai bentuk kegiatan, bentuk-bentuk itu semua menuju ke tujuan bersama. Dalam jangka panjang tentu akan ditemukan ciri menonjol, ciri umum, yang menyatukan bentuk-bentuk itu dalam suatu harmoni.[4]

Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu diketahui bahwa manusia selalu hidup dalam suatu jenis kelompok tertentu, dan mereka saling berinteraksi, saling mempengaruhi, saling mengasihi, saling berhantam, saling membantu, saling cemburu, dan saling memeras. Dari masa ke masa berikutnya dalam sejarah, manusia sudah mampu membentuk sistem sosial yang luas dan besar, seperti kerajaan-kerajaan besar misalnya, dimana hal ini menuntut suatu pengalaman praktis yang sangat rumit dan njelimet dalam organisasi dan perencanaan sosial.[5]Di tempat-tempat pemukiman masyarakat Mandailing yang terletak di pedalaman pesisir pantai barat Pulau Sumatra, dahulu di situ terdapat kerajaan-kerajaan kecil. Setiap kerajaan kecil itu merupakan gabungan dari sejumlah huta (kampung) yang disebut Janjian dengan suatu lembaga kepemimpinan tradisional bernama Namora Natoras yang dipimpin oleh Raja Panusunan Bulung. Meskipun sejumlah huta yang terdapat pada setiap “kerjaan kecil” (Janjian) itu umumnya merupakan “huta anak” yang berasal dari satu “huta induk” (mother village) yang sama, akan tetapi masing-masing huta (atau disebut juga dengan istilah banua) memiliki pemerintahan yang otonom dan berada dibawah kepemimpinan Namora Natoras yang dikepalai oleh Raja Pamusuk. Sepanjang yang diketahui, “kerajaan kecil” (Janjian) di wilayah Mandailing Godang antara lain Gunung Tua, Gunung Baringin, Panyabungan Julu, Panyabungan Tonga, Huta Siantar, Maga, Aek Nangali, Muara Soma dan Muara Parlampungan, sedangkan di wilayah Mandailing Julu antara lain Tambangan, Singengu, Sayurmaincat, Manambin, Tamiang, Huta Godang, Pakantan Dolok dan Pakantan Lombang.

Dari segi adat-istiadat dan struktur sosial, penduduk huta dikelompokkan ke dalam tiga kelompok kekerabatan yang terbentuk berdasarkan pertalian darah (keturunan) dan hubungan perkawinan. Kelompok kekerabatan berdasarkan hubungan perkawinan adalah mora (pemberi anak gadis) dan anak boru (penerima anak gadis), sedang kahanggi (berabang-adik secara geneologis) adalah kelompok kekerabatan yang terbentuk berdasarkan pertalian darah. Ketiga kelompok kekerabatan ini merupakan komponen utama dari sistem sosial mereka yaitu dalian na tolu yang artinya “tumpuan yang tiga” atau “tiga tumpuan”. Dengan kata lain, penerapan sistem sosial dalian na tolu dalam kehidupan bermasyarakat secara mutlak bertumpu kepada eksistensi dari ketiga kelompok kekerabatan tersebut.Penduduk huta di Mandailing adalah masyarakat agraris, dan mereka menganut prinsip patrilineal (garis keturunan ayah/laki-laki). Dalam hal ini, warga huta terbagi lagi ke dalam kelompok kekerabatan yang disebut marga (clan) yang terbentuk berdasarkan hubungan geneologis. Marga (clan) merupakan kelompok dari orang-orang yang merupakan keturunan dari satu nenek moyang bersama (disebut saompu parsadaan). Tokoh leluhur suatu marga biasanya bersifat legendaris dan senantiasa ditempatkan di awal silsilah keturunan (disebut tarombo) mereka, contohnya Namora Pande Bosi adalah saompu parsadaan dari marga Lubis. Orang-orang yang se-marga disebut markahanggi atau marsisolkot. Dengan adanya tarombo tersebut maka setiap marga dapat mengetahui asal-usul dan jumlah keturunan mereka sampai sekarang. Marga-marga orang Mandailing seperti Nasution, Lubis, Pulungan, Rangkuti, Parinduri, Matondang, Daulae dan Batubara.

Dalam konteks kebudayaan Mandailing, kata dalian adalah sebuah "istilah" yang mampu menarik perhatian kita. Karena selain terdapat pada istilah sistem sosial mereka yaitu dalian na tolu, kata dalian tersebut juga digunakan sebagai nama panggilan untuk anak laki-laki; bagian dari “kalimat” berupa ungkapan kekesalan hati; dan nama tempat untuk menjerangkan wadah tertentu untuk memasak sesuatu di dapur rumah orang Mandailing.



DALIAN SEBAGAI FAKTA SOSIAL-BUDAYA


Dalam kehidupan sehari-hari orang Mandailing seringkali mengucapkan sebuah kata yang sangat erat kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan mereka, yaitu dalian. Kata dalian sebagai sebuah konsep (rumusan dasar dan fundamental) menunjuk kepada sekelompok gejala atau fakta yang ada dalam masyarakat Mandailing, yang dapat diamati baik secara langsung maupun tidak langsung (abstrak).[6]

Di Mandailing seorang anak laki-laki dipanggil dengan nama sebutan lian atau dali, adalah kependekan dari kata dalian. Ketika orang tua menyuruh anak laki-lakinya untuk melakukan berbagai macam hal, misalnya untuk menimba air dari dalam sumur mereka, sang ayah atau ibunya akan berkata: “Lian, buat jolo aek sian sumburta i” (Nak, ambil dulu air dari sumur kita).[7] Nama panggilan Lian ini sebenarnya tidak hanya digunakan oleh orang tuanya untuk memanggil anak laki-laki mereka sendiri. Orang-orang lain yang usianya lebih tua dari si anak laki-laki tersebut dapat memanggil atau menyapanya dengan nama lian. Meskipun seorang laki-laki sudah cukup tua usianya, ia tetap dapat dipanggil dengan nama lian oleh orang-orang yang usianya lebih tua darinya. Tetapi sebaliknya, seorang laki-laki tidak akan memanggil laki-laki lain yang usianya jauh lebih tua darinya dengan sebutan lian karena merasa tidak patut dilakukan.

Dalam pergaulan sehari-hari adakalanya seseorang mengungkapkan rasa kekesalannya kepada seorang teman atau saudaranya dengan mengatakan: “na bahatan si dalian mu, uboto dei” (banyak sekali alasanmu, tahunya aku itu). Timbulnya rasa kekesalannya itu misalnya karena teman atau saudaranya itu tidak kunjung jua mau mengabulkan permintaanya dengan selalu mencari-cari alasan atau dalih yang tidak masuk akal sehat. Misalnya seseorang mau meminjam sejumlah uang kepada seorang temannya, berkali-kali dia mengulangi permintaannya ketika mereka bertemu, namun temannya itu tidak memberikannya dengan berbagai alasan yang cenderung mengada-ada, sehingga membuatnya kesal dan marah, lalu keluarlah umpatan itu.

Sebagai insan yang secara kodrati hidup berpasangan itu terlahir dengan kelamin berbeda, lawan jenis si lian adalah anak perempuan yang dinamakan si taing, adalah kependekatan dari kata tataring.[8] Di dalam rumah orang Mandailing yang disebut bagas, tataring ditempatkan di dapur rumah pada bahagian paling belakang. Konstruksi tataring berbentuk empat persegi yang dibuat dari papan sebagai dinding dan lantainya, yang di dalamnya diisi dengan tanah secara merata dan padat. Sedangkan penopangnya berupa tiang-tiang yang terbuat dari kayu, dan pada bagian kolongnya ditempatkan kayu bakar. Di atas tanah yang rata dan padat itu diletakkan tiga buah batu dengan posisi segi tiga yang dinamakan dalian, dan di atas dalian itulah sang ibu rumah tangga (disebut juga dengan istilah induk ni tataring) menjerang udon tano (periuk) untuk menanak nasi.


Selain ketiga fakta di atas, kata dalian juga ditemukan dalam istilah dalian na tolu yaitu sistem sosial masyarakat Mandailing.[9] Dari segi strukturnya sistem sosial dalian na tolu terdiri atas tiga kelompok kekerabatan fungsional yang menjadi komponen utamanya. Dua dari tiga kelompok kekerabatan itu yaitu mora (pemberi anak gadis) dan anak boru (penerima anak gadis) terbentuk berdasarkan pertalian perkawinan, sedangkan yang satu lagi yaitu kahanggi (abang adik) terbentuk atau dibentuk berdasarkan pertalian darah atau hubungan keturunan.[10]

Dengan mencermati keempat fakta tersebut di atas dapat diketahui bahwa pengertian dasar kata dalian adalah “tumpuan” atau “tempat bertumpu”. Dalam konteks kebudayaan Mandailing, yang masyarakatnya menganut prinsip patrilineal (garis keturunan ayah atau laki-laki), anak laki-laki merupakan tumpuan harapan mereka untuk meneruskan keturunannya; kata dalian dalam ungkapan kekesalan “na bahatan si dalian mu, uboto dei” berarti “alasan” atau “dalih” yang dapat diartikan juga sebagai tumpuan untuk mengelak; penyebutan dalian untuk menjerang tempat memasak di atasnya juga bermakna tumpuan sesuai dengan fungsi dari batu-batu yang digunakan sebagai dalian, bukan nama dari batu-batu tersebut secara fisik melainkan kegunaannya karena batu telah kekal namanya batu[11]; dan terakhir kata dalian pada istilah dalian na tolu juga bermakna tumpuan. Dalian na tolu artinya tumpuan yang tiga atau tiga tumpuan, yaitu tiga kelompok kekerabatan (mora, kahanggi dan anak boru yang terbentuk berdasarkan pertalian darah dan hubungan perkawinan) yang dijadikan sebagai tumpuan atau pondasi bagi dalian na tolu tersebut, adalah sistem sosial masyarakat Mandailing.[12]



KELOMPOK KEKERABATAN DAN SISTEM SOSIAL

Salah seorang budayawan orang Mandailing, yaitu Pangaduan Lubis mengajukan satu hipotesis bahwa konsep dalian na tolu dalam konteks adat, berasal dari masyarakat dan kebudayaan Mandailing, bukan berasal dari masyarakat dan budaya lain karena dalian na tolu diciptakan nenek moyang orang Mandailing sebagai suatu konsep abstrak, adalah hasil pemikiran mereka yang kemudian digunakan sebagai tumpuan atau pondasi untuk membentuk suatu sistem kemasyarakatan. Dengan penuh kesadaran mereka menggunakan dalian na tolu untuk dapat menata cara-cara hidup bersama yang dipandang ideal. Di dalam sistem sosial dalian na tolu terdapat tiga kelompok kekerabatan (mora, kahanggi dan anak boru) yang dipergunakan secara fungsional untuk mewujudkan dan melaksanakan olong (kasih sayang) di antara sesama warga masyarakat Mandailing yang satu sama lain terikat oleh hubungan kekerabatan, yaitu hubungan antara masing-masing warga masyarakat yang diberi kedudukan sebagai mora, kahanggi dan anak boru. Karena olong sesama warga masyarakat, dalam filsafat adat Mandailing, merupakan sumber asli dari adat. Filsafat yang demikian itu muncul melalui ungkapan dalam bahasa Mandailing yang mengatakan olong do mula ni ugari atau olong do bona ni adat. Artinya, kasih sayanglah asal mula atau pangkal dari adat. Melalui ungkapan lain, tetapi masih senada, disebutkan pula olong maroban domu, domu maroban parsaulian, yang artinya kasih sayang membawa keakraban, dan keakraban membawa kebaikan bersama.[13] Sehubungan dengan itulah leluhur orang Mandailing menciptakan dalian na tolu sebagai sistem sosial. Dalam arti dalian na tolu digunakan sebagai mekanisme untuk mewujudkan dan menjalankan olong di antara sesama orang Mandailing dalam hidup bermasyarakat agar para warga masyarakat Mandailing memperoleh kesejahteraan dalam hidup mereka dari generasi ke generasi.[14]

Sejalan dengan terciptanya sistem sosial dalian na tolu yang ideal berupa “jaringan besar”, orang Mandailing secara filosofis-simbolik memolakan diri mereka seperti sebuah “jala” berbentuk segi-tiga sama sisi. Setiap sudutnya merupakan posisi penting dalam mengatur hak dan kewajiban setiap kelompok kekerabatan. Oleh karena itu pada puncaknya ditempatkan kelompok kekerabatan mora, dan pada dua sudut lainnya ditempatkan kelompok kekerabatan kahanggi dan kelompok kekerabatan anak boru. Posisi ketiganya bisa saja beralih sewaktu-waktu akibat terjadinya praktik perkawinan dan hubungan perkawinan itu pulalah yang menciptakan sisi-sisi yang terentang menautkan ketiganya sehingga terbentuk pola dasar kehidupan sosial-budaya orang Mandailing berupa segi-tiga besar. Di dalamnya secara fungsional terintegrasi sejumlah besar segi-tiga segi-tiga yang kecil-kecil mengikuti pola dasar yang menjadi acuannya. Sebagai suatu totalitas, segi-tiga besar itu bersama segi-tiga segi-tiga kecil yang menjadi isinya menjelma menjadi sistem sosial dalian na tolu. Sebagaimana halnya dengan sebuah “jala”, seluruh tali-temali jaringannya dipersatukan oleh satu tali pegangan yang mengikat dari sudut puncaknya. Menurut filsafat orang Mandailing, “tali pegangan” itulah olong yang menyatukan setiap kelompok kekerabatan maupun anggota masyarakat Mandailing dalam satu sistem sosial dalian na tolu, yang secara filosofis-simbolik dapat digambarkan seperti berikut ini:

Setiap orang Mandailing secara langsung mendapat status atau kedudukan sosial dalam hidup bermasyarakat sebagai mora (anggota kelompok kekerabatan mora), kahanggi (anggota kelompok kekerabatan kahanggi) dan anak boru (anggota kelompok kekerabatan anak boru). Dalam praktiknya setiap orang Mandailing menurut adat pada suatu ketika dapat memiliki kedudukan dan peran sebagai mora, namun pada kesempatan lain dapat pula berkedudukan dan berperan sebagai anak boru atau kahanggi, dimana pada setiap kelompok kekerabatan melekat pula hak dan kewajiban masing-masing yang diatur dengan berbagai macam norma sosial agar nilai budaya yang paling tinggi dan abstrak, yaitu olong, dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata.[15]

Agar olong dapat terlaksana dengan baik di antara sesama orang Mandailing, menurut Pangaduan Lubis, leluhur orang Mandailing menciptakan berbagai norma-norma sosial yang sesuai dengan dalian na tolu. Norma-norma sosial itu berkenaan dengan moral dan etika yang disebut apantunon (adab). Apantunon merupakan aspek yang sangat mendasar dan penting untuk dapat terlaksananya olong dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab jika masing-masing warga Mandailing mengetahui atau menyadari dan mematuhi hak dan kewajibannya serta menjalankannya berdasarkan moral dan etika yang baik sesuai dengan apantunon, maka terlaksanalah olong dalam kehidupan mereka. Dalam hubungan ini dapatlah dilihat makna mendasar dari ungkapan yang mengatakan: pantun angoluan, teas amatean. Artinya beradab hidup, tak beradab binasa.

Guna mengatur hak dan kewajiban masing-masing warga masyarakat dalam menjalankan kehidupan bersama-sama sebagai orang-orang yang berkerabat, diciptakan pulalah partuturon sebagai sub-sistem dari dalian na tolu. Dengan menggunakan partuturon sebagai sub-sistem dari dalian na tolu, maka masing-masing anggota masyarakat ditentukan hak dan kewajibannya sesuai dengan status sosialnya, baik sebagai mora, maupun kahanggi dan anak boru. Dalam hal ini, partuturon sebagai konsep yang abstrak, diwujudkan atau dikonkritkan melalui ucapan. Dengan cara yang demikian, maka setiap orang sebagai warga masyarakat dapat mengucapkan partuturon-nya terhadap orang lain. Contohnya, kalau seseorang mengatakan tulang atau mamak kepada seseorang, maka orang yang mengucapkan istilah kekerabatan (tutur) tersebut dan orang yang menjadi sasaran dari tutur yang diucapkannya itu dengan sendirinya sadar terhadap hak dan kewajiban masing-masing ketika melakukan komunikasi dengan mengucapkan dan mendengar istilah kekerabatan tulang atau mamak. Artinya, orang yang mengucapkan tulang atau mamak tersebut menyadari bahwa dia sedang berhadapan langsung dengan mora-nya, dan dihadapan mora-nya itu dia berkedudukan sebagai anak boru. Sebaliknya orang yang menjadi sasaran dari istilah kekerabatan (tutur tulang) yang diucapkan itu menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan orang yang berkedudukan sebagai anak boru-nya dan dihadapan anak boru-nya itu ia berkedudukan sebagai mora. Pada saat yang sama masing-masing sekaligus masuk ke dalam kesadaran moral dan etika yang berlaku untuk diri masing-masing. Artinya, orang yang mengucapkan tutur tulang atau mamak tersebut wajib bersikap hormat terhadap orang yang disebutnya tulang atau mamak tersebut. Sebab menurut aturan moral dan etika yang didasarkan pada dalian na tolu, anak boru harus somba (menghormati) mora-nya. Sebaliknya orang yang menjadi sasaran tutur tulang atau mamak itu wajib bersikap ramah dan akrab terhadap orang yang menyebutnya tulang atau mamak. Sebab menurut aturan etika dan moral dalam dalian na tolu yang disebut apantunon, mora wajib elek (membujuk) anak boru-nya. Demikianlah hak dan kewajiban moral dan etika yang berlaku bagi mora dan anak boru. Hak dan kewajiban moral/etika yang demikian itu menjadi dasar yang fundamental bagi pelaksanaan tugas-tugas yang berlaku untuk masing-masing orang dalam kedudukannya sebagai mora dan anak boru menurut sistem sosial dalian na tolu.[16]

Selain yang diuraikan di atas, ada pula norma-norma sosial lain. Dalam kedudukannya sebagai anak boru mengemban fungsi sebagai sitamba naurang siorus nalobi (sipenambah yang kurang sipengurang yang lebih). Karena kewajibannya yang demikian itu, anak boru dikenal pula sebagai namanorjak tu pudi juljul tu jolo (yang menerjang ke belakang menonjol ke depan), yang maksudnya anak boru sudah semestinya membela kepentingan dan kemuliaan mora-nya. Anak boru juga diibaratkan sebagai sitastas nambur (sipenghalau embun pagi pada semak belukar), yang artinya anak boru berkewajiban sebagai perintis jalan (garda terdepan) untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi mora-nya. Semua itu mesti dijalankan karena anak boru berkewajiban manjuljulkon morana (mengangkat harkat dan martabat mora-nya). Sebaliknya mora berkewajiban untuk elek maranak boru (mencintai dan menyayangi anak boru-nya) agar anak boru senantiasa siap sedia manjuljulkon morana. Terhadap kahanggi yaitu saudara se-marga, setiap orang harus selalu berusaha bersikap hati-hati. Sebab kahanggi sangat penting kedudukan dan peranannya bagi setiap individu karena berbagai persoalan kehidupan seperti pelaksanaan adat perkawinan, kematian dan mencari nafkah hidup terlebih dahulu dimusyawarahkan (disebut marpokat) dengan kahanggi.[17] Untuk hal ini, orang-orang tua selalu mengingatkan untuk manta-manat markahanggi (bersikap hati-hati terhadap kahanggi) agar tidak timbul perselisihan di antara sesama mereka yang se-marga. Orang-orang yang se-marga yang disebut markahanggi atau marsisolkot ini diharapkan untuk dapat selalu bekerjasama dalam menghadapi berbagai macam tantangan kehidupan, seperti yang tersurat dan tersirat dalam ende-ende berikut ini:


Songon siala sampagul
Rap tu incat rap tu toru
Muda malamun saulak lalu
Muda magulang rap margulu

(Seperti buah “siala sampagul”
Sama-sama ke atas sama-sama ke bawah
Apabila sudah masak semuanya sekaligus
Apabila terguling selalu berpelukan erat)

Sebagaimana penjelasan Pangaduan Lubis dalam salah satu tulisannya, bahwa prinsip-prinsip yang mendasari moral dan etika serta hak dan kewajiban yang mesti dipenuhi dan dilaksanakan oleh masing-masing orang Mandailing yang terkait dengan sistem sosial dalian na tolu dimunculkan ke tengah masyarakat dalam bentuk tolu apantunon, yaitu somba marmora, elek maranak boru dan manta-manat markahanggi. Hal ini merupakan adab yang paling mendasar dalam kehidupan warga masyarakat Mandailing. Apabila ketiga apantunon tersebut dihayati dan diamalkan oleh setiap orang Mandailing, dimanapun mereka berada akan dapat hidup dengan sentosa. Sebab sudah ada semacam jaminan yang mengatakan pantun angoluan (adab menghidupkan), tetapi sebaliknya teas amatean (tak beradab membinasakan). Jaminan tersebut dilengkapi dengan kiat yang mengatakan mata guru roa sisean (setiap yang tampak di mata dapat dijadikan pelajaran), dan pilihlah yang terbaik menurut petunjuk hati nurani kemanusiaan.[18]



PENUTUP


Sebelum pendudukan Jepang, yang tidak lama kemudian disusul oleh masa kemerdekaan negara Republik Indonesia, bahwa pada masa itu, meskipun masyarakat Mandailing sudah dijajah oleh Belanda kurang lebih satu abad lamanya, tetapi masyarakat Mandailing tetap hidup dengan tradisi atau adat-istiadat yang mengikat secara ketat. Namun mulai sejak proklamasi kemerdekaan negara Republik Indonesia pada tahun 1945 hingga ke masa sekarang telah begitu banyak terjadi perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat Mandailing.[19] Hampir sama dengan keadaan kelompok-kelompok etnik lainnya di Indonesia pada umumnya, orang Mandailing relatif sering melakukan kontak dan bergaul akrab, bahkan terwujudnya rasa persaudaraan yang cukup erat sebagai akibat dari terjadinya perkawinan antar sesama kelompok etnis lainnya, terutama dengan kelompok-kelompok etnis yang terdapat di pulau sumatera bagian utara.

Terjadinya kontak yang semakin sering antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya dengan kebudayaan masing-masing yang berbeda, menurut Doyle Paul Johnson, memberi peluang bagi masing-masing mereka untuk menilai masyarakatnya sendiri. Perubahan sosial yang begitu pesat dapat membuat kebiasaan-kebiasaan dan kepercayaan-kepercayaan yang sudah mapan itu menjadi tidak relevan lagi atau usang dan pada gilirannya mampu merangsang munculnya pemikiran-pemikiran alternatif (tandingan) terhadap kemapanan yang ada, sekaligus sebagai jawaban (solusi) atas masalah-masalah yang muncul dari perubahan sosial tersebut. Perubahan sosial yang pesat hampir selalu disertai munculnya ketegangan-ketegangan dan perpecahan dalam struktur sosial dan kesenjangan budaya (cultural lag) serta diskontinuitas. Semua ini dialami sebagai masalah sosial dimana tradisi yang sudah mapan tidak menyediakan jawaban-jawaban yang siap pakai. Mencari jalan keluar, kadang-kadang mengakibatkan orang mempertanyakan asumsi-asumsi tradisional dan menciptakan bentuk-bentuk baru. Tetapi bisa juga orang berusaha untuk membela asumsi-asumsi tradisional, dengan jalan menginterpretasikannya kembali, di mana artinya disesuaikan dengan situasi yang baru.[20]

Sehubungan dengan itu, pada masyarakat yang ditandai dengan perubahan sosial yang cukup pesat, atau masyarakat yang terbuka terhadap banyak kebudayaan atau subkultur, diharapkan banyak orang untuk melihat kepercayaan-kepercayaan dan kebiasaan-kebiasaan yang ada pada mereka dalam lingkungan sosialnya secara langsung dengan suatu sikap intelektual yang netral dan objektif.[21] Karena bagaimanapun, menurut Ernst Cassirer, untuk mengerti manusia tidak ada cara lain selain memahami hidup dan tingkah lakunya[22], atau dengan kata lain manusia dapat dimengerti melalui kebudayaan manusia itu sendiri.***



Gandoang, 8 Agustus 2010



=========

Catatan kaki
=========
1] Ernst Cassirer, Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia, (Jakarta: PT Gramedia, 1987), hal. 97.
[2] Ibid, hal. 98-99.
[3] Ibid, hal. 104.
[4] Ibid, hal. 108.
[5] Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, (Jakarta: Gramedia, 1990), hal. 15.
[6] Konsep adalah suatu nama yang pergunakan untuk menunjukkan dan mengklasifikasikan pencerapan dan pengalaman-pengalaman kita. Menghubungan suatu nama tertentu dengan suatu benda, pengalaman, atau kejadian, adalah langkah pertama yang sangat penting untuk dapat menganalisis dan memahaminya. Salah satu alasan mengapa konsep tidak hanya sekedar cerminan fakta pengalaman persepsi kita adalah karena konsep secara khas merupakan abstraksi dari pengalaman dan memungkinkan kita untuk membuat generalisasi dari pengalaman-pengalaman khusus. Menurut McKinney “semua konsep bersifat construct apabila sudah dikembangkan dari pengalaman” dan “semua konsep adalah generalisasi dan semua generalisasi mengandung abstraksi”. Konsep tidak hanya sekedar mencerminkan pengalaman dalam keunikan atau totalitasnya; konsep menunjuk pada ciri-ciri suatu pengalaman persepsi yang sama dengan pengalaman-pengalaman lainnya. Ibid, hal. 35-36.
[7] Bahasa tuturan bukanlah fenomena tunggal atau seragam, tetapi memuat beraneka unsur yang tidak terletak pada tataran yang sama, baik secara biologis maupun secara sistematis. Kita harus berusaha menemukan tatanan dan saling-hubungan di antara unsur-unsur penentu, kita harus membedakan berbagai lapisan tuturan. Lapisan yang pertama dan paling dasar tentu saja bahasa emosi. Sebagian besar ucapan manusia berada pada lapisan ini. Namun ada bentuk tuturan yang menunjukkan tipe amat berbeda. Di situ kata-kata tidak semata-mata berupa interjection (“seruan”), bukan ekspresi serta-merta dari perasaan, melainkan bagian dari kalimat yang memiliki struktur sintaksis dan logis. Ernst Cassirer, Op.Cit., hal. 44. Kata-kata itu “natural”, bukan “artifisial”, tetapi kata-kata itu tidaklah berhubungan dengan sifat benda-benda eksternal. Kata-kata tidak bergantung pada konvensi adat atau kebiasaan semata-mata; kata-kata punya akar lebih dalam dari itu. Kata-kata adalah ekspresi tak sengaja dari perasaan-perasaan manusia, pekikan-pekikan, dan seruan-seruan. Demokritos mengatakan bahwa bahasa manusia itu berasal dari bunyi-bunyi tertentu yang semata-mata bersifat emosional, dan Charles Darwin menunjukkan bahwa bunyi-bunyi atau kelakuan-kelakuan ekspresif diatur oleh kebutuhan biologis tertentu dan dipergunakan sesuai dengan hukum-hukum biologis yang pasti. Dengan pendekatan ini, teka-teki tua tentang asal-usul bahasa manusia dapat dihadapi dengan cara yang sungguh-sungguh empiris dan ilmiah. Ibid, hal. 174 dan 176.
[8] Dalam konteks dalian sebagai tempat meletakkan wadah untuk memasak sesuatu, pengertian tataring adalah “landasan” untuk tempat peletakan dalian (tiga buah batu). Tanpa adanya tataring yang berisi tanah padat dan permukaannya yang rata, maka dalian tidak akan dapat diletakkan dan disusun di atas tataring itu dengan baik (tegak dan kokoh) dalam posisi segi tiga.
[9] Sistem sosial dalian na tolu ini juga disebut adat markoum marsisolkot, artinya “adat berkaum kerabat”. Istilah ini terbentuk dari dua kata dasar yaitu koum dan sisolkot yang masing-masing mengandung makna klasifikatoris dalam konteks sistem kekerabatan. Koum merupakan istilah yang dirujuk berdasarkan hubungan perkawinan, sedangkan sisolkot dirujuk berdasarkan pertalian darah. Oleh sebab itu orang-orang yang se-marga yang disebut markahanggi, dan lazim pula disebut marsisolkot. Sementara pengertian koum meliputi anggota yang lebih banyak dan cakupannya sangat luas karena di dalamnya terintegrasi kelompok kekerabatan mora, kahanggi dan anak boru, tetangga dekat dan lain sebagainya. Dengan memperhatikan istilah markoum marsisolkot ini yang didahului kata markoum dan bukan sebaliknya (marsisolkot), mungkin tidaklah terjadi secara kebetulan dan tanpa makna tertentu yang terkandung di dalamnya. Dengan hipotesis bahwa “bahasa menentukan corak kebudayaan manusia”, ada kemungkinan bahwa istilah markoum marsisolkot ini merupakan cerminan dari corak kebudayaan atau paling tidak terdapat nilai budaya yang terkandung di dalamnya yang berakar dari adat atau kebiasaan orang Mandailing. Fakta menunjukkan bahwa orang Mandailing tampaknya tidak lebih mengutamakan sisolkot-nya dalam kehidupannya, tetapi lebih mendahulukan koum yang secara sosial-psikologis dan territorial lebih dekat dengannya. Lihat Zulkifli B. Lubis (1987) dalam Edi Nasution, Tulila: Muzik Bujukan Mandailing, Penang-Malaysia: Arecabooks, 2007), hal. 20. Menurut Johnson, pola-pola budaya dilembagakan dalam struktur sosial, dimana setiap individu menginternalisasikan pola-pola budaya tersebut dalam orientasi subjektifnya dan lalu mengungkapkannya ketika antar individu berintekrasi satu sama lain. Hubungan mereka dalam kehidupan nyata bersifat saling ketergantungan dan berpenetrasi. Doyle Paul Johnson, Op.Cit., hal. 5.
[10] Selain dari tiga kelompok kekerabatan (mora, kahanggi dan anak boru) ini, dalam masyarakat Mandailing terdapat pula kelompok kekerabatan yang dinamakan marga (clan). Marga dibentuk atau terbentuk berdasarkan hubungan darah (geneologis), sebab marga merupakan kelompok dari orang-orang yang merupakan keturunan dari seorang nenek moyang bersama. Z. Pangaduan Lubis, dkk, Kumpulan Catatan Lepas Tentang Mandailing, (Medan: Pustaka Mediasarana, 2010), hal. 122. Misalnya marga Nasution di Mandailing dipercayai sebagai kelompok orang-orang yang merupakan keturunan dari seorang tokoh yang bernama Sibaroar (Sutan Diaru) sebagai nenek moyang mereka semua. Oleh karena itu orang-orang yang se-marga adalah orang-orang yang berabang-adik dan disebut markahanggi.
[11] Bandingkan dengan Z. Pangaduan Lubis yang mengatakan bahwa “Biasanya perkataan dalian selalu diartikan orang sebagai tungku yang digunakan untuk menjerangkan wadah tempat memasak sesuatu. Dalam pengertian ini, dalian atau tungku dipahami sebagai sesuatu yang nyata berupa tiga buah batu yang disusun sedemikian rupa sehingga di atasnya dapat diletakkan suatu wadah tempat memasak sesuatu. Dalam pengertian yang demikian ini, dalian adalah sesuatu yang terdiri dari tiga komponen berupa tiga buah batu. Oleh karena itu, kalau kita mengartikan perkataan dalian sebagai tungku tempat menjerangkan wadah untuk memasak sesuatu, tentu tidak perlu perkataan dalian itu disertai dengan perkataan tolu yang artinya tiga. Karena perkataan dalian dalam pengertian yang demikian itu sudah mengandung makna sebagai sesuatu yang terdiri dari tiga buah batu. Kalau dalam pengertian dalian sebagai tungku ditambahkan lagi perkataan na tolu, artinya yang tiga, maka perkataan dalian na tolu berarti tungku yang tiga. Tungku yang tiga tentu berarti berarti tungku yang terdiri atas sembilan batu sebagai komponennya. Sebab satu tungku terdiri dari tiga batu. Istilah dalian na tolu sama sekali tidak ada kaitannya dengan pengertian dalian atau tungku sebagai tempat menjerangkan wadah untuk memasak sesuatu. Sebab untuk hal yang demikian cukup dipergunakan perkataan atau istilah dalian saja. Perkataan atau istilah tersebut sudah berarti tungku yang terdiri tiga buah batu sebagai komponennya”. Z. Pangaduan Lubis, Op.Cit., hal. 116-117.
[12] Menurut Ernst Cassirer, bahasa manusia sering diidentikkan dengan rasio atau bersumber dari rasio (akal pikiran manusia), namun terbukti setiap definisi tidak mampu menerangkan sesuatu secara menyeluruh. Itu pars pro toto saja, yaitu bagian yang dianggap sebagai keseluruhan. Karena disamping “bahasa konseptual” ada juga “bahasa emosional”. Bahasa manusia pertama-tama bukanlah ekspresi pikiran atau gagasan, melainkan ekspressi perasaan-perasaan, afeksi-afeksi. Istilah “rasio” sangat tidak memadai untuk memahami bentuk-bentuk kehidupan manusia dalam seluruh kekayaan dan keanekaragaman bentuknya, yang kesemuanya itu adalah berbentuk simbolis atau dengan kata lain bahasa manusia adalah simbol. Dengan menyadari bahasa manusia sebagai simbol kita akan dapat merambah jalan baru untuk memahami eksistensi manusia, suatu jalan ke arah peradaban manusia. Ernst Cassirer, Op.Cit., hal. 40.
[13] Z. Pangaduan Lubis, Op.Cit., hal. 119-120.
[14] Ibid, hal.123-124.
[15] Ibid.
[16] Ibid, hal. 124-126.
[17] Dalam kehidupan sosial-budaya orang Mandailing, mora disebut juga sebagai ulu bondar (pangkal parit sebagai sumber air untuk mengairi sawah) dan parserean (tempat pengambilan anak gadis). Sedangkan kahanggi diumpakan pula sebagai jait domu-domu. Artinya kahanggi berperan untuk mempertemukan dan mempertautkan atau sebagai pihak penengah dan perantara untuk dapat mewujudkan keinginan dan kepentingan antara mora dan anak boru.
[18] Z. Pangaduan Lubis, Op.Cit., hal. 127.
[19] Lihat Edi Nasution, Op.Cit., hak. 77-82.
[20] Doyle Paul ohnson, Op.Cit., hal. 9-11.
[21] Ibid, hal. 10.
[22] Ernst Cassirer, Op.Cit., hal. 19.



==============================================

Artikel ini ditulis sebagai ungkapan terima kasih kepada
antropolog dan budayawan Z. Pangaduan Lubis yang telah
banyak meneliti dan menulis tentang Mandailing.
Mauliate godang simatobang nami.
Horas Mandailing !!!
==============================================