Kamis, 11 September 2014

Pangecek ni alak Mandailing


SUARA "SENGAU" ORANG MANDAILING 

Oleh: Edi Nasution



PROLOG

Tentu saja, sekarang  setiap orang dalam setiap suku umumnya dapat berbicara bukan saja dengan kaumnya sendiri saja, tetapi juga mungkin dengan suku-suku lain. Termasuk suku-suku tetangganya, seperti antara orang Angkola dengan orang Mandailing yang hidup bertetangga di pedalaman patai barat daya Pulau Sumatera di bahagian utara.

Menurut budayawan Z Pangaduan Lubis, bahwa beberapa tahun belakangan ini mulai dikembangkan oleh "orang-orang tertentu" suatu konsep yang salah mengenai bahasa yang digunakan oleh masyarakat Mandailing. Mereka menyebut bahasa yang digunakan oleh orang Mandailing sebagai bahasa "Angkola Mandailing" atau "Mandailing Angkola". Secara kultural sebenarnya tidak ada bahasa "Angkola Mandailing". Karena kalau kita tanyakan kepada orang Mandailing itu bahasa apa yang dipakainya, sudah pasti orang yang bersangkutan akan menjawab bahwa bahasa yang dipakainya ialah bahasa Mandailing. Dia tidak akan mengatakan bahasa "Angkola Mandailing". Dan kalau kita tanyakan kepada orang Angkola, bahasa apa yang dipakainya, sudah tentu ia akan menjawab bahasa Angkola, bukan bahasa Mandailing. Keadaan yang demikian itu membuktikan bahwa tidak ada bahasa Angkola Mandailing. Kenyataan memang menunjukkan bahwa orang Mandailing dan orang Angkola menggunakan satu bahasa yang relatif sama. Tapi orang Angkola mengakui bahwa bahasa yang dipakainya atau bahasa ibunya ialah bahasa Angkola dan orang Mandailing mengakui bahwa bahasa ibunya ialah bahasa Mandailing.

Dalam hal ini, kita dapat memakai pendapat pakar bahasa H. N. Van Der Tuuk untuk menjelaskan persoalannya. Van Der Tuuk pernah melakukan penelitian mengenai bahasa Mandailing dan beberapa bahasa etnis lainnya yang terdapat di Sumatera Utara. Dari hasil penelitiannya mengenai bahasa Mandailing, Van Der Tuuk mengemukakan (1971: XLVII), "Dengan mengacu ke pantai barat Sumatera, dengan aman dapat dikatakan bahwa bahasa Mandailing meluas dari Ophir atau pegunungan Pasaman di sebelah selatan sampai ke perbatasan bagian utara dari Sipirok dan Batang Toru. Bahasa Mandailing terbagi menjadi bahasa Mandailing utara (juga disebut bahasa Angkola) dan bahasa Mandailing selatan. Belum mungkin untuk merumuskan batas-batas yang pasti di antara keduanya".

Menurut budayawan Z Pangaduan Lubis, bahwa keterangan atau pendapat Van Der Tuuk ini menunjukkan dengan jelas sekali bahwa bahasa orang Mandailing dan bahasa orang Angkola ialah bahasa Mandailing. Tetapi bahasa Mandailing yang digunakan oleh orang Angkola disebut juga bahasa Angkola. Dengan demikian jelas pulalah bahwa sebenarnya tidak ada bahasa "Angkola Mandailing" seperti yang belakangan ini mulai disebut-sebut oleh "orang-orang tertentu". Perbuatan yang demikian itu benar-benar merupakan suatu kekeliruan (untuk tidak menyebut manipulasi) yang seharusnya tidak dilakukan oleh sarjana bahasa, yang seharusnya mengetahui tentang prinsip dan sikap emik dan etik dalam mengemukakan pendapat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan, termasuk mengenai bahasa sebagai salah satu unsur kebudayaan yang sangat penting.

Bahasa Mandailing (khususnya yang digunakan oleh kelompok etnis atau masyarakat Mandailing pada masa yang lalu) atau yang disebut oleh Van Der Tuuk sebagai bahasa Mandailing utara, terdiri dari lima ragam. Masing-masing dinamakan oleh orang Mandailing sebagai: (1) Hata Somal; (2) Hata Andung; (3) Hata Teas Dohot Jampolak; (4) Hata Sibaso; dan (5) Hata Parkapur. [1]

Selain kelima jenis bahasa tersebut, orang Mandailing juga nemiliki satu jenis bahasa lagi, yaitu "hata bulung-bulung" (bahasa daun-daunan), dimana Ch. A. van Ophuysen menamakannya "bladerentaal". Berbeda dari bahasa yang biasa, yang digunakan sebagai kata-kata dalam "hata bulung-bulung" ialah daun tumbuh-tumbuhan yang dalam bahasa Mandailing disebut "bulung-bulung".

Daun-daunan yang digunakan ialah daun-daunan yang namanya punya persamaan bunyi dengan kata-kata yang terdapat dalam bahasa Mandailing. Misalnya ialah daun tumbuh-tumbuhan yang bernama "sitarak" digunakan untuk menyampaikan kata "marsarak" (berpisah). Daun tumbuh-tumbuhan yang bernama "pau" (pakis) digunakan untuk menyampaikan kata "diau" (pada saya). Daun yang tumbuh-tumbuhan yang bernama "sitanggis" (setanggi) digunakan untuk menyampaikan perkataan tangis (menangis). Daun tumbuh-tumbuhan yang bernama "podom-podom" digunakan untuk menyampaikan perkataan "modom" (tidur). Daun tumbuh-tumbuhan yang bernama "hadungdung" digunakan untuk menyampaikan perkatan "dung" (setelah). Dan daun tumbuh-tumbuhan yang bernama "sitata" digunakan untuk menyampaikan perkataan "hita" (kita). Kalau misalnya daun "hadungdung" bersama-sama dengan daun "sitata", "sitarak", "sitanggis" dan "podom-podom" dikirimkan oleh seorang pemuda kepada kekasihnya, maka sang kekasih akan mengerti bahwa sang pemuda mengatakan kepadanya: "dung hita marsarak jolo tangis au anso modon". Artinya "setelah kita berpisah, menangis saya dahulu baru bisa tertidur".

Pada masa yang lalu, "hata bulung bulung" biasanya digunakan oleh muda-mudi (disebut "naposo na uli bulung") dalam masyarakat Mandailing, terutama pada waktu mereka berpacaran. Dalam hal ini, dapat dikemukakan bahwa pada masa yang lalu kegiatan berpacaran (asmara) antara pemuda dan pemudi dalam masyarakat Mandailing sama sekali tidak boleh dilakukan secara terbuka. Hubungan dan kegiatan berpacaran harus dirahasiakan atau dilakukan secara rahsia. Oleh karena itu, jika dua orang muda (muda-mudi) yang berpacaran hendak menyampaikan sesuatu di antara mereka, maka mereka menggunakan "hata bulung-bulung". Dan jika seorang kekasih hendak menyampaikan "bulung-bulung" sebagai "surat cinta" kepada pacarnya, dia harus melakukannya secara rahasia. Misalnya dengan meletakkan "bulung-bulung" tersebut di satu tempat tertentu yang sudah mereka sepakati dan tidak diketahui orang lain. Secara sembunyi-sembunyi mereka yang berpacaran itu akan mengunjungi tempat rahasia tersebut secara bergiliran, untuk melihat apakah di tempat itu terdapat "surat cinta" yang terdiri dari "bulung-bulung".
Kalau dua orang yang sedang berpacaran hendak berdialog secara langsung, mereka akan melakukannya dengan cara yang disebut "markusip" (berbisik). Kegiatan "markusip" dilakukan pada waktu tengah malam agar tidak diketahui oleh orang lain. Dalam hal ini, pemuda dengan cara sembunyi-sembunyi mendatangi rumah tempat kekasihnya tidur. Kemudian dengan menggunakan sandi atau kode sang pemuda akan membangunkan kekasihnya dari balik dinding rumah tersebut. Untuk membangunkan sang kekasih, biasanya pemuda menjentik-jentik dinding rumah dengan jari tangannya secara perlahan-lahan. Dalam hal ini, biasanya sang kekasih memang sudah menunggu kedatangan kekasihnya untuk "markusip" pada waktu-waktu tertentu tengah malam. Oleh karena itu, sang pemuda cukup menjentik dinding rumah beberapa kali untuk memberitahukan bahwa dia sudah datang dan berada di balik dinding rumah. Kadang-kadang untuk memberitahu kehadirannya di balik dinding sang pemuda membunyikan alat musik tiup yang dinamakan "tulila" yang suaranya cukup halus. Apabila sang gadis sudah mengetahui kehadiran kekasihnya di balik dinding iitu, maka mulailah mereka berdailog secara berbisik-bisik. Dialog antara dua orang yang "markusip" biasanya dihiasi dengan pantun-pantun (disebut “ende-ende”) percintaan yang romantis. Dan tidak jarang pula dihiasi dengan alunan musik yang dimainkan dengan "tulila".[2]

Pada masa sekarang, bahasa daun-daunan (“hata bulung-bulung”), dan penggunaannya sudah hilang dari tradisi budaya Mandailing. Demikian pula halnya dengan ragam-ragam bahasa yang tersebut di atas. Namun yang masih terus digunakan oleh warga masyarakat Mandailing di negeri mereka ialah "hata somal" (ragam bahasa sehari-hari). Sedangkan ragam bahasa yang lainnnya, boleh dikatakan sudah hampir punah sama sekali. Hal itu terjadi oleh karena warga masyarakat Mandailing selama ini tidak berusaha untuk melestarikannya. Kepunahan ragam-ragam bahasa Mandailing yang sangat kaya itu tentu merugikan kelompok etnis Mandailing, bahkan merugikan bangsa Indonesia. Sebab ragam bahasa tersebut merupakan suatu kekayaan budaya etnis, yang kalau sudah punah maka mustahil untuk menghidupkannya kembali.

Di samping itu, orang Mandailing sangat kuat memperlihatkan bahasa tubuh. Tidak semua hal yang penting harus diucapkan. Seringkali hal-hal yang penting itu tampil dalam bahasa tubuh, apakah itu dengan mimik, gerak anggota badan lainnya, maupun dengan diam sama sekali. Lawan bicaranya, pastilah tidak akan salah paham tentang apa yang disembunyikan itu. Orang Mandailing diajari untuk tidak serta merta memberi reaksi dalam berdialog. Jika seseorang sedang berbicara, maka ketika lawan bicaranya ingin memberi tanggapan, dimana yang disebut terakhir ini member tanda-tanda dengan bahasa tubuh berupa isyarat kepada orang yang berbicara itu bahwa ia nanti akan aying tanggapan. Apakah tanggapan yang akan disampaikan itu positif atau negatif, dapat diantisipasi oleh orang yang sedang berbicara tersebut. Begitu indahnya orang Mandailing berdialog, terasa suasana kasih sayang di dalam dialog itu. Biasanya, sekeras apa pun dialog yang terjadi dan setajam apapun kata-kata yang diucapkan, tidak akan menimbulkan dendam kesumat.

Bahasa Mandailing memiliki kekhasan, baik dari segi bentuk, proses pembentukan kata, makna kata maupun berdasarkan ragam pemakaiannya.  Dalam hal ini, maka perlu membuat suatu pengertian kata dengan uraian yang relatif cukup panjang karena tidak menemukan padanan kata yang sesuai dalam bahasa Indonesia.

Dari segi fonologis, bahasa Mandailing adalah bahasa yang bersistem silabis. Dituliskan dalam aksara surat tulak-tulak (aksara Mandailing) yang terdiri atas 24 fonem: a, ha, na, ma, nga, la, pa, ga, ja, ba, ta, ra, sa, da, ka, ca, nya, wa, i, ya, u, e, o, ng. Fonem-fenem tersebut dilambangkan dengan  23 (dua puluh tiga) “induk ni surat” dan 5 (lima) “anak ni surat”. 

Apabila dikaji lebih mendalam, menurut Jasinaloan lagi, ada beberapa karakteristik Bahasa Mandailing yang cukup menonjol, antara lain :

Pertama, fonem ”k” velar dan glotal di akhir kata dilambangkan dengan satu tanda, meskipun pada hakikatnya berbeda, seperti kata “tetek” bermakna “tetes” dan “buang air besar”; “sosak” bermakna “cepat” (buru-buru) dan “sesak” (nafas); “golak” bermakna “gelak” dan “ejek”; “etek” bermakna “bibi” (tante) dan “alat musik pukul dari bambu”.

Kedua, penggunaan bunyi (huruf) vokal yang sangat produktif dan variatif pula seperti contoh berikut:
sa:    sarsar, saksak; si: sirsir, siksik; su: sursur, suksuk; se: serser, seksek; so: sorsor, soksok.
ta:     taktak, tartar; ti: tiktik, tirtir; tu: tuktuk, tultul; te: tektek, terter; to: toktok, tortor.
pa:    pakpak, paspas; pi: pirpir, pispis; pu: purpur, puspus; pe: perper, pespes; po: porpor, potpot.

Ketiga, terdapat kata yang terdiri atas gugus vokal seperti: aua, uai, ee, dan aa. Untuk jelasnya dapat dilihat pada kalimat: uai iaua ia au i (artinya: “wah akan diapakannyalah aku itu”) yang terdiri atas dua belas gugus vokal yang belum pernah ditemukan, bentuk seperti itu, di dalam Bahasa Ibu yang dimiliki kelompok etnis lain. Selain itu, satu vokal saja dapat berfungsi sebagai satu morfem seperti: ”a” pada kata bilangan adua (bermakna “keduanya”); ”i” dapat bermakna ”itu” (misalnya kata ima, yang bermakna ”itulah”) dan awalan ”di” (misalnya kata isadu, bermakna ”disana”), ”e” bermakna ”hai”, ”u” bermakna ”ku”, dan ‘o’ yang bermakna ”ya” atau ”kau”.

Keempat, intonasi pada kata sangat memengaruhi arti. Pada kata dasar ”bagas” misalnya, tekanan tempo sangat berperan menentukan arti. Kata ba’gas berarti ”rumah”, sedangkan bag’as berarti ”dalam”. Contoh lain misalnya kata ”parmangan”. Dengan pengucapan yang berbeda dapat bermakna: (1) suka makan; (2) uang yang digunakan untuk membeli makanan; dan (3) cara makan. Begitu juga dengan bentuk-bentuk lain seperti da’bu berarti ”jatuhkan”, dan dabu’ berarti ”dalam keadaan terjatuh”.

Kelima, ”akar kata” sangat berperan dalam pembentukan kata dasar. Untuk jelasnya dapat dilihat pada contoh kata-kata berikut: (1) antuk, batuk, kurtuk, lantuk, maturutuk, potuk, retuk, sotuk, tuktuk, utuk; (2) apit, ubit, lompit, sipit, pitpit, jungkit, dalkit, gigit, ancit, singit, rongit, angit, arit, sirit, gorit, ririt; (3) andarohot, dapot, dohot, lolot, morot, korot, sorot, porot,, potpot, lampot, sangkot, sungkot, singkot, sohot ,ngot, tungkot, ingot, sirohot, salohot, moncot, to’pot, topo’t. Dari ketiga contoh di atas masing-masing kelompok memiliki relevansi makna. Untuk contoh nomor satu memiliki hubungan dengan bunyi, pada contoh kedua hubungan maknanya berhubungan dengan sesuatu yang minim, kecil, dan hampir, sedangkan contoh ketiga memiliki hubungan makna dengan tempat, proses menuju atau meninggalkan tempat.

Keenam, pemakaian ”imbuhan” sangat produktif. Di samping jumlah imbuhan banyak, fungsi dan nosi yang muncul lebih variatif. Satu kata dasar dapat diimbuhi oleh lebih dari dua puluh imbuhan. Awalan ma + dabu dapat menjadi: (1) mada’bu (terjatuh); (2) ma’dabu (sudah/dalam keadaan terjatuh; dan (3) mandabu (menjatuhkan). Alomorf atau variasi morfem tidak hanya terjadi pada awalan me- dan pe-, tetapi awalan sa-, misalnya dalam bentuk sambola, sandok, sanggotap. Gabungan imbuhan dapat terjadi di akhir kata misalnya untuk kata dokon + on (dokonon), + kon (dokononkon), + on (dokononkonon), dorapkononkon. Selain itu, imbuhan juga dapat membentuk tingkat kata sifat, misalnya pada kata: godang, godangan, gumodang, mago’dang, ma’godang, magodangan, magodangtu, murgodang, murmagodang, murmurmagodang, targodang, tarumgodang, tartargodang, sagodang-godangna.

Ketujuh, pemakaian ”partikel” sangat dominan. Partikel yang digunakan antara lain: ba, bo, da, do, ke, le, ma, pe, te, dan lain-lain. Dalam Bahasa Tutur (lisan), penggunaan partikel tersebut sering disingkat menjadi sebuah akronim, seperti: ro ma ho tu son menjadi roson, kehe ma ho tu si menjadi kesi, dan lain sebagainya.


CIRI KHAS LANGGAM BICARA

Fakta menunjukkan bahwa ciri khas langgam bicara orang Mandailing adalah pengucapan kata-kata yang berirama. Menurut Topan Lubis (2010), semua huruf yang tertulis diucapkan dengan jelas. Tetapi lebih daripada itu, yang paling menonjol adalah lafal huruf “sengau" secara sempurna. Huruf-huruf sengau, "n", "m", "ng" yang diucapkan orang Mandailing secara sempurna itu menimbulkan suatu “gaung” bagaikan “multiplex stereo” yang ditangkap oleh daun telinga, kemudian menggetarkan kulit selaput di dalam telinga.

Beliau menambahkan bahwa suara “sengau” itu seolah memiliki “ruh” yang dapat menggetarkan syaraf-syaraf. Ada “getaran gaib” yang membuatnya berkesan agak mendalam, uaitu kata-kata yang terdiri dari huruf-huruf “sengau” (n,m,ng) itu sering terngiang-ngiang di telinga kita. Suara sengau seperti itu dapat merangsang suasana damai dan relaksasi yang baik bagi yang mendengarkannya, terlebih-lebih  bagi yang mengucapkannya. Gelombang suara itu dapat mengendurkan syaraf-syaraf, sehingga tercipta kejernihan dalam mengelola cara kerja pikiran dan perasaan.

Hal ini tentu saja merupakan karunia Allah SWT yang sangat besar. Komunikasi dengan kata-kata berhuruf “sengau” itu menciptakan keakraban. Lafal seperti itu memiliki kekuatan kata-kata yang diucapkan oleh orang tua dalam membina anak-anaknya, dan ini pula yang merupakan kekuatan para guru, da'i, Tuan Syekh dan para agen pembaharuan di Mandailing. Langgam bicara orang Mandailing disebut “lambok”, sementara langgam bicara Angkola dan Sipirok disebut “laok” dan langgam bicara Padang Lawas disebut “purpur”.

Untuk membuktikannya, cobalah ucapkan kalimat di bawah ini, dengan langgam bicara Mandailing dan langgam bicara Angkola, Sipirok, Padang Lawas (ASPAL) dalam satu kalimat dengan dua langgam. Dua kalimat di bawah ini akan memberikan getaran “gendang telinga” yang berbeda dan kesan yang berbeda pula.

Langgam Mandailing:
“Ning tulangku na di Batangtoru i, pala amang tua ni nantulang na di Pagaran Singkam ma ompungku na di Gunungtua i.”
Langgam ASPAL:
“Nik tulakku na di Bataktoru i, pala amaktua ni nattulang na di Pagarat Sikkam ma oppunkku na di Gunuktua i.”

Dalam hubungan ini, menurut Topan Lubis (2010), contoh bahasa dunia yang sangat kaya dengan huruf “sengau” adalah bahasa Prancis. Lafal kata-kata bahasa Prancis yang lembut dan merdu itu, diakui sebagai bahasa peradaban. Begitu besarnya peranan bahasa Prancis dalam pergaulan dunia, sehingga salah satu syarat untuk menjadi Sekretaris Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), adalah fasih berbahasa Prancis. Dan bahasa Al-Qur'an, yaitu bahasa Arab, lebih kaya lagi huruf “sengau” dan lagu kalimatnya. Maka dari itu ada sedikit pengaruh bahasa Al-Qur'an dalam memperkaya dan memantapkan bunyi huruf-huruf sengau itu ke dalam lafal bahasa Mandailing. Karena setiap huruf bahasa Al-Qur'an itu mempunyai "hak suara" yang harus diucapkan secara jelas. Orang bertanya. kenapa hal ini tidak terjadi pada bahasa Minangkabau yang juga dikenal sangat kuat dipengaruhi agama Islam? Biarlah para filolog mencari jawabannya.


UNGKAPAN TRADISIONAL TERKAIT “OLONG

Salah satu rahmat yang pertama diturunkan oleh Allah SWT ke muka bumi adalah rasa kasih sayang, khususnya kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya, lebih khusus lagi rasa kasih sayang ibu kepada anak-anak yang dilahirkannya. Rasa kasih sayang ini, tidak hanya berlaku pada manusia, tetapi juga berlaku pada hewan, ialah rasa kasih sayang induk kepada anak-anaknya. Contohnya kita saksikan pada ayam, dan banyak hewan menyusui. Rasa kasih sayang itu disebut "olong" dalam bahasa Mandailing. Banyak ungkapan tradisional Mandailing yang mengungkapkan rasa “olong”, antara lain, sebagai berikut:

1.    Songon siala na sampagul, rap tu ginjang rap tu toru. Muda malamun saulak lalu, muda magulang rap margulu.
2.   Sahata saoloan sapangambe sapanaili. Satahi dohot dongan maroban sonang pangarohai.
3.  Muda sabara sabustak, asa salumpat saindege boti sapangambe sapanaili, hasonangan na so unjung mantak, baritana sai tarbege.
4.      Muda manyuruk rap unduk, muda mangambur rap ipas.
5.  Lambok bulung ni eme, na lambok marluyun-luyun. Lambok lidung binege, ima dalan marhalalungun.
6.    Tando batu ni pangkat, lomlom gorsing songon simbora. Tandona hita na sapokat, bulung botik mardai mera.
7.    Oong do mangalap olong. Muda olong roaniba di dongan, tauken olong ma roa ni dongan di iba. Harani i mada inda tola iba mantak patidaon olong ni roa i tu dongan-dongan anso di hatiana muse manjagit iba hadengganan sian dongan.
8.      Muda pahae simanggurak, pahulu sitipulon, antusanna muda ibaen na denggan tu dongan, laing na dengganma jagiton balosna.
9.    Mata guru roa sisean. Umpama on idok ma i tu alak anso sai ra ia maniru na denggan di pangalaho na niidana sian dongan.
10.    Muda jongjong di na tigor, batu mamak di andora.
11.    Pantun angoluan, teas amatean.
12.    Patar songon indahan di balanga.
13.    Rukrek ni parau marobaan tu rapotna.
14.    Sada do martoktok hite, sude halak markitehonsa.
15.    Sada huat tu jolo dua huat tu pudi.
16.    Sadao-dao ni obok-obok ujungna laing madabu tu tano.
17.    Talu do gogo dibaen bisuk.
18.  Tubu dingin-dingin di toru ni andomang. Horas tondi madingin, sian menek lopus matobang.
19.    Maranak bisuk-bisuk, marboru pohom-pohom.
20.    Salumpat saindege, mate mangolu sapartahian.

Sebenarnya masih banyak lagi ungkapan serupa yang menyatakan kasih sayang, seia sekata, kompak, saling menolong, saling melindungi, saling menasihati, terbuka, waspada, suka berguru, dinamik, berjiwa pelopor, tegar menghadapi tantangan apa pun juga, sopan, perbedaan pendapat justru mempererat hubungan manusiawi, berlomba-lomba berbuat kebajikan, masa lampau adalah bagian dari masa kini dan masa depan, maut adalah satu kemestian, kearifan (“abisukon”) adalah kekuatan sejati, berdoa selalu untuk mendapat hidup yang berkah, dan seterusnya.

Sati Nasution gelar Sutan Iskandar yang lebih terkenal dengan nama Willem Iskander (1840-1876) meningggalkan begitu banyak sajak dan beberapa cerpen yang bertema kasih sayang. Contohnya dapat kita baca di dalam kumpulan puisi dan prosanya yang terbit tahun 1872 berjudul Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk, di antaranya berjudul: Ajar ni amangna di anakna na kehe tu sikola, Angkana dohot anggina, Di danak na mompas godang, Olo-olo, Di amateon ni boruna, Na mananom na mate, Amamate ni alak na lidang, Si Baroar, dan Tiruan ni olong ni roa marangka maranggi.

Buku ini telah merangsang semangat kemajuan yang luar biasa. Orang-orang tua kita masih ingat bait-bait sajak karya Willem Iskander ini, walaupun terakhir kali mereka membacanya puluhan tahun yang lalu. Pesan-pesan Willem Iskander telah menjadi bagian dari perbendaharaan nasihat orang tua kepada anak-anak mereka. Willem Iskander membawa gagasan pembaharuan dengan metode “olong mangalap holong”.

Persebaran orang Mandailing tidak hanya ke Pasaman, tetapi juga ke Barumun, bahkan ke daerah, Dalu-Dalu, Pasir Pangarayan, Rantau Binuang yang sekarang termasuk wilayah Kabupaten Kampar, Riau, dan Lumut di Tapanuli Tengah. Banyak kampung di Barumun Sosa yang sama namanya dengan kampung-kampung di Mandailing yang penduduknya berbicara dengan langgam Mandailing, misalnya Panyabungan, Sinonoan, Siabu, Hutabargot, dll. Marga Mandailing pun terdapat di sana, misalnya Nasution dan Lubis.

Satu fakta sejarah memperlihatkan, kecenderungan pria ASPAL untuk mempersunting gadis Mandailing lebih kuat daripada kecenderungan pria Mandailing mempersunting gadis ASPAL. Hal ini tidak hanya terjadi dalam kalangan masyarakat umum, tetapi juga di kalangan parbagas godang, kalangan raja-raja. Alasannya ialah, gadis Mandailing lebih lemah lembut, keibuan, lebih religius, lebih sabar, dan mungkin juga karena kecantikannya. Kecenderungan itu masih tetap ada, walaupun gadis Mandailing bukanlah pekerja keras di sawah dan kebun.

Menurut Godon, “de Mandhelingsche vrouw is eene goede moeder”, perempuan Mandailing adalah ibu yang baik (Godon, 1872:36 ; Harahap, 2004:213 ; 2007:167). Dalam hubungan ini, ada sebuah konsep Mandailing yang cukup terkenal yaitu “Poda Na Lima” yang berasal dari nasihat-nasihat ibu Mandailing, ialah:

1.      Paias rohamu (bersihkan jiwamu).
2.      Paias pamatangmu (bersihkan tubuhmu).
3.      Paias parabitonmu (bersih pakaianmu).
4.      Paias bagasmu (bersihkan rumahmu).
5.      Paias pakaranganmu (bersihkan pekaraganmu).

Boleh dikatak hal ini merupakan inti sari dakwah Islamiyah yang sangat bernas yang dilaksanakan secara damai, penuh rasa kasih sayang, dan sarat dengan ajaran agama Islam yang diawali dari rumah dalam kalangan keluarga batih. Poda Na Lima itu kemudian menjadi milik masyarakat, yang secara berkesinambungan disampaikan bukan saja di dalam rumah tangga, tetapi juga di dalam majelis adat. Poda Na Lima kemudian menjadi salah satu nasihat yang dimasyarakatkan oleh Pemerintah dengan menuliskannya pada papan-papan pengumuman. Bahkan di depan Pasanggrahan Kotanopan pernah dibangun satu tugu Poda Na Lima dalam bahasa dan aksara Mandailing.

Prof.Dr. H. Abdurrahman Ritonga, M.Pd. mengungkapkan bahwa dahulu, ada orang Sipirok datang ke Mandailing untuk menghadiri orja, pesta adat. Ia menyaksikan orang Mandailing menjalankan agama Islam dengan baik. Hal ini ia ceritakan kepada kaum kerabatnya tentang pengamalan ajaran Islam yang bagus di Mandailing itu. Orang Sipirok pun belajar agama Islam di Mandailing dan daerah lain. Menurutnya, cara beragama orang Sipirok tidak sebaik cara beragama orang Mandailing (Ritonga, 2006:238-242).

Hal itu merupakan bukti, bahwa orang Mandailing berdakwah dengan “olong”. Sedangkan “orja” adalah puncak aktualisasi rasa “olong” yang diungkapkan dengan kata-kata dan perbuatan. Arti kata “orja” secara harfiah adalah kerja. Namun konsep secara hermenetik, lebih bermakna daripada pengertian harfiah. Dalam hal ini, “orja” diartikan secara lahir dan batin. Aktivitas “orja” adalah aktivitas di mana sedang berlangsung suatu upacara adat (pesta perkawinan) karena ada anugerah hidup. Upacara adat perkawinan adalah “orja”, menyambuat dan memeriahkan kelahiran anak juga adalah “orja”, demikian juga dengan membangun dan menempati rumah baru, dan kerja gotong royong adalah juga “orja”. Seluruh tatanan Dalian Na Tolu (sistem kekerabatan) mengambil peran dalam “orja”. Menyukseskan “orja” adalah hak sekaligus kewajiban. Bahkan warga masyarakat yang tidak diikut sertakan di dalam menyukseskan “orja” akan menuntut haknya untuk ikut, meskipun keikutsertaan itu sesungguhnya merupakan pengorbanan. Namun pengorbanan dalam menyukseskan “orja” adalah pengorbanan yang tulus ikhlas (Harahap, 1987b:6). Jadi, peristiwa “orja” adalah peluang untuk berdakwah yang paling efektif.


EPILOG

Begitulah uraian singkat mengenaii suara “sengau” orang Mandailing ketika berkomusikasi, dimana hal itu erat kaitannya dengan interaksi (pargaulan) mereka dengan bangsa-bangsa lain termasuk orang-orang Arab yang berdagang ke kota-kota perdagangan (dermaga-dermaga) di Pulau Sumatra, dan tidak bisa dipungkiri kenyataan bahwa suara “sengau” itu sangat bermanfaat dalam kehidupan mereka untuk dapat saling menyayagi antar sesame mahluk ciptaan tuhan, sesuai dengan ajaram agama Islam yang telah mereka anut sejak ratusan tahun lalu.

Mengingat begitu besarnya manfaat suara “sengau” itu dalam pergaulan sehari-hari terutama dalam kaitannya dengan pengungkapan rasa asih sayang (“olong”), maka tidal berlebihan untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam, terutama di sekolah-sekolah agama Islam (seperti pesantern-pesanteren) dan penerapannya secara imtens dalam pergaulan umat manusia sehingga tercipta tatanan hidup yang lebih santun dan harmonis.


REFERENSI:

Edi Nasution, Tulila: Muzik Bujukan Mandailing, Penang-Malaysia: Areca Books:, 2007.
Z. Pangaduan Lubis, “Bahasa Mandailing”, http://www.mandailing, org
Topan Lubis (2010) , “Mandailing di Pasaman Barat”,  http://topanbaday.wordpress.com/ mandailing-di-pasaman-barat/
Zulkifkli B Lubis, Manipol: Studi Tentang Oriientasi Nilai Budaya Mandailing, Skripsi FISIP USU, 1988)
Jasinaloan, “Hata Mandailing”, http://bakhsanparinduri85.wordpress.com/ 2009/ 03/30/saro-mandailing/
Ahmad Bahsan Parinduri & Z Pangaduan Lubis, Kamus Bahasa Mandailing, Medan: Yayasan Bindu Nusantara, 2010.
Dinar M Matondang, Nyanyian Tradisional Mandaililing Ungut-Ungut: Studi Kasus, Skripsi Fakultas Sastra USU 1988.
James Danandjaya, Folklor Indonesia, Jakarta: Grafitipers, 1986.


Footnote



[1]  Hata Somal ialah ragam bahasa Mandailing yang dipergunakan oleh orang-orang Mandailing dalam percakapan sehari-hari sampai pada saat ini. Hata Andung ialah semacam ragam bahasa sastra, yang pada masa dahulu khusus digunakan oleh orang-orang Mandailing pada waktu meratapi jenasah dalam upacara kematian. Juga digunakan oleh gadis ketika ia meratap di hadapan orang tuanya pada saat akan berangkat meninggalkan mereka untuk selanjutnya dibawa ke rumah keluarga calon suaminya. Hata Taes Dohot Jampolak ialah ragam bahasa caci-maki yang khusus digunakan ketika terjadi hal-hal yang tidak baik (pertengkaran atau perkelahian). Hata Sibaso ialah ragam bahasa yang khusus digunakan oleh tokoh Sibaso (medium perantara alam nyata dan alam gaib) ketika berada dalam keadaan kesurupan (kerasukan) dan juga digunakan oleh Datu (penyembuh tradisional) pada waktu melakukan pengobatan. Hata Parkapur ialah ragam bahasa sirkumlokusi yang khusus digunakan ketika orang berada di tengah hutan. Pada masa yang lalu digunakan oleh orang-orang Mandailing pencari kapur barus ketika berada dalam hutan. Itulah sebabnya maka ragam bahasa tersebut dinamakan hata parkapur.

[2]  Kajian mendalam tentang permainan alat musik tiup “tulila” dalam konteks budaya “markusip”,  lihat Edi Nasution, Tulila: Muzik Bujukan Mandailing, (Areaca Books: Penang-Malaysia, 2007).


~o0o~