SUARA "SENGAU" ORANG MANDAILING
Oleh:
Edi
Nasution
PROLOG
Tentu
saja, sekarang setiap orang dalam setiap
suku umumnya dapat berbicara bukan saja dengan kaumnya sendiri saja, tetapi
juga mungkin dengan suku-suku lain. Termasuk suku-suku tetangganya, seperti
antara orang Angkola dengan orang Mandailing yang hidup bertetangga di
pedalaman patai barat daya Pulau Sumatera di bahagian utara.
Menurut
budayawan Z Pangaduan Lubis, bahwa beberapa tahun belakangan ini mulai
dikembangkan oleh "orang-orang tertentu" suatu konsep yang salah
mengenai bahasa yang digunakan oleh masyarakat Mandailing. Mereka menyebut
bahasa yang digunakan oleh orang Mandailing sebagai bahasa "Angkola
Mandailing" atau "Mandailing Angkola". Secara kultural
sebenarnya tidak ada bahasa "Angkola Mandailing". Karena kalau kita
tanyakan kepada orang Mandailing itu bahasa apa yang dipakainya, sudah pasti
orang yang bersangkutan akan menjawab bahwa bahasa yang dipakainya ialah bahasa
Mandailing. Dia tidak akan mengatakan bahasa "Angkola Mandailing".
Dan kalau kita tanyakan kepada orang Angkola, bahasa apa yang dipakainya, sudah
tentu ia akan menjawab bahasa Angkola, bukan bahasa Mandailing. Keadaan yang
demikian itu membuktikan bahwa tidak ada bahasa Angkola Mandailing. Kenyataan memang
menunjukkan bahwa orang Mandailing dan orang Angkola menggunakan satu bahasa
yang relatif sama. Tapi orang Angkola mengakui bahwa bahasa yang dipakainya
atau bahasa ibunya ialah bahasa Angkola dan orang Mandailing mengakui bahwa
bahasa ibunya ialah bahasa Mandailing.
Dalam
hal ini, kita dapat memakai pendapat pakar bahasa H. N. Van Der Tuuk untuk menjelaskan persoalannya. Van Der Tuuk
pernah melakukan penelitian mengenai bahasa Mandailing dan beberapa bahasa
etnis lainnya yang terdapat di Sumatera Utara. Dari hasil penelitiannya
mengenai bahasa Mandailing, Van Der Tuuk mengemukakan (1971: XLVII),
"Dengan mengacu ke pantai barat Sumatera, dengan aman dapat dikatakan
bahwa bahasa Mandailing meluas dari Ophir atau pegunungan Pasaman di sebelah
selatan sampai ke perbatasan bagian utara dari Sipirok dan Batang Toru. Bahasa
Mandailing terbagi menjadi bahasa Mandailing utara (juga disebut bahasa
Angkola) dan bahasa Mandailing selatan. Belum mungkin untuk merumuskan
batas-batas yang pasti di antara keduanya".
Menurut
budayawan Z Pangaduan Lubis, bahwa keterangan atau pendapat Van Der Tuuk ini
menunjukkan dengan jelas sekali bahwa bahasa orang Mandailing dan bahasa orang
Angkola ialah bahasa Mandailing. Tetapi bahasa Mandailing yang digunakan oleh
orang Angkola disebut juga bahasa Angkola. Dengan demikian jelas pulalah bahwa
sebenarnya tidak ada bahasa "Angkola Mandailing" seperti yang
belakangan ini mulai disebut-sebut oleh "orang-orang tertentu".
Perbuatan yang demikian itu benar-benar merupakan suatu kekeliruan (untuk tidak
menyebut manipulasi) yang seharusnya tidak dilakukan oleh sarjana bahasa, yang
seharusnya mengetahui tentang prinsip dan sikap emik dan etik dalam
mengemukakan pendapat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan,
termasuk mengenai bahasa sebagai salah satu unsur kebudayaan yang sangat
penting.
Bahasa
Mandailing (khususnya yang digunakan oleh kelompok etnis atau masyarakat
Mandailing pada masa yang lalu) atau yang disebut oleh Van Der Tuuk sebagai
bahasa Mandailing utara, terdiri dari lima ragam. Masing-masing dinamakan oleh
orang Mandailing sebagai: (1) Hata Somal; (2) Hata Andung; (3) Hata
Teas Dohot Jampolak; (4) Hata Sibaso; dan (5) Hata
Parkapur. [1]
Selain
kelima jenis bahasa tersebut, orang Mandailing juga nemiliki satu jenis bahasa
lagi, yaitu "hata bulung-bulung" (bahasa daun-daunan), dimana Ch. A. van Ophuysen menamakannya "bladerentaal".
Berbeda dari bahasa yang biasa, yang digunakan sebagai kata-kata dalam
"hata bulung-bulung" ialah daun tumbuh-tumbuhan yang dalam bahasa
Mandailing disebut "bulung-bulung".
Daun-daunan
yang digunakan ialah daun-daunan yang namanya punya persamaan bunyi dengan
kata-kata yang terdapat dalam bahasa Mandailing. Misalnya ialah daun
tumbuh-tumbuhan yang bernama "sitarak" digunakan untuk
menyampaikan kata "marsarak" (berpisah). Daun
tumbuh-tumbuhan yang bernama "pau" (pakis) digunakan untuk
menyampaikan kata "diau" (pada saya). Daun yang
tumbuh-tumbuhan yang bernama "sitanggis" (setanggi) digunakan
untuk menyampaikan perkataan tangis (menangis). Daun tumbuh-tumbuhan yang
bernama "podom-podom" digunakan untuk menyampaikan perkataan "modom"
(tidur). Daun tumbuh-tumbuhan yang bernama "hadungdung"
digunakan untuk menyampaikan perkatan "dung" (setelah). Dan
daun tumbuh-tumbuhan yang bernama "sitata" digunakan untuk
menyampaikan perkataan "hita" (kita). Kalau misalnya
daun "hadungdung"
bersama-sama dengan daun "sitata",
"sitarak", "sitanggis" dan "podom-podom" dikirimkan oleh
seorang pemuda kepada kekasihnya, maka sang kekasih akan mengerti bahwa sang
pemuda mengatakan kepadanya: "dung hita marsarak jolo tangis au anso modon". Artinya
"setelah kita berpisah, menangis saya dahulu baru bisa tertidur".
Pada
masa yang lalu, "hata bulung bulung"
biasanya digunakan oleh muda-mudi (disebut "naposo na uli bulung")
dalam masyarakat Mandailing, terutama pada waktu mereka berpacaran. Dalam hal
ini, dapat dikemukakan bahwa pada masa yang lalu kegiatan berpacaran (asmara)
antara pemuda dan pemudi dalam masyarakat Mandailing sama sekali tidak boleh
dilakukan secara terbuka. Hubungan dan kegiatan berpacaran harus dirahasiakan
atau dilakukan secara rahsia. Oleh karena itu, jika dua orang muda (muda-mudi)
yang berpacaran hendak menyampaikan sesuatu di antara mereka, maka mereka
menggunakan "hata bulung-bulung". Dan jika seorang kekasih hendak
menyampaikan "bulung-bulung"
sebagai "surat cinta" kepada pacarnya, dia harus melakukannya secara
rahasia. Misalnya dengan meletakkan "bulung-bulung"
tersebut di satu tempat tertentu yang sudah mereka sepakati dan tidak diketahui
orang lain. Secara sembunyi-sembunyi mereka yang berpacaran itu akan
mengunjungi tempat rahasia tersebut secara bergiliran, untuk melihat apakah di
tempat itu terdapat "surat cinta" yang terdiri dari "bulung-bulung".
Kalau
dua orang yang sedang berpacaran hendak berdialog secara langsung, mereka akan
melakukannya dengan cara yang disebut "markusip"
(berbisik). Kegiatan "markusip" dilakukan pada waktu tengah malam
agar tidak diketahui oleh orang lain. Dalam hal ini, pemuda dengan cara
sembunyi-sembunyi mendatangi rumah tempat kekasihnya tidur. Kemudian dengan
menggunakan sandi atau kode sang pemuda akan membangunkan kekasihnya dari balik
dinding rumah tersebut. Untuk membangunkan sang kekasih, biasanya pemuda
menjentik-jentik dinding rumah dengan jari tangannya secara perlahan-lahan.
Dalam hal ini, biasanya sang kekasih memang sudah menunggu kedatangan
kekasihnya untuk "markusip" pada waktu-waktu tertentu tengah malam.
Oleh karena itu, sang pemuda cukup menjentik dinding rumah beberapa kali untuk
memberitahukan bahwa dia sudah datang dan berada di balik dinding rumah.
Kadang-kadang untuk memberitahu kehadirannya di balik dinding sang pemuda
membunyikan alat musik tiup yang dinamakan "tulila" yang suaranya cukup halus. Apabila sang gadis sudah
mengetahui kehadiran kekasihnya di balik dinding iitu, maka mulailah mereka
berdailog secara berbisik-bisik. Dialog antara dua orang yang "markusip" biasanya dihiasi dengan
pantun-pantun (disebut “ende-ende”) percintaan yang
romantis. Dan tidak jarang pula dihiasi dengan alunan musik yang dimainkan
dengan "tulila".[2]
Pada
masa sekarang, bahasa daun-daunan (“hata
bulung-bulung”), dan penggunaannya sudah hilang dari tradisi budaya
Mandailing. Demikian pula halnya dengan ragam-ragam bahasa yang tersebut di
atas. Namun yang masih terus digunakan oleh warga masyarakat Mandailing di
negeri mereka ialah "hata somal"
(ragam bahasa sehari-hari). Sedangkan ragam bahasa yang lainnnya, boleh
dikatakan sudah hampir punah sama sekali. Hal itu terjadi oleh karena warga
masyarakat Mandailing selama ini tidak berusaha untuk melestarikannya.
Kepunahan ragam-ragam bahasa Mandailing yang sangat kaya itu tentu merugikan
kelompok etnis Mandailing, bahkan merugikan bangsa Indonesia. Sebab ragam
bahasa tersebut merupakan suatu kekayaan budaya etnis, yang kalau sudah punah maka
mustahil untuk menghidupkannya kembali.
Di
samping itu, orang Mandailing sangat kuat memperlihatkan bahasa tubuh. Tidak
semua hal yang penting harus diucapkan. Seringkali hal-hal yang penting itu
tampil dalam bahasa tubuh, apakah itu dengan mimik, gerak anggota badan
lainnya, maupun dengan diam sama sekali. Lawan bicaranya, pastilah tidak akan
salah paham tentang apa yang disembunyikan itu. Orang Mandailing diajari untuk
tidak serta merta memberi reaksi dalam berdialog. Jika seseorang sedang berbicara,
maka ketika lawan bicaranya ingin memberi tanggapan, dimana yang disebut
terakhir ini member tanda-tanda dengan bahasa tubuh berupa isyarat kepada orang
yang berbicara itu bahwa ia nanti akan aying tanggapan. Apakah tanggapan yang
akan disampaikan itu positif atau negatif, dapat diantisipasi oleh orang yang
sedang berbicara tersebut. Begitu indahnya orang Mandailing berdialog, terasa
suasana kasih sayang di dalam dialog itu. Biasanya, sekeras apa pun dialog yang
terjadi dan setajam apapun kata-kata yang diucapkan, tidak akan menimbulkan
dendam kesumat.
Bahasa
Mandailing memiliki kekhasan, baik dari segi bentuk, proses pembentukan kata,
makna kata maupun berdasarkan ragam pemakaiannya. Dalam hal ini, maka perlu membuat suatu
pengertian kata dengan uraian yang relatif cukup panjang karena tidak menemukan
padanan kata yang sesuai dalam bahasa Indonesia.
Dari
segi fonologis, bahasa Mandailing adalah bahasa yang bersistem silabis.
Dituliskan dalam aksara surat tulak-tulak (aksara Mandailing) yang terdiri atas
24 fonem: a, ha, na, ma, nga, la, pa, ga, ja, ba, ta, ra, sa, da, ka,
ca, nya, wa, i, ya, u, e, o, ng. Fonem-fenem tersebut dilambangkan
dengan 23 (dua puluh tiga) “induk ni surat” dan 5 (lima) “anak ni surat”.
Apabila
dikaji lebih mendalam, menurut Jasinaloan lagi, ada beberapa karakteristik
Bahasa Mandailing yang cukup menonjol, antara lain :
Pertama, fonem ”k”
velar dan glotal di akhir kata dilambangkan dengan satu tanda, meskipun pada
hakikatnya berbeda, seperti kata “tetek”
bermakna “tetes” dan “buang air besar”; “sosak”
bermakna “cepat” (buru-buru) dan “sesak” (nafas); “golak” bermakna “gelak” dan “ejek”; “etek” bermakna “bibi” (tante) dan “alat musik pukul dari bambu”.
Kedua, penggunaan
bunyi (huruf) vokal yang sangat produktif dan variatif pula seperti contoh
berikut:
sa: sarsar,
saksak; si: sirsir, siksik; su: sursur, suksuk; se: serser, seksek; so: sorsor,
soksok.
ta: taktak,
tartar; ti: tiktik, tirtir; tu: tuktuk, tultul; te: tektek, terter; to: toktok,
tortor.
pa: pakpak,
paspas; pi: pirpir, pispis; pu: purpur, puspus; pe: perper, pespes; po: porpor,
potpot.
Ketiga, terdapat kata
yang terdiri atas gugus vokal seperti: aua, uai, ee, dan aa. Untuk jelasnya
dapat dilihat pada kalimat: uai iaua ia au i (artinya: “wah akan
diapakannyalah aku itu”) yang terdiri atas dua belas gugus vokal yang belum
pernah ditemukan, bentuk seperti itu, di dalam Bahasa Ibu yang dimiliki
kelompok etnis lain. Selain itu, satu vokal saja dapat berfungsi sebagai satu
morfem seperti: ”a” pada kata bilangan adua
(bermakna “keduanya”); ”i” dapat bermakna ”itu” (misalnya kata ima, yang bermakna ”itulah”) dan awalan
”di” (misalnya kata isadu, bermakna
”disana”), ”e” bermakna ”hai”, ”u” bermakna ”ku”, dan ‘o’ yang bermakna ”ya”
atau ”kau”.
Keempat, intonasi pada
kata sangat memengaruhi arti. Pada kata dasar ”bagas” misalnya, tekanan tempo sangat berperan menentukan arti.
Kata ba’gas berarti ”rumah”,
sedangkan bag’as berarti ”dalam”.
Contoh lain misalnya kata ”parmangan”.
Dengan pengucapan yang berbeda dapat bermakna: (1) suka makan; (2) uang yang
digunakan untuk membeli makanan; dan (3) cara makan. Begitu juga dengan
bentuk-bentuk lain seperti da’bu
berarti ”jatuhkan”, dan dabu’ berarti
”dalam keadaan terjatuh”.
Kelima, ”akar kata”
sangat berperan dalam pembentukan kata dasar. Untuk jelasnya dapat dilihat pada
contoh kata-kata berikut: (1) antuk,
batuk, kurtuk, lantuk, maturutuk, potuk, retuk, sotuk, tuktuk, utuk; (2) apit, ubit, lompit, sipit, pitpit, jungkit,
dalkit, gigit, ancit, singit, rongit, angit, arit, sirit, gorit, ririt; (3)
andarohot, dapot, dohot, lolot, morot,
korot, sorot, porot,, potpot, lampot, sangkot, sungkot, singkot, sohot ,ngot,
tungkot, ingot, sirohot, salohot, moncot, to’pot, topo’t. Dari ketiga
contoh di atas masing-masing kelompok memiliki relevansi makna. Untuk contoh
nomor satu memiliki hubungan dengan bunyi, pada contoh kedua hubungan maknanya
berhubungan dengan sesuatu yang minim, kecil, dan hampir, sedangkan contoh
ketiga memiliki hubungan makna dengan tempat, proses menuju atau meninggalkan
tempat.
Keenam, pemakaian
”imbuhan” sangat produktif. Di samping jumlah imbuhan banyak, fungsi dan nosi
yang muncul lebih variatif. Satu kata dasar dapat diimbuhi oleh lebih dari dua
puluh imbuhan. Awalan ma + dabu dapat
menjadi: (1) mada’bu (terjatuh); (2)
ma’dabu (sudah/dalam keadaan terjatuh; dan (3) mandabu (menjatuhkan). Alomorf atau variasi morfem tidak hanya
terjadi pada awalan me- dan pe-, tetapi awalan sa-, misalnya dalam bentuk sambola, sandok, sanggotap.
Gabungan imbuhan dapat terjadi di akhir kata misalnya untuk kata dokon + on (dokonon), + kon (dokononkon),
+ on (dokononkonon), dorapkononkon.
Selain itu, imbuhan juga dapat membentuk tingkat kata sifat, misalnya pada
kata: godang, godangan, gumodang,
mago’dang, ma’godang, magodangan, magodangtu, murgodang, murmagodang,
murmurmagodang, targodang, tarumgodang, tartargodang, sagodang-godangna.
Ketujuh, pemakaian
”partikel” sangat dominan. Partikel yang digunakan antara lain: ba, bo, da, do, ke, le, ma, pe, te, dan
lain-lain. Dalam Bahasa Tutur (lisan), penggunaan partikel tersebut sering
disingkat menjadi sebuah akronim, seperti: ro
ma ho tu son menjadi roson, kehe ma ho tu si menjadi kesi, dan lain sebagainya.
CIRI KHAS
LANGGAM BICARA
Fakta
menunjukkan bahwa ciri khas langgam bicara orang Mandailing adalah pengucapan
kata-kata yang berirama. Menurut Topan Lubis (2010), semua huruf yang tertulis
diucapkan dengan jelas. Tetapi lebih daripada itu, yang paling menonjol adalah
lafal huruf “sengau" secara sempurna. Huruf-huruf sengau, "n",
"m", "ng" yang diucapkan orang
Mandailing secara sempurna itu menimbulkan suatu “gaung” bagaikan “multiplex
stereo” yang ditangkap oleh daun telinga, kemudian menggetarkan kulit
selaput di dalam telinga.
Beliau
menambahkan bahwa suara “sengau” itu
seolah memiliki “ruh” yang dapat
menggetarkan syaraf-syaraf. Ada “getaran gaib” yang membuatnya berkesan agak
mendalam, uaitu kata-kata yang terdiri dari huruf-huruf “sengau” (n,m,ng) itu
sering terngiang-ngiang di telinga kita. Suara sengau seperti itu dapat merangsang
suasana damai dan relaksasi yang baik bagi yang mendengarkannya, terlebih-lebih
bagi yang mengucapkannya. Gelombang
suara itu dapat mengendurkan syaraf-syaraf, sehingga tercipta kejernihan dalam
mengelola cara kerja pikiran dan perasaan.
Hal
ini tentu saja merupakan karunia Allah SWT yang sangat besar. Komunikasi dengan
kata-kata berhuruf “sengau” itu
menciptakan keakraban. Lafal seperti itu memiliki kekuatan kata-kata yang
diucapkan oleh orang tua dalam membina anak-anaknya, dan ini pula yang merupakan
kekuatan para guru, da'i, Tuan Syekh dan para agen pembaharuan di Mandailing.
Langgam bicara orang Mandailing disebut “lambok”,
sementara langgam bicara Angkola dan Sipirok disebut “laok” dan langgam bicara Padang Lawas disebut “purpur”.
Untuk
membuktikannya, cobalah ucapkan kalimat di bawah ini, dengan langgam bicara
Mandailing dan langgam bicara Angkola, Sipirok, Padang Lawas (ASPAL) dalam satu
kalimat dengan dua langgam. Dua kalimat di bawah ini akan memberikan getaran “gendang
telinga” yang berbeda dan kesan yang berbeda pula.
Langgam
Mandailing:
“Ning tulangku na di Batangtoru i, pala amang tua ni
nantulang na di Pagaran Singkam ma ompungku na di Gunungtua i.”
Langgam ASPAL:
“Nik tulakku na di Bataktoru i, pala amaktua ni
nattulang na di Pagarat Sikkam ma oppunkku na di Gunuktua i.”
Dalam
hubungan ini, menurut Topan Lubis (2010), contoh bahasa dunia yang sangat kaya
dengan huruf “sengau” adalah bahasa
Prancis. Lafal kata-kata bahasa Prancis yang lembut dan merdu itu, diakui
sebagai bahasa peradaban. Begitu besarnya peranan bahasa Prancis dalam
pergaulan dunia, sehingga salah satu syarat untuk menjadi Sekretaris
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), adalah fasih berbahasa Prancis. Dan bahasa
Al-Qur'an, yaitu bahasa Arab, lebih kaya lagi huruf “sengau” dan lagu kalimatnya. Maka dari itu ada sedikit pengaruh
bahasa Al-Qur'an dalam memperkaya dan memantapkan bunyi huruf-huruf sengau itu
ke dalam lafal bahasa Mandailing. Karena setiap huruf bahasa Al-Qur'an itu
mempunyai "hak suara" yang harus diucapkan secara jelas. Orang
bertanya. kenapa hal ini tidak terjadi pada bahasa Minangkabau yang juga
dikenal sangat kuat dipengaruhi agama Islam? Biarlah para filolog mencari
jawabannya.
UNGKAPAN
TRADISIONAL TERKAIT “OLONG”
Salah
satu rahmat yang pertama diturunkan oleh Allah SWT ke muka bumi adalah rasa
kasih sayang, khususnya kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya, lebih
khusus lagi rasa kasih sayang ibu kepada anak-anak yang dilahirkannya. Rasa
kasih sayang ini, tidak hanya berlaku pada manusia, tetapi juga berlaku pada
hewan, ialah rasa kasih sayang induk kepada anak-anaknya. Contohnya kita
saksikan pada ayam, dan banyak hewan menyusui. Rasa kasih sayang itu disebut
"olong" dalam bahasa
Mandailing. Banyak ungkapan tradisional Mandailing yang mengungkapkan rasa “olong”, antara lain, sebagai berikut:
1.
Songon siala na sampagul, rap tu ginjang rap
tu toru. Muda malamun saulak lalu, muda magulang rap margulu.
2.
Sahata saoloan sapangambe sapanaili. Satahi
dohot dongan maroban sonang pangarohai.
3. Muda sabara sabustak, asa salumpat saindege
boti sapangambe sapanaili, hasonangan na so unjung mantak, baritana sai tarbege.
4.
Muda manyuruk rap unduk, muda mangambur rap ipas.
5. Lambok bulung ni eme, na lambok
marluyun-luyun. Lambok lidung binege, ima dalan marhalalungun.
6. Tando batu ni pangkat, lomlom gorsing songon
simbora. Tandona hita na sapokat, bulung botik mardai mera.
7. Oong do mangalap olong. Muda olong roaniba
di dongan, tauken olong ma roa ni dongan di iba. Harani i mada inda tola iba
mantak patidaon olong ni roa i tu dongan-dongan anso di hatiana muse manjagit
iba hadengganan sian dongan.
8.
Muda pahae simanggurak, pahulu sitipulon,
antusanna muda ibaen na denggan tu dongan, laing na dengganma jagiton balosna.
9.
Mata guru roa sisean. Umpama on idok ma i tu
alak anso sai ra ia maniru na denggan di pangalaho na niidana sian dongan.
10. Muda jongjong di na tigor, batu mamak di andora.
11. Pantun angoluan, teas amatean.
12. Patar songon indahan di balanga.
13. Rukrek ni parau marobaan tu rapotna.
14. Sada do martoktok hite, sude halak
markitehonsa.
15. Sada huat tu jolo dua huat tu pudi.
16. Sadao-dao ni obok-obok ujungna laing madabu
tu tano.
17. Talu do gogo dibaen bisuk.
18. Tubu dingin-dingin di toru ni andomang.
Horas tondi madingin, sian menek lopus matobang.
19. Maranak bisuk-bisuk, marboru pohom-pohom.
20. Salumpat saindege, mate
mangolu sapartahian.
Sebenarnya masih
banyak lagi ungkapan serupa yang menyatakan kasih sayang, seia sekata, kompak,
saling menolong, saling melindungi, saling menasihati, terbuka, waspada, suka
berguru, dinamik, berjiwa pelopor, tegar menghadapi tantangan apa pun juga,
sopan, perbedaan pendapat justru mempererat hubungan manusiawi, berlomba-lomba
berbuat kebajikan, masa lampau adalah bagian dari masa kini dan masa depan,
maut adalah satu kemestian, kearifan (“abisukon”)
adalah kekuatan sejati, berdoa selalu untuk mendapat hidup yang berkah, dan seterusnya.
Sati
Nasution gelar Sutan Iskandar yang lebih terkenal dengan nama Willem Iskander
(1840-1876) meningggalkan begitu banyak sajak dan beberapa cerpen yang bertema
kasih sayang. Contohnya dapat kita baca di dalam kumpulan puisi dan prosanya
yang terbit tahun 1872 berjudul Si
Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk, di antaranya berjudul: Ajar ni amangna di anakna na
kehe tu sikola, Angkana dohot anggina,
Di danak na mompas godang, Olo-olo, Di amateon ni boruna, Na mananom na mate, Amamate
ni alak na lidang, Si Baroar, dan
Tiruan ni olong ni roa marangka maranggi.
Buku
ini telah merangsang semangat kemajuan yang luar biasa. Orang-orang tua kita
masih ingat bait-bait sajak karya Willem Iskander ini, walaupun terakhir kali
mereka membacanya puluhan tahun yang lalu. Pesan-pesan Willem Iskander telah
menjadi bagian dari perbendaharaan nasihat orang tua kepada anak-anak mereka.
Willem Iskander membawa gagasan pembaharuan dengan metode “olong mangalap holong”.
Persebaran
orang Mandailing tidak hanya ke Pasaman, tetapi juga ke Barumun, bahkan ke
daerah, Dalu-Dalu, Pasir Pangarayan, Rantau Binuang yang sekarang termasuk
wilayah Kabupaten Kampar, Riau, dan Lumut di Tapanuli Tengah. Banyak kampung di
Barumun Sosa yang sama namanya dengan kampung-kampung di Mandailing yang
penduduknya berbicara dengan langgam Mandailing, misalnya Panyabungan,
Sinonoan, Siabu, Hutabargot, dll. Marga Mandailing pun terdapat di sana, misalnya
Nasution dan Lubis.
Satu
fakta sejarah memperlihatkan, kecenderungan pria ASPAL untuk mempersunting
gadis Mandailing lebih kuat daripada kecenderungan pria Mandailing
mempersunting gadis ASPAL. Hal ini tidak hanya terjadi dalam kalangan
masyarakat umum, tetapi juga di kalangan parbagas
godang, kalangan raja-raja. Alasannya ialah, gadis Mandailing lebih lemah
lembut, keibuan, lebih religius, lebih sabar, dan mungkin juga karena
kecantikannya. Kecenderungan itu masih tetap ada, walaupun gadis Mandailing
bukanlah pekerja keras di sawah dan kebun.
Menurut
Godon, “de Mandhelingsche vrouw is eene
goede moeder”, perempuan Mandailing adalah ibu yang baik (Godon, 1872:36 ;
Harahap, 2004:213 ; 2007:167). Dalam hubungan ini, ada sebuah konsep Mandailing
yang cukup terkenal yaitu “Poda Na Lima”
yang berasal dari nasihat-nasihat ibu Mandailing, ialah:
1. Paias rohamu (bersihkan jiwamu).
2. Paias pamatangmu (bersihkan tubuhmu).
3. Paias parabitonmu (bersih pakaianmu).
4. Paias bagasmu (bersihkan rumahmu).
5. Paias pakaranganmu (bersihkan
pekaraganmu).
Boleh
dikatak hal ini merupakan inti sari dakwah Islamiyah yang sangat bernas yang
dilaksanakan secara damai, penuh rasa kasih sayang, dan sarat dengan ajaran
agama Islam yang diawali dari rumah dalam kalangan keluarga batih. Poda Na Lima itu kemudian menjadi milik
masyarakat, yang secara berkesinambungan disampaikan bukan saja di dalam rumah
tangga, tetapi juga di dalam majelis adat. Poda
Na Lima kemudian menjadi salah satu nasihat yang dimasyarakatkan oleh
Pemerintah dengan menuliskannya pada papan-papan pengumuman. Bahkan di depan
Pasanggrahan Kotanopan pernah dibangun satu tugu Poda Na Lima dalam bahasa dan aksara Mandailing.
Prof.Dr.
H. Abdurrahman Ritonga, M.Pd. mengungkapkan bahwa dahulu, ada orang Sipirok
datang ke Mandailing untuk menghadiri orja, pesta adat. Ia menyaksikan orang
Mandailing menjalankan agama Islam dengan baik. Hal ini ia ceritakan kepada
kaum kerabatnya tentang pengamalan ajaran Islam yang bagus di Mandailing itu.
Orang Sipirok pun belajar agama Islam di Mandailing dan daerah lain.
Menurutnya, cara beragama orang Sipirok tidak sebaik cara beragama orang
Mandailing (Ritonga, 2006:238-242).
Hal
itu merupakan bukti, bahwa orang Mandailing berdakwah dengan “olong”. Sedangkan “orja” adalah puncak aktualisasi rasa “olong” yang diungkapkan dengan kata-kata dan perbuatan. Arti kata “orja” secara harfiah adalah kerja. Namun
konsep secara hermenetik, lebih bermakna daripada pengertian harfiah. Dalam hal
ini, “orja” diartikan secara lahir
dan batin. Aktivitas “orja” adalah
aktivitas di mana sedang berlangsung suatu upacara adat (pesta perkawinan)
karena ada anugerah hidup. Upacara adat perkawinan adalah “orja”, menyambuat dan memeriahkan kelahiran anak juga adalah “orja”, demikian juga dengan membangun
dan menempati rumah baru, dan kerja gotong royong adalah juga “orja”. Seluruh tatanan Dalian Na Tolu (sistem kekerabatan) mengambil peran dalam “orja”. Menyukseskan “orja” adalah hak sekaligus kewajiban.
Bahkan warga masyarakat yang tidak diikut sertakan di dalam menyukseskan “orja” akan menuntut haknya untuk ikut,
meskipun keikutsertaan itu sesungguhnya merupakan pengorbanan. Namun
pengorbanan dalam menyukseskan “orja”
adalah pengorbanan yang tulus ikhlas (Harahap, 1987b:6). Jadi, peristiwa “orja” adalah peluang untuk berdakwah
yang paling efektif.
EPILOG
Begitulah
uraian singkat mengenaii suara “sengau”
orang Mandailing ketika berkomusikasi, dimana hal itu erat kaitannya dengan
interaksi (pargaulan) mereka dengan bangsa-bangsa lain termasuk orang-orang
Arab yang berdagang ke kota-kota perdagangan (dermaga-dermaga) di Pulau
Sumatra, dan tidak bisa dipungkiri kenyataan bahwa suara “sengau” itu sangat bermanfaat dalam kehidupan mereka untuk dapat
saling menyayagi antar sesame mahluk ciptaan tuhan, sesuai dengan ajaram agama
Islam yang telah mereka anut sejak ratusan tahun lalu.
Mengingat
begitu besarnya manfaat suara “sengau”
itu dalam pergaulan sehari-hari terutama dalam kaitannya dengan pengungkapan
rasa asih sayang (“olong”), maka
tidal berlebihan untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam, terutama di
sekolah-sekolah agama Islam (seperti pesantern-pesanteren) dan penerapannya
secara imtens dalam pergaulan umat manusia sehingga tercipta tatanan hidup yang
lebih santun dan harmonis.
REFERENSI:
Edi
Nasution, Tulila: Muzik Bujukan
Mandailing, Penang-Malaysia: Areca Books:, 2007.
Z.
Pangaduan Lubis, “Bahasa Mandailing”, http://www.mandailing,
org
Topan
Lubis (2010) , “Mandailing di Pasaman Barat”,
http://topanbaday.wordpress.com/ mandailing-di-pasaman-barat/
Zulkifkli
B Lubis, Manipol: Studi Tentang
Oriientasi Nilai Budaya Mandailing, Skripsi FISIP USU, 1988)
Jasinaloan,
“Hata Mandailing”,
http://bakhsanparinduri85.wordpress.com/ 2009/ 03/30/saro-mandailing/
Ahmad
Bahsan Parinduri & Z Pangaduan Lubis, Kamus
Bahasa Mandailing, Medan: Yayasan Bindu Nusantara, 2010.
Dinar
M Matondang, Nyanyian Tradisional
Mandaililing Ungut-Ungut: Studi Kasus, Skripsi Fakultas Sastra USU 1988.
James
Danandjaya, Folklor Indonesia,
Jakarta: Grafitipers, 1986.
Footnote
[1] Hata Somal ialah ragam bahasa Mandailing yang dipergunakan oleh
orang-orang Mandailing dalam percakapan sehari-hari sampai pada saat ini. Hata
Andung ialah semacam ragam bahasa sastra, yang pada masa dahulu khusus
digunakan oleh orang-orang Mandailing pada waktu meratapi jenasah dalam upacara
kematian. Juga digunakan oleh gadis ketika ia meratap di hadapan orang tuanya
pada saat akan berangkat meninggalkan mereka untuk selanjutnya dibawa ke rumah
keluarga calon suaminya. Hata Taes Dohot Jampolak ialah ragam bahasa caci-maki yang khusus digunakan ketika
terjadi hal-hal yang tidak baik (pertengkaran atau perkelahian). Hata
Sibaso ialah ragam bahasa yang khusus digunakan oleh tokoh Sibaso (medium perantara alam nyata dan
alam gaib) ketika berada dalam keadaan kesurupan (kerasukan) dan juga digunakan
oleh Datu (penyembuh tradisional)
pada waktu melakukan pengobatan. Hata Parkapur ialah ragam bahasa
sirkumlokusi yang khusus digunakan ketika orang berada di tengah hutan. Pada
masa yang lalu digunakan oleh orang-orang Mandailing pencari kapur barus ketika
berada dalam hutan. Itulah sebabnya maka ragam bahasa tersebut dinamakan hata
parkapur.
[2] Kajian mendalam tentang permainan alat musik tiup “tulila”
dalam konteks budaya “markusip”, lihat Edi Nasution, Tulila: Muzik Bujukan Mandailing,
(Areaca Books: Penang-Malaysia, 2007).
~o0o~