Selasa, 01 November 2011

Willem Iskander



Pemilihan judul tulisan untuk resensi sebuah buku Lebih Jauh Tentang WILLEM ISKANDER dan Si Bulus-Bulus, Si Rumbuk-Rumbuk yang diterbitkan oleh Pustaka Widiasarana pada pertengahan tahun ini, sebagaimana tertulis di atas, mungkin bagi para pembaca yang budiman terasa sedikit agak tendensius. Sebab, bagaimana mungkin Willem Iskader yang hidup sekitar 150 tahun yang lalu, kini di abad ke-20 sang tokoh pendidikan dan sastrawan kita itu tengah “bermuram durja”!!

Sebenarnya, judul tulisan itu terinspirasi dari isi Prakata yang ditulis oleh Rizali Harris Nasution pada buku tersebut, yang mempertanyakan mutu pendidikan di Mandaling sekarang. Entah karena apa sehingga hal itu dipertanyakan oleh beliau, tidak diketahui secara pasti. Namun, Rizali Harris Nasution ada menuliskan: ”Kami tidak berhak menjawabnya, selain berdoa bahwa arwah Willem Iskander akan tersenyum melihat dunia pendidikan dan seni yang lebih baik. Namun banyak juga yang lebih setuju kalau Willem Iskander sekarang sedang bermuram durja” (hlm. viii). Artinya, kalau tidak salah tafsir, hingga saat ini dunia pendidikan dan seni di Mandailing belum cukup baik. Terlepas dari soal perkembangan dunia pendidikan dan seni di Mandailing sekarang, maju ataukah mundur, mungkin ada juga baiknya kita membicarakan sedikit tentang karya monumental Willem Iskander.

Menurut Haris Sutan Lubis (lihat LOGAT, 2007: 18-25), kesusastraan atau karya sastra adalah salah satu hasil kebudayaan manusia yang sangat berharga dengan kandungan nilai yang cukup beragam. Pada satu sisi, karya sastra dapat pula menampilkan wajah kultur zamannya dan oleh karena itulah sifat-sifat suatu zaman dan persoalan-persoalan yang ada di dalam masyarakat tersebut dapat dibaca melalui karya sastra. Hal ini dapat terjadi karena pengarang sebagai salah seorang anggota masyarakat hidup dan berelasi dengan orang-orang di sekitarnya. Sering kali terjadi, kegelisahan masyarakat menjadi kegelisahan para pengarang; harapan-harapan, penderitaan-penderitaan, dan aspirasi suatu masyarakat di mana pengarang berada akan menjadi bagian dari pribadi si pengarang. Oleh karena itu, karya sastra dari suatu zaman dan pengarangnya merupakan suatu objek kajian yang selalu menarik dan bermanfaat bagi kehidupan suatu masyarakat ataupun bangsa, setidaknya bagi kepentingan pengkajian sejarah kesusasteraan bangsa tersebut. Tidak terkecuali Ali Sati Nasution gelar Ja Sikondar, yang lebih populer disebut Willem Iskander, adalah seorang sastrawan yang memiliki wawasan serta konsep kehidupan yang luas.

Willem Iskander hidup antara tahun 1840-1876. Pada usia 13 tahun, beliau pernah mendapat kesempatan mengikuti pendidikan pada sekolah dasar di Panyabungan (Mandailing Godang). Tiga tahun setelah mengikuti pendidikan, beliau dibawa Asisten Residen Mandailing Angkola untuk mengikuti pendidikan di negeri Belanda. Hal ini terjadi karena kepintaran beliau, di samping sebagai seorang keturunan raja yang berkuasa di masa itu. Tiga tahun setelah mengikuti pendidikan di negeri Belanda, beliau mendapat ijazah guru bantu dan kembali ke Mandailing. Tidak lama kemudian beliau mendirikan sekolah guru (Kweekschool) di Tanobato, dan memimpin sekolah tersebut hampir 12 tahun lamanya. Oleh karena itu, disamping dipandang sebagai seorang sastrawan kawakan, Willem Iskander juga dikenal luas sebagai tokoh pendidikan dari Tano Rura Mandailing. Uraian yang lebih dalam dan lengkap tentang Willem Iskander dapat dibaca dalam buku Lebih Jauh Tentang WILLEM ISKANDER dan Si Bulus-Bulus, Si Rumbuk-Rumbuk yang ditulis oleh (alm) Z. Pangaduan Lubis, seorang antropolog dan budayawan.

Di dalam bukunya Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk, Willem Iskander menuliskan sepuluh buah prosa, dimana satu diantaranya berbentuk dialog yang dapat dikategorikan sebagai "drama" (mini). Prosa-prosa tersebut diperkirakan ditulisnya sekitar tahun 1860-an karena buku Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk dicetak pertama kali pada tahun 1872 di Batavia. Dengan demikian prosa-prosa itu diciptakannya 75 tahun sebelum Kesusasteraan Indonesia mengenal Karya Sastra yang berbentuk Cerita Pendek (Cerpen) yang eksistensinya di Indonesia dipengaruhi oleh Kesusasteraan Barat.

Cerita pertama berjudul Sada Alak Pulon Ta On Na Mabiar Di Ahaila, yang secara harafiah artinya “seseorang dari pulau kita ini yang takut malu”. Dari judulnya saja dapat dipahami bahwa seseorang pada dasarnya selalu takut untuk berbuat sesuatu yang memalukan. Untuk menghindari perbuatan malu maka dari seseorang sangat dibutuhkan suatu tindakan yang berani, tegas, dan memiliki tanggungjawab yang besar.

Cerita kedua berjudul Amamate ni Alak na Lidang, yang secara harafiah artinya “meninggalnya orang yang jujur” dengan tema keagamaan. Cerita ini mengisahkan kepasrahan seseorang yang selama ini dikenal sebagai orang sangat jujur, dalam menerima kematian yang memang pasti datang pada setiap makhluk Allah.

Cerita ketiga berjudul Na Dangol Muda Na So Binoto, yang secara harafiah artinya “sedih kalau tak tahu” dengan tema pendidikan. Dalam cerita dikisahkan seorang raja yang pergi mengunjungi rumah seorang Asisten Residen Belanda. Sewaktu ia bertemu, di rumah itu pun sedang ada beberapa orang kulit putih yang sedang berbincang-bincang dengan Asisten Residen. Sebagaimana kebiasaan orang Belanda untuk menyambut tamunya, dihidangkanlah segelas teh panas, sementara sang raja belum pernah mendapatkan suguhan seperti itu, sehingga ia pun bingung memikirkan bagaimana caranya meminum teh panas tersebut. Dalam keadaan bingung dan malu untuk bertanya, maka diteguknya teh itu cepat-cepat. Melihat teh panas secepat itu direguk, lalu sang pelayan pun mengisi kembali gelasnya karena si pelayan mengira sang raja sangat haus. Sang raja yang melihat betapa cepatnya sang pelayanan mengisi kembali gelasnya, segera pula mereguk suguhan kedua tersebut, karena mengira memang begitulah aturan meminumnya. Kejadian itu berlangsung terus sampai tujuh gelas teh panas habis diteguk sang raja, yang akhirnya sang raja mohon ampun agar jangan lagi ia dihukum dengan meminum teh panas. Padahal, suguhan teh panas untuk tamu adalah tradisi orang Belanda. 

Cerita keempat berjudul Pidong Garudo Bosar, yang secara harafiah artinya “burung garuda besar” dengan tema rasa tanggung jawab sesama makhluk. Cerita yang mengambil lokasi di daerah Eropa ini mengisahkan tiga orang abang beradik yang ingin mengambil burung garuda yang bersarang di lembah yang sangat curam. Usaha mengambil anak burung garuda ini ternyata mendapat perlawanan yang dari induknya dan burung garuda lainnya, yang hampir mengakibatkan kematian ketiga anak tersebut. 

Cerita kelima dan keenam merupakan cerita yang bersambung yang berjudul, Tiruan ni Olong Ni Roa Marangka Maranggi, yang secara harafiah artinya ”contoh kasih sayang yang bersaudara” dengan tema rasa kasih sayang sesama saudara. Ketegaran kasih sayang ini digambarkan ketika kandasnya sebuah kapal layar yang membawa beratus orang penumpang. Untuk menyelamatkan diri setelah kapal itu pecah, maka kapten kapal memerintahkan agar setiap sekoci yang tersedia dimuat dengan sembilan belas orang. Namun keselamatan sekoci ini pun pada akhirnya tidak dapat dijamin, karena sudah mulai kekurangan bahan makanan, dan biasanya hanya dipersiapkan untuk empat orang penumpang. Maka diadakanlah perembukan dan akibatnya beberapa orang harus dijatuhkan ke laut. Ternyata di antara yang harus dibuang itu terdapat seorang lelaki yang memiliki seorang adik yang juga berada dalam sekoci dan tidak ikut untuk dibuang ke laut. Mengetahui sang abang akan dijadikan korban, sang adik dengan perasaan kasih sayang meminta agar ia saja yang menggantikan abangnya dengan alasan bahwa abangnya itu sudah berkeluarga, yang harus memelihara kehidupan anak dan isterinya.

Cerita ketujuh dan kedelapanan berjudul Na Binuat Tingon Barita ni Tuan Colombus, yang secara harafiah artinya ”yang diambil dari cerita Tuan Colombus”, juga merupakan dua cerita yang bersambungan yang menceritakan kisah perjalanan Colombus, si penemu benua Amerika. Cerita yang bertemakan manfaat ilmu pengetahuan bagi kesejahteraan umat manusia ini mengisahkan keunggulan Colombus memanfaatkan perhitungan berdasarkan ilmu astronomi.

Cerita kesembilan berjudul, Si Baroar, adalah sebuah legenda Mandailing yang bertemakan ”siapa yang melakukan/meniatkan kejahatan terhadap orang lain, biasanya orang itulah yang akan menemui celakanya”. Cerita ini mengisahkan usaha pembunuhan yang direncanakan Raja Hutabargot Sutan Pulungan terhadap Si Baroar, dengan cara menjerumuskannya ke dalam sebuah lobang yang dipersiapkan. Namun sialnya ternyata anak Sutan Pulungan sendirilah (karena raut muka dan perawakan anaknya itu agak mirip dengan Si Baroar) yang menjadi korbannya.

Kesepuluh buah prosa Willem Iskander di atas telah diterjemahkan oleh Mhd. Bakhsan Parinduri ke dalam Bahasa Indonesia, di dalam buku yang diterbitkan oleh Pustaka Widiasarana tersebut. Menurut Rizali Harris Nasution, sepanjang buku-buku tentang Willem Iskander yang pernah dibacanya, terjemahan yang dibuat oleh Mhd. Bakhsan Parinduri inilah yang paling ”pas” untuk Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk, kalau tidak mengatakan inilah yang terbaik.


Jakarta, 1 November 2011

Edi Nasution