Antara Pior dan
Cinta
By Edi Nasution
DALAM KEHIDUPAN masyarakat Mandailing tempo dulu sudah diwarnai oleh sistem nilai
budaya yang tidak memungkinkan adanya pergaulan secara terbuka (bebas) antara pemuda
dan anak gadis, sehingga bagaimanapun menyala-nyalanya rasa cinta di antara
mereka harus dilakukan (dipadukan) secara rahasia.
Dalam keadaan
yang demikian itu, bahasa daun-daunan (bladerentaal)
merupakan salah satu alternatif alat komunikasi untuk mengutarakan isi hati.
Misalnya seorang pemuda ingin mengatakan “jangan sampai terjadi perpisahan di
antara kita” kepada kekasihnya, maka si pemuda akan mengirimkan daun tumbuhan: simardulang-dulang (ulang = jangan), daun sitata
(ita = kita), dan daun sitarak (marsarak = berpisah). Untuk lebih jelasnya lihat makalah Drs. Z. Pangaduan Lubis dengan judul “Sastra
Mandailing dan Kita: Suatu Perkenalan Awal” (1990) sewaktu “Diskusi
Kebudayaan Mandailing” di Fakultas Sastra USU.
Meskipun
“bahasa daun-daunan” (bladerentaal)
telah popular di masa itu, namun tidak tertutup kemungkinan adanya hambatan
bagi seorang pemuda atau dan seorang anak gadis yang ingin saling mengutarakan
isi hati. Seperti sulitnya bertemu untuk menyampaikan daun-daunan, adanya
perasaan saling menyegani, atau perasaan takut apabila “gayung tidak
bersambut”. Dengan adanya hambatan-hambatan ini, bukanlah berarti si pemuda
kehabisan akal untuk dapat memikat hati si anak gadis yang didambakannya.
Ternyata, masih banyak cara yang dapat ditempuh, dimana salah satu di antaranya
adalah dengan menggunakan alat musikal bernama pior.
Organologi dan Klasifikasi
Pior adalah suatu alat bunyi yang
terbuat dari bahan bambu, kayu, pelepah pinang, dan belahan rotan sebagai
pengikat. Dari sepotong kayu yang bulat dan ringan (kayu yang bernama atinar atau goti) dibentuk menjadi lembaran kayu yang panjangnya kira-kira 80
cm dan lebarnya 10 cm, pada bagian tengahnya dibuat lubang sumbu.
Kemudian
lembaran kayu tadi dibentuk menjadi kincir angin ’double plat’, dan ke dua ujungnya diikatkan kuat sepasang alat bunyi
yang bernama ’dongung-dongung’. Dongung-dongung ini terbuat dari
sepotong bambu bernama ’bulu poring’,
yang panjangnya sekitar 15 cm dari ’buku’ yang utuh hingga ke ujungnya yang
terpotong lancip, dan diameter bambu sekitar 3-4 cm.
Pada lubang
sumbu diberi semacam “pen” yang terbuat dari bambu kecil, sedangkan sumbunya
terbuat dari bambu bulat. Dan pada perpanjangan sumbu (di bagian belakang)
dilengkapi dengan pengatur arah anginnya berupa pelepah pohon pinang (laklak). Laklak ini berguna untuk mencari arah angin yang bertiup, yang pada
gilirannya perangkat pior diletakkan
pada tabung bambu yang vertikal dan memiliki “buku” pada di dekat sumbu yang
melintang. Selanjutnya melalui lubang tabung bambu yang vertikal ini dimasukkan
tonggak kayu bulat sebagai tiangnya pior.
Panjang tiang pior ini disesuaikan dengan keperluan, lalu dipancangkan di atas
tanah.
Setelah pior terpancang sempurna, lalu appabila angin
bertiup prontal terhadap pior,
sehingga pior pun akan berputar
secara vertikal beserta dongung-dongung
yang masing-masing diikatkan pada kedua ujungnya. Akibat berputarnya dongung-dongung, maka terjadilah
benturan “kolom udara” pada tabung dongung-dongung.
Selanjutnya benturan kolom udara ini menghasilkan “getaran”, dan dengan
frekuensi tertentu dari geteran ini akan menghasilkan bunyi atau suara yang
berdengung-dengung.
Kita ketahui
bahwa bunyi pior lebih kuat pada malam hari karena sejalan dengan prinsip
fisika, dimana pada malam hari udara lebih padat di atas permukaan tanah, dan
akibatnya bunyi yang dihasilkan pior
melengkung ke bawah, sedangkan di siang hari kebalikannya.
Sehubungan
dengan yang telah dutarakan di atas dan sesuai pula dengan metode klasifikasi
intrumen dunia yang diajukan oleh Curt
Sach dan Hornbostel (1881-1969)
maka ‘pior’ yang dilengkapi dengan ’dongung-dongung’ ini termasuk
klasifikasi alat musik ’aerofon’.
Penggunaan dan Fungsi
Pior ini umumnya dipasang di daerah
perbukitan, atau dapat juga di dataran rendah yang diikatkan pada batang pohon
kuini atau mangga, agar mendapat angin yang lebih banyak. Seperti yang
telah dikemukakannya di atas, di mana pior
ini dilengkapi dengan dua buah alat musikal (dongung-dongung), yang terbuat dari sepotong bambu dipotong lancip,
diikatkan pada kedua ujungnya. Pembuatan dongung-dongung
ini jelas tindakan yang sengaja dirancang oleh seorang pemuda untuk tujuan
tertentu. Dalam hal ini untuk memikat hati seorang anak gadis yang didambakan
si pembuat pior.
Menurut
keterangan dari beberapa orang tua, dongung-dongung
ini sebelumnya diasapi dengan kemenyan, sebagai pengantar mantera-mantera yang akan
diucapkan oleh si pembuat pior.
Dengan harapan agar ’suara’ yang dihasilkan ’dongung-dongung’ tersebut (disebut ’pitunang’) dapat menyampaikan hasrat yang diinginkan si pembuat pior (pemuda) terhadap seorang anak
gadis yang didambakannya. Biasanya setelah pior
terpancang dalam beberapa hari, bisa jadi si anak gadis yang dituju mulai
bertanya-tanya dalam hati, sering melamun, dan dilanda kerinduan.
Dalam keadaan
seperti ini biasanya·si anak gadis mulai pula menunjukkan reaksi untuk
menemukan seseorang yang dirindukannya, tetapi ia tidak tahu siapa gerangan. Ia
mulai bertingkah aktif bergaul dan sesekali mengunjungi famili di luar
kampungnya. Dalam situasi yang seperti ini besar kemungkinan dapat berjumpa
dengan si pemuda pembuat pior.
Setelah bertemu dengan si pemuda, si gadis merasakan ada sesuatu ’hal’ yang
menyentuh perasaannya yang terdalam, dan ia merasa tertarik kepada kepribadian
si pemuda.
Dalam suasana
perjumpaan seperti ini, ‘barangkali’ si pemuda pun tidak hanya mengandalkan
keampuhan ‘pitunang’ saja, tetapi ia
mungkin juga memakai ‘daya pemikat’ tambahan, seperti harum-haruman atau
do’a-do’a (mantera) tertentu yang diperuntukkan bagi si anak gadis, agar lebih
berkesan lagi menerima cinta sang pemuda pembuat pior. Sehingga hubungan di antara mereka pun dapat terjalin akrab,
dan si gadis merasa aman, damai, dan terlindung di sisi sang pemuda, dan
kemungkinan besar “gayung” pun bersambut.
Bertolak dari
uraian di atas, dan meskipun penulis belum sempat mendokumentasikan bunyi ’dongung-dongung’ (yang suaranya monotone), dan ’mantera-mantera’ yang
diucapkan oleh si pembuat pior,
’penulis berpendapat bahwa prilaku si pembuat pior bukanlah praktek ’magic’.
Oleh karena si pembuat pior bukanlah
menguasai dan mempergunakan kekuatan dan hukum-hukum gaib yang ada di dalam
alam ini untuk mencapai tujuannya. Tetapi itu adalah satu bentuk ’religi’, hal ini sesuai dengan konsep
yang diajukan oleh J.D. Frazer di
dalam bukunya The Golden Bough (1890), bahwa ”religi adalah segala sistem
perbuatan manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyodorkan diri
kepada kawasan dan kekuasaan makhluk-makhluk halus seperti roh-roh atau
dewa-dewa, dan lain-lain yang menempati alam”.
Pada masa
sebelum masuknya agama Islam ke Mandailing, masyarakat di sana menganut sistem
religi yang dinamakan “Sipelebegu”.
Ternyata sistem religi (Sipelebegu) ini
secara berangsur-angsur hilang semenjak pengaruh yang kuat dari agama Islam
yang semakin banyak dianut dan diyakini oleh masyarakat Mandailing, dan pada
gilirannya merubah pola pikir masyarakat tentang ‘Ketuhanan’. Meskipun
demikian, sistem religi Sipelebegu
(budaya) ini masih ada yang tersisa kendati telah diwarnai oleh Islam.
Sehubungan dengan itu, keberadaan pior
di Mandailing, seperti yang terpancang seperti di Tor Sijanggut - Huta Pungkut sekarang mungkin adalah sisa-sisa
sistem religi ‘Sipelebegu’ yang
diwarnai oleh agama Islam.
Penutup
Seperti yang
dikemlukakan di atas, di mana ‘pitunang’
dapat digunakan untuk memikat dan menundukkan hati seorang anak gadis. Oleh
karena itu, ‘pitunang’ adalah suatu
daya pikat yang memakai ‘bunyi’ (“dongug-dongung”)
sebagai medium untuk maksud-maksud tertentu.
Kenyataannya “pitunang” ini tidak hanya dipakai untuk
maksud seperti di atas, yang ada kalanya dipasang pada alat transportasi,
misalnya ‘pedati’. Pitunang untuk
pedati ini dipasang pada ‘usip’ (dua
buah lempengan logam sebagai alat bunyi seperti “bell”), terletak di sumbu roda
bagian pinggir: kiri dan kanan, atau dipasang pada ‘gonto’ (lonceng) yang
biasanya disangkutkan pada leher kerbau atau lembu penarik pedati.
Ada pula yang
digantungkan di dalam pedati. Pemakaian ‘pitunang’
pada bagian-bagian yang menghasilkan bunyi ini adalah untuk memikat hati para
langganan agar mereka menumpangkan barangnya kepada pemilik pedati yang memasang
pitunang tersebut di pedati miliknya.
Di Mandailing,
kita mengetahui tentang adanya acara muda-mudi “markusip” (tradisi berkencan dengan cara berbisik-bisik antara
pemuda dan pemudi yang dibatasi dinding rumah pada malam hari), dan ternyata
tradisi markusip ini pun tidak luput
dari pemakaian berbagai alat musik yang memakai ‘pitunang’ seperti tulila,
sordam, ataupun genggong (jaw's harp).
Selanjutnya
dapat diasumsikan (oleh penulis dan Ir. Hafis Nasution) bahwa tradisi ‘pior’ muncul lebih awal dari tradisi ‘markusip’ apabila ditinjau dari aspek
sosio-kultural dan teknologi, di mana sistem nilai budaya pada masa tradisi ‘pior’ sangat ketat dan alat musikal ‘pior’ itu sendiri hanya menghasilkan
satu suara atau bunyi dengungan (drone)
secara terus-menerus (monotone), dan
si pelaku masih dirahasiakan.
Sedangkan
sistem nilai budaya pada masa tradisi markusip
sudah mulai longgar, dan telah memakai berbagai alat musik tiup yang lebih
melodius (mempunyai beberapa lubang nada), serta si pelaku sudah mulai
menunjukkan keberanian.
Akhirnya,
semenjak perkembangan teknologi menjangkau desa-desa seperti sarana penerangan “listrik
masuk desa”, dan era informasi (tv, radio, surat kabar dan lain-lain) yang
sangat mempengaruhi ”pola pikir” masyarakat Mandailing, sehingga baik tradisi ’pior’ maupun ‘markusip’ dalam kaitannya dengan percintaan mulai hilang ditelan
perkembangan zaman.*
Dimuat dalam Harian
Waspada Medan, 1990.
~o0o~