Sabtu, 04 Oktober 2014

Pior


Antara Pior dan Cinta



DALAM KEHIDUPAN masyarakat Mandailing tempo dulu sudah diwarnai oleh sistem nilai budaya yang tidak memungkinkan adanya pergaulan secara terbuka (bebas) antara pemuda dan anak gadis, sehingga bagaimanapun menyala-nyalanya rasa cinta di antara mereka harus dilakukan (dipadukan) secara rahasia.

Dalam keadaan yang demikian itu, bahasa daun-daunan (bladerentaal) merupakan salah satu alternatif alat komunikasi untuk mengutarakan isi hati. Misalnya seorang pemuda ingin mengatakan “jangan sampai terjadi perpisahan di antara kita” kepada kekasihnya, maka si pemuda akan mengirimkan daun tumbuhan: simardulang-dulang (ulang = jangan), daun sitata (ita = kita), dan daun sitarak (marsarak = berpisah). Untuk lebih jelasnya lihat makalah Drs. Z. Pangaduan Lubis dengan judul “Sastra Mandailing dan Kita: Suatu Perkenalan Awal” (1990) sewaktu “Diskusi Kebudayaan Mandailing” di Fakultas Sastra USU.

Meskipun “bahasa daun-daunan” (bladerentaal) telah popular di masa itu, namun tidak tertutup kemungkinan adanya hambatan bagi seorang pemuda atau dan seorang anak gadis yang ingin saling mengutarakan isi hati. Seperti sulitnya bertemu untuk menyampaikan daun-daunan, adanya perasaan saling menyegani, atau perasaan takut apabila “gayung tidak bersambut”. Dengan adanya hambatan-hambatan ini, bukanlah berarti si pemuda kehabisan akal untuk dapat memikat hati si anak gadis yang didambakannya. Ternyata, masih banyak cara yang dapat ditempuh, dimana salah satu di antaranya adalah dengan menggunakan alat musikal bernama pior.


Organologi dan Klasifikasi

Pior adalah suatu alat bunyi yang terbuat dari bahan bambu, kayu, pelepah pinang, dan belahan rotan sebagai pengikat. Dari sepotong kayu yang bulat dan ringan (kayu yang bernama atinar atau goti) dibentuk menjadi lembaran kayu yang panjangnya kira-kira 80 cm dan lebarnya 10 cm, pada bagian tengahnya dibuat lubang sumbu.

Kemudian lembaran kayu tadi dibentuk menjadi kincir angin ’double plat’, dan ke dua ujungnya diikatkan kuat sepasang alat bunyi yang bernama ’dongung-dongung. Dongung-dongung ini terbuat dari sepotong bambu bernama ’bulu poring’, yang panjangnya sekitar 15 cm dari ’buku’ yang utuh hingga ke ujungnya yang terpotong lancip, dan diameter bambu sekitar 3-4 cm.

Pada lubang sumbu diberi semacam “pen” yang terbuat dari bambu kecil, sedangkan sumbunya terbuat dari bambu bulat. Dan pada perpanjangan sumbu (di bagian belakang) dilengkapi dengan pengatur arah anginnya berupa pelepah pohon pinang (laklak). Laklak ini berguna untuk mencari arah angin yang bertiup, yang pada gilirannya perangkat pior diletakkan pada tabung bambu yang vertikal dan memiliki “buku” pada di dekat sumbu yang melintang. Selanjutnya melalui lubang tabung bambu yang vertikal ini dimasukkan tonggak kayu bulat sebagai tiangnya pior. Panjang tiang pior ini disesuaikan dengan keperluan, lalu dipancangkan di atas tanah.

Setelah pior terpancang sempurna, lalu appabila angin bertiup prontal terhadap pior, sehingga pior pun akan berputar secara vertikal beserta dongung-dongung yang masing-masing diikatkan pada kedua ujungnya. Akibat berputarnya dongung-dongung, maka terjadilah benturan “kolom udara” pada tabung dongung-dongung. Selanjutnya benturan kolom udara ini menghasilkan “getaran”, dan dengan frekuensi tertentu dari geteran ini akan menghasilkan bunyi atau suara yang berdengung-dengung.

Kita ketahui bahwa bunyi pior lebih kuat pada malam hari karena sejalan dengan prinsip fisika, dimana pada malam hari udara lebih padat di atas permukaan tanah, dan akibatnya bunyi yang dihasilkan pior melengkung ke bawah, sedangkan di siang hari kebalikannya.
Sehubungan dengan yang telah dutarakan di atas dan sesuai pula dengan metode klasifikasi intrumen dunia yang diajukan oleh Curt Sach dan Hornbostel (1881-1969) maka ‘pior’ yang dilengkapi dengan ’dongung-dongung’ ini termasuk klasifikasi alat musik ’aerofon’.


Penggunaan dan Fungsi

Pior ini umumnya dipasang di daerah perbukitan, atau dapat juga di dataran rendah yang diikatkan pada batang pohon kuini atau mangga, agar mendapat angin yang lebih banyak. Seperti yang telah dikemukakannya di atas, di mana pior ini dilengkapi dengan dua buah alat musikal (dongung-dongung), yang terbuat dari sepotong bambu dipotong lancip, diikatkan pada kedua ujungnya. Pembuatan dongung-dongung ini jelas tindakan yang sengaja dirancang oleh seorang pemuda untuk tujuan tertentu. Dalam hal ini untuk memikat hati seorang anak gadis yang didambakan si pembuat pior.

Menurut keterangan dari beberapa orang tua, dongung-dongung ini sebelumnya diasapi dengan kemenyan, sebagai pengantar mantera-mantera yang akan diucapkan oleh si pembuat pior. Dengan harapan agar ’suara’ yang dihasilkan ’dongung-dongung’ tersebut (disebut ’pitunang’) dapat menyampaikan hasrat yang diinginkan si pembuat pior (pemuda) terhadap seorang anak gadis yang didambakannya. Biasanya setelah pior terpancang dalam beberapa hari, bisa jadi si anak gadis yang dituju mulai bertanya-tanya dalam hati, sering melamun, dan dilanda kerinduan.

Dalam keadaan seperti ini biasanya·si anak gadis mulai pula menunjukkan reaksi untuk menemukan seseorang yang dirindukannya, tetapi ia tidak tahu siapa gerangan. Ia mulai bertingkah aktif bergaul dan sesekali mengunjungi famili di luar kampungnya. Dalam situasi yang seperti ini besar kemungkinan dapat berjumpa dengan si pemuda pembuat pior. Setelah bertemu dengan si pemuda, si gadis merasakan ada sesuatu ’hal’ yang menyentuh perasaannya yang terdalam, dan ia merasa tertarik kepada kepribadian si pemuda.

Dalam suasana perjumpaan seperti ini, ‘barangkali’ si pemuda pun tidak hanya mengandalkan keampuhan ‘pitunang’ saja, tetapi ia mungkin juga memakai ‘daya pemikat’ tambahan, seperti harum-haruman atau do’a-do’a (mantera) tertentu yang diperuntukkan bagi si anak gadis, agar lebih berkesan lagi menerima cinta sang pemuda pembuat pior. Sehingga hubungan di antara mereka pun dapat terjalin akrab, dan si gadis merasa aman, damai, dan terlindung di sisi sang pemuda, dan kemungkinan besar “gayung” pun bersambut.

Bertolak dari uraian di atas, dan meskipun penulis belum sempat mendokumentasikan bunyi ’dongung-dongung’ (yang suaranya monotone), dan ’mantera-mantera’ yang diucapkan oleh si pembuat pior, ’penulis berpendapat bahwa prilaku si pembuat pior bukanlah praktek ’magic’. Oleh karena si pembuat pior bukanlah menguasai dan mempergunakan kekuatan dan hukum-hukum gaib yang ada di dalam alam ini untuk mencapai tujuannya. Tetapi itu adalah satu bentuk ’religi’, hal ini sesuai dengan konsep yang diajukan oleh J.D. Frazer di dalam bukunya The Golden Bough (1890), bahwa ”religi adalah segala sistem perbuatan manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyodorkan diri kepada kawasan dan kekuasaan makhluk-makhluk halus seperti roh-roh atau dewa-dewa, dan lain-lain yang menempati alam”.

Pada masa sebelum masuknya agama Islam ke Mandailing, masyarakat di sana menganut sistem religi yang dinamakan “Sipelebegu”. Ternyata sistem religi (Sipelebegu) ini secara berangsur-angsur hilang semenjak pengaruh yang kuat dari agama Islam yang semakin banyak dianut dan diyakini oleh masyarakat Mandailing, dan pada gilirannya merubah pola pikir masyarakat tentang ‘Ketuhanan’. Meskipun demikian, sistem religi Sipelebegu (budaya) ini masih ada yang tersisa kendati telah diwarnai oleh Islam. Sehubungan dengan itu, keberadaan pior di Mandailing, seperti yang terpancang seperti di Tor Sijanggut - Huta Pungkut sekarang mungkin adalah sisa-sisa sistem religi ‘Sipelebegu’ yang diwarnai oleh agama Islam.


Penutup

Seperti yang dikemlukakan di atas, di mana ‘pitunang’ dapat digunakan untuk memikat dan menundukkan hati seorang anak gadis. Oleh karena itu, ‘pitunang’ adalah suatu daya pikat yang memakai ‘bunyi’ (“dongug-dongung”) sebagai medium untuk maksud-maksud tertentu.

Kenyataannya “pitunang” ini tidak hanya dipakai untuk maksud seperti di atas, yang ada kalanya dipasang pada alat transportasi, misalnya ‘pedati’. Pitunang untuk pedati ini dipasang pada ‘usip’ (dua buah lempengan logam sebagai alat bunyi seperti “bell”), terletak di sumbu roda bagian pinggir: kiri dan kanan, atau dipasang pada ‘gonto’ (lonceng) yang biasanya disangkutkan pada leher kerbau atau lembu penarik pedati.

Ada pula yang digantungkan di dalam pedati. Pemakaian ‘pitunang’ pada bagian-bagian yang menghasilkan bunyi ini adalah untuk memikat hati para langganan agar mereka menumpangkan barangnya kepada pemilik pedati yang memasang pitunang tersebut di pedati miliknya.

Di Mandailing, kita mengetahui tentang adanya acara muda-mudi “markusip” (tradisi berkencan dengan cara berbisik-bisik antara pemuda dan pemudi yang dibatasi dinding rumah pada malam hari), dan ternyata tradisi markusip ini pun tidak luput dari pemakaian berbagai alat musik yang memakai ‘pitunang’ seperti tulila, sordam, ataupun genggong (jaw's harp).

Selanjutnya dapat diasumsikan (oleh penulis dan Ir. Hafis Nasution) bahwa tradisi ‘pior’ muncul lebih awal dari tradisi ‘markusip’ apabila ditinjau dari aspek sosio-kultural dan teknologi, di mana sistem nilai budaya pada masa tradisi ‘pior’ sangat ketat dan alat musikal ‘pior’ itu sendiri hanya menghasilkan satu suara atau bunyi dengungan (drone) secara terus-menerus (monotone), dan si pelaku masih dirahasiakan.

Sedangkan sistem nilai budaya pada masa tradisi markusip sudah mulai longgar, dan telah memakai berbagai alat musik tiup yang lebih melodius (mempunyai beberapa lubang nada), serta si pelaku sudah mulai menunjukkan keberanian.

Akhirnya, semenjak perkembangan teknologi menjangkau desa-desa seperti sarana penerangan “listrik masuk desa”, dan era informasi (tv, radio, surat kabar dan lain-lain) yang sangat mempengaruhi ”pola pikir” masyarakat Mandailing, sehingga baik tradisi ’pior’ maupun ‘markusip’ dalam kaitannya dengan percintaan mulai hilang ditelan perkembangan zaman.*

Dimuat dalam Harian Waspada Medan, 1990.

~o0o~