Senin, 30 Desember 2013

BANUA MANDAILING


 "MANDALA HOLING"
Oleh: Edi Nasution


PROLOG

Meskipun kelompok etnik (suku-bangsa) Mandailing memiliki aksara tradisional yang disebut Surat Tulak-tulak, dan biasa digunakan untuk menuliskan kitab-kitab kuno yang dinamakan Pustaha, namun Pustaha itu umumnya bukan berisi tentang 'cacatan sejarah' orang Mandailing, melainkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan pengobatan tradisional, ilmu-ilmu gaib, ramalan tentang waktu yang dipandang baik dan buruk, serta ramalan tentang mimpi (Z. Pangaduan Lubis, 1986: 43-44). 


Salah satu sumber sejarah kuno yang menyebut-nyebut nama 'Mandahiling' (Mandailing) adalah kitab yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada zaman Majapahit yaitu Negarakertagama. Selain itu nama Mandailing ('tano padang bakkil bandailing') disebut-sebut juga di dalam sastra klasik Toba-tua, yaitu Tonggo-tonggo Si Boru Deak Parujar (Batara Sangti, 1977: 278). Tonggo-tonggo tersebut berbunyi sebagai berikut:

"Baen ma gondang ni Ompunta, Tuan Humara-Hiri, Si Humara Naboru, par-aji tamba-tua, par-aji pulung-pulungan; sinonduk ni Ompunta Sibaso Nabolon, na marsigantung ditali siubar, na meat di mombang boru".

"Sian tano hondur, tano malambut, tano hulambu jati, sian tano padang bakkil bandailing, tano siogung-ogung; parsirangan ni tano, pardomuan ni aek; Sian i ma dalan laho tu ginjang, partiatan ni Ompunta: Debata Natolu Suhu, Naopat Harajaon tu banua tonga on".
Disi ma parangin-anginan ni Ompunta 'Siboru Deakparujar', sideak uti-utian, sigodang ujar-ujaran:

1. Na manjadihon : 'Gana na so boi tolonon, bulan naso boi oseon'
2. Sian I ma mula ni : 'Dung-dang'
3. Mula ni  : 'Sahala'
4. Mula ni : 'harajaon'
5. Mula ni : 'Gantang tarajuan, Hatian pamonari'
6. Mula ni : 'Pungga si sada iht'
7. Mula ni : 'Ninggala Sibola tali'
8. Sian i ma : 'Boli nii boru muli dohot si namot ni anak'
9. Mula ni  : 'Goar ni bao na so boi dohonon'
10. Nunga disihataon i : 'Di ninggor ni ruma, dipagohan di pinggol nia- debata'."

Kalau Tonggo-tonggon Si Boru Deak Parujar tersebut dialih bahasakan secara bebas dan terbatas ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:

Tonggo-Tonggo Siboru Deakparujar

Palulah gendang dari Empu kita, Tuan Kumarakumari, Si Kumara perempuan, per-aji tambah tua, per-aji ramu-aramuan; suami dari Empu Kita Sibaso Nabolon, yang bergantung pada tali siubar, yang hinggap di mombang boru.

Dari tanah lembah, tanah kelabu sejati, dari tanah bakil Mandailing, tanah yang termasyhur, bagaikan suara yang merdu, perpisahan daripada tanah, pertemuan daripada air: 'Dari situlah tangga jalan ke atas, perturunan daripada Empu Kita: Debata Nan Tiga, Nan Tiga Segi, Nan Empat Kerajaan, ke benua tengah ini.
Di situlah bertamasya Empu kita Siboru Deakparujar, yang banyak cerdik, yang banyak akal:

1. Yang mengamanatkan : "Tidak boleh makan sumpah, tidak boleh mengingkari ikrar"
2. Asal mula  : "Kepercayaan"
3.   Asal mula : "Sahala"
4. Asal mula : "Kerajaan"
5.   Asal mula : "Gantang pengukuran, dacing kebenaran"
6.   Asal mula :  "Batu-asahan satu seikat"  
7.   Asal mula :   "Bajak bagai pembelah tali"
8. Di situlah asal mula: "Penerimaan beli atas perkahwinan anak perempuan dan pembayaran jujuran bagi perkahwinan anak lelaki"
9.  Asal mula:  "Nama besan yang tak boleh disebut"
10. Ini telah dinukilkan : "Pada kuda-kuda rumah-Batak asli, dipacakkan batu barani dan di kuping kuda dewata".

Kita tidak mengetahui kapan Tonggo-tonggo Siboru Deakparujar itu tercipta atau diciptakan. Yang kita ketahui ialah bahwa Siboru Deakparujar adalah tokoh mitologi dalam kebudayaan Toba. Menurut mitologi Toba, Siboru Deakparujar adalah puteri Debata Mulajadi Nabolon, yang dititahkannya turun dari 'benua atas' ke 'benua tengah' membawa sekepal tanah, untuk menempa bumi di atas lautan.

Namun dalam usahanya menempa bumi, Siboru Deakparujar mendapat gangguan dari Naga Padoha (Raja Padoha), tetapi akhirnya dia berhasil menyelesaikan tugasnya itu. Kemudian Debata Mulajadi Nabolon menitahkan Siraja Odap-odap turun ke bumi untuk menjadi suami Siboru Deakparujar. Dari perkawinan Siboru Deakparujar dengan Siraja Odap-odap, lahirlah seorang putera yang bernama Siraja Ihatmanusia, dan seorang puteri yang bernama Siboru Ihatmanusia. Kedua bersaudara tersebut kawin dan kemudian mendapat tiga orang putera. Masing-masing Siraja Miok-miok, Patundal Nabegu dan Siraja Lapas-lapas. Dari keturunan Siraja Miok-miok kemudian hari lahirlah Siraja Batak, yang dipandang sebagai nenek moyang (leluhur) orang Batak.

Menurut Batara Sangti, tonggo-tonggo ialah doa yang disusun secara puitis dan diucapkan waktu sajian besar dan kecil (1977: 270). Dalam Tonggo-tonggo Siboru Deakparujar jelas disebutkan bahwa "tanah bakil Mandailing tanah yang termasyhur, bagaikan suara gung yang merdu (suara gong yang merdu biasanya menarik perhatian dan dapat didengar sampai ke tempat yang jauh). Dari situlah (dari tanah Mandailing) jalan ke atas, 'perturunan' (tempat turun) dari Empu kita: Debata Nan Tiga, Nan Tiga Segi, Nan Empat Kerajaan, ke 'benua tengah' (ke bumi -) ini". Berdasarkan tonggo-tonggo (doa) tersebut, jelaslah bahwa sejak zaman dahulu kala (sejak adanya tokoh mitologi Siboru Deakparujar), orang Toba (Batak) telah mengakui kemasyhuran tanah Mandailing. Lebih penting dari itu, Tonggo-tonggo Siboru Deakparujar dengan jelas menyebutkan pula bahwa tanah Mandailing merupakan tempat tangga jalan ke atas (kayangan), dan menjadi tempat turun Dewa (Debata Nan Tiga) ke 'benua tengah' (bumi) ini.

Selanjutnya tonggo-tonggo tersebut  menyatakan pula bahwa "di situlah" (di tanah Mandailing) bertamasya Siboru Deakparujar. Dengan demikian dapat ditapsirkan bahwa kemungkinan sekali justru di tanah Mandailing itu pulalah Siboru Deakparujar turun dari kayangan. Sebab tonggo-tonggo-nya menyebutkan "dari situlah (dari tanah Mandailing) tangga jalan ke atas (kayangan)". Oleh karena itu, tidak tertutup pula kemungkinan bahwa di tanah Mandailing pulalah Siboru Deakparujar kawin dengan Siraja Odap-adap. Selanjutnya keturunan mereka lahir dan berkembang di tempat tersebut. Kemudian dapat dikemukakan hipotesis, bahwa setelah keturunan Siboru Deakparujar dan Siraja Odap-odap berkembang di tanah Mandailing, generasi selanjutnya dari keturunan mereka, seperti misalnya Siraja Batak (keturunan generasi ke empat dari Siraja Miok-miok, atau generasi ke enam dari keturunan Siboru Deakparujar dan Siraja Odap-odap) pindah ke tempat lain meninggalkan tanah Mandailing dan pergi ke tanah Toba. Kemudian di tempat itu ia berkembang. Dengan kata lain, berdasarkan penafsiran terhadap Tonggo-tonggo Si Boru Deak Parujar tersebut, nenek moyang Siraja Batak, mulai dari Si Boru Deak Parujar dan Si Raja Odap-adap sampai kepada Guru Tantan Debata, yaitu ayah dari Si Raja Batak sendiri, setelah besar kemudian meninggalkan tempat tersebut (Mandailing) dan pergi ke tempat lain yaitu tao Toba.


'HUTA ILING' DAN MANDAILING

Mandailing adalah suatu 'kawasan terbuka' (open area) dan sikap penduduknya juga cukup terbuka (open society), sehingga banyak didatangi oleh suku-suku (bangsa-bangsa) lain dari berbagai belahan dunia, yang kurang lebih sama keadaannya dengan kawasan Simalungun yang juga terletak di Sumatera bagian Utara. Dalam hal ini, Juandaha Raya Purba Nasuha (2008) dalam media online KASKUS antar lain menuliskan sebagai berikut: "Suku bangsa Simalungun menurut sejarah adalah keturunan Melayu Tua (Proto Malay) dari India Belakang yang menyebar ke daerah yang disebut sekarang Simalungun setelah mengalami proses transformasi, asimilasi dan integrasi dalam berbagai aspek dengan suku-suku bangsa lain yang bersentuhan dengan leluhur Simalungun. Dalam perkembangannya, leluhur Simalungun yang pertama itu setelah menetap di pantai timur berangsur-angsur berpindah ke pedalaman. Ini diakibatkan invasi bangsa-bangsa lain yang silih berganti datang mengadakan ekspansi ke daerah-daerah homeland (tanah air) Simalungun. … Demikianlah sehingga orang Simalungun sekarang ini ada yang mengaku nenek moyangnya berasal dari Pagarruyung di Sumatera Barat, Samosir di Tapanuli, Aceh, Pakpak dan Alas-Gayo, bahkan dari India dan Pulau Jawa. Jadi ke dalam lingkungan etnis Simalungun itu sudah membaur berbagai suku-suku bangsa yang sulit untuk diurai dan dirunut kembali hingga ke tahap permulaannya".

Sama halnya seperti di Mandailing, di Simalungun pun banyak terdapat huta ('kampung') antara lain seperti: Huta Manik Tomok, Huta Saing Dolok Silau, Huta Mariah, Huta Tano, Huta Siallagan, Huta Harangaol, Huta Urung, Huta Bayu (adalah salah satu nagori yang ada di Simalungun), dan Huta Iling. Dalam bahasa Simalungun, kata 'iling' artinya 'suara keras', sedangkan kata 'ling' dalam bahasa Mandailing, artinya "suara yang melengking tinggi atau nyaring", kira-kira seperti bunyi suara burung 'tarias' (serindit) jantan.

Dalam hubungan ini, menurut Basyral Hamidy Harahap (2013), nama 'Mandailing' berasal dari kosa kata bahasa Sansekerta yaitu 'mandala' dan 'iling'. Kosa kata 'mandala' artinya 'kawasan', 'daerah', 'kancah perang', sedangkan 'iling' artinya 'miring' dikaitkan dengan "kontur tanah berupa bukit yang landai" (disebut: 'dolok'), lereng, dan dataran lembah yang dialiri sejumlah sungai, seperti sebuah kampung di kecamatan RayaSimalungun bernama Huta Iling yang koordinatnya adalah 2o56'0" Lintang Utara dan 98o53'0" Bujur Timur, sekitar 21 kilometer di barat kota Pematang Siantar di antara Panai dan Raya. Sementara menurut Warneck (1977: 27, kata 'iling' berarti  zursei geneigt artinya 'lerengan'. Dan di dalam Pupuh ke XIII kitab Nagarakertagama  (1365), Mpu Prapanca menyebutkan bahwa 'Mandahiling' merupakan salah satu 'kawasan' di Nusantara yang cukup penting pada masa lalu (abad ke-14). Dalam Pupuh XIII kitab Negarakertagama, nama Mandahiling (Mandailing) bersama nama banyak negeri di Sumatera dituliskan oleh Mpu Prapanca sebagai "negara bawahan" dari Kerajaan Majapahit sebagai berikut: "Lwir ning nuasa pranusa pramuka sakahawat kaoni ri Malayu/ning Jambi mwang Palembang i Teba len Darmmacraya tumut/Kandis, Kahwas Manangkabwa ri Siyak i Rekan Kampar mwang Pane/Kampe Haru athawa Mandahiling i Tumihang Perlak mwang i Barat". 

Memang, di dalam kitab Negarakertagama tersebut tidak ada keterangan lain mengenai Mandailing kecuali sebagai salah satu 'negara bawahan' dari Kerajaan Majapahit. Namun demikian, dengan dituliskannya nama Mandailing terdapatlah bukti sejarah yang otentik bahwa pada abad ke-14 telah diakui keberadaannya sebagai salah satu 'negara bawahan' dari Kerajaan Majapahit. Sayangnya, pengertian 'negara bawahan' dalam hal ini tidak begitu jelas artinya karena tidak ada penjelasan lebih lanjut.


BANUA HOLING DAN SERE

Kepercayaan tentang asal-usul dari para leluluhur (nenek moyang) yang datang dari suatu tempat yang jauh ('orang pendatang') ke Pulau Sumatera ternyata tidak hanya didominasi oleh suku bangsa Mandailing.  Ada sejumlah suku-bangsa lain yang mengaku berasal dari daerah yang jauh di luar Pulau Sumatera, seperti masyarakat Kuantan di Inderagiri Riau, masyarakat Kerinci, suku bangsa Simalungun, Karo (khususnya Merga Sembiring), Pakpak, dan juga masyarakat Barus di pantai barat Pulau Sumatera Utara.

Suku-bangsa Mandailing yang mendiami bagian selatan dari Propinsi Sumatera Utara (Kabupaten Mandailing Natal) diriwayatkan berasal dari Munda, yaitu sebuah daerah di India Tengah. Mereka telah berpindah-pindah pada abad-ke 6, karena terpukul dengan serangan bangsa Arayan dari Irak yang meluaskan pengaruh mereka. Setelah melintasi Gunung Himalaya ('Dolok Malea'), kemudian mereka menetap sebentar di Mandalay, yaitu ibu negara Burma purba. Besar kemungkinan nama Mandalay itu sendiri datangnya dari perkataan Mandailing yang mengikuti logat Burma.

Sekali lagi mereka terpaksa harus bepindah karena adanya pergolakan suku kaum di Burma yang sering berperang. Pada waktu itu, mereka melintasi Selat Malaka, yang pada masa itu bukan merupakan suatu lautan yang besar, sangat dimaklumi bahwa pada masa itu di bagian tertentu Semenanjung Tanah Melayu dan Sumatera hanya dipisahkan oleh selat kecil saja.

Setelah kaum Munda telah berhasil menyeberangi 'laut kecil' tersebut. lalu mendirikan sebuah kerajaan di Batang Pane, Portibi, Padang Lawas. Diduga peristiwa ini diperkirakan terjadi pada akhir abad ke-6. Kerajaan Munda Holing di Portibi ini telah menjadi mashur dan meluaskan wilayah taklukannya hingga ke sebahagian besar pantai Sumatera dan tanah Melayu. Keadaan ini menimbulkan kemarahan Maharaja Rajenderacola, lalu beliau menyerang kerajaan Munda Holing dan negara pantai lainnya di abad ke-9. Tenteara kerajaan Munda Holing yang dipimpin oleh Raja Odap-Odap telah ditewaskan oleh Rajenderacola dan berkuasa di seluruh wilayah Batang Pane. Tunangannya yaitu 'Si Boru Deak Parujar' telah melintasi Dolok Malea (yaitu pegunungan Himalaya yang didaki oleh nenek moyangnya) dengan menggenggam 'segumpal tanah' di Portibi untuk mendirikan satu 'kerajaan' ('banua') baru (lihat: Tonggo-tonggo Si Boru Deak Parujar sebagai sastra klasik pada suku-bangsa Toba-tua).

Setelah kerajaan Mandala Holing di Portibi ditaklukkan, kemudian lahir pula 'kerajaan kedua' di Pulau Sumatera yang dididirikan di Pidoli Dolok (didekat kota kecil Panyabungan sebagai ibukota Kabupaten Madina sekarang) dikenali sebagai kerajaan Mandala Holing yang artinya "kawasan orang-orang Keling". Pada masa itu, mereka masih beragama Hindu dengan memuja Dewa Siva (Siwa). Di abad ke 13, Kerajaan Majapahit telah menyerang ke Lamuri dan juga Mandailing. Sekali lagi kerajaan Mandala Holing ini telah dibumi hanguskan dan hancur. Penduduk yang tidak dapat ditawan telah lari ke dalam hutan dan bercampur-gaul dengan penduduk asli. Lalu terbentuklah Marga Pulungan yang artinya "yang di kutip-kutip". Di abad ke-14 dan ke 15, Marga Pulungan telah mendirikan tiga buah Bagas Godang ('istana raja') di atas tiga puncak bukit, namun kerajaan tersebut bukan lagi sebuah kerajaan yang besar, melainkan "hanya merupakan kerajaan kampung" (huta), di Huta Bargot, yang letaknya tidak jauh dari Panyabungan.

Jadi dapatlah dikatakan, menurut Z. Pangaduan Lubis (1987), bahwa Negri Mandailing sudah ada sebelum abad ke-14. Karena sebelum keberadaannya dicatat tentunya Mandailing sudah terlebih dahulu ada. Namun kapan Negeri Mandailing mulai berdiri tidak diketahui secara persis. Tetapi karena nama Mandailing dalam kitab ini disebut-sebut bersama nama banyak negeri di Sumatera termasuk Pane dan Padang Lawas, kemungkinan sekali negeri Mandailing sudah mulai ada pada abad ke-5 atau sebelumya. Karena Kerajaan Pane sudah disebut-sebut dalam catatan Cina pada abad ke-6. Dugaan yang demikian ini dapat dihubungkan dengan bukti sejarah berupa reruntuhan candi yang terdapat di Simangambat dekat Siabu. Candi (cai)tersebut adalah Candi Siwa yang dibangun sekitar abad ke-8. Apakah pada abad ke-14 Mandailing merupakan satu kerajaan tidak diketahui. Karena dalam kitab Negarakertagama, Mandailing tidak disebut-sebut sebagai kerajaan tetapi sebagai 'negara bawahan' dari Kerajaan Majapahit. Tetapi dengan disebutkan negeri Mandahiling (Mandailing) sebagai negara, ada kemungkinan pada masa itu Mandailing merupakan satu kerajaan. Keterangan mengenai keadaaan Mandailing sebelum abad ke-14 tidak ada sama sekali kecuali keberadaaan Candi Siwa di Simangambat. Namun demikian, berdasarkan berbagai peninggalan dari zaman pra sejarah dan peninggalan dari zaman Hindu/Buddha yang terdapat di Mandailing kita dapat mengemukakan keterangan yang bersifat hipotesis, dengan uraian sebagai berikut:

Di Simangambat (di dekat Siabu) terdapat reruntuhan Candi Siwa (Hindu) dari abad ke-8. Candi tersebut jauh lebih tua dari candi-candi yang ada di Portibi (Padang Lawas) yang menurut perkiraan para pakar dibangun pada abad ke-11. Dengan adanya Candi Siwa ini bisa menimbulkan pertanyaan mengapa dan kapan ummat Hindu (orang Hindu) dari India datang ke Mandailing yang terletak di Pulau Sumatera yang mereka namakan Swarna Dwipa (Pulau Emas).

Besar kemungkinan orang Hindu datang ke Mandailing yang terletak di Swarna Dwipa adalah untuk mencari sere (emas). Dalam sejarah India, terdapat keterangan yang menyebutkan bahwa sekitar abad pertama Masehi pasokan emas ke India yang didatangkan dari Asia Tengah terhenti. Karena di Asia Tengah terjadi berbagai peperangan. Oleh karena itu, kerajaan-kerajaan yang terdapat di India berusaha mendapatkan emas dari tempat lain yaitu dari Sumatera/Swarna Dwipa. Dalam hubungan ini, dapat dimengerti bahwa di wilayah Mandailing yang pada masa lalu hingga kini di dalamnya termasuk kawasan Pasaman terdapat banyak emas, sehingga dinamakan tano sere atau tano omas sigumorsing. Bukti-bukti mengenai hal ini banyak sekali. Jadi besar sekali kemungkinan bahwa tempat yang dituju oleh orang Hindu dari India untuk mencari emas di Swarna Dwipa adalah daerah Mandailing, yaitu pada masa daerah ini belum bernama Mandailing, yang entah apa namanya ketika itu tidak dapat dipastikani.

Orang Hindu yang datang ke wilayah Mandailing adalah yang berasal dari negeri atau Kerajaan Kalingga di India. Oleh karena itu mereka disebut Alak Holing atau Alak Koling. Ada kemungkinan mereka masuk dari daerah Singkuang. Karena Singkuang yang merupakan tempat bermuaranya sungai Batang Gadis cukup terkenal sebagai 'pelabuhan'. Itulah sebabnya mengapa tempat tersebut dinamakan Singkuan oleh pedagang Cina yang berarti 'harapan baru'. Karena melalui pelabuhan ini mereka biasa memperoleh berbagai 'barang dagangan' yang penting yang berasal dari Sumatera seperti damar, gitan, gading dan komoditas perdagangan lainnya.

Menurut dugaan setelah Alak Holing/Koling tiba di Singkuang, selanjutnya mereka menyusuri sungai Batang Gadis ke arah hulunya. Dengan demikian maka akhirnya mereka sampai di satu 'dataran rendah' yang subur yaitu di kawasan Mandailing Godang yang sekarang. Sejak zaman pra sejarah di kawasan tersebut dan di berbagai tempat di Mandailing sudah terdapat penduduk pribumi. Hal ini dibuktikan oleh adanya peninggalan dari zaman pra sejarah berupa 'lumpang-lumpang batu besar' di tengah hutan di sekitar Desa Runding di seberang sungai Batang Gadis dan bukti-bukti lainnya di berbagai tempat.

Pada waktu Alak Holing/Koling sampai di kawasan Mandailing Godang (waktu itu tidak diketahui nama kawasan ini), maka mereka bertemu dengan penduduk 'pribumi setempat' (Alak Siladang?). Penamaan AlakHoling/Koling digunakan untuk menyebutkan orang Hindu yang berasal dari Negeri Kalingga tersebut dibuat oleh penduduk pribumi. Setibanya di wilayah Mandailing, orang-orang Keling (Alak Holing/Koling) tersebut menemukan apa yang mereka cari yaitu emas. Kita mengetahui melalui sejarah bahwa emas tercatat sebagai salah satu modal utama dalam berdirinya kerajaan-kerajaan besar dan emas juga merupakan sumber kemakmuran. Setelah orang-orang Hindu menemukan banyak emas di kawasan Mandailing yang sekarang ini, mereka kemudian menetap di kawasan tersebut. Karena orang-orang Hindu (Alak Holing/Koling) krmudian menetap di kawasan itu maka dinamakan Mandala Holing/Koling. Mandala artinya 'lingkungan' atau 'kawasan'. Mandala Holing/Koling berarti lingkungan atau kawasan tempat tinggal orang-orang Holing/Koling yang beragama Hindu. Sampai sekarang masih sering mendengar disebut-sebut adanya Banua Holing/Koling. Tetapi orang-orang tidak mengetahui dimana tempat yang dinamakan Banua Holing/Koling itu.

Berdasarkan uraian di atas, kita dapat mengatakan bahwa yang disebut Banua Holing/Koling itu adalah wilayah Mandailing yang dahulu ditempati oleh orang-orang Hindu (Alak Holing/Koling). Dengan kata lain, Banua Holing/Koling adalah Mandala Holing/Koling. Berabad-abad kemudian Mandalan Holing/Koling dikenal sebagai Kerajaan Holing. Dalam hubungan ini, Slamet Mulyana (1979:59) mengemukakan bahwa hubungan dagang dan diplomat antara Cina dan Jawa berlangsung mulai dari berdirinya Kerajaan Holing pada permulaan abad ke-7 sampai runtuhnya Kerajaan Majapahit pada permulaan abad ke-16. Sejalan dengan keterangan Slamer Mulyana ini tampak hubungan erat antara Kerajaan Holing dengan adanya Candi Siwa Di Simangambat yang dibangun pada abad ke-8. Dalam hubungan ini dapat pula dikemukan bahwa dari berbagai catatan sejarah disebut-sebut adanya Kerajaan Kalingga dan Kerajaan Holing. Tetapi sampai sekarang para sejarahwan belum menentukan dimana sebenarnya lokasinya yang pasti. Ada pakar sejarah yang menduga bahwa Kerajaan Kalingga terletak di Jawa Timur tetapi Kerajaan Holing yang disebut-sebut dalam catatan Cina tidak diketahui lokasinya secara pasti. Dan dapat pula dipertanyakan apakah Kerajaan Kalingga adalah yang disebut juga sebagai Kerajaan Holing. Dengan argumentasi yang telah dikemukan di atas, kita mengajukan dugaan (hipotesis) bahwa yang disebut Kerajaan Holing itu dahulu terletak di wilayah Mandailing yang juga disebut sebagai Kerajaan Mandala Holing/Koling. Kiranya cukup beralasan untuk menduga bahwa nama Mandahiling (Mandailing) yang disebut oleh Mpu Prapanca dalam kitab Negarakertagama pada abad ke-14 berasal dari nama Mandalaholing yang kemudian mengalami perubahan penyebutan menjadi Mandahiling dan akhirnya kini menjadi Mandailing

Diperkirakan orang-orang Hindu menetap di Kerajaan Mandalaholing (Kerajaan Holing/ Banua Holing) yang kaya dengan emas itu berabad-abad lamanya, yaitu sejak mereka datang pertama kali pada abad-abad pertama Masehi. Sampai abad ke-13 orang-orang Hindu masih ada yang menetap di Mandailing yang sekarang ini. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya cukup banyak peninggalan Hindu/Buddha di wilayah Mandailing. Salah satu diantaranya adalah 'tiang batu' di Gunung Sorik Merapi yang bertarikh abad ke-13, dan di kawasan Mandailing Godang (Pidoli) terdapat 'lokasi persawahan' yang bernama Saba Biara. Dalam hal ini, yang disebut biara atau vihara adalah tempat orang-orang Hindu-Buddha melakukan kegiatan keagamaan. Di tempat yang bernama Saba Biara itu beberapa tahun yang lalu, pada jalan masuk ke lokasi tersebut terdapat di 5 (lima) tempat adanya 'batu bata yang tersusun dalam lubang tanah' yang dalamnya kurang lebih 2 (dua) meter. Kemungkinan sekali batu bata yang tersusun itu adalah 'reruntuhan candi' dari zaman dahulu. Susunan batu bata tersebut ada yang terletak pada 'gundukan tanah'. Penduduik setempat mengatakan bahwa susunan batu bata seperti yang berada pada 'gundukan tanah' itu ada terdapat di tengah persawahan, mereka mengatakan bahwa semua 'pulau-pulau' (gundukan tanah) yang banyak terdapat di tengah persawahan adalah tumpukan atau susunan batu bata di bawahnya. Oleh karena itu besar sekali kemungkinan bahwa di lokasi yang bernama Saba Biara di Pidoli ini adalah reruntuhan puluhan candi peninggalan Kerajaan Hindu/Buddha (Kerajaan Mandalaholing). 

Menurut dugaan Kerajaan Mandalaholing yang dahulu pernah terdapat di Mandailing yang sekarang meluas sampai ke kawasan Pasaman (yang dahulu merupakan bagian dari Mandailing). Menurut keterangan yang pernah diperoleh di Pasaman, batas antara wilayah Mandailing dan wilayah Minangkabau terletak di Si Pisang lewat Palupuh. Sekarang batas antara Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Lima Puluh Kota. Di kawasan Pasaman, yaitu di tempat yang bernama Tanjung Medan dekat Rao terdapat juga candi yang mirip keadaannya dengan candi di Portibi. Dan kita tahu bahwa di kawasan Pasaman juga terdapat emas yang dibutuhkan oleh orang-orang Hindu. Kalau tidak salah di kawasan yang bernama Manggani. Dan di kawasan itu juga terdapat 'tambang emas' Belanda pada masa penjajahan. Peninggalan-peninggalan dari zaman pra sejarah yang ditemukan di beberapa tempat di Mandailing ini membuktikan bahwa sudah ada manusia yang mendiami wilayah Mandailing pada masa tersebut. Sebagai pribumi Mandailing, mereka terus berkembang sampai kemudian orang-orang Hindu datang dan menetap di Mandailing.

Besar kemungkinan antara penduduk pribumi dan para pendatang (Alak Koling/Holing) sudah berbaur. Di situ, mereka hidup berdampingan secara damai, yang menetap dan kemudian membangun kerajaan di wilayah Mandailing. Dugaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa meskipun banyak ditemukan peninggalan dari zaman Hindu di wilayah Mandailing, akan tetapi ditemukan juga peninggalan kebudayaan pribumi Mandailing yang berkembang sendiri tanpa didominasi oleh pengaruh Hindu. Misalnya, 'patung-patung batu' seperti yang terdapat di halaman Bagas Godang Panyabungan Tonga-Tonga dan 'patung-patung kayu' (Sangkalon) yang terdapat di Huta Godang, Mandailing Julu. Demikian juga ornamen-ornamen tradisional yang terdapat pada Bagas Godang dan Sopo Godang yang hanya sedikit sekali memperlihatkan pengaruh Hindu. Yakni pada ornamen berbentuk segitiga yang disebut bindu (pusuk robung) yang merupakan lambang dari sistem sosial Dalian Na Tolu. Dalam kebudayaan Hindu, Bindu (bentuk segi-tiga) merupakan 'lambang mistik' hubungan antara manusia dengan Dewa Trimurti. Bagian-bagian lain dari ornamen tradisional tidak memperlihatkan adanya pengaruh Hindu. Dari bentuknya, ornamen-ornamen yang ada sampai sekarang ini hanya menggunakan 'garis-garis geometris' (garis lurus), kecuali ornamen benda alam, buatan dan hewan seperti matahari, bulan, bintang, pedang, ular dan lain-lain. Bentuk ornamen yang hanya menggunakan 'garis-garis geometris' ini membuktikan ornamen tersebut berasal dari zaman yang sudah lama sekali (primitif).

Selain itu, pengaruh Hindu juga terdapat pada budaya tradisional Mandailing, antara lain pada penamaan Desa Na Ualu (mata angin) dan pada gelar kebangsawanan seperti Mangaraja, Soripada, Batara Guru serta nama gunung seperti Dolok Malea. Keaneragaman bahasa Mandailing yang terdiri dari hata somal, hata sibaso, hata parkapur, hata teas dohot jampolak dan hata andung yang kosa katanya masing-masing berlainan menunjukkan budaya pribumi Mandailing sudah lama berkembang yang tentunya dihasilkan dari peradaban yang sudah tinggi yang tidak banyak dipengaruhi oleh budaya Hindu. Jadi dapat disimpulkan bahwa meskipun orang Hindu lama menetap dan mengembangkan budayanya tetapi pribumi Mandailing tidak didominasi oleh orang-orang Hindu dan bebas mengembangkan budayanya sendiri.

Adanya dua masyarakat, yaitu pribumi Mandailing dan orang Hindu yang masing-masing mengembangkan budayanya pada masa yang lalu di lingkuangan alam yang subur dan kaya dengan emas diduga kemungkinan besar Mandailing merupakan pusat peradaban di Sumatera pada masa awal abad-abad Masehi. Salah satu bukti mengenai hal ini adalah adanya ragam bahasa yang sudah disebutkan di atas dan adanya aksara yang dinamakan Surat Tulak-Tulak yang kemudian berkembang ke arah utara mulai dari Toba, Simalungun sampai Karo dan Pakpak. Penelitian para pakar sudah membuktikan bahwa aksara Mandailing (Surat Tulak-Tulak). Bahasa yang halus dan aksara yang dimiliki oleh sesuatu bangsa menunjukkan bahwa bangsa tersebut sudah mempunyai peradaban yang tinggi.


MARGA-MARGA DI MANDAILING

Secara tradisional orang-orang Mandailing mengelompokkan diri mereka ke dalam beberapa marga, sebagai keturunan daripada seorang tokoh nenek moyang (leluhur). Masing-masing kelompok marga biasanya mempunyai seorang tokoh nenek moyangnya sendiri (Ompu Parsadaan) yang  asal-usulnya berlainan, dan para leluhur mereka itu dituliskan dalam catatan silsilah keluarga yang dinamakan Tarombo, yang sampai sekarang mereka simpan sebagai 'warisan leluhur'. Adapun marga-marga orang Mandailing antara lain sebagai berikut: (1) Nasution; (2) Lubis; (3) Dalimunte; (4) Hasibuan; (5) Rangkuti; (6) Parinduri; (7) Pulungan; (8) Tanjung; (9) Batubara; (10) Matondang; (11) Daulae; (12) Mardia; (13) Lintang, (14) dan sebagainya.

Melalui tarombo tersebut, orang-orang Mandailing yang se-marga (disebut: sakahanggi) mengetahui asal-usul dan jumlah keturunan mereka sampai sekarang Melalui jumlah keturunan dapat diperhitungan sudah berapa lama suatu marga mendiami wilayah Mandailing. Dalam hal ini, marga dapat dirumuskan sebagai "sekelompok orang yang seketurunan, yang berasal dari seorang nenek moyang yang sama, dan garis keturunan itu diperhitungkan melalui ayah (pihak lelaki) atau bersifat patrilineal". Semua anggota dari suatu marga (sakahanggi) biasanya memakai 'nama marga' itu di belakang namanya.

Meskipun cukup sulit untuk dapat mengetahui rentetan nama dari para leluhur yang menghubungkan orang-orang se-marga dengan nenek moyang mereka untuk sekian generasi yang lalu (para leluhur mereka), namun ada suatu keyakinan bahwa orang-orang yang se-marga itu terjalin hubungan darah (bloodties), dan karena itu, sesuai adat (nilai-nilai budaya) orang Mandailing, tidak diperbolehkan kawin di antara pria dan wanita yang se-marga (incest). Pada masa-masa lalu, kalau ketentuan adat itu dilanggar maka harus dilaksanakan upacara adat (ritus) Pahabang Manuk Na Bontar, dan kedua orang yang melanggar adat tersebut diusir dari huta (kampung) tempat tinggal mereka. Kejadian seperti itu dianggap suatu 'peristiwa yang sangat luar biasa', sehingga keadaan itu disebut sebagai arambir na muba sabut ('kelapa yang berubah serabut') atau babiat na muba bolang ('harimau yang berubah belang'), artinya suatu keadaan yang diperkirakan hampir tidak akan mungkin terjadi. sehingga apabila terjadi hal seperti itu akan membuat kegemparan.

Setiap marga di Mandailing memang biasanya mempunyai leluhur yang sama (disebut: Ompu Parsadaan) seperti marga Lubis memiliki leluhur bernama Namora Pande Bosi dan marga Nasution bernama Sutan Diaru, namun ada juga sejumlah marga yang berlainan 'nama' yang mempunyai leluhur yang sama, seperti marga Daulae, Matondang dan Batu Bara memiliki Ompu Parsadaan yang kakak-beradik yaitu bernama Parmato Sopiak dan Bitcu Raya; sedangkan marga Rangkuti dan Parinduri dengan Ompu Parsadaan mereka yang bernama Mangaraja Sutan Pane.


EPILOG

Hingga sekarang masih terdapat pandangan yang kontras tentang 'Orang Mandailing'. Di satu pihak, sebagian orang berpendapat bahwa Mandailing adalah bagian dari Batak, namun sebagian lagi sikapnya tetap kukuh mempetahankan bahwa Mandailing itu bukan (bagian) dari Batak dengan argumentasi masing-masing. Sementara itu, ada pula pihak lain yang bersikap 'netral', dimana mereka sepertinya 'tidak ambil pusing' dengan adanya perbedaan pandangan yang ada mengenai apakah Mandailing itu Batak atau bukan. Dalam kaitan ini, Andika Lubis menuliskan: "Untuk apa bertengkar, buat apa beradu pendapat tentang Mandailing, sementara orang lain saja tidak tahu. Faktanya, sekarang Mandailing itu sudah kehilangan identitas. Mandailing sekarang hanya pelengkap deretan jenis suku yang ada di Indonesia". Ditambahkannya, "Suatu hal yang hingga kini belum bisa di jawab. Yakni, sebuah tradisi orang non Mandailing. Batak, Mandailing, Jawa, Minang, Sunda, Nias, Karo merupakan suku-suku yang berbeda sejarah dan adat serta bahasa yang berlainan pula. Tapi, bila orang luar menganggap, kata Mandailing tidak pernah ada. Orang Jakarta mendengar bahasa orang Mandailing berbicara selalu memvonisnya dengan orang Batak. Orang Minang mendengar orang Mandailing bercerita, selalu menganggap orang itu Batak. Tak pernah sekalipun mereka menyebut itu Orang Mandailing, bahasanya Mandailing. Sedangkan orang Batak bicara yang lain sepakat itu orang Batak, tidak berubah pula jadi Mandailing. Seperti layaknya orang Mandailing divonis jadi Batak". Dan sehubungan dengan eksistensi suku-bangsa Karo, Edi Sembiring menuliskan: "Penegasan Karo Bukan Batak bukan untuk kepentingan saat ini. Untuk nanti 10-15 tahun lagi, saat anak-anak kita sudah dewasa. Semoga segala diskusi dan tulisan di blog-blog di media internet menjadi referensi mereka untuk menemukan identitas diri sebenarnya". Dalam kaitan itulah tulisan ini dibuat dengan harapan semoga dapat memberikan pengertian dan pemahaman yang agak lebih luas dan mendalam sedikit tentang eksistensi suku-bangsa Mandailing. [EN]

Gandoang, Desember 2013


REFERENSI

1. Basyaral Hamidy Harahap, "Aksara Mandailing: Tinjauan Sosial Budaya", makalah dipresentasikan pada  Sarasehan Kebudayaan Mandailing, Gedung Dewan Pers Jakarta, 1 Juni 2013.

2. Juandaha Raya Purba Nasuha, "Renungan Sejarah Bangsa Simalungun", artikel, lihat: http://www.kaskus.co.id/show_post/000000000000000054496874/199.

3. Paco-paco, "Swarnadwipa  Silang Budaya", artikel, lihat: http://mozaikminang. wordpress. com/2009/10/25/swarnadwipa-silang-budaya/.

4. Drs. Z. Pangaduan Lubis, "Mandailing Dalam Lintasan Sejarah", artikel, lihat: http://www.mandailing.org/ind/rencana18.html.

5. Drs. Z. Pangaduan Lubis, "Namora Natoras: Kepemimpinan Tradisional Mandailing", Skiripsi, FISIPOL-USU, 1986.

6. Sutan Diaru Parlindungan, "Saro Mandailing: Suatu Pengamatan Awal", makalah dipresentasikan pada Sarasehan Kebudayaan Mandailing, Gedung Dewan Pers Jakarta, 1 Juni 2013.

7. Edi Nasution & Beni Nasution, "Catatan Yang Berserakan dan Belum Utuh Tentang Asal-Usul Nama Mandailing", makalah dipresentasikan pada Sarasehan Kebudayaan Mandailing, Gedung Dewan Pers Jakarta, 1 Juni 2013.

8. Edi Sembiring, "Penegasan Karo Bukan Batak". artikel, lihat: http://www. sorasirulo.com/2013/07/19/penegasan-sikap-karo-bukan-batak/.

9. Andika Lubis, "Identitas Mandailing Sudah Hilang', artikel, lihat: http:// bakriepulungan.blogspot.com/2010/04/mandailing.html.

10. Edi NasutionTulila: Muzik Bujukan Mandailing, Penang-Malaysia: Areca Books, 2007.