Selasa, 29 Juni 2010

Membangun Kebersamaan Untuk Memelihara Mata Air Kehidupan

Belajar dari Pengelolaan Lubuk Larangan

Oleh: Zulkifli B. Lubis

Bermula dari air

Adakah air di planet Mars? Air adalah salah satu soal yang ingin dicari jawabannya oleh para astronot Amerika yang bolak-balik menjelajahi ruang angkasa menyelidiki si “planet merah” Mars. Memang, kehidupan hanya mungkin terjadi jika ada air, sehingga tak mengherankan dari zaman dahulu hingga sekarang manusia selalu berusaha dekat dengan sumber-sumber air sebagai mata air kehidupan. Bahkan kenikmatan surga yang dijanjikan dalam ajaran agama juga secara harfiah menggambarkan pentingnya air (“surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai”). Pusat-pusat peradaban manusia dari zaman lampau juga berkembang di sekitar aliran air (sungai), seperti di Babilonia (pertemuan sungai Eufrat dan Tigris), Mesir Kuno (sekitar sungai Nil), peradaban India (sekitar sungai Gangga), manusia purba Pithecanthropus Erectus (lembah Bengawan Solo), sungai Mekong, dan lain sebagainya. Tetapi, perseteruan ummat manusia juga seringkali terjadi di sekitar sumber-sumber air itu, yang sebab-musababnya secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan sumberdaya air.

Nun jauh di pedalaman pulau Sumatera, di daerah yang sekarang kita kenal dengan Mandailing (Tano Rura Mandailing), tempat dimana kita berada saat ini, cerita tentang air tetap tak lepas dari dunia mitos dan realitas kehidupan warga masyarakatnya. Orang-orang bermarga Lubis misalnya, mengenal betul hikayat Namora Pande Bosi yang menasihatkan anaknya Silangkitang dan Sibaitang, ketika mereka harus meninggalkan kampung Hatongga, agar menyusuri Sungai Batang Gadis untuk membuka tempat pemukiman baru. Perkampungan Orang Mandailing hingga sekarang selalu didirikan berdekatan dengan sumber-sumber air, apakah sungai (batang), anak sungai (aek), atau ranting sungai (rura), bahkan mata air (mual). Nama-nama sungai atau muaranya bahkan banyak dijadikan sebagai acuan nama pemukiman orang-orang Mandailing.

Bagi orang Mandailing, keberadaan air sungai maupun anak sungai yang ada di sekitar mereka berperan multiguna, sebagai air minum dan MCK, mengairi lahan pertanian, mendukung fungsi sosial budaya (misalnya dalam ritus patuaekkon boru), relijius (mendukung pelaksanaan ibadah), dan juga ekonomi (mencari emas/manggore, ikan, bahan bangunan berupa pasir, kerikil dan juga batu). Dalam kepercayaan lama, orang Mandailing juga mengenal tempat-tempat tertentu di sekitar hutan dan sumber air yang disebut “naborgo-borgo”, yang secara sadar maupun tidak sadar mengandung makna konservasi terhadap sumber-sumber mata air. Dengan kata lain, bagi orang Mandailing air merupakan “mata air kehidupan” yang sekaligus bertali-temali dengan institusi sosial, budaya, ekonomi dan ekologis.

Karena demikian banyak kepentingan orang Mandailing dengan sumberdaya air, terutama yang sudah mengalir menjadi sungai atau anak sungai, dan di masa yang akan datang diduga akan semakin banyak persoalan-persoalan yang muncul berkaitan dengan pengelolaan air tersebut, maka sejak sekarang perlu kiranya dibangun suatu pemahaman yang baik dan benar bagaimana sebaiknya pengelolaan sumberdaya air dilakukan secara bersama-sama demi untuk melayani kepentingan bersama, lebih-lebih penduduk setempat atau warga masyarakat yang langsung menggantungkan kehidupannya dengan sumber-sumber air tersebut. Persoalan kelangkaan air (water scarcity), atau semakin menyusutnya debit air, kini telah menjadi persoalan dunia dan tentu menjadi persoalan kita juga . Pulau Jawa diperkirakan akan kering kerontang dalam paruh pertama abad ini, jika penanganan masalah-masalah lingkungan tidak diperbaiki. “Tano rura Mandailing” yang indah permai ini juga bisa terancam gersang dan kering kerontang, mengalami proses penggurunan (desertification) jika kita gagal membangun kebersamaan untuk memelihara mata air kehidupan kita sejak sekarang.

Kita patut bangga bahwa di tengah-tengah maraknya gejala disharmoni sosial dan hilangnya kebersamaan serta runtuhnya sikap saling percaya di antara warga masyarakat di berbagai wilayah negeri kita sejak beberapa tahun terakhir ini, ternyata orang Mandailing di Kabupaten Mandailing Natal masih memiliki institusi yang kuat untuk menggalang kebersamaan di antara mereka. Setidaknya hal itu terlihat dari kemampuan sejumlah komunitas desa di Kabupaten Mandailing Natal dalam mengelola Lubuk Larangan. Jika kita menyusuri aliran Sungai Batang Gadis mulai dari bagian hulu di kawasan Pakantan (Kec. Muara Sipongi) ke arah hilir (Kec. Kotanopan) hingga ke daerah Panyabungan; dan juga di sepanjang sungai Batang Natal dan beberapa anak sungai yang ada di Kec. Batang Natal, maka kita akan menemukan puluhan komunitas desa yang menyelenggarakan sistem pengelolaan sungai dengan model lubuk larangan (river protected area). Sebagian aliran sungai yang melintasi wilayah suatu desa oleh penduduk desa tersebut -tentunya berdasarkan kesepakatan bersama-kemudian ditetapkan sebagai wilayah yang terlarang untuk diambil hasil ikannya selama jangka waktu tertentu (berkisar 6-12 bulan), dan hasil pengelolaan lubuk larangan tersebut akan digunakan untuk berbagai keperluan pembangunan desa.

Dari perspektif teoritis, paling tidak ada dua hal yang istimewa dari munculnya fenomena pengelolaan sungai dengan sistem Lubuk Larangan tersebut. Pertama, kemampuan komunitas setempat di kawasan Mandailing melakukan perubahan radikal dalam konsepsi penguasaan sumberdaya alam (sungai), dari yang semula dipahami sebagai sumberdaya yang bisa diakses secara bebas oleh siapapun (open access) menjadi sumberdaya yang dimiliki secara komunal (communally owned resources). Dengan perubahan konsepsi tersebut, maka kecenderungan eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya alam menjadi terkurangi, sehingga gejala “tragedi milik bersama” (tragedy of the common) dalam pengelolaan sumberdaya yang bersifat akses terbuka tidak terjadi, khususnya dalam konteks pengelolaan sumberdaya yang ada di sungai.

Kedua, komunitas-komunitas desa pengelola Lubuk Larangan di Kabupaten Mandailing Natal mampu menanam dan mengembangkan investasi modal sosial (social capital) di antara mereka dalam pengelolaan sumberdaya “milik bersama”. Kemampuan masyarakat kita untuk menanam dan mengembangkan modal sosial sesungguhnya bukan suatu hal yang baru sama sekali, namun selama berpuluh tahun di bawah pakem pembangunan Orde Baru yang bersifat sentralistik, hegemonik dan otoritarian, potensi-potensi modal sosial yang tumbuh dari bawah (grass roots) sering diabaikan, bahkan dimatikan. Komunitas desa pengelola lubuk larangan di Mandailing, sampai batas-batas tertentu mampu menyiasati kondisi yang tidak sehat itu, yang terlihat dari tetap kukuhnya mereka membangun sistem pengelolaan lubuk larangan yang relatif terbebas dari “campur tangan penguasa”. Hasilnya cukup mengagetkan: ketika setiap tahun pemerintah menyalurkan dana Bangdes ke desa-desa melalui jalur formal, kita sudah banyak mengetahui apa hasil pembangunan yang bisa dicapai di desa-desa itu; tetapi pengelolaan lubuk larangan yang dibangun dengan mengandalkan modal sosial (bukan modal material/finansial), mampu menghasilkan banyak hal di desa, misalnya mendirikan gedung madrasah (seperti di Desa Hutarimbaru dan desa Singengu, Kec.Kotanopan), masjid (di banyak desa di Kec. Muara Sipongi, Kotanopan dan Batang Natal), menggaji guru SD Negeri (di Batang Natal), menyantuni anak yatim dan fakir miskin ( di banyak desa Kec. Batang Natal), membangun titi/rambin dan jalan desa (di desa Koto Baringin, Kec. Muara Sipongi, desa Husor Tolang, Kotanopan ), dan banyak lagi contoh lainnya. Ketika dana Bangdes dan dana-dana pembangunan lainnya masuk ke desa, yang sering terjadi adalah sikut-sikutan antar elit desa (bahkan konflik terbuka), dalam sistem pengelolaan dan pemanfaatan hasil Lubuk Larangan hal itu tidak ditemukan.

Mengapa sistem pengelolaan Lubuk Larangan oleh masyarakat bisa bertahan hingga belasan tahun terakhir ini, sementara pengelolaan dana bantuan dari pemerintah seringkali gagal ? Berdasarkan hasil penelitian kami mengenai pengelolaan Lubuk Larangan , kuncinya adalah kemampuan masyarakat desa pengelola lubuk larangan membangun kebersamaan di antara mereka. Dengan kata lain, mereka mampu menanam dan mengembangkan investasi modal sosial dalam sistem pengelolaan Lubuk Larangan . Aspek-aspek kunci dari modal sosial itu adalah : (i) kemampuan merajut atau membangun pranata dan norma-norma/crafting institutions; (ii) kemampuan mengembangkan partisipasi yang setara dan adil/equal participation; dan (iii) kemampuan mengembangkan sikap saling percaya di antara warga suatu kelompok sosial/trust.

Ketika suatu komunitas desa hendak menetapkan bahwa sebagian aliran sungai yang melintasi wilayah desa mereka akan dijadikan Lubuk Larangan, maka proses pengambilan keputusan yang dilalui cukup demokratis. Semua warga desa berhak menyampaikan aspirasi, gagasan dan pandangannya, baik melalui forum informal (seperti pembahasan di warung-warung kopi) maupun forum formal (musyawarah desa), sehingga penetapannya dilakukan secara partisipatif. Pelibatan partisipasi dari bawah ini juga berlaku untuk tahapan-tahapan berikutnya, yakni pelaksanaan, pengawasan, evaluasi dan pemanfaatan hasil, sehingga warga masyarakat merasa menemukan keadilan di dalam pengelolaan Lubuk Larangan. Agar proses itu berjalan dengan ajeg, dan keadilan tetap terpelihara, maka komunitas desa yang sudah menetapkan lubuk larangan tadi kemudian merajut institusi, norma-norma dan aturan-aturan yang menjadi acuan perilaku kolektif warga desa, bahkan berlaku juga bagi siapapun yang berinteraksi dengan lubuk larangan tersebut. Ada sejumlah sanksi (denda, sanksi sosial, sanksi magis dan sanksi religius, juga sampai batas-batas tertentu bisa sanksi hukum negara) yang ditetapkan, disosialisasikan, dan ditegakkan untuk menjamin bahwa pengelolaan Lubuk Larangan berjalan di atas rel yang sudah disepakati bersama.

Kelebihan dari sistem pengelolaan Lubuk Larangan, khususnya pada kasus-kasus komunitas desa yang persisten (bertahan hingga belasan tahun sejak berdiri), ialah pada konsistensi mereka dalam menegakkan “rule-in-uses” yang telah ditetapkan, dan pada kemauan mereka untuk bersikap transparan dalam semua tahapan pengelolaan, terlebih-lebih lagi dalam pengelolaan keuangan yang dihimpun dari hasil Lubuk Larangan. Konsistensi dalam penegakan aturan main itu, yang tidak pandang bulu, serta keterbukaan (transparansi) dalam pengelolaan keuangan, sudah barang tentu menjadi pijakan kuat bagi terbangunnya sikap saling percaya (trust) di antara warga komunitas. Sikap saling percaya itu menjadi semacam perekat untuk menyatukan sesuatu yang ideasional (institusi pengelolaan) dengan yang faktual (partisipasi warga komunitas) dalam konteks pengelolaan Lubuk Larangan.

Sungguh banyak pelajaran lain yang bisa ditarik dari sistem pengelolaan Lubuk Larangan di kawasan Mandailing Natal, yang dalam konteks tulisan ini hanya difokuskan pada kemampuan mereka dalam membangun kebersamaan dalam mengelola sumberdaya sungai yang ada di sekitar pemukiman mereka. Masih terkait dengan pengelolaan sumberdaya air, sejak lama orang Mandailing juga sudah mengenal institusi pengelolaan tali air (bondar) untuk keperluan pengairan sawah. Di sini juga ada aturan main yang ditetapkan oleh warga masyarakat yang terlibat bagaimana seharusnya air yang debitnya terbatas sesuai musim bisa dibagikan secara adil untuk mengairi areal persawahan penduduk.

Singkatnya, yang ingin dijelaskan di sini adalah kenyataan bahwa persoalan air bukanlah sesuatu yang sederhana, meskipun sehari-hari sejak zaman dahulu orang sudah bergenerasigenerasi menyaksikan bahwa, sungai Batang Gadis misalnya, tetap setia mengalir, dan membuat kehidupan manusia di sekitarnya tetap pula “mengalir”. Tetapi persoalan ke depan ialah kuantitas dan kualitas aliran air yang mengalir di sungai-sungai dan sumbersumber air kita, yang tidak sama dari waktu ke waktu. Bukankah misalnya Sungai Ciliwung yang membelah kota Jakarta, atau Sungai Deli dan Sungai Babura yang membelah kota Medan, atau Sungai Musi yang membelah kota Palembang memang masih tetap megalir hingga detik ini, tetapi di lain sisi semakin kecil signifikansinya bagi penunjang berlangsungnya sebuah kehidupan yang berkualitas di tempat-tempat itu?

Berakhir dari air

Ketika seseorang tengah sekarat mendekati ajal kematiannya, air pula yang menjadi mineral atau sumberdaya alamiah terakhir meskipun hanya setetes yang sering menjadi “penyambung tali asa dan asih” dari kaum kerabat yang akan melepas kepergiannya. Betapa penting artinya air bagi kehidupan kita. Di surat kabar, di televisi, dan media informasi lainnya, kita kerap menemukan kabar berita dan menyaksikan penderitaan umat manusia yang kekurangan air, di India, di Afrika, tetapi juga di dekat pelupuk mata kita, seperti yang sering dialami penduduk di Pulau Jawa. Ketika musim kemarau tiba, penduduk desa-desa di kaki bukit di daerah kita Mandailing ini, juga akan ramai-ramai menyerbu sungai untuk mendapatkan air. Hari-hari ini, meskipun tak ada kemarau panjang, kita kerap berkeluh-kesah menyaksikan banyak ranting sungai yang mati, anak sungai yang nyaris kering, bahkan sungai yang semakin dangkal. Semua itu tidak hanya berhenti pada keluh kesah bahwa kita susah mendapatkan air minum yang sehat dan layak, atau air untuk keperluan MCK, tetapi juga menyangkut kelanjutan “asap di dapur” rumah tangga-rumah tangga kita. Karena kelangkaan air berbanding lurus dengan hasil pertanian yang akan diperoleh.

Kukuh dan canggihnya sistem pengelolaan Lubuk Larangan, yang telah banyak memberikan kontribusi ekonomi bagi pembangunan desa, yang kita banggakan sistemnya sebagai sebuah contoh kearifan lokal (indigenous knowledge dan traditional wisdom), dan contoh pembangunan yang berbasis masyarakat (community based-resources management) yang menjadi paradigma pembangunan dunia ke depan — kita layak mengutip slogan PT. Semen Padang untuk ini : “kami telah berbuat sebelum yang lain memikirkannya….!”— semua itu, juga sangat-sangat bergantung kepada air. Sistem pengelolaan sumberdaya sungai dengan model Lubuk Larangan yang bagus itu akan berakhir manakala air semakin sedikit mengalir, atau ketika air yang mengalir tidak lagi memenuhi kualitas yang diharapkan sehingga ikan-ikan tak layak hidup.

Bahwa masyarakat atau komunitas desa pengelola Lubuk Larangan telah mampu membangun suatu sistem yang ajeg secara ekologis, ekonomis dan sosial budaya, kita sudah kemukakan secara ringkas di atas. Tetapi bahwa sistem itu sangat rentan terhadap pengaruh-pengaruh dari luar, baik langsung maupun tidak langsung, hal itu sungguh-sungguh perlu kita sadari sejak sekarang, sebelum pada akhirnya Lubuk Larangan hanya menjadi sebuah nostalgia. Lubuk Larangan merupakan sebuah contoh baik dari pengelolaan sumberdaya alam berbasis komunitas (community based resource management) yang layak menjadi contoh untuk daerah-daerah lain, terutama ketika Undang-Undang No. 22 Thn 1999 mulai diberlakukan. Kemampuan suatu komunitas desa mengembangkan modal sosial dalam pengelolaan sumber daya alam yang mereka miliki bersama, menjadi modal yang penting bagi pelaksanaan otonomi daerah. Tetapi, harus dipahami bahwa sistem itu memerlukan dukungan kebijakan yang kondusif, khususnya dari Pemerintah Daerah, karena keberadaan air di lubuk-lubuk yang ada di sepanjang sungai itu, yang kemudian dijadikan Lubuk Larangan oleh masyarakat, tidak terlepas dari keberadaan pohon, hutan, bahan tambang, dan sumberdaya alam lainnya yang ada di luarnya. Oleh karena itu, sistem pengelolaan sumberdaya berbasis komunitas tadi (Community Based Resources Management-CBRM) harus disempurnakan menjadi ICBRM (Integrated Community Based Resources Management), yaitu dengan mengintegrasikan sistem pengelolaan Lubuk Larangan tadi dengan pengelolaan sumberdaya alam lainnya seperti disebutkan di atas.


Jika penebangan hutan misalnya tetap dibiarkan tak terkendali di bagian-bagian hulu sungai dan anak-anak sungai, seperti yang disinyalir terjadi akhir-akhir ini di beberapa daerah di Kabupaten Mandailing Natal, maka pada saat sama kita sedang membiarkan sebuah “bom waktu” dirakit, yang nanti jika saatnya tiba bisa meluluh-lantakkan bangunan sosial budaya dan juga sosial ekonomi dan politik masyarakat kita di daerah ini. Demikian juga jika kita tak memperhatikan cara penanganan bahan tambang yang banyak kita miliki, dan biasanya juga berdekatan dengan aliranaliran sungai, dan dalam rangka pelaksanaan otonomi nanti akan bergegas kita “jual” untuk menarik PAD, bisa-bisa air sungai Batang Gadis, Batang Natal, atau sungai-sungai lainnya di daerah Mandailing Natal tidak lagi jernih -dan sekarang pun tak jernih lagi–, bahkan akan ikut mengalirkan bahan-bahan berbahaya yang “menyengsarakan kesehatan” penduduk secara perlahan-lahan. Nah, yang ini akan menjadi “bom waktu” untuk kepunahan generasi Orang Mandailing yang jenius, dan akan melahirkan generasi yang idiot. Sungai adalah sarana transportasi alamiah yang murah bagi pengusaha pertambangan untuk menghanyutkan segala macam “sampah”, dan sampah itu mau tidak mau akan dikonsumsi oleh warga masyarakat miskin yang masih tergantung kepada aliran air sungai.

Demikian pula ketika sebagian dari investor yang melirik daerah kita akan membuka areal perkebunan di daerah-daerah hulu sungai. Tanaman perkebunan yang monokultur dan padat modal seperti sawit misalnya, bagaimanapun akan menghilangkan tutupan hutan, dan hal itu berarti akan menghilangkan fungsi hutan sebagai “penahan dan penyimpan air”. Seperti yang kita ketahui bersama, kondisi demikian bisa menyebabkan banjir bandang jika hujan datang, tapi membuat bumi kerontang ketika kemarau tiba. Kedua-duanya tidak menguntungkan bagi penduduk setempat. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah dalam memberikan peluang investasi, khususnya di bidang perkebunan, sudah semestinya memperhitungkan kerusakan-kerusakan ekologis yang akan timbul, yang pada gilirannya akan merusak juga tatanan sosial masyarakat.

ICRAF (International Center for Agroforestry Research) adalah satu lembaga kajian internasional di bawah payung CGIAR, yang beberapa tahun terakhir ini mencoba mempromosikan sistem wanatani (agroforestry) untuk “mendamaikan” perbedaan kepentingan antara tuntutan pemeliharaan lingkungan di satu sisi dengan tuntutan perluasan lahan pertanian di sisi lain. Pemerintah Daerah barangkali perlu memikirkan skenario semacam ini untuk kondisi lingkungan Mandailing Natal, karena sejak dahulu daerah ini sudah banyak menyumbang devisa dari hasil pertanian yang berpola wanatani (agroforest), seperti kebun karet rakyat misalnya.

Pengelolaan sumberdaya berbasis komunitas dan terintegrasi (ICBRM) tersebut hendaknya tetap berlandaskan pada pengakuan terhadap kemampuan penduduk setempat untuk mengelola dan mengorganisasikan dan “mengurus” diri mereka sebagaimana yang telah mereka buktikan lewat sistem pengelolaan Lubuk Larangan. Pola seperti itu harus tetap dihormati, tanpa harus dicampuri dengan intervensi-intervensi yang tidak perlu, bahkan bisa menghancurkan sistem itu sendiri dari dalam, tetapi di sisi lain pemerintah daerah membuat “payung” kebijakan yang bisa melindungi sistem tersebut dari rongrongan faktor eksternal. Ketika pemerintah membuat payung kebijakan dimaksud, mereka harus sungguh-sungguh memperhatikan permasalahannya secara komprehensif dan terintegrasi, sehingga kebijakan yang lahir dapat menguntungkan semua pihak. Jika komunitas desa pengelola Lubuk Larangan misalnya telah mampu mengembangkan modal sosial dalam lingkup terbatas (CBRM), seyogiyanya pemerintah yang akan memayungi berbagai sistem pengelolaan yang ada di tingkat distrik (kabupaten) juga mampu membangun modal sosial dalam lingkup yang lebih luas tadi (ICBRM), bahkan untuk semua urusan yang melibatkan warga masyarakat.

Dari pengalaman sistem pengelolaan Lubuk Larangan ditemukan bahwa membangun modal sosial itu tidaklah sulit, jika semua orang mau jujur. Karena dengan kejujuran orang bisa transparan (terbuka), dan dengan keterbukaan orang lain bisa percaya. Jika orang sudah percaya, maka dia dengan ringan langkah akan berpartisipasi untuk bekerjasama, dan dengan sukarela mematuhi sistem aturan main yang ada. Pembangunan modal sosial seperti itu sesungguhnya adalah cikal-bakal bagi terbentuknya sebuah tatanan masyarakat sipil atau masyarakat madani. Dalam konteks pembangunan di Mandailing Natal, kita bisa memulai dengan sungguh-sungguh ke arah pembentukan masyarakat madani itu melalui menjalin kebersamaan dalam memelihara air, yaitu air kehidupan. Masyarakat “Madina” selayaknya menjadi contoh dan acuan bagi terbangunnya masyarakat “madani”.

Penutup

Air adalah komoditi yang sangat mahal harganya. Meskipun seakan-akan air adalah karunia Tuhan yang tidak akan ada habis-habisnya, karena secara faktual air terus mengalir dimana-mana, tetapi sesungguhnya air dan mata air bukanlah sesuatu yang bisa dipandang enteng atau sebelah mata. Meskipun lebih dari 2/3 permukaan Bumi memang ditutupi oleh air, dan jumlah air pada hakekatnya tidak pernah berkurang, tetapi harus dicermati bahwa kualitas air yang bisa dikonsumsi umat manusia terus merosot dari waktu ke waktu. Hari-hari ini kita juga sudah merasakan betapa harga sebotol air mineral lebih mahal dari satu liter bensin.***

Sumber: http://www.mandailing.org/

Zulkifli Lubis adalah seorang peneliti dan pengajar antropologi di FISIP USU Medan