Rabu, 03 September 2014

Pucako ni H.M. Shaleh Nasution



Kitab Fat al-Mubin fi Syar, al-Arbain: sebuah Naskah (Islam) dari Mandailing





=============o0o=============

(Terjemahan Kitab Fat, al-Mubin fi Syar, al-Arbain: 
Sebuah Naskah Klasik Sumatera Utara)



Pendahuluan

I
ntelektual Muslim masa lampau meninggalkan naskah-naskah dalam jumlah yang sangat besar.Hasil karya intelektual yang merupakan bagian dari usaha ijtihad dan pengembangan kajian keislaman tersebut tidak akan memiliki makna dan nilai bagi kehidupan masyarakat Muslim kecuali dipelihara, dikaji dan dikembangkan. Usaha tersebut dapat dilakukan dengan penelitian untuk memahami isi yang dikandungnya dan mengambil intisari yang dapat dikembangkan pada masa kini.

Naskah TerjemahKitab Fat’ al-Mubin fi Syar’ al-Arbain adalah manuskrip yang ditemukan di Desa Mompang Julu, Penyabungan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Naskahitu disimpan seorang ulama, H.M. Shaleh Nasution. Naskah tersebut berukuran 23,5 x 17 cm, terdiri dari 28 kuras, 12 lembar setiap kuras, dengan jumlah seluruhnya 1340 halaman. Setiap halaman berisi 21 baris berhuruf Jawi (bahasa Melayu berhuruf Arab). Tulisannya bagus dan jelas dengan tinta hitam dan merah. Keadaan naskah sangat baik, tetapi beberapa lembar halaman depan hilang (mungkin terdiri dari dua atau tiga kuras), dan tanpa cap kertas (watermark).

Dilihat dari tempat dan masa penulisan naskah (Mekah 1285/ 1868 M) sebagaimana tertulis dikuras ke-25, dipastikan bahwa naskah ini diperoleh ulama Mandailing (kemungkinan Syekh Mustafa) dari penyalin atau penerjemah naskah yaitu Muhammadali?. Ia seorang ulama dari Patani yang berdiam dan belajar di Mekah, ulama pendiri tarekat Sammaniyyah, yang kemudian oleh Syekh Mustafa naskah tersebut dibawa ke kampung Mandailing. Naskah yang diteliti merupakan naskah terjemahan dari Syar al-Arba`in.

Secara genealogi, Ibn ajar al-aitami, lengkapnya Ahmad bin Muhammad bin Ali bin ajrSyihab ad-Din Abu al-Abbas al-aitami (ulama abad ke-16 M) melakukan syarah atas kitab al-Arbain adi an-Nawawiyyah fi al-Aadi? a-aiah an-Nabawiyyah karya Imam Muhyi ad-Din Yahya bin Syarf bin Mari an-Nawawi ad-Dimsyiqi (621-676H/1233-1277 M) yang berisi masalah tauhid dan fiqh. Menurut Muhammad as-Sa`idFarhud, seorang tokoh yang juga melakukan syarah terhadap kitab al-Arba`inan-Nawawiyyah, terdapat beberapa ulama termasuk Ibn hajar al-haitami yang telah mensyarah kitab hadis al-Arba`in an-Nawawi ini. Di antaranya Imam an-Nawawisendiri, kemudian Syaikh asy-Syabrukhiti, Syaikh as-Sahimi, asy-Syaikhal-Fusyni, asy-Syabsyiri, asy-Syarnubi, an-Nabrawi, dan al-Jurdini.

Azra juga mengungkapkan bahwa ulama Melayu yang pernah melakukan syarah atau memberi penjelasan terhadap kitab hadis al-Arba`in adalah Abd Rauf as-Sinkili (w. 1105H/ 1693 M) atas permintaan Sulhanah Zakiyyah ad-Din. Lebih lanjut Azra menjelaskan, kitab al-Arba`in adalah sebuah koleksi kecil hadis-hadis menyangkut kewajiban-kewajiban dasar dan praktis kaum Muslim yang secara jelas ditujukan untuk pembaca umum dan bukan untuk ahli yang mendalami ilmu agama.Hanya saja hingga sekarang, penjelasan as-Sinkili atas empat puluh hadis tersebut tidak terdapat dalam bentuk cetakan dan belum diketahui keberadaannya.


Kitab Fat al-Mubin fi Syar, al-Arbain dan Ulama Mandaililing

Dari naskah yang diteliti tidak diketahui dengan jelas buku mana yang digunakan Muhammad ali, sebagai bahan untuk membuat karya terjemahan, karena beberapa bagian depan dari kuras tersebut hilang. Diperkirakan, pada halaman depan belum tentu dicantumkan nama kitab yang ia terjemahkan. Tetapi, melalui sebuah situs internet www.fathani.org yang menerangkan rangkaian manuskrip Melayu karya ulama-ulama Nusantara, diketahui ia menulis kitab Fat’ al-Mubin fi Syar’ al-Arba`in karya Ibn ajar al-?aitami, sebagaimana tercantum dalam koleksi manuskrip Fatani. Mu’ammad ‘ali adalah seorang ulama Melayu yang berasal dari Patani abad ke-18 yang lama bermukim dan belajar di Haramain. Ia adalah salah seorang guru dai Dawud bin Abd Allah bin Idrisal-Faani (w. 1265 H/ 1847 M), seorang ulama yang paling terkenal dari wilayahini. Melalui Muhammad ali, Dawud al-Fatani belajar dan terlibat langsung dengantarekat Sammaniyyah yang didirikan oleh Muhammad as-Sammani. Meskipun tergolong lebih tua dari Dawud al-Faani, tetapi Muhammad ali memiliki umur yang lebihpanjang dari pada muridnya itu, karena setelah kematian Dawud al-Faani-lah, naskah Terjemahan Kitab Fat al-Mubin fi Syar al-Arbain ditulis Muhammad ali (1285 H /1868 M). Di dalam kitab ini, Muhammad ali mengaku sebagai murid seorang syaikh tarekat Sammaniyyah, Khalwatiyyah dan Syailiyyah.

Sebenarnya tarekat Sammaniyyah merupakan gabungan berbagai tarekat dengan nama pendirinya, yaitu Muhammad as-Sammani yang berafiliasi kepada tarekat-tarekat seperti Khalwatiyyah, Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah, Adiliyyah, dan Syailiyyah. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana naskah Terjemah Kitab Fat al-Mubin fiSyar al-Arbain sampai ke negeri Mandailing. Dari hasil wawancara, diketahuibahwa naskah ini dibawa oleh seorang ulama Mandailing, yaitu orang tua dariH .M. Shaleh Nasution (penyimpan naskah), bernama Syekh Musthafa bin SyekhSyahbuddin Nasution dari kota Haramain. Syekh Musthafa yang lahir pada tahun1892/93 M. adalah seorang ulama Mandailing yang pernah menetap di Mekah daritahun 1900 sampai 1915. Bersama dengan seorang ulama terkemuka lainnya, Syekh Musthafa Husein pendiri Pesantren Musthafawiyah Purba Baru, ia berangkat keMekah untuk belajar melalui Kedah, Malaysia. Mereka termasuk orang-orang Mandailing pertama (akhir abad ke-19 M) yang belajar ke Mekah.

Syekh Musthafabin Syekh Syahbuddin Nasution adalah seorang ulama yang produktif menulis dan menerjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Melayu. Karyanya meliputi bidang ilmu fiqh, tasawuf, tauhid, dan qira`ah. Kemungkinan TerjemahKitab Fat al-Mubin fi Syar al-Arbain merupakan salah satu naskah yang iaperoleh ketika belajar di Mekah dan dijadikan sebagai bahan dalam kegiatanbelajar-mengajar di masyarakat Mandailing atau institusi pendidikan seperti pesantren Musthafawiyyah Purba Baru. Keingintahuan peneliti menyangkut isi teksdan asal usul naskah, serta kaitan naskah dengan Islam di negeri Mandailingtelah mendorong peneliti untuk mengkaji lebih dalam naskah ini.Pertimbangannya, yaitu kondisi fisik naskah masih bagus, jelas, dan dapatdibaca serta dipahami; dan topik yang dibahas dalam naskah tersebut agak luas,dimulai dari bidang tauhid hingga masalah hukum makanan. Selain itu, usia naskah juga telah cukup tua. Penulis mencoba menelusuri genealogi serta memahami dan menganalisis isi manuskrip tersebut. Kritik Teks Secara umum,struktur pembahasan dalam naskah ini cukup sistematis dan konsisten.

Urutan penyajian didahului dengan menuliskan sebuah hadis, kemudian terjemahan, selanjutnyamatan, sanad, dan periwayat hadis. Penulis menjelaskan secara rincipermasalahan-permasalahan yang terkait dengan matan hadis tersebut dalam bahasa Arab (bertinta merah), kemudian diterjemahkan dan dielaborasi secara rincididukung dengan kutipan pendapat-pendapat para ahli termasuk Imam Nawawi sebagai penulis Kitab al-Arbain dan Ibn hajar. Ungkapan dan kata atau berkata (dengan tinta merah) disebutkan lebih dahulu baru nama tokoh atau ahli yang dikutip berserta nama kitabnya. Sesuai dengan kompleksitas pembahasan yang disajikan oleh penulis naskah, dapat dikatakan bahwa kitab ini tidak ditujukankepada pembaca pemula. Isi naskah ini berbeda dari kitab asalnya yaitu Kitabal-Arbain yang dinilai oleh Azra sebagai sebuah koleksi kecil hadis menyangkut kewajiban-kewajiban dasar dan praktis kaum Muslim yang secara jelas ditujukan untuk pembaca umum dan bukan ahli yang mendalami ilmu agama. Kitab Terjemah Fatal-Mubin fi Syar al-Arbain karya Muhammad ali ini layak dikaji oleh tokoh-tokohatau mereka yang ingin mengetahui lebih dalam makna dan kaitan sebuah hadis dengan hukum-hukum Islam.

Sebuah catatanyang perlu disampaikan pula bahwa Muhammad ali tidak sepenuhnya menjawikan kitab Fat al-Mubin karya Ibn hajar al-haitami, seperti yang ia sebut dikuras terakhir. Tetapi pada beberapa bagian, khususnya bagian akhir naskah, ia memasukkan beberapa bahasan dari kitab lain yang tidak disebutkan sumbernya. Pada bagian ini, di beberapa tempat, penulis tidak konsisten dalam cara menulis kankata-kata tertentu. Misalnya, ia menulis kata buruan, di beberapa tempat menggunakan huruf waw setelah ba, tetapi pada beberapa tempat lain ia tidak menggunakan huruf waw. Kemudian untuk menulis huruf c ia selalu menggunakanhuruf jim sehingga menyulitkan pembaca untuk memahaminya.

Gambaran tentang budaya saat itu abad ke-19 merupakan periode sejarah yang cukup penting dalam perjuangan melawan penjajah di Nusantara. Sejak tahun-tahun awal abad ini rakyat di wilayah ini seolah digerakkan untuk secara konfrontatif melawan penjajah Belanda, hampir di seluruh kepulauan dan daerah. Gerakan Imam Bonjol dengan kaum paderinya di Sumatera Barat dan gerakan Diponegoro di Jawa merupakan bentuk perjuangan yang cukup penting, yang ditandai dengan perang terbuka antara rakyat dengan Belanda dan orang-orang pribumi yang pro Belanda. Dari perspektif keagamaan, gerakan-gerakan yang muncul di Nusantara pada abad ke-19 itu tidak dapat dikatakan sebagai perjuangan yang vis a vis antara rakyatdan kaum penjajah, tetapi juga sebagai pertarungan antara kaum agama dengan kaum adat atau kraton. Perang Paderi di Sumatera Barat, misalnya, pada awalnya dimulai dari konfrontasi antara kaum paderi (Muslim) dengan ninik-mamak (kaum adat).

Demikian juga diJawa, isolasi Diponegoro dari jajaran keraton Yogyakarta (karena tidak dipilih sebagai Sultan) dapat disebut sebagai faktor penting dalam gerakan umat Islamdi sana. Dengan demikian, front-front perjuangan di Nusantara sebagian besar dapat dikategorikan sebagai front perjuangan umat Islam, sekaligus dapat juga dipandang sebagai indikasi menguatnya gerakan umat Islam untuk mendapatkan posisi penting dalam percaturan politik dan kekuasaan. Pada sisi lain, gerakan umat Islam Nusantara abad ke-19 meluas ke aspek lain, terutama dalam bidang keilmuan.

Penyebaran para penuntut ilmu dari berbagai kepulauan Nusantara ke berbagai pusat-pusat pengetahuan Islam, seperti Mekah, adalah bukti bahwa semangat untuk maju sudah mulai menguat. Kegiatan ini dinilai sangat penting, tidak saja untuk kepentingan peningkatan wawasan keislaman itu sendiri, melainkan juga untuk perluasan jaringan antardaerah di Nusantara. Pertemuan para santri Nusantara di Haramain tentu semakin memperkokoh hubungan antara satu sama lain, bukan saja antara santri dari wilayah Indonesia melainkan juga meluas ke santri Melayulainnya dari kepulauan lain, termasuk dari Malaya, Filipina, Thailand, dansebagainya. Santri-santri inilah yang kemudian kembali ke Indonesia dan menjadi ulama di daerahnya masing-masing. Banyak hal lain yang menarik mengenai percaturan sosial, politik, dan keagamaan pada abad ke-19 di Indonesia. Satuhal penting yang perlu dicatat di sini adalah kebijakan politik kaum penjajah yang menghapuskan sistem kesultanan di beberapa daerah. Di Indonesia, seperti di Palembang dan Aceh. Dalam sejarah pengembangan intelektualitas dan penyebaran Islam di Nusantara, kesultanan ini memainkan peranan yang cukup strategis,sebagai pusat penyebaran Islam dan pusat pengembangan wawasan keilmuan.

Pada masasebelum kesultanan dihapus oleh Belanda, Kesultanan Palembang dan Aceh merupakan tempat yang nyaman bagi ulama untuk menulis kitab, dan ini menjadi terhambat karena kesultanan sudah dihapus. Dari sudut faham keagamaan, umat Islam Nusantara sebenarnya banyak dipengaruhi oleh pemikiran sufistik,khususnya tasawuf falsafi dan tarekat Syattariyah. Tasawuf falsafi berkembang di bagian utara Sumatera, yang disponsori oleh ?Abd ar-Ra?uf Singkel, 'amzah Fan?uri, dan ar-Raniri. Pemikiran-pemikiran mereka cukup cemerlang dan mencerahkan, tapi sayang tidak dapat dicerna oleh masyarakat awam. Sedangkan tarekat Syattariyyah berkembang di Sumatera bagian selatan dan Pulau Jawa.Corak keagamaan tarekat ini dipandang kurang mendorong kemajuan. Di Jawa danjuga daerah-daerah lain di Nusantara sering terjadi paduan antara ajaran agama dan nilai-nilai budaya lokal, sehingga tidak jarang dikategorikan orang sebagai sinkretisme agama-budaya. Saling melengkapi antara faham sufistik (tarekatSyattariyah) seperti yang dipahami oleh penganutnya dan faham sinkretis serupa tidak menguntungkan, sebab dapat memperkokoh keterbelakangan umat Islam. Faktorinilah kemudian yang mendorong timbulnya pertarungan antara kaum pembaharu denganpenganut faham tradisional. Penelusuran sejarah masa lalu menunjukkan bahwa ditanah Haramain sendiri terdapat hal menarik, terutama corak dan arah perkembangan pemikiran para santri dan ulama Nusantara di sana. Ternyata,sekalipun para santri Nusantara belajar ilmu agama di Mekah dan sekitarnya, namun pada umumnya guru-guru yang mengajar mereka adalah juga ulama yangberasal dari Nusantara. Faktor ini menjadikan ulama ‘keluaran’ Haramain pada masa itu tetap konsisten dengan mazhab Syafi?i dan teologi Asy’ariyah, dan tidak menjadi pengikut Wahabiyah, sebagai faham keagamaan yang dominan di Saudi Arabia waktu itu.

Selain tidak terpengaruh secara signifikan oleh faham Wahabiyah, santri-santri Jawi abad ke-19 di Haramain lebih menggandrungi corak pemikiran fiqh. Bahkan lebih dari itu, corak tasawuf yang dikembangkan cenderung pada tasawuf amali, yaitu perpaduan antara tarekat Sammaniyyah dan al-Khalwatiyyah. Pada komunitas inilah Mu?ammad 'ali', penerjemah Fat? al-Mubin, bergabung menjadi santri Syekh Muhammadas-Sammani, pendiri tarekat ini. Alasan ini pula yang mendorong penerjemahan Kitab Fat? al-Mubin ke dalam bahasan Melayu, sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan para santri Jawi dan umat Islam Nusantara terhadap literatur fiqh. Faktor inilah kemudian yang ikut mengubah corak faham keagamaan di Nusantaradari tarekat fatalistik ke faham keagamaan bercorak fiqh dan tasawuf amali.


Pokok-pokok Isi Naskah

Pada awalnya, kitab Terjemah Fat al-Mubin fi Syar al-Arbain karya SyekhIbnu ?ajar al-?aitami ini merupakan kumpulan hadis yang disertai syarah singkat berjudul al-Arba?in Hadi? an-Nawawiyah fi al-A'ad' an-Nabawiyyah ma?a Syar'ihakarya Imam Nawawi. Dengan demikian, secara substansial tidak ada perbedaan isikitab ini dengan kitab Arba?in Imam Nawawi. Kitab al-Arba’in, sebagaimana dikemukakan Imam Nawawi dalam kata pengantar kitab tersebut, adalah kumpulan hadis yang membahas prinsip-prinsip Islam yang tidak terhingga nilainya,mencakup persoalan adab dan hukum-hukum. Masing-masing hadis merupakan prinsip penting,yang menjadi fondasi ajaran Islam. Sebagai karya lanjutan yang pada awalnya adalah sebuah kitab hadis, Terjemah Fat’ al-Mubin termasuk kategori literatur Islam multiwajah.

Dari perspektif penulisan sebuah karya keagamaan, di dalam kitab ini ditemukan berbagai hal yang berhubungan dengan prinsip keagamaan. Pertama, dari dasar penulisannya,kitab Fat’ al-Mubin memulai pembahasannya dari hadis-hadis terpilih yangkemudian diberi syarah. Paling tidak, dalam kitab ini terdapat 42 hadis pilihan yang ditempatkan sebagai dasar pokok pembahasan, kemudian ditambah dengan beberapa hadis lain yang digunakan untuk memperkuat syarah yang dikemukakan. Kedua, dilihat dari keragaman hadis yang dikutip, kitab ini merepresentasikan sebuah aspek kajian yang cukup luas. Dari sisi ini, kitab ini dapat dikategorikan sebagai literatur umum, yang dalam sistem kategorisasi perpustakaan termasuk kelompok kode 297.00. Ketiga, dilihat dari kuantitas pembahasan dalam syarah yang dikemukakan, pembicaraan tentang fiqh termasuk pokok bahasan yang paling besar jumlahnya dibanding dengan pembicaraan mengenai aspek lainnya. Karena luas dan dalamnya pembahasan fiqh, seolah-olah kitab ini adalahsebuah kitab fiqh. Hal ini semakin diperkuat lagi dengan beberapa pembahasan tentang fiqh, sebagai catatan tambahan yang dimuat pada bagian-bagian akhirkitab ini. Dengan demikian, kitab Fat? al-Mubin dapat disebut sebagai literatur keislaman yang memuat banyak hal tentang ajaran agama, dengan konsentrasi khusus pada fiqh Islam.

Hadis-hadis yang dikutip dalam kitab ini sangat beragam. Sepertinya, hadis-hadis tersebut dirujuk dan dikumpulkan dari berbagai kitab hadis. Terdapat 42 hadis yang dikutip sebagai dasar pembahasan dalam kitab ini, di antaranya: amal harus dengan niat, iman, islam dan ihsan. Dari syarah yang dikemukakan, tampak jelas bahwa kecenderungan penulis buku ini lebih kuat pada persoalan fiqh. Sebab, isikitab setebal 28 kuras tersebut, hampir 20 kuras membicarakan tentang fiqh,sedangkan selebihnya membahas tentang akidah dan akhlak. Sebagai contoh, uraianhadis pertama hingga ketiga, boleh dikatakan sangat lengkap untuk sebuah pengkajian tetang rukun Islam. Hal-hal yang dibahas di sini mulai daripersoalan niat, taharah, salat fardu dan sunat, puasa, zakat, dan haji. Bahkan pada bagian akhir kitab ini sengaja dibuat penambahan di luar syarah dari 42 hadis yang dikutip. Uraiannya meliputi pembahasan tentang hukum binatang buruan, sembelihan, kurban, akikah, khitan, dan hukum makanan. Hal inimerupakan petunjuk bahwa penulis kitab ini adalah seorang ahli dalam bidangilmu fiqh. Seperti kitab sumbernya, pembahasan dalam kitab Terjemah Fat?al-Mubin tidak diurut secara sistematis. Hal ini dapat dimaklumi, karena agaknya penulis sangat terikat dengan susunan hadis yang seolah-olah sudah given dari penyusun pertamanya, Imam Nawawi.

Gambaran isikitab yang tidak sistematis dapat dilihat dari:
1)      pembahasan tentang iman dan tauhid yang ditempatkan di dua tempat terpisah, yang diselingi dengan persoalan fiqh yangdiuraikan sangat panjang;
2)      pembahasan tentang fiqh tersebar di berbagaitempat, dan dua pokok bahasan penting ditempatkan di dua bagian yang terpisah;dan 3) pembahasan tentang akhlak juga ditempatkan secara tidak teratur, karena sering diselingi dengan kajian tentang hukum fiqh. Dilihat dari topik-topik bahasannya, kitab Terjemah Fat' al-Mubin mengungkap banyak hal.

Secara garis besar, topik-topik bahasan dimaksud dapat dikemukakan di sini:
1.      Pembahasan tentang iman atau tauhid. Seperti sudah dikemukakan, pembahasan tentang iman ditulis dalam dua tempat terpisah. Pada bagian pertama pembahasan ini merupakan penjabaran dari Syahadatain sebagai urutan pertama rukun Islam yang disebut dalam hadis kedua. Uraian tentang tauhid memuat pembahasan yang mendalam tentang sifat-sifat Allah dan para rasul. Pembahasan ini dihimpun dalam satu rangkaian yang disebutnya sebagai al-'Aqa'id al-Khamsun (lima puluhakidah). Pokok-pokok pembahasan ini jelas merujuk pada faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah, perpaduan antara pemikiran kalam Asy’ariyah dengan Maturidiyah. Limapuluh akidah yang dipaparkan itu terdiri atas 20 sifat Allah yang wajib, 20 sifat Allah yang mustahil, satu sifat Allah yang jaiz, empat sifat rasul yang wajib, empat sifat rasul yang mustahil, dan satu sifat rasul yang jaiz. Pada bagian kedua pembahasan tentang iman difokuskan pada lima rukun iman lainnya,yaitu iman kepada malaikat, rasul dan nabi, kitab Allah, hari akhirat, dantakdir. Tampaknya uraian tentang kelima hal ini cukup mendasar dan sangat layak dibaca oleh para pelajar pemula. Lebih dari itu, seperti halnya corak pemikiran Asy?ariyah, materi-materi yang dikedepankan di sini lebih banyak mereproduksi kembali pemikiran ulama ortodoks. Hampir tidak ditemukan uraian yang mempertemukan antara pemikiran rasional dan atau teoretis dengan teks-teks Qur’an dan Sunnah. Ungkapan-ungkapan mengenai akhirat, misalnya, pada kitab ini telah cukup berhasil mendramatisasi gambaran alam akhirat yang sangat menyeramkan,dengan suasana huru-haranya yang mengerikan. Pada sisi lain, dalam kitab ini pembahasan tentang ihsan dipadukan dengan pembahasan tentang iman. Menurutpenulis kitab ini, ihsan termasuk kajian dari iman, karena berhubungan dengan keikhlasan. Ikhlas sebagai wujud ihsan, menurut kitab ini, sangat erat kaitannya dengan iman.

2.      Pembahasan tentang fiqh. Pembahasan mengenai fiqh ditulis secara panjang lebar dalam kitab ini. Syarah terhadap hadis yang berkenaan dengan salat, puasa, zakat, dan haji mendominasi isi kitabini, sehingga tampak tidak seimbang dengan syarah terhadap hadis lainnya. Pembahasannya yang cukup luas dan dalam memberi kesan seolah-olah kitabTerjemah Fat’ al-Mubin adalah sebuah kitab fiqh. Sebagai kitab yang ditulisoleh seorang pengikut faham Ahlus Sunnah wal Jama'ah, pendapat-pendapat hukumyang diturunkan merujuk pada mazhab Syafi’i. Hal ini terlihat dariaturan-aturan dan tata cara ibadah yang dipaparkan, seperti taharah dan salat.Hampir seluruhnya mengikuti pemikiran hukum Syafi’iyah. Lebih spesifik lagi,isi kitab ini cenderung monolitik, tidak memberi ruang perbandingan atau pengungkapan perbedaan pendapat. Hal ini memberi kesan, kitab Terjemah Fat’al-Mubin dipersiapkan untuk pembaca Syafi?iyah murni. Hal yang mungkin menarik perhatian, dilihat dari fungsi kitab Fat’ al-Mubin sebagai kitab syarah hadis,adalah munculnya pembahasan tentang binatang buruan, sembelihan, kurban,akikah, khitan, dan hukum makanan dan minuman. Topik-topik ini tidak jelas apakah merupakan hasil karya Ibnu ‘ajar al-?aitami (penulis kitab Fat?’ al-Mubin) atau merupakan gagasan dari penerjemahnya (Mu’ammad ‘ali’). Hal yang pasti adalah topik-topik tersebut sama sekali tidak terkait dengan salah satu dari 42 hadis yang disyarah. Tentu kesan yang muncul tidak lain bahwa Terjemah Fat’ al-Mubin memang lebih mengutamakan persoalan fiqh daripada bidang keislaman lainnya.

3.      Pembahasan tentang bid’ah. Dalam kitab initerdapat sedikit pembahasan tentang bid?ah, sebagai penjabaran hadis ke-5. Pendapat tentang bid’ah dibahas penulis dalam rangka mengkritisi pendapat danpraktik-praktik keagamaan para penganut faham tarekat. Menurut kitab ini,terdapat beberapa faham dan praktik keagamaan di kalangan penganut tarekat yang menyimpang dari ketentuan Islam. Beberapa hal yang dipandang bid?ah antara lainadalah faham tarekat yang mengharamkan yang halal, puasa mutawaliyat (terus-menerus), puasa pada hari tasyriq, salat sunat tiga rakaat pada nisfuSya’ban dengan sejumlah bacaan, dan beberapa praktik ibadah lainnya.

4.      Pembahasan tentang akhlak. Pembahasan tentang akhlak merupakan syarah dari beberapa hadis yang dijadikan dasar uraian. Uraian mengenai akhlak banyak dikaitkan dengan aspek keimanan dan hukum. Dalam hal ini, akhlak dipandang sebagai dasar kesempurnaan iman, danselanjutnya norma-norma akhlak diformalkan seperti halnya hukum fiqh. Pola pemikiran semacam ini jelas mengindikasikan kuatnya pengaruh fiqh dalampenulisan kitab ini. Hubungan Naskah dengan Budaya Saat ini Pada dasarnya penerjemahan Kitab Fat’ al-Mubin bertujuan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam etnis Melayu Nusantara yang sedang berusaha memperluas wawasan keislaman. Kitabini merupakan prototipe dari seperangkat pemikiran yang berorientasi pada penegasan dan penjelasan prinsip-prinsip keislaman yang sangat relevan dengan kondisi pengetahuan umat Islam yang masih minim. Dilihat dari konsep-konsep dan ajaran yang disampaikan, penulis kitab ini bermaksud untuk memberikan pengetahuan dasar yang perlu dimiliki oleh umat Islam saat itu.  Saat ini tentu sudah sangat banyak ditemukan literatur dengan pembahasan yang sama di Indonesia, baik dalam bahasa Arab maupun Indonesia. Itulah sebabnya, Azyumardi Azra menyebut kitab dasarnya,al-‘adi’ al-Arba?in karya Imam Nawawi, sebagai tulisan yang diperuntukkan bagi pembaca umum, bukan untuk ahli yang mendalami ilmu agama. Namun demikian, kitabini memperlihatkan suatu hal penting yang masih memiliki relevansi denganperkembangan budaya umat Islam saat ini. Paling tidak, pola penyajian kitabterjemah Fat’ al-Mubin yang sangat menekankan keyakinan tentang akhirat danajaran-ajaran akhlak dipandang sebagai counter terhadap kecenderungan hidup materialistik-hedonistik dan destruktif yang dilihatkan banyak orang saat ini. Penilaian sejumlah ilmuwan dan aktivis Muslim fundamentalis bahwa kerusakan moral dan kedangkalan akidah sebagian umat Islam saat ini berkaitan dengan corak pemahaman agama yang bersifat rasional, pada satu sisi, agaknya dapat diterima. Untuk itu, pola penjelasan tentang peristiwa-peristiwa akhirat secara dramatis dan penegasan masalah akhlak yang dikaitkan dengan persoalan hukum dapat dipandang sebagai alternatif pemahaman keagamaan yang perlu dihidupkan kembali saat ini.


Kesimpulan

Dari paparan yang sudah disampaikan, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1       Naskah-naskah Islam klasik banyak ditemukandi Sumatera Utara, baik yang sudah ada dalam katalog perpustakaan dan museum, maupun yang belum. Bahkan menurut perkiraan, masih banyak naskah Islam klasik yang belum ditemukan, yang disimpan oleh perorangan atau lembaga pendidikan.

2.      Topik-topik bahasan kitab Terjemah Fat’al-Mubin mencakup pembahasan tentang iman atau tauhid, fiqh, bid’ah, dan akhlak.

3.      Kitab Terjemah Fat’ al-Mubin tidak dapat dikategorikan sebagai terjemahan murni dari kitab tersebut, karena penerjemah sendiri menambahkan beberapa topik bahasan di luar konteks pada halaman-halaman bagian akhir.


Rekomendasi

Mengingatpentingnya pengumpulan, pemeliharaan dan penggalian manuskrip-manuskrip Islamklasik, paling tidak ada dua rekomendasi yang perlu dilaksanakan dalam waktudekat:

1.      Perlu pengkajian lebih banyak dan mendalam terhadap naskah-naskah peninggalan ulama masa lalu. Hal ini amat diperlukan, karena ternyata banyak pengetahuan Islam yang tersimpan dalam manuskrip klasik yang belum tergali dan terpublikasikan dengan baik. Paling tidak amatdiperlukan usaha-usaha penyuntingan (ta'qiq) terhadap naskah-naskah Islamklasik agar lebih banyak diketahui oleh para penggali dan pengembang (mubalig) ilmu pengetahuan keislaman.

2.      Perlu dibentuk lembaga pengkajian naskah-naskah klasik secara nasional dan mempunyai cabang-cabang di pusat-pusat islamisasi periode awal, seperti di Aceh dan Sumatera Utara. Melalui lembaga khusus ini diharapkan muncul kegiatan pengumpulan, pemeliharaan, dan penggalian khazanah Islam klasik secara lebih intensif.

~0~

(Dikutipdari www.depag.web.id * Daftar Pustaka Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama TimurTengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Penerbit Mizan,1994. Farhud, Mu?ammad as-Su?ud. al-Hadiyyah as-Sa?diyyah Syar? al-Arba?inan-Nawawiyyah, Juz I. Hijaj: Mahabah Hijaji A?mad ?Abd al-La?if Zahran, 1972.Gibb, H.A.R. and J.H. Kramees (Eds.), Shorter Encyclopaedia of Islam, Leiden:E.J. Brill, 1961).






Orja Godang di Chemor-Malaya


Denyut Kehidupan Halak Mandailing di Malaysia



Perjalanan kami ke Perak bermula dari undangan seorang kerabat. Belakangan kerabat itu saya ketahui sebagai saudara tiga pupu. Ompung (nenek dan kakek) kami saudara sepupu, ayah dan ibu kami dua pupu. Dan kami satu moyang.
Kerabat ini menikahkan salah seorang anak lelakinya. Ia orang Mandailing yang berasal dari Kotanopan, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Puluhan tahun telah ia tinggalkan tanah kelahirannya untuk merantau ke Tanah Melayu. Asam garam perantauan telah banyak dilaluinya. Kini bisa dikatakan ia orang yang berhasil di perantauan.
Saya memanggilnya Bang Abduh. Lubis marganya. Di Kotanopan, Bang Abduh termasuk salah seorang keturunan raja. Untuk itu, pesta putranya pun ia persiapkan mengikut adat Mandailing.
Bang Abduh Lubis ini aktif di tengah-tengah masyarakat, sesuai dengan darah bangsawan yang melekat pada dirinya. Ia dianggap sebagai tokoh Mandailing di Negeri Perak. Ia tinggal di Chemor.
Chemor merupakan salah satu daerah yang banyak dihuni orang-orang Mandailing di Perak. Dahulu mantan wakil presiden Indonesia,  Adam Malik, sering bermain ke sini di masa kecilnya. Ketika ada tugas kenegaraan ke Malaysia pun ia selalu sempatkan untuk singgah. Ibunya, Siti Salamah Deto, berasal dari Chemor.
Tak tanggung-tanggung, Bang Abduh pun mengundang saudara-saudaranya dari Medan, Jakarta dan Mandailing Natal. Semuanya 35 orang. Seandainya mereka satu pesawat, seperempat badan pesawat itu isinya saudara Bang Abduh.
Pesta di gedung dibuat pada hari Minggu, 22 Juni 2014. Ensambel gordang sambilan ditampilkan di pintu masuk gedung. Tapi sejak hari Sabtu tim keseniangordang sambilan sudah menghibur tamu-tamu Bang Abduh dari Indonesia. Semalam suntuk mereka manortor (tarian tradisional Mandailing, Angkola, Toba, Simalungun) bersama di rumahnya.
Kesenian gordang sambilan terdiri dari empat orang penabuh sembilan gendang, 12 gadis penari tortor dan seorang peniup seruling merangkap penyanyi yang biasa disebut par onang-onang. Lagi ada 4 orang penabuh gong besar dan kecil. Mereka semua keturunan Mandailing yang meneruskan tradisinya di Tanah Melayu. Sebagian besar sudah menjadi warga negara Malaysia. Tim kesenian ini khusus didatangkan dari Kuala Lumpur ke Chemor dengan 1 truk dan sebuah bus.
Menabuh gordang sambilan.
Menabuh gordang sambilan.
Gendang ditabuh. Terlihat ada di antara hadirin matanya berkaca-kaca. Agaknya ia terngiang akan tanah leluhurnya. Par onang-onang dengan suaranya yang berat mulai melantunkan bait demi bait lagunya. Isinya nasihat perkawinan dan kisah kehidupan kerabat-keluarga yang saling bahu membahu untuk saling memuliakan. Sesekali ia meniup serulingnya, bernyanyi dan meniup lagi.
Pengantin berdiri. Pengantin wanita menari di depan dengan gerakan yang lembut, tetap di satu tempat. Suaminya manortor dan berputar perlahan dari belakang ke depan sambil mengepakkan sayap ulos di pundaknya. Seperti sebuah simbol, biarkan aku yang keluar, engkau tetaplah di rumah menjaga segala yang kita punya. Kemanapun aku pergi, hatiku tetap bersamamu. Tekadku sudah bulat, akan melindungi hidupmu sepanjang hayatku.
Mangulosi.
Mangulosi.
Dayang-dayang 12 penari tortor,  gadis Melayu nan cantik bertudung dan berulos pun menari mengikuti rentak pengantin. Semakin lama rentaknya semakin laju. Penabuh gendang tambah semangat.
Penabuh 9 gendang ini 4 orang. Tiga penabuh tak banyak goyang. Penabuh paling ujung mulai beraksi goyang ke kanan dan kiri. Dialah pemimpin rentak gendang. Kalau dia menabuh kuat dan laju, yang lain pun menyesuaikan iramanya. Ia bisa berhenti kapan ia suka. Bisa saja tiba-tiba ia diam beberapa saat. Berdiri seperti patung dengan satu kaki dan satu tangan diangkat. Mata terpejam. Ketika menabuh lagi, irama gendang tak rusak. Tetap enak didengar. Rentak gendang itu seolah-olah telah menyatu dalam dirinya.
Seperti punya daya magis, tabuhan gendang membuat kaki penonton bergoyang. Jari-jari tangan membuka dan menutup mengikuti tortor pengantin. Par onang-onang semakin syahdu suaranya. Sebagian hadirin tak mampu membendung airmata. Sepertinya ia sedang menyesal, kenapa dulu kawin tidak pakai gordang sambilan.
Bang Abduh berbisik kepadaku. “Kalau bukan karena keturunan raja, aku tak berani membuatnya.” Bagi orang Mandailing tak semua kalangan boleh pesta menggunakan tradisi lengkap dengan gordang sambilan.
Selepas berbisik, ia larut dalam goyangan tortor meng-ulosi menantunya. Agaknya ia sudah biasa, lentur badannya waktu manortor. Lenggok tubuhnya tak kaku mengikuti rentak tabuhan sembilan gendang. Penabuh bertambah semangat melihat dia manortor.
Mangulosi adalah tarian memakaikan kain ulos kepada menantu baru, sebagai tanda kebesaran hati diterimanya sang menantu sebagai keluarga baru. Seperti sebuah isyarat; bukan hanya putraku. Aku dan seluruh keluargaku akan menjaga kehormatanmu, selagi engkau berada bersama kami. Hadirin gegap gempita menyambutnya dengan teriakan:
Horas…horas…horas…” (selamat, selamat, selamat).
***
Gadis Padang Sidempuan manortor di KL, Malaysia.
Gadis Padang Sidempuan manortor di KL, Malaysia.
Orang Mandailing diperkirakan sampai ke Tanah Melayu lebih dari 200 tahun silam. Komunitasnya banyak tersebar di Negeri Perak, Negeri Sembilan, Selangor dan Kuala Lumpur.
Di Perak, mereka tinggal di daerah Batu Kurau, Ayer Keroh, Taiping dan Chemor. Di Negeri Sembilan terdapat daerah yang namanya Jelebu, Kampung Kerangai. Konon bekas gubernur Sumatera Utara, Raja Inal Siregar, sudah sampai ke sini.
Saya pernah menghadiri acara rumah terbuka orang-orang Mandailing di Kampung Kerangai ini. Di situlah pertama kali saya lihat di Tanah Melayu ini semua orang–baik anak-anak maupun dewasa–berbahasa Mandailing. Suasana kampungnya pun mirip kampung-kampung di Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal. Banyak rumah panggung, di bawahnya mereka beternak ayam. Jamuan favorit mereka bulung gadung atau daun ubi tumbuk dan rendang yang dimakan dengan lemang. Kedatangan tamu-tamu terhormat disambut dengan ulos dan tortor.
foto lama
Di Selangor, orang-orang Mandailing banyak terdapat di daerah Hulu Langat. Dahulu seorang hulubalang Sultan Selangor di Hulu Langat adalah orang Mandailing. Dia orang terawal yang membuka kawasan itu menjadi sebuah perkampungan. Namanya kini diabadikan menjadi nama sebuah sekolah di Hulu Langat, Sekolah Kebangsaan Abdul Jalil. Kini Hulu Langat terus berkembang menuju daerah wisata andalan.

Di Perak, seorang Mandailing bernama Datuk Setia Raja bin Bendahara Raja pernah dipercaya Sultan sebagai Ketua Mandailing. Ia hidup di abad 18. Dalam lawatan saya ke Lost World of Tambun, Ipoh, tertulis kaum Mandailing banyak bekerja sebagai penambang timah di Lembah Kinta. Mereka dipakai karena seni dan kepakarannya dalam mendulang dan mencuci timah.
Adik kandung ompung (nenek) saya sendiri sudah sampai ke Malaysia pada kurun 1930-an. Jauh sebelum Malaysia mencapai kemerdekaannya. Namanya Muhammad Jamil Lubis. Ia harus rela meninggalkan kampungnya di Hutadangka, Kecamatan Kotanopan, Sumatera Utara, setelah bergabung dengan gerakan gerilya melawan Belanda.
Ia diburu. Hampir setiap hari tentara Belanda masuk ke kampung dan menggerebek Bagas Godang Hutadangka, tempat tinggalnya. Bagas godang ini ibarat istana di kampung. Di sinilah tempat masyarakat berkumpul dan berembuk bila ada persoalan. Setiap hari Jumat dibagi-bagikan daging gratis bagi penduduk dari tempat ini.
Hampir saja bagas godang dibakar. Nyawanya terancam, lalu nekat menyeberang Selat Melaka dengan perahu kecil. Tiba di Klang, ia melanjutkan perjalanan ke Kuantan, Pahang. Menyunting gadis tempatan dan menikahinya di sana.
Agaknya mata-mata Inggris sudah mencium jejaknya. Tak ingin kepentingannya terganggu, Ompung Jamil ditawari bergabung sebagai tentara Inggris Malaya. Ia bertugas mengamankan Kuantan. Awalnya ia ragu. Tapi nalurinya berkata kalau ia bergabung, mungkin bisa menyerang kembali Belanda di kampungnya.
Orangnya tinggi besar dan gagah. Bila bicara, suara bas-nya membahana. Banyak orang segan padanya. Kalau masuk pasar dan patroli, orang tak berani menatap matanya. Bila terlanjur menatap, mereka akan segera menundukkan pandangannya. Yang melihat sosoknya dari kejauhan, akan pergi berbalik arah.
Begitupun, Ompung Jamil ini tetap rendah hati. Berbagai bintang penghargaan tentara Inggris Malaya telah tersemat di dadanya. Setelah kemerdekaan, ia memilih jalan sebagai pengusaha. Selepas konfrontasi Indonesia-Malaysia, setahun sekali ia pulang ke tanah leluhurnya. Ia tidur di Bagas Godang Hutadangka, tempat ia dilahirkan dan sejarah hidupnya bermula.
mmexport1394495159034_resized
Kepulangannya selalu dinanti-nanti warga kampung. Mulai dari senior, rekan sebaya hingga dua generasi di bawahnya akan kebagian oleh-oleh. Baik yang masih berhubungan darah maupun tetangga. Tentu saja kami cucu-cucunya di Medan senang sekali dengan kedatangannya. Biasanya sebulan sebelum tiba, ia menyuratiinang (ibu)-ku. Inang akan membalas suratnya setelah menanyakan oleh-oleh apa yang kami inginkan. Memang begitu pesannya. Kami bebas meminta apa saja darinya. Kebiasaan ini menular ke anaknya yang sudah menjadi warga Malaysia. Melaluinya-lah persaudaraan kami dengan anak, cucu dan cicitnya di Kuantan tetap terjalin hingga kini.

Kini sudah banyak keturunan Mandailing yang menduduki posisi penting sebagai pejabat negara di Malaysia. Di antaranya Tan Sri Muhammad Thaib, bekas menteri besar (gubernur) Selangor. Mantan panglima angkatan laut Malaysia, Laksamana Madya Datuk Muhammad Zain Salleh, juga keturunan Mandailing. Seorang artis film Malaysia selalu bangga melekatkan marga di belakang namanya, Dato’ Tamimi Siregar.
***
Halak Mandailing Malaysia (HMM) adalah organisasi Mandailing yang diakui oleh Kerajaan Malaysia. Tahun 2012 di awal penubuhannya, organisasi ini berhasrat ingin melestarikan adat dan budaya Mandailing di Tanah Melayu.
Mereka menggandeng Menteri Penerangan, Komunikasi dan Budaya Malaysia pada waktu itu, bersama-sama mendaftarkan warisan kesenian Mandailing sebagai warisan yang patut dilindungi kerajaan. Poin yang penting adalah melestarikan taritortor dan gordang sambilan Mandailing. Tujuannya agar Kerajaan Malaysia mengambil perhatian kesenian ini supaya sejajar dengan kesenian lain yang ada di Malaysia seperti China, India, Jawa dan Bugis. Mereka berharap kelak kerajaan menjadikannya sebagai kesenian resmi untuk ditampilkan di acara-acara kenegaraan. Lebih jauh lagi berusaha memperkenalkannya ke dunia internasional. Bukan kesenian yang hanya ditampilkan di belakang rumah.
Tentu saja mereka tidak melupakan asal-usul kesenian itu. Disebutkan dalam isinya bahwa kesenian ini berasal dari Sumatera Utara. Baru sehari berita ini dikabarkan media, berbagai gelombang protes telah terjadi di Indonesia. Sejumlah seniman dan budayawan yang reaktif berkumpul di Taman Budaya Sumatera Utara, dan menuding Malaysia kembali mengklaim budaya Indonesia sebagai milik mereka. Tapi mereka tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi, dan mereka gagal membaca misi kebudayaan mereka sendiri, yaitu menyebarkan nilai-nilainya sejauh mungkin di dunia.
Sebelum menteri mengumumkannya, HMM lebih dulu berinisiatif mengunjungi tanah leluhurnya di Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan. Sebanyak 187 orang turut serta. Dalam misi itu mereka bertemu dengan pemerintah setempat dan ketua-ketua adat Mandailing di sana. Niat baik mereka mendapat dukungan dari raja-raja Mandailing Sumatera Utara.
Dalam usahanya melestarikan budaya yang turun temurun dibawa leluhurnya, HMM tak berhenti hanya di situ. Mereka terus berupaya memperkenalkan tradisi Mandailing kepada generasi mudanya. Selain mengamalkan bahasa dan kesenian Mandailing, makanan juga menjadi perhatian. Dalam salah satu acara rumah terbuka di Perak, mereka mendatangkan tukang masak daun ubi tumbuk khusus dari Hutapungkut,  Mandailing Natal.
Biasanya majelis rumah terbuka mereka adakan pada hari raya. Waktu dibuat di KL, mereka mendatangkan penari tortor dan penabuh gordang sambilan langsung dari Padang Sidempuan.
Setahun kemudian perjuangan Halak Mandailing Malaysia membuahkan hasil. Hasilnya untuk halak Mandailing Indonesia. Pertama kalinya dalam sejarah, sambutan kemerdekaan Indonesia tahun 2013 di Istana Negara Jakarta, dimeriahkan dengan penampilan gordang sambilan dan tortor sebagai acara terdepan. Di hadapan tamu-tamu terhormat antarabangsa, presiden bangga berjalan dengan selempang ulos.
***
Di ibunegara, Kuala Lumpur. Seorang tokoh Mandailing asal Sidempuan tengah mencapai puncak kejayaannya. Namanya Khairuddin Harahap. Ia pengusaha, tokoh masyarakat Indonesia di Malaysia dan aktif membantu TKI yang bermasalah. Dalam kantornya di pusat ibukota, terpampang ulos dan foto kawin orangtuanya. Foto hitam putih itu sepasang pengantin yang menggunakan bulang, pakaian pengantin tradisi Mandailing. Juga ada sekeping kertas berbingkai menggambarkan silsilah keluarganya. Orang Mandailing menyebut silsilah ini dengan tarombo.
Ia memiliki beberapa syarikat. Salah satu nama syarikat yang dibuatnya diambil dari Bahasa Mandailing, Angkola Travel Sdn Bhd. “Bagaimanapun tradisi ini harus diturunkan. Saya tak ingin anak cucuku tumbuh tak mengenal adat leluhurnya. Ini jati diri. Setinggi apapun pencapaian kita di muka bumi ini, kalau tak punya jati diri maka kita akan lemah,” ujarnya.
***
(Danil Junaidy Daulay)
Danil Junaidy Daulay adalah mantan atlit renang dan aktivis pers kampus di Medan. Kini ia tinggal bersama istri dan dua anak lelakinya di KL, Malaysia, dan bekerja sebagai instruktur renang.

========================
sumber: http://sumateraandbeyond.com/2014/06/denyut-kehidupan-halak-mandailing-di-malaysia/