Kitab Fat al-Mubin fi Syar, al-Arbain: sebuah Naskah (Islam) dari Mandailing
=============o0o=============
(Terjemahan Kitab Fat, al-Mubin fi Syar, al-Arbain:
Sebuah Naskah Klasik Sumatera Utara)
Pendahuluan
I
|
ntelektual
Muslim masa lampau meninggalkan naskah-naskah dalam jumlah yang sangat
besar.Hasil karya intelektual yang merupakan bagian dari usaha ijtihad dan pengembangan
kajian keislaman tersebut tidak akan memiliki makna dan nilai bagi kehidupan
masyarakat Muslim kecuali dipelihara, dikaji dan dikembangkan. Usaha tersebut
dapat dilakukan dengan penelitian untuk memahami isi yang dikandungnya dan
mengambil intisari yang dapat dikembangkan pada masa kini.
Naskah
TerjemahKitab Fat’ al-Mubin fi Syar’ al-Arbain adalah manuskrip yang ditemukan
di Desa Mompang Julu, Penyabungan,
Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Naskahitu disimpan seorang ulama, H.M. Shaleh Nasution. Naskah tersebut
berukuran 23,5 x 17 cm, terdiri dari 28 kuras, 12 lembar setiap kuras, dengan
jumlah seluruhnya 1340 halaman. Setiap halaman berisi 21 baris berhuruf Jawi
(bahasa Melayu berhuruf Arab). Tulisannya bagus dan jelas dengan tinta hitam
dan merah. Keadaan naskah sangat baik, tetapi beberapa lembar halaman depan
hilang (mungkin terdiri dari dua atau tiga kuras), dan tanpa cap kertas (watermark).
Dilihat dari
tempat dan masa penulisan naskah (Mekah 1285/ 1868 M) sebagaimana tertulis
dikuras ke-25, dipastikan bahwa naskah ini diperoleh ulama Mandailing
(kemungkinan Syekh Mustafa) dari penyalin atau penerjemah naskah yaitu
Muhammadali?. Ia seorang ulama dari Patani yang berdiam dan belajar di Mekah,
ulama pendiri tarekat Sammaniyyah, yang kemudian oleh Syekh Mustafa naskah
tersebut dibawa ke kampung Mandailing. Naskah yang diteliti merupakan naskah
terjemahan dari Syar al-Arba`in.
Secara
genealogi, Ibn ajar al-aitami, lengkapnya Ahmad bin Muhammad bin Ali bin
ajrSyihab ad-Din Abu al-Abbas al-aitami (ulama abad ke-16 M) melakukan syarah
atas kitab al-Arbain adi an-Nawawiyyah fi al-Aadi? a-aiah an-Nabawiyyah karya
Imam Muhyi ad-Din Yahya bin Syarf bin Mari an-Nawawi ad-Dimsyiqi
(621-676H/1233-1277 M) yang berisi masalah tauhid dan fiqh. Menurut Muhammad
as-Sa`idFarhud, seorang tokoh yang juga melakukan syarah terhadap kitab
al-Arba`inan-Nawawiyyah, terdapat beberapa ulama termasuk Ibn hajar al-haitami
yang telah mensyarah kitab hadis al-Arba`in an-Nawawi ini. Di antaranya Imam
an-Nawawisendiri, kemudian Syaikh asy-Syabrukhiti, Syaikh as-Sahimi,
asy-Syaikhal-Fusyni, asy-Syabsyiri, asy-Syarnubi, an-Nabrawi, dan al-Jurdini.
Azra juga
mengungkapkan bahwa ulama Melayu yang pernah melakukan syarah atau memberi
penjelasan terhadap kitab hadis al-Arba`in adalah Abd Rauf as-Sinkili (w.
1105H/ 1693 M) atas permintaan Sulhanah Zakiyyah ad-Din. Lebih lanjut Azra
menjelaskan, kitab al-Arba`in adalah sebuah koleksi kecil hadis-hadis
menyangkut kewajiban-kewajiban dasar dan praktis kaum Muslim yang secara jelas ditujukan
untuk pembaca umum dan bukan untuk ahli yang mendalami ilmu agama.Hanya saja
hingga sekarang, penjelasan as-Sinkili atas empat puluh hadis tersebut tidak
terdapat dalam bentuk cetakan dan belum diketahui keberadaannya.
Kitab Fat al-Mubin fi Syar, al-Arbain dan
Ulama Mandaililing
Dari naskah yang
diteliti tidak diketahui dengan jelas buku mana yang digunakan Muhammad ali, sebagai
bahan untuk membuat karya terjemahan, karena beberapa bagian depan dari kuras
tersebut hilang. Diperkirakan, pada halaman depan belum tentu dicantumkan nama
kitab yang ia terjemahkan. Tetapi, melalui sebuah situs internet
www.fathani.org yang menerangkan rangkaian manuskrip Melayu karya ulama-ulama
Nusantara, diketahui ia menulis kitab Fat’ al-Mubin fi Syar’ al-Arba`in karya
Ibn ajar al-?aitami, sebagaimana tercantum dalam koleksi manuskrip Fatani.
Mu’ammad ‘ali adalah seorang ulama Melayu yang berasal dari Patani abad ke-18
yang lama bermukim dan belajar di Haramain. Ia adalah salah seorang guru dai
Dawud bin Abd Allah bin Idrisal-Faani (w. 1265 H/ 1847 M), seorang ulama yang
paling terkenal dari wilayahini. Melalui Muhammad ali, Dawud al-Fatani belajar
dan terlibat langsung dengantarekat Sammaniyyah yang didirikan oleh Muhammad
as-Sammani. Meskipun tergolong lebih tua dari Dawud al-Faani, tetapi Muhammad
ali memiliki umur yang lebihpanjang dari pada muridnya itu, karena setelah
kematian Dawud al-Faani-lah, naskah Terjemahan Kitab Fat al-Mubin fi Syar
al-Arbain ditulis Muhammad ali (1285 H /1868 M). Di dalam kitab ini, Muhammad
ali mengaku sebagai murid seorang syaikh tarekat Sammaniyyah, Khalwatiyyah dan
Syailiyyah.
Sebenarnya tarekat
Sammaniyyah merupakan gabungan berbagai tarekat dengan nama pendirinya, yaitu
Muhammad as-Sammani yang berafiliasi kepada tarekat-tarekat seperti Khalwatiyyah,
Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah, Adiliyyah, dan Syailiyyah. Pertanyaan berikutnya
adalah bagaimana naskah Terjemah Kitab Fat al-Mubin fiSyar al-Arbain sampai ke
negeri Mandailing. Dari hasil wawancara, diketahuibahwa naskah ini dibawa oleh
seorang ulama Mandailing, yaitu orang tua dariH .M. Shaleh Nasution (penyimpan
naskah), bernama Syekh Musthafa bin SyekhSyahbuddin Nasution dari kota
Haramain. Syekh Musthafa yang lahir pada tahun1892/93 M. adalah seorang ulama
Mandailing yang pernah menetap di Mekah daritahun 1900 sampai 1915. Bersama
dengan seorang ulama terkemuka lainnya, Syekh Musthafa Husein pendiri Pesantren
Musthafawiyah Purba Baru, ia berangkat keMekah untuk belajar melalui Kedah,
Malaysia. Mereka termasuk orang-orang Mandailing pertama (akhir abad ke-19 M)
yang belajar ke Mekah.
Syekh
Musthafabin Syekh Syahbuddin Nasution adalah seorang ulama yang produktif
menulis dan menerjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Melayu.
Karyanya meliputi bidang ilmu fiqh, tasawuf, tauhid, dan qira`ah. Kemungkinan
TerjemahKitab Fat al-Mubin fi Syar al-Arbain merupakan salah satu naskah yang
iaperoleh ketika belajar di Mekah dan dijadikan sebagai bahan dalam
kegiatanbelajar-mengajar di masyarakat Mandailing atau institusi pendidikan
seperti pesantren Musthafawiyyah Purba Baru. Keingintahuan peneliti menyangkut
isi teksdan asal usul naskah, serta kaitan naskah dengan Islam di negeri
Mandailingtelah mendorong peneliti untuk mengkaji lebih dalam naskah
ini.Pertimbangannya, yaitu kondisi fisik naskah masih bagus, jelas, dan
dapatdibaca serta dipahami; dan topik yang dibahas dalam naskah tersebut agak
luas,dimulai dari bidang tauhid hingga masalah hukum makanan. Selain itu, usia
naskah juga telah cukup tua. Penulis mencoba menelusuri genealogi serta
memahami dan menganalisis isi manuskrip tersebut. Kritik Teks Secara
umum,struktur pembahasan dalam naskah ini cukup sistematis dan konsisten.
Urutan penyajian
didahului dengan menuliskan sebuah hadis, kemudian terjemahan, selanjutnyamatan,
sanad, dan periwayat hadis. Penulis menjelaskan secara
rincipermasalahan-permasalahan yang terkait dengan matan hadis tersebut dalam
bahasa Arab (bertinta merah), kemudian diterjemahkan dan dielaborasi secara
rincididukung dengan kutipan pendapat-pendapat para ahli termasuk Imam Nawawi
sebagai penulis Kitab al-Arbain dan Ibn hajar. Ungkapan dan kata atau berkata (dengan
tinta merah) disebutkan lebih dahulu baru nama tokoh atau ahli yang dikutip
berserta nama kitabnya. Sesuai dengan kompleksitas pembahasan yang disajikan
oleh penulis naskah, dapat dikatakan bahwa kitab ini tidak ditujukankepada
pembaca pemula. Isi naskah ini berbeda dari kitab asalnya yaitu Kitabal-Arbain
yang dinilai oleh Azra sebagai sebuah koleksi kecil hadis menyangkut
kewajiban-kewajiban dasar dan praktis kaum Muslim yang secara jelas ditujukan
untuk pembaca umum dan bukan ahli yang mendalami ilmu agama. Kitab Terjemah
Fatal-Mubin fi Syar al-Arbain karya Muhammad ali ini layak dikaji oleh
tokoh-tokohatau mereka yang ingin mengetahui lebih dalam makna dan kaitan
sebuah hadis dengan hukum-hukum Islam.
Sebuah
catatanyang perlu disampaikan pula bahwa Muhammad ali tidak sepenuhnya
menjawikan kitab Fat al-Mubin karya Ibn hajar al-haitami, seperti yang ia sebut
dikuras terakhir. Tetapi pada beberapa bagian, khususnya bagian akhir naskah,
ia memasukkan beberapa bahasan dari kitab lain yang tidak disebutkan sumbernya.
Pada bagian ini, di beberapa tempat, penulis tidak konsisten dalam cara menulis
kankata-kata tertentu. Misalnya, ia menulis kata buruan, di beberapa tempat
menggunakan huruf waw setelah ba, tetapi pada beberapa tempat lain ia tidak
menggunakan huruf waw. Kemudian untuk menulis huruf c ia selalu
menggunakanhuruf jim sehingga menyulitkan pembaca untuk memahaminya.
Gambaran tentang
budaya saat itu abad ke-19 merupakan periode sejarah yang cukup penting dalam
perjuangan melawan penjajah di Nusantara. Sejak tahun-tahun awal abad ini rakyat
di wilayah ini seolah digerakkan untuk secara konfrontatif melawan penjajah
Belanda, hampir di seluruh kepulauan dan daerah. Gerakan Imam Bonjol dengan
kaum paderinya di Sumatera Barat dan gerakan Diponegoro di Jawa merupakan
bentuk perjuangan yang cukup penting, yang ditandai dengan perang terbuka
antara rakyat dengan Belanda dan orang-orang pribumi yang pro Belanda. Dari
perspektif keagamaan, gerakan-gerakan yang muncul di Nusantara pada abad ke-19
itu tidak dapat dikatakan sebagai perjuangan yang vis a vis antara rakyatdan kaum penjajah, tetapi juga sebagai
pertarungan antara kaum agama dengan kaum adat atau kraton. Perang Paderi di
Sumatera Barat, misalnya, pada awalnya dimulai dari konfrontasi antara kaum
paderi (Muslim) dengan ninik-mamak (kaum adat).
Demikian juga
diJawa, isolasi Diponegoro dari jajaran keraton Yogyakarta (karena tidak
dipilih sebagai Sultan) dapat disebut sebagai faktor penting dalam gerakan umat
Islamdi sana. Dengan demikian, front-front perjuangan di Nusantara sebagian
besar dapat dikategorikan sebagai front perjuangan umat Islam, sekaligus dapat
juga dipandang sebagai indikasi menguatnya gerakan umat Islam untuk mendapatkan
posisi penting dalam percaturan politik dan kekuasaan. Pada sisi lain, gerakan umat
Islam Nusantara abad ke-19 meluas ke aspek lain, terutama dalam bidang
keilmuan.
Penyebaran para penuntut
ilmu dari berbagai kepulauan Nusantara ke berbagai pusat-pusat pengetahuan
Islam, seperti Mekah, adalah bukti bahwa semangat untuk maju sudah mulai
menguat. Kegiatan ini dinilai sangat penting, tidak saja untuk kepentingan
peningkatan wawasan keislaman itu sendiri, melainkan juga untuk perluasan
jaringan antardaerah di Nusantara. Pertemuan para santri Nusantara di Haramain
tentu semakin memperkokoh hubungan antara satu sama lain, bukan saja antara
santri dari wilayah Indonesia melainkan juga meluas ke santri Melayulainnya
dari kepulauan lain, termasuk dari Malaya, Filipina, Thailand, dansebagainya.
Santri-santri inilah yang kemudian kembali ke Indonesia dan menjadi ulama di
daerahnya masing-masing. Banyak hal lain yang menarik mengenai percaturan
sosial, politik, dan keagamaan pada abad ke-19 di Indonesia. Satuhal penting
yang perlu dicatat di sini adalah kebijakan politik kaum penjajah yang
menghapuskan sistem kesultanan di beberapa daerah. Di Indonesia, seperti di Palembang
dan Aceh. Dalam sejarah pengembangan intelektualitas dan penyebaran Islam di
Nusantara, kesultanan ini memainkan peranan yang cukup strategis,sebagai pusat
penyebaran Islam dan pusat pengembangan wawasan keilmuan.
Pada masasebelum
kesultanan dihapus oleh Belanda, Kesultanan Palembang dan Aceh merupakan tempat
yang nyaman bagi ulama untuk menulis kitab, dan ini menjadi terhambat karena
kesultanan sudah dihapus. Dari sudut faham keagamaan, umat Islam Nusantara
sebenarnya banyak dipengaruhi oleh pemikiran sufistik,khususnya tasawuf falsafi
dan tarekat Syattariyah. Tasawuf falsafi berkembang di bagian utara Sumatera,
yang disponsori oleh ?Abd ar-Ra?uf Singkel, 'amzah Fan?uri, dan ar-Raniri.
Pemikiran-pemikiran mereka cukup cemerlang dan mencerahkan, tapi sayang tidak
dapat dicerna oleh masyarakat awam. Sedangkan tarekat Syattariyyah berkembang
di Sumatera bagian selatan dan Pulau Jawa.Corak keagamaan tarekat ini dipandang
kurang mendorong kemajuan. Di Jawa danjuga daerah-daerah lain di Nusantara
sering terjadi paduan antara ajaran agama dan nilai-nilai budaya lokal,
sehingga tidak jarang dikategorikan orang sebagai sinkretisme agama-budaya.
Saling melengkapi antara faham sufistik (tarekatSyattariyah) seperti yang
dipahami oleh penganutnya dan faham sinkretis serupa tidak menguntungkan, sebab
dapat memperkokoh keterbelakangan umat Islam. Faktorinilah kemudian yang
mendorong timbulnya pertarungan antara kaum pembaharu denganpenganut faham
tradisional. Penelusuran sejarah masa lalu menunjukkan bahwa ditanah Haramain
sendiri terdapat hal menarik, terutama corak dan arah perkembangan pemikiran
para santri dan ulama Nusantara di sana. Ternyata,sekalipun para santri
Nusantara belajar ilmu agama di Mekah dan sekitarnya, namun pada umumnya
guru-guru yang mengajar mereka adalah juga ulama yangberasal dari Nusantara.
Faktor ini menjadikan ulama ‘keluaran’ Haramain pada masa itu tetap konsisten
dengan mazhab Syafi?i dan teologi Asy’ariyah, dan tidak menjadi pengikut
Wahabiyah, sebagai faham keagamaan yang dominan di Saudi Arabia waktu itu.
Selain tidak
terpengaruh secara signifikan oleh faham Wahabiyah, santri-santri Jawi abad ke-19
di Haramain lebih menggandrungi corak pemikiran fiqh. Bahkan lebih dari itu,
corak tasawuf yang dikembangkan cenderung pada tasawuf amali, yaitu perpaduan
antara tarekat Sammaniyyah dan al-Khalwatiyyah. Pada komunitas inilah Mu?ammad
'ali', penerjemah Fat? al-Mubin, bergabung menjadi santri Syekh
Muhammadas-Sammani, pendiri tarekat ini. Alasan ini pula yang mendorong penerjemahan
Kitab Fat? al-Mubin ke dalam bahasan Melayu, sebagai usaha untuk memenuhi
kebutuhan para santri Jawi dan umat Islam Nusantara terhadap literatur fiqh.
Faktor inilah kemudian yang ikut mengubah corak faham keagamaan di
Nusantaradari tarekat fatalistik ke faham keagamaan bercorak fiqh dan tasawuf
amali.
Pokok-pokok Isi Naskah
Pada awalnya,
kitab Terjemah Fat al-Mubin fi Syar al-Arbain karya SyekhIbnu ?ajar al-?aitami
ini merupakan kumpulan hadis yang disertai syarah singkat berjudul al-Arba?in
Hadi? an-Nawawiyah fi al-A'ad' an-Nabawiyyah ma?a Syar'ihakarya Imam Nawawi.
Dengan demikian, secara substansial tidak ada perbedaan isikitab ini dengan
kitab Arba?in Imam Nawawi. Kitab al-Arba’in, sebagaimana dikemukakan Imam
Nawawi dalam kata pengantar kitab tersebut, adalah kumpulan hadis yang membahas
prinsip-prinsip Islam yang tidak terhingga nilainya,mencakup persoalan adab dan
hukum-hukum. Masing-masing hadis merupakan prinsip penting,yang menjadi fondasi
ajaran Islam. Sebagai karya lanjutan yang pada awalnya adalah sebuah kitab
hadis, Terjemah Fat’ al-Mubin termasuk kategori literatur Islam multiwajah.
Dari perspektif
penulisan sebuah karya keagamaan, di dalam kitab ini ditemukan berbagai hal yang
berhubungan dengan prinsip keagamaan. Pertama,
dari dasar penulisannya,kitab Fat’ al-Mubin memulai pembahasannya dari
hadis-hadis terpilih yangkemudian diberi syarah. Paling tidak, dalam kitab ini
terdapat 42 hadis pilihan yang ditempatkan sebagai dasar pokok pembahasan,
kemudian ditambah dengan beberapa hadis lain yang digunakan untuk memperkuat
syarah yang dikemukakan. Kedua,
dilihat dari keragaman hadis yang dikutip, kitab ini merepresentasikan sebuah
aspek kajian yang cukup luas. Dari sisi ini, kitab ini dapat dikategorikan
sebagai literatur umum, yang dalam sistem kategorisasi perpustakaan termasuk
kelompok kode 297.00. Ketiga, dilihat
dari kuantitas pembahasan dalam syarah yang dikemukakan, pembicaraan tentang
fiqh termasuk pokok bahasan yang paling besar jumlahnya dibanding dengan
pembicaraan mengenai aspek lainnya. Karena luas dan dalamnya pembahasan fiqh,
seolah-olah kitab ini adalahsebuah kitab fiqh. Hal ini semakin diperkuat lagi
dengan beberapa pembahasan tentang fiqh, sebagai catatan tambahan yang dimuat
pada bagian-bagian akhirkitab ini. Dengan demikian, kitab Fat? al-Mubin dapat
disebut sebagai literatur keislaman yang memuat banyak hal tentang ajaran
agama, dengan konsentrasi khusus pada fiqh Islam.
Hadis-hadis yang
dikutip dalam kitab ini sangat beragam. Sepertinya, hadis-hadis tersebut dirujuk
dan dikumpulkan dari berbagai kitab hadis. Terdapat 42 hadis yang dikutip
sebagai dasar pembahasan dalam kitab ini, di antaranya: amal harus dengan niat,
iman, islam dan ihsan. Dari syarah yang dikemukakan, tampak jelas bahwa
kecenderungan penulis buku ini lebih kuat pada persoalan fiqh. Sebab, isikitab
setebal 28 kuras tersebut, hampir 20 kuras membicarakan tentang fiqh,sedangkan
selebihnya membahas tentang akidah dan akhlak. Sebagai contoh, uraianhadis
pertama hingga ketiga, boleh dikatakan sangat lengkap untuk sebuah pengkajian
tetang rukun Islam. Hal-hal yang dibahas di sini mulai daripersoalan niat,
taharah, salat fardu dan sunat, puasa, zakat, dan haji. Bahkan pada bagian
akhir kitab ini sengaja dibuat penambahan di luar syarah dari 42 hadis yang
dikutip. Uraiannya meliputi pembahasan tentang hukum binatang buruan,
sembelihan, kurban, akikah, khitan, dan hukum makanan. Hal inimerupakan
petunjuk bahwa penulis kitab ini adalah seorang ahli dalam bidangilmu fiqh.
Seperti kitab sumbernya, pembahasan dalam kitab Terjemah Fat?al-Mubin tidak
diurut secara sistematis. Hal ini dapat dimaklumi, karena agaknya penulis
sangat terikat dengan susunan hadis yang seolah-olah sudah given dari penyusun
pertamanya, Imam Nawawi.
Gambaran
isikitab yang tidak sistematis dapat dilihat dari:
1) pembahasan
tentang iman dan tauhid yang ditempatkan di dua tempat terpisah, yang diselingi
dengan persoalan fiqh yangdiuraikan sangat panjang;
2) pembahasan tentang fiqh tersebar di
berbagaitempat, dan dua pokok bahasan penting ditempatkan di dua bagian yang
terpisah;dan 3) pembahasan tentang akhlak juga ditempatkan secara tidak
teratur, karena sering diselingi dengan kajian tentang hukum fiqh. Dilihat dari
topik-topik bahasannya, kitab Terjemah Fat' al-Mubin mengungkap banyak hal.
Secara garis
besar, topik-topik bahasan dimaksud dapat dikemukakan di sini:
1. Pembahasan tentang iman atau tauhid.
Seperti sudah dikemukakan, pembahasan tentang iman ditulis dalam dua tempat
terpisah. Pada bagian pertama pembahasan ini merupakan penjabaran dari
Syahadatain sebagai urutan pertama rukun Islam yang disebut dalam hadis kedua.
Uraian tentang tauhid memuat pembahasan yang mendalam tentang sifat-sifat Allah
dan para rasul. Pembahasan ini dihimpun dalam satu rangkaian yang disebutnya
sebagai al-'Aqa'id al-Khamsun (lima puluhakidah). Pokok-pokok pembahasan ini
jelas merujuk pada faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah, perpaduan antara pemikiran
kalam Asy’ariyah dengan Maturidiyah. Limapuluh akidah yang dipaparkan itu
terdiri atas 20 sifat Allah yang wajib, 20 sifat Allah yang mustahil, satu
sifat Allah yang jaiz, empat sifat rasul yang wajib, empat sifat rasul yang
mustahil, dan satu sifat rasul yang jaiz. Pada bagian kedua pembahasan tentang
iman difokuskan pada lima rukun iman lainnya,yaitu iman kepada malaikat, rasul
dan nabi, kitab Allah, hari akhirat, dantakdir. Tampaknya uraian tentang kelima
hal ini cukup mendasar dan sangat layak dibaca oleh para pelajar pemula. Lebih
dari itu, seperti halnya corak pemikiran Asy?ariyah, materi-materi yang
dikedepankan di sini lebih banyak mereproduksi kembali pemikiran ulama
ortodoks. Hampir tidak ditemukan uraian yang mempertemukan antara pemikiran
rasional dan atau teoretis dengan teks-teks Qur’an dan Sunnah.
Ungkapan-ungkapan mengenai akhirat, misalnya, pada kitab ini telah cukup
berhasil mendramatisasi gambaran alam akhirat yang sangat menyeramkan,dengan
suasana huru-haranya yang mengerikan. Pada sisi lain, dalam kitab ini
pembahasan tentang ihsan dipadukan dengan pembahasan tentang iman.
Menurutpenulis kitab ini, ihsan termasuk kajian dari iman, karena berhubungan
dengan keikhlasan. Ikhlas sebagai wujud ihsan, menurut kitab ini, sangat erat
kaitannya dengan iman.
2. Pembahasan
tentang fiqh. Pembahasan mengenai fiqh ditulis secara panjang lebar
dalam kitab ini. Syarah terhadap hadis yang berkenaan dengan salat, puasa,
zakat, dan haji mendominasi isi kitabini, sehingga tampak tidak seimbang dengan
syarah terhadap hadis lainnya. Pembahasannya yang cukup luas dan dalam memberi
kesan seolah-olah kitabTerjemah Fat’ al-Mubin adalah sebuah kitab fiqh. Sebagai
kitab yang ditulisoleh seorang pengikut faham Ahlus Sunnah wal Jama'ah,
pendapat-pendapat hukumyang diturunkan merujuk pada mazhab Syafi’i. Hal ini
terlihat dariaturan-aturan dan tata cara ibadah yang dipaparkan, seperti
taharah dan salat.Hampir seluruhnya mengikuti pemikiran hukum Syafi’iyah. Lebih
spesifik lagi,isi kitab ini cenderung monolitik, tidak memberi ruang
perbandingan atau pengungkapan perbedaan pendapat. Hal ini memberi kesan, kitab
Terjemah Fat’al-Mubin dipersiapkan untuk pembaca Syafi?iyah murni. Hal yang
mungkin menarik perhatian, dilihat dari fungsi kitab Fat’ al-Mubin sebagai
kitab syarah hadis,adalah munculnya pembahasan tentang binatang buruan,
sembelihan, kurban,akikah, khitan, dan hukum makanan dan minuman. Topik-topik
ini tidak jelas apakah merupakan hasil karya Ibnu ‘ajar al-?aitami (penulis
kitab Fat?’ al-Mubin) atau merupakan gagasan dari penerjemahnya (Mu’ammad
‘ali’). Hal yang pasti adalah topik-topik tersebut sama sekali tidak terkait
dengan salah satu dari 42 hadis yang disyarah. Tentu kesan yang muncul tidak
lain bahwa Terjemah Fat’ al-Mubin memang lebih mengutamakan persoalan fiqh
daripada bidang keislaman lainnya.
3. Pembahasan tentang bid’ah. Dalam
kitab initerdapat sedikit pembahasan tentang bid?ah, sebagai penjabaran hadis
ke-5. Pendapat tentang bid’ah dibahas penulis dalam rangka mengkritisi pendapat
danpraktik-praktik keagamaan para penganut faham tarekat. Menurut kitab
ini,terdapat beberapa faham dan praktik keagamaan di kalangan penganut tarekat
yang menyimpang dari ketentuan Islam. Beberapa hal yang dipandang bid?ah antara
lainadalah faham tarekat yang mengharamkan yang halal, puasa mutawaliyat (terus-menerus),
puasa pada hari tasyriq, salat sunat tiga rakaat pada nisfuSya’ban dengan
sejumlah bacaan, dan beberapa praktik ibadah lainnya.
4. Pembahasan tentang akhlak. Pembahasan
tentang akhlak merupakan syarah dari beberapa hadis yang dijadikan dasar
uraian. Uraian mengenai akhlak banyak dikaitkan dengan aspek keimanan dan hukum.
Dalam hal ini, akhlak dipandang sebagai dasar kesempurnaan iman, danselanjutnya
norma-norma akhlak diformalkan seperti halnya hukum fiqh. Pola pemikiran
semacam ini jelas mengindikasikan kuatnya pengaruh fiqh dalampenulisan kitab
ini. Hubungan Naskah dengan Budaya Saat ini Pada dasarnya penerjemahan Kitab
Fat’ al-Mubin bertujuan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam etnis Melayu
Nusantara yang sedang berusaha memperluas wawasan keislaman. Kitabini merupakan
prototipe dari seperangkat pemikiran yang berorientasi pada penegasan dan
penjelasan prinsip-prinsip keislaman yang sangat relevan dengan kondisi
pengetahuan umat Islam yang masih minim. Dilihat dari konsep-konsep dan ajaran
yang disampaikan, penulis kitab ini bermaksud untuk memberikan pengetahuan dasar
yang perlu dimiliki oleh umat Islam saat itu.
Saat ini tentu sudah sangat banyak ditemukan literatur dengan pembahasan
yang sama di Indonesia, baik dalam bahasa Arab maupun Indonesia. Itulah
sebabnya, Azyumardi Azra menyebut kitab dasarnya,al-‘adi’ al-Arba?in karya Imam
Nawawi, sebagai tulisan yang diperuntukkan bagi pembaca umum, bukan untuk ahli
yang mendalami ilmu agama. Namun demikian, kitabini memperlihatkan suatu hal
penting yang masih memiliki relevansi denganperkembangan budaya umat Islam saat
ini. Paling tidak, pola penyajian kitabterjemah Fat’ al-Mubin yang sangat
menekankan keyakinan tentang akhirat danajaran-ajaran akhlak dipandang sebagai
counter terhadap kecenderungan hidup materialistik-hedonistik dan destruktif
yang dilihatkan banyak orang saat ini. Penilaian sejumlah ilmuwan dan aktivis
Muslim fundamentalis bahwa kerusakan moral dan kedangkalan akidah sebagian umat
Islam saat ini berkaitan dengan corak pemahaman agama yang bersifat rasional,
pada satu sisi, agaknya dapat diterima. Untuk itu, pola penjelasan tentang peristiwa-peristiwa
akhirat secara dramatis dan penegasan masalah akhlak yang dikaitkan dengan
persoalan hukum dapat dipandang sebagai alternatif pemahaman keagamaan yang
perlu dihidupkan kembali saat ini.
Kesimpulan
Dari paparan yang
sudah disampaikan, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1 Naskah-naskah Islam klasik banyak
ditemukandi Sumatera Utara, baik yang sudah ada dalam katalog perpustakaan dan
museum, maupun yang belum. Bahkan menurut perkiraan, masih banyak naskah Islam
klasik yang belum ditemukan, yang disimpan oleh perorangan atau lembaga
pendidikan.
2. Topik-topik bahasan kitab Terjemah
Fat’al-Mubin mencakup pembahasan tentang iman atau tauhid, fiqh, bid’ah, dan akhlak.
3. Kitab Terjemah Fat’ al-Mubin tidak dapat dikategorikan
sebagai terjemahan murni dari kitab tersebut, karena penerjemah sendiri
menambahkan beberapa topik bahasan di luar konteks pada halaman-halaman bagian
akhir.
Rekomendasi
Mengingatpentingnya
pengumpulan, pemeliharaan dan penggalian manuskrip-manuskrip Islamklasik,
paling tidak ada dua rekomendasi yang perlu dilaksanakan dalam waktudekat:
1. Perlu pengkajian lebih banyak dan mendalam
terhadap naskah-naskah peninggalan ulama masa lalu. Hal ini amat diperlukan,
karena ternyata banyak pengetahuan Islam yang tersimpan dalam manuskrip klasik
yang belum tergali dan terpublikasikan dengan baik. Paling tidak amatdiperlukan
usaha-usaha penyuntingan (ta'qiq) terhadap naskah-naskah Islamklasik agar lebih
banyak diketahui oleh para penggali dan pengembang (mubalig) ilmu pengetahuan
keislaman.
2. Perlu dibentuk lembaga pengkajian
naskah-naskah klasik secara nasional dan mempunyai cabang-cabang di pusat-pusat
islamisasi periode awal, seperti di Aceh dan Sumatera Utara. Melalui lembaga
khusus ini diharapkan muncul kegiatan pengumpulan, pemeliharaan, dan penggalian
khazanah Islam klasik secara lebih intensif.
~0~
(Dikutipdari www.depag.web.id
* Daftar Pustaka Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama TimurTengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Penerbit Mizan,1994. Farhud, Mu?ammad
as-Su?ud. al-Hadiyyah as-Sa?diyyah Syar? al-Arba?inan-Nawawiyyah, Juz I. Hijaj:
Mahabah Hijaji A?mad ?Abd al-La?if Zahran, 1972.Gibb, H.A.R. and J.H. Kramees
(Eds.), Shorter Encyclopaedia of Islam, Leiden:E.J. Brill, 1961).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar