Minggu, 19 Oktober 2014

Marga dan Adat Mandailing






Tulisan yang menarik bung Edi dan memang layak dilakukan pengkajian lebih lanjut. Karena Bung Edi menyatakan tulisan ini adalah semacam pengantar untuk diskusi, saya juga tertarik untuk mendiskusikannya. Saya menuliskannya dengan membuat sub-sub bahasan sehingga lebih fokus.

A. Problema Ketidakpopuleran Marga”

Menurut hemat saya ada beberapa hal yang menjadikan “marga” tidak terlalu popular dalam menyebutkan identitas seseorang bersuku Mandailing. Pertama adalah alasan pragmatis, atau katakanlah alasan keselamatan hidup. Ada beberapa contoh yang layak dikemukanan untuk mendukung alasan pertama ini. Pengalaman pribadi saya dan teman-teman saya waktu selesai pendidikan dasar dahulu, orang tua kita begitu ngotot untuk menuliskan marga di akhir nama kita pada ijazah, namun sang kepala sekolah masa itu menyatakan bahwa marga itu bisa menghambat si anak berkarir di masa depan karena birokrasi dan politik sepenuhnya dikuasai oleh warga Jawa dan penulisan marga itu dapat menghambat si anak untuk berkarir di masa depan. Hal yang sama berlaku bagi mayoritas atau hampir dikatakan 99% orang Mandailing yang tinggal di Malaysia, seperti dicontohkan bang Edi. Informasi yang saya dapat dari kerabat yang bermukim di sana alasannya juga pragmatis yakni untuk dapat menjadi bagian dari Masyarakat Malaysia dan menghilangkan stigma dikotomis “penduduk tempatan” dan “ pendatang. Jika kelak memang menjadi “penduduk” tempatan, akan memudahkan akses ke semua fasilitas dan identitas nama yang diikuti marga akan mempersulit pencapaian status itu.

Alasan kedua, massifnya pengaruh Islam di Mandailing yang hampir saja menghapus budaya lokal khususnya tentang bentuk “upa-upa” dan “uning-uningan”. Saking massivenya pengaruh Islam ini, banyak tokoh Mandailing yang mengganti marganya dengan “marga” baru yakni Al-mandili, meniru konteks penamaan suku-suku Arab yang melekatkan asal kampung halaman di belakang namanya semisal: Ali Akram Al-Baghdati. Banyak ulama asal Mandailing dan punya marga asal menghilangkan marga aslinya dan menggantinya dengan “margaAl-Mandili. Hal yang aneh menurut saya, teman sebaya yang baru pulang studi dari Timur Tengah mengganti namanya “sebut saja” Ahmad Hamid Lubis menjadi “Ahmad Hamid Al-Mandili”. Apakah dengan mengganti “marga” ini kelak akan mendapat kemudahan di alam sana, saya juga tidak tahu. Tambahan lagi, massifnya pengaruh Paderi di Mandailing dan dalam banyak referensi dikatakan bahwa penyebaran agama Islam oleh Paderi banyak juga dilakukan dengan kekerasan sehingga ada phobia masyarakat tempatan untuk menghilangkan semua identitas “marga” sehingga gelar adat pun ada yang berubah dari awalan “Ja” menjadi “Sutan” atau “Lobe”. Kembali marga dihilangkan dalam budaya Mandailing.

Alasan ketiga, dikotomi Mandailing adalah Batak dan Mandailing bukanlah Batak. Ini adalah fakta bahwa masyarakat luar khususnya orang yang berasal dari luar Sumatera Utara selalu mengasosiasikan marga dengan preferensi agama. Jika nama kita sedikit tidak Islami, katakanalah semisal Panorangi Lubis akan dianggap sebagai seorang Kristen. Alhasil, untuk memupus stigma itu banyak orang Mandailing yang tidak mau menampilkan “marga”nya demi menghapus stigma itu. Bagi saya hal semacam ini merupakan pengejewantahan rasa rendah diri dan hilangnya kepercayaan diri terhadap identitas kesuku-bangsaan. Saya memang tidak terlibat aktif dalam diskusi apakah Mandailing golongan Batak atau Bukan Batak. Jika melihat konteks Batak yang hampir menyamaratakan sub etnis yang ada, saya tentunya tidak sepaham. Akan tetapi jika Mandailing dianggap satu rumpun dengan sub etnis Angkola dan Toba saya sangat setuju. Kenapa saya setuju?, karena berdasarkan penelusuran saya melalui pembicaraan adat, rumpun bahasa dan sintaksisnya serta konteks “culture universalism”nye toh sama. Kalaupun berbeda, hanyalah masalah “pure” atau tidaknya pelaksanaan adat atau penggunaan bahasa. Dalam kesempatan lain saya akan menuliskan pemikiran saya, kenapa saya justifikasi bahwa Angkola, Toba dan Mandailing adalah sama.

B. Plus Minus Pemberian Gelar Adat
Dalam budaya Mandailing sebagaimana dituliskan Bung Edi, seorang lelaki yang sudah menikah kelak akan diberikan gelar atau “goar matobang” yang biasanya diawali dengan bunyi “Dja/Ja” atau pasca pengaruh Paderi ada yang berubah dari “Dja/Ja” menjadi Lobe atau Sutan. Sehingga, gelar semisal Jasingkoru, Jamangambat, Lobe Makruf, Sutan Mangoloi adalah beberapa nama adat yang pernah kita dengar di Mandailing. Nama baru itu bolehlah menjadi nama pengganti sebagaimana sering disebut sebagai “goar sipioon dongan sabayana”. Bagaimana halnya dengan mempelai perempuan? Apakah ia akan mendapat nama baru juga? Konon dalam masyarakat oligarki tradisional Mandailing, mempelai perempuan tetap diberi marga semisal “Tetaan Bulan”, “Las Ni ari” dan sebagainya. Namun, dalam konteks masyarakat Mandailing kekinian (kontemporer) sangat jarang diberikan nama untuk mempelai perempuan tersebut sehingga, dalam pandangan saya, penyebutan marga menjadi boru kembali menjadi relevan semisal panggilan “Nantulang Boru Pulungan nangon Tabargot” atau “Si Boru Matondang sian Muara Mais”.

Ada memang kesalahan kafrah dalam penggunaan bahasa di Mandailing yang kadang memang menggelikan. Tidak sedikit orang Mandailing yang menggunakan terminologi “marga” untuk menyebut “boru” semisal ungkapan: “Ahado margamu maen?”, “Marga ahado amu Inang”?. Seharusnya terminologi yang digunakan adalah boru sehingga kalimat itu akan menjadi: “Boru Ahado amu maen?”, “Boru ahado amu Inang”?. Ini tentunya sejalan dengan “hobar adat” yang menyebutkan kata “boru” untuk perempuan. Di lain hal, Bang Edi sebagai contoh menggunakan terminologi “marbagas” untuk menyatakan seorang laki-laki melangsungkan pernikahan. Kata ini tidak tepat melainkan seharusnya: “mambuat boru” atau “mangoban boru” dan terminologi “marbagas” tepatnya digunakan untuk menyebutkan seorang perempuan yang melangsungkan pernikahan.
Gelar adat itu adalah nama atau gelar dari kakek kita dari garis keturunan ayah. Atau dapat saja dari nama kakak-adik kandung sang kakek . Tentunya referensi nama ini tidak banyak. Jika misalnya kakek kita dan saudara laki-lakinya ada 4 orang sementara cucu laki-laki yang lahir dari keturunan itu adalah 30 orang tentunya akan sulit mencari nama tambahan yang akhirnya akan ada “goar matobang” yang sama atau senama di kampung tersebut. Akan lebih susah membedakannya lagi antara “Si Jabelok I, Jabelok II dan sebagainya. Biasanya akan dicari nama baru yang agak mirip misalnya dari harusnya “Jamangambat”, karena sudah dipakai nama itu maka akan diganti dengan “Jamangolat”. Tentunya purifikasi-nya akan kembali dipertanyakan. 

Saya dalam pemikiran, gelar adat itu tetap dipakai dan dapat berjalan paralel dengan identitas marga. Sama-sama kita proteksi tentunya sebagian dari “people indigenous ”nya Mandailing ini.


C. Usulan Konteks Dalihan Natolu Pengganti Identitas
Dalam tulisannya Bung Edi menyatakan bahwa “marga” bukanlah adat Mandailing. Bung Edi menyiratkan lebih jauh kenapa ada marga sekian lama di Mandailing. Beliau menyampaikan ada 3 (tiga) kemungkinan yaitu :(1) adat atau budaya "marga" itu dibawa orang ke Mandailing, tapi tidak diketahui secara pasti siapa yang membawanya, (2) "marga" itu di Mandailing kurang lebih seperti adanya "paksaan' dari sekelompok orang pendatang. Budaya "marga" diterapkan dengan alasan akan mudah mengatur dan membina orang-orang Mandailing setelah punya "marga" dan (3) ada suatu "rekayasa" untuk kepentingan tertentu, kita tidak tahu. Atas alasan itu, Bung Edi selanjutnya menawarkan konsep Dali(h)an Natolu sebagai identitas yang lebih tepat bagi orang Mandailing.
Konteks “dalihan natolu” merupakan identitas lain yang dapat sejalan paralel dengan “marga”. Hal yang sama berlaku bagi suku Batak Toba dimana konteks “dalihan natolu” dan identitas yang mengikutinya bisa berjalan paralel dengan marga, malah sangat erat dan berhubungan satu sama lain. Konsep dalihan natolu yang ada pada masyarakat Toba pada dasarnya sama dengan konsep dalihan natolu yang ada dalam masyarakat Mandailing. Dalihan natolu dalam konteks Batak Toba juga dikenal yakni: hula-hula (tulang), (boru) dan dongan tubu (semarga). Dalam budaya Mandailing “dalihan natolu” ini menjadi: “mora”, “anakboru” dan “kahanggi”. Esensinya sama, komponen pertama: ”tulang” itu sama dengan barisan ”mora”, “anakboru” itu adalah barisan suami dari anak perempuan dan “kahanggi” itu sama dengan “dongan tubu” atau teman semarga. Dalam pembicaraan adat Mandailing tidak jarang kita dengar penyebutan istilah: “boru ni parhulaanna” atau istilah lain dengan “dongan saparhulanna”. Jika melihat konteks “dalihan natolu” yang ada di Mandailing dan yang ada pada masyarakat Toba sebenarnya sama dan kesemuanya adalah bagian dari penyebutan identitas dalam sistem kekerabatan
Bagi saya, “marga” tetaplah menjadi identitas bagi orang Mandailing karena marga ini mengikuti geneologis atau sejarah kelahiran seseorang, terkecuali ada beberapa orang yang “menjadi” orang Mandailing dengan “manopot” marga ke wilayah Mandailing. Fenomena ini banyak terjadi sehingga “marga” yang melekat dengan identitas atau nama seseorang tidak serta merta mereka memiliki hubungan geneologis dengan leluhur orang Mandailing. Konteks “dalihan natolu” merupakan identitas lain yang dapat sejalan paralel dengan marga tersebut.
Kemudian, marga di Mandailing tidak banyak seperti halnya marga yang ada di wilayah Toba. Dalam banyak referensi, marga yang dikategorikan sebagai marga Mandailing tidak lebih dari 10 marga yakni: Nasution, Lubis, Matondang, Pulungan, Rangkuti, Batubara, Mardia, Tangga Ambeng. Itupun belum termasuk klaim yang menyatakan bahwa marga Lubis dan Batubara konon katanya juga berasal dari Toba. Terkhusus marga Lubis, dalam mitos si Langkitang dan si Baitang tidak pernah ada disebutkan sejak kapan si Langkitang dan si Baitang ini bermarga Lubis apakah karena ayahnya sudah bernama Si Lubis sehingga otomatis si Langkitang dan Si Baitang ini menjadi Lubis. Jika coba kita bandingkan dengan masyarakat batak toba, saya pernah mencacah jumlah marga yang ada di sana, dan paling tidak ada 200 marga. Untuk gampang mencacahnya kita mulai saja dengan penyebutan marga dengan awalan “Si” semisal “Simbolon”, awalan “Huta” seperti “Hutasoit”, awalan “Lumban” semisal “Lumban Toruan” awalan “Na” semisal “Naibaho”, awalan “Pa” semisal “Pasaribu” dan lain-lain dengan awalan sembarang semacam “Ambarita, Manalu dsb.

Dalam konteks minimnya marga yang ada di Mandailing sangat tidak relevan memang untuk menjadikan marga sebagai perekat identitas bagi seseorang apalagi dalam komunitas yang sangat kecil. Desa Sibanggor Tonga di Puncak Sorik Marapi sebagai contoh, hampir 100% kepala keluarga di sana bermarga Nasution, dan sangat tidak cocok memang memanggil si Polan dengan sebutan Nasution. Konsep dalihan natolu kembali relevan dalam masyarakat kecil seperti ini, sehingga tidak aneh bagi saya jika antar warga semarga saling memanggil Tulang-Bere atau Bouk-Amangboru. Pembenarannya bagi mereka adalah bahwa Nasution itu sendiri bukan hanya satu ompung, tentu..heheh, namun mereka bilang bahwa ada “Nasution Maga, “ Nasution Panyabungan”, “Nasution Raja”, “Nasution Simaninggir” atau bahkan “Nasution Joring”. Dikuatkan lagi paska hadirnya Islam di wilayah ini yang membolehkan kawin semarga. Harap kita ingat bersama bahwa salah satu raja di wilayah ini yang tewas saat meletusnya gunung Sorik Marapi sekitar tahun 1890-an masih belum beragama Islam. Raja itu bernama Raja Marpayung Aji Nasution.
Marga” kembali relevan dalam masyarakat Mandailing jika melangsungkan perkawinan dengan warga desa lain yang berlainan marga semisal seorang warga bermarga Nasution dari Sibanggor akan menikah dengan boru Pulungan dari Hutabargot. Si laki-laki bermarga nasution ini akan mencari rumah warga Nasution di desa Hutabargot. Kelak diapun akan memanggil Tulang, Ipar bagi warga yang bermarga Pulungan di sana. Jika ibu kandung si lelaki marga Nasution ini adalah Batubara maka dia pun akan memanggil Tulang atau Ipar bagi warga bermarga Batubara. Tutur sapa akan rancu jika ibu si lelaki ini yang mau menikah ini juga bermarga Nasution. Dia akan bingung akan memanggil siapa terhadap warga yang bermarga Nasution di Hutabargot. Tulang atau Uda tentunya, dan barangkali akan ditanya lagi Nasution golongan mana warga Hutabargot itu. Inilah salah satu kelemahan kawin semarga dalam budaya Mandailing.
Jika orang Mandailing pergi ke suatu desa dalam wilayah Mandailing untuk pertama kalinya, tentunya bukan komponen “dalihan natolu” sebagai “entri point”nya melainkan “marga” terlebih dahulu. Harap kita ingat juga bahwa institusi “dalihan natolu” akan muncul setelah perkawinan dan jadilah dia institusi “dalihan natolu” yang baru. Kecuali ada hubungan perkawinan kerabat sebelumnya atau dalam istilah adat dikatakan misalnya dengan “mora sapanjang ngolu”. Perkawinan paman, abang atau sudara kita lainnya menjadikan kita sebagai bagian dari komponen “dalihan natolu” . Kembali ke pembahasan tadi, jika ada kebetulan marga yang sama dengan seseorang yang berkunjung ke desa itu, diapun akan menyesuaikan tutur sapanya dengan setiap orang yang bertemu. Jika tidak ada teman semarga maka dia akan mencari marga serumpun semisal “Batubata” akan sama dengan “Matondang”, “Rangkuti” akan sama dengan “Mardia” dan sebagainya. Intinya bahwa “marga” tetap menjadi identitas yang melekat dalam budaya Mandailing dan tiga asumsi Bung Edi di atas layak diperbincangkan. Semoga tulisan ini bermanfaat. Amin.
Wassalam



~o0o~