"MASALAH MARGA DALAM BUDAYA MASYARAKAT MANDAILING"
Oleh: Edi Nasution
MENGAPA sampai menjadi pemikiran kita masalah eksistensi "MARGA" di Mandailing? Itu terjadi karena cukup banyak orang Mandailing yang tidak menuliskan "nama Marga" di belakang namanya. Apa alasannya? Namun, alasannya itu sampai sekarang belum jelas bagiku. Sahingga akhirnya aku (penulis) bertanya kepada salah seorang teman (orang Mandailing tetapi berdomisili di negara tetangga). Dalam hal ini, iapun tidak memberi penjelasan yang mendalam, ia hanya memberi informasi bahwa di negaranya pun, lebih dari setengah orang Mandailing tidak membuat "nama marga" (seperti Nasution, Lubis, Rangkuti, Parinduri, Daulae, Batubara, dan sebagainya) di belakang nama mereka. Kurang lebih sama kecenderungannya di Indonesia. Dengan demikian, tentu saja kita patut bertanya dalam hati (dan berpikir-pikir): apakah sebabnya ?
Secara lisan dahulu sudah pernah diterangan bahwa, kalau seorang lelaki kawin (disebut "marbagas" atau :maringnan") di Mandailing akan diberi oleh kaum-kerbatnya gelar tertentu, yang disebut "goar harajaon" atau "goar matobang" dari nama kakek (disebut "ompung") kita sendiri, tetapi nama kakek kita itu tidak ada marga-nya, dimana nama itu harus dipakainya sebagai namanya setelah ia resmi kawin dengan terselengggaranya upacara adat (pesta) perkawinan. Nama gelar yang diberikan itu biasanya spesifik setiap marga, misalnya seperi "Jasinaloan", "Jagunung", "Japarlaungan", "Japarlagutan", dan sebagainya yang harus dipakainya sampai ajalnya. Namun, sering terjadi bahwa nama yang diberikan pada pesta perkawinan itu tidak dipakai secara formal seperti dalam pelaksanaan upacara adat atau ritus (diseut "orja", yang bersifat suka-cita dinamakan "siriaon" dan yang bersifat duka-cita dinamakan "siluluton"). Hal seperti ini nampaknya tidak menjadi persoalan penting bagi orang Mandailing, sehingga ttidak pernah timbul masalah dengan adanya kejadian seperti itu.
Tapi bila ditinjau dari sisi lain misalnya, sehingga ada pemikiran lain sehubungan dengan itu. Misalnya, timbul dugaan kuat dalam pikiran bahwa "marga" itu ditengarai sebenarnya bukan adat atau budaya asli orang Mandailing. Setelah terlaksana upacara adat perkawinan, jarang sekali "goar harajaon" itu digunakan secara formal misalnya sewaktu upacara adat atau ritus dilaksanakan. Banyak contoh lainnya, seperti kawan-kawan sebaya berbuat begitu, termasuk saudara-saudara sekampung yang berpendidikan tinggi dan orang-orang yang cukup banyak mengetahui adat-istiadat/budaya Mandailing. Rupanya yang mereka pakai terus-menerus adalah "goar ni daganak" (nama anak-anak).
Kalau pengamatanku dari satu sisi, ada kemungkinannya "marga" di Mandailing itu bukan sebenarnya adat atau "budaya asli" orang Mandailing, karena "marga" ini tampaknya cenderung tidak serasi atau harmonis dengan unsur-unsur budaya Mandailing lainnya secara totalitas, dimana dalam hal ini adat sebagai satu sistem budaya umumnya tidak terpisahkan satu sama lain (terintegrasi). Misalnya, coba kita lihat adat atau budaya orang Mandailing terkait sistim mata pencaharian hidup seperti "marsaba" (bersawah). Dalam bercocok tanam di sawah ini ada adat mereka yang dinamakan "marsialap ari" (bergantian mengerjakan sawah orang lain secara bergotong-royong). Dalam tradisi "marsialap ari" ini sebenarnya bisa dilaksanakan bukan karena faktor penentunya adalah "marga", melainkan karena mereka bertempat tinggal di satu tempat pemukiman yang sama seperti "banjar" (di Mandailing ada 4 tempat pemukiman penduduk mulai yang terkecil adalah "banjar", lebih besar dari "banjar" adalah "pagaran", lebih besar dari "pagaran" adalah "lumban", dan terakhir adalah "huta" atau "banua"). Penduduk yang satu "banjar" itu "markoum-koum" (adanya kekerabatan karena hubungan perkawinan) dan banyak pula marga yang berbeda di satu tempat pemukiman ("banjar") mereka, tidak hanya di huni oleh satu "marga" saja. Tradisi "marsialap ari" tidak bisa dilaksanakan kalau hanya oleh sekelompok orang yang se-"marga" saja di suatu tempat pemukiman, sebab kalau pekerjaan yang se-"marga" dikerjakan oleh orang-orang yang disebut "sabagas", saompung", dan yang "sakahanggi" ("sisolkot"). Tepatnya, karena kekerabatan berdasarkan hubungann perkawinan itulah (bukan hubungan darah "samarga"), sehingga tradisi "marsialap ari" itu terlaksana yaitu karena mereka yang satu tempat pemukiman("sabanjar') itu "markoum-koum", bukan karena "marsisolkot".
Begitu juga dalam hal "margondang" atau pun "manotor" tidak ada kaitannya yang jelas dengan "marga". Tampak jelas bahwa berdasarkan nama-nama repertoar (komposisi musik) dari "tortor", "gondang", dan "gordang". Misalnya "tortor naposo nauli bulung", "tortor namorapule", "tortor namora-mora", "tortor anak boru", "tortor suhut", dan sebagainya tampaknya berhubungan erat dengan status sosial (sistem kekerabatan, bukan "marga"). Buktinya tidak ada "tortor nasution". "tortor lubis", "tortor matondang", dan sejenisnya. Sekalipun ada yang mengatakan bahwa 'marga' itu penting sekali sebagai "identias", namun justru dari bukti yang paling teruji yaitu "saro" (bahasa), "bahasa menunjukkan bangsa" dimana bahasa sebagai identitas suku-bangsa, bukan "marga". Sedangkan budaya musik pun seperi "gordang sambilan" bisa dijadikan "identitas bila diperlukan. Huta Godang sebagai satu tempat pemukiman di Mandailing Julu menjadikan buah sebagai identias mereka yaitu "kantang" (kentang), dan Maga dengan "unte manis" (jeruk manis"). Kembali ke masalah seni-budaya, paling sewaktu "panjeir" (penyanyi jeir) menyebutkan anak-anak gadis ber-marga Lubis itu manis-manis sekali, atau anak-anak-gadis ber-marga Nasution yang sedang "manortor" itu cantik-cantik sekali dalam lirik-lirik nyanyiannya, Jadi, itulah sebabnya mengapa dapat dikatakan bahwa "marga" itu bukan "budaya asli" orang Mandailing, sekalipun "marga" itu telah beratus-ratus tahun eksis di Mandailing.
Selain itu, budaya musik seperti "gordang sambilan" juga dapat dijadikan sebagai "identitas" (Mandailing) kalau sangat dibutuhkan, sementara tempat pemukiman Huta Godang di Mandailing Julu menjadikan buah kentang sebagai identitas mereka, dan Maga dengan jeruk manis. Kembali ke seni-budaya, paling sewaktu penyanyi tradisional "jeir" ("panjeir") bernyanyi seiring dengan "tortor" menyebutkan dalam lirik-lirik llagunya bahwa anak-anak gadis ber-marga Lubis itu semua manis-manis, dan anak--anak gadis yang ber-marga Nasuttion itu cantik-cantil. Jadi itullah sebabnya sehingga dapat dikatakan bahwa "marga" itu bukan budat asli kelompok etnis Mandailing, sekalipun "marga" telah eksis beratus-ratus tahun di Mandailing.
Penulis dari kecil hingga tamat sekolak lanjutan atas (SMA 108) hidup di Kotanopan (Mandailing Julu). Setelah tamat SMA 108 Kotanopan, bermasyarakat di kota Medan karena kuliah di Fakultas Sastra Universitas Suatera Utara (USU) khususnya di program studi Etnomusikologi, dan setelah kawin dengan wanita Jawa Timur, kemudian bermasyarakat di Jakarta dengan banyak orang Mandailing. Sebetulnya, cukup banyak pekerjaan yang erat kaitannya dengan adat Mandailing baik di kampung halaman, di Medan, maupun di Jakarta. Namun sayangnya tidak sepenuhnya bisa dikerjakan dengan baik karena seringkali ada "masalah" dengan persoalan "marga", sehingga seringkali teman-teman berkata dalam bahasa Mandailing: “Angkentong … patunda ni alak na sian ahaan dei…, kasidunggan nga tarpature be denggan karejontaon !” Kira seperti nitu sajalah yang terjadi yang erat kaitannya dengan masalah-masalah "marga". Dari itu semua kembali kukatakan bahwa "marga" itu bukan budaya asli orang Mandailing. Justru dari satu sisi, "marga" itu adalah salah satu faktor yang menghambat kemajuan masyarakat Mandailing itu sendiri, Betulkah ? Untuk itulah sangat perlu kita diskusikan soal marga ini!
Jadi kalau "marga" bukan budaya asli orang Mandailing, kenapa "marga" sudah ada di Mandailing hingga beberapa generasi (berratus-ratus tahun) ? Hal itu terjadi mungkin karena beberapa hal.
Pertama, adat atau budaya "marga" itu dibawa orang ke Mandailing, tapi tidak diketahui secara pasti siapa yang membawanya. Tradisi "marga" itu kemungkinan asalnya dari suku atau bangsa asing. Jadi kayaknya "marga" ketika itu kira-kira seperti "model yang lagi trend". Karena ada suku lain yang telah ber-marga-marga, yang cukup hebat pula mereka lihat orang-orangnya, sehingga mereka (orang Mandailing) pun ingin punya "marga" pula agar serupa dengan suku-suku lain yang telah ber-marga. Padahal sebetulnya kalau mereka cukup jeli, sebenarnya "marga" itu kurang cocok (harmonis) benar dengan adat atau budaya mereka yang sudah ada kian (sebagai suatu sistem yang sifatnya sudah terintegrasi secara utuh). Namun karena mereka sudah memandang suku-suku yang memakai "marga" itu hebat sekali, sehingga mereka pun kepingin sekali punya "marga".
Kedua, adanya "marga" itu di Mandailing kurang lebih seperti adanya "paksaan' dari sekelompok orang pendatang. Budaya "marga" diterapkan dengan alasan akan mudah mengatur dan membina orang-orang Mandailing setelah punya "marga". Karena sepengetahuan mereka, jika "marga" telah diterapkan maka akan lebih mudah mengatur dan mengarahkan orang-orang Mandailing karena sifatnya agak "keras". Begitulah ilmu pengetahuan mereka para pendatang itu, apabila "marga" sudah diterapkan pada masyarakat Mandailing, keyajinan mereka, akan menjadi lebih mudah mengatur dan memajukan orang Mandailing. Padahal, mereka juga sebenarnya belum banyak pengetahuan tentang budaya "marga", apakah "marga" itu serasi (harmonis) benar dengan unsur-unsur budaya orang Mandailing atau sebaliknya tidak, mereka sebenarnya tidak tahu persis. Bagaimanlah, mereka sendiri pun sebenarnya baru belajar adat (budaya) di negerinya sendiri, dan baru pula mempelajari budaya suku-suku lain. Jelasnya, mungkin saja mereka pun sebenarnya ridak paham betul "seluk-beluk" adat atau budaya suku-suku yang mereka kunjungi, termasuk suku Mandailing.
Ketiga, mungkin ada suatu "rekayasa" untuk kepentingan tertentu, kita tidak tahu. Mungkin masih banyak lagi kepentingan lain, namun sekarang belum dapat diuraikan. Kalau nanti ada kesempatan luang lagi kelak, mungkin dapat kita sambung penjelasan mengenai masalah marga ini lain kali. Jadi ditegaskan sekali lagi, bahwa "marga" itu bukanlah budaya asli orang Mandailing, sebab tidak sesuai (harmonis) dengan unsur-unsur budaya Mandailing lainnya. Sebab adat atau budaya itu cenderung merupakan satu kesatuan yang utuh dan terintegrasi secara total.
Pertama, adat atau budaya "marga" itu dibawa orang ke Mandailing, tapi tidak diketahui secara pasti siapa yang membawanya. Tradisi "marga" itu kemungkinan asalnya dari suku atau bangsa asing. Jadi kayaknya "marga" ketika itu kira-kira seperti "model yang lagi trend". Karena ada suku lain yang telah ber-marga-marga, yang cukup hebat pula mereka lihat orang-orangnya, sehingga mereka (orang Mandailing) pun ingin punya "marga" pula agar serupa dengan suku-suku lain yang telah ber-marga. Padahal sebetulnya kalau mereka cukup jeli, sebenarnya "marga" itu kurang cocok (harmonis) benar dengan adat atau budaya mereka yang sudah ada kian (sebagai suatu sistem yang sifatnya sudah terintegrasi secara utuh). Namun karena mereka sudah memandang suku-suku yang memakai "marga" itu hebat sekali, sehingga mereka pun kepingin sekali punya "marga".
Kedua, adanya "marga" itu di Mandailing kurang lebih seperti adanya "paksaan' dari sekelompok orang pendatang. Budaya "marga" diterapkan dengan alasan akan mudah mengatur dan membina orang-orang Mandailing setelah punya "marga". Karena sepengetahuan mereka, jika "marga" telah diterapkan maka akan lebih mudah mengatur dan mengarahkan orang-orang Mandailing karena sifatnya agak "keras". Begitulah ilmu pengetahuan mereka para pendatang itu, apabila "marga" sudah diterapkan pada masyarakat Mandailing, keyajinan mereka, akan menjadi lebih mudah mengatur dan memajukan orang Mandailing. Padahal, mereka juga sebenarnya belum banyak pengetahuan tentang budaya "marga", apakah "marga" itu serasi (harmonis) benar dengan unsur-unsur budaya orang Mandailing atau sebaliknya tidak, mereka sebenarnya tidak tahu persis. Bagaimanlah, mereka sendiri pun sebenarnya baru belajar adat (budaya) di negerinya sendiri, dan baru pula mempelajari budaya suku-suku lain. Jelasnya, mungkin saja mereka pun sebenarnya ridak paham betul "seluk-beluk" adat atau budaya suku-suku yang mereka kunjungi, termasuk suku Mandailing.
Ketiga, mungkin ada suatu "rekayasa" untuk kepentingan tertentu, kita tidak tahu. Mungkin masih banyak lagi kepentingan lain, namun sekarang belum dapat diuraikan. Kalau nanti ada kesempatan luang lagi kelak, mungkin dapat kita sambung penjelasan mengenai masalah marga ini lain kali. Jadi ditegaskan sekali lagi, bahwa "marga" itu bukanlah budaya asli orang Mandailing, sebab tidak sesuai (harmonis) dengan unsur-unsur budaya Mandailing lainnya. Sebab adat atau budaya itu cenderung merupakan satu kesatuan yang utuh dan terintegrasi secara total.
Sudah pasti ada yang tidak sependapat dengan penulis sehubungan dengan masalah "marga" ini, terlebih-lebih karena keberadaan "marga" sudah ratusan tahun lamanya di Mandailing. Sehingga mungkin ada yang berpendapat: "Ah, mana mungkin itu, karena marga itu sudah menjadi identitas yang sudah ratusan tahun lamanya bagi orang Mandailing !!!". Memang, seperti yang sudah dijelaskan persoalannya bahwa budaya "marga" ini tidak sesuai dengan unsur-unsur budaya Mandailing lainnya, dan ada kemungkinan keberadaan "marga" itu sendiri menjadi salah sati faktor penghambat kemajuan masyarakat Mandailing itu sendiri. Karena sifat dari "marga" itu personal (individual). Tetapi kalau adat "Dalian Na Tolu" ("adat markoum-sisokot"), seperti Mora, Kahanggi, dan Anak Boru, sifatnya fungsional. Artinya, kalau manusia memiliki kedudukan dan fungsi sebagai Mora, Kahanggi, dan Anak Boru akan secara otomatis, baik dalam kehidupan biasa sehari-hari maupun dalam pelaksanaan upacara adat dan ritus ("orja") yang berifat "siriaon atau pun "siluluton", ia (manusia itu) telah memiliki tugas dan tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat ("markoum-sisolkot"). Pada dasarnya, sekali rendah pun (tidak optimal) kemampuannya dalam "markoum-sisolkot", namun ia masih memiliki peran dan fungsi sosial-budaya dalam tatanan kehidupannya sebagai Mora, Kahannggi, dan Anak Boru. Sedangkan "marga" yang lebih bersifat personal dan pendukungnya hanya terdiri dari satu sistem kekerabatan saja, yaitu "kahnggi" atau "sisokot", yang tidak begitu besar pengaruhnya dalam adat "markoum-sisolkot". Di sisi lain, status sosial (Dalian Na Tolu) itu didukung oleh tiga kelompok kekerabatan (Mora, Kanggi, dan Anak Boru), dimana setiap orang Mandailing sama-sama sekaligus memiliki kedudukan dan fungsi ketiga-tiganya (Mora, Kahanggi, dan Anak Boru) dalam konteks pelaksanaan upacara adat ("orja") yang diselnggarakan oleh "Suhut" (pelaksana orja) yang berbeda. Tetapi yang jelas, setiap orang Mandailing dalam kehidupan bermasyarakat ("markoum-sisolkot"), karena mereka menganut sistem sosial Dalian Na Tolu, pasti berkedudukan sebagai Mora, Kahanggi, dan Anak Boru (ketiga-tiganya).
Bila dinjau dari berlapis-lapisnya kebudayaan yang pernah eksis di Mandailing, seperti di zaman batu yang penghuninya adalah Leso, Langkeso, dan lain-lain, hingga eksistensi alak Siladang di Mandailing Godang dan alak Ulu di Mandailing Julu (Muara Sipongi) cukup jelas belum ada MARGA, setelah kedatangan orang Koling (Bangsa Tamil dari daratan India) yang banyak membangun pusat-pusat peribadatan mereka (Hindu-Budha) yaitu "Mandala Holing" dan adanya pengaruh yang kuat dari agama Islam sehingga mereka mayoritas akhirnya manjadi pemeluknya yag taat, sementara dalam kehidupan orang-orang (penghuni) sebelumnya pun dengan sistem kepercayaan anamisme-dinamisme yaitu “Sipelebegu”, yang menyembah berbagai macam yang mereka pandang sakral seperti “Begu” (roh-roh nenek moyang), tor (bukit kecil), batang-batang aek (sunga-sungai), guo-guo (gua-gua), dan sebagainya, dimana pada masa itu belum ada juga "marga", yang ada adalah berbgai adat.budaya tradisional yang terkait dengan “religi lama” seperti Etek, Gondang Bulu, Tortor, Gondang Dua, Gordang Sambilan, Gordang Lima, dan sebagainya sebagai bagian penting ritus (acara-acara ritual), yang ternyata masih eksis sampai sekarang, yang mungkin keberadaanya itu didukung oleh suatu “konsep baru” pula, yaitu “ombar do adat dot ibadat”.
Begitulah, ada masanya kebudayan itu berubah, bahkan ada juga yang “mati”, seperti budaya musik "tulia" yang dimainkan dalam tradisi berkencan muda-mudi Mandailing dahulu yaitu "Markusip" (lihat Edi Nasution, Tulila: Muzik Bujukan Mandailing, Penang-Malayasiia: Areca Books, 2007). Itu terjadi karena karena masyarakat pemilik adat (budaya) itu juga telah mengalami perubahan, dengan pengertian bahwa esensi dari kebudayaan itu sebenarnya adalah “perubahan” itu sendiri karena sudah pasti itu akan terjadi.
Dimohon agar sesama kita jangan sampai salah mengerti, bahwa kemungkinan sekali "marga" ini adalah suatu budaya yang sangat cocok dan juga bermanfaat sekali bagi suku-suku lain, tetapi menurut hasil pengamatanku (termasuk pengalaman empiris), "marga" tidak cocok bagi kelompok etnis Mandailing karena "marga" itu tidak harmonis (terintegrasi) dengan unsur-unsur kebudadayan mereka yang lain-lainnya, misalnya yang berorientasi untuk tujuan ideal yaitu “kemajuan bersama” (kepentingan umum). Sekali lagi diharapkan agar kita jangan sampai salah mengerti persoalan "marga" ini, karena semua pemikiran yang telah dituangkan ini hanya sebatas “bahan diskusi" saja yang menurut saya cukup menarik.
Salah satu alternatif solusinya mungkin seorang (lelaki) dapat terus memakai nama "marga" di belakanng namanya sampai ia secara sah memperoleh “goar harajaon” (“goar matobang”) setelah kawin (marbagas), dan setelah marbagas itu ia seterusnya tetap harus (wajib) memakai “goar harajaon”, bukan lagi "goar daganak yang ada "marga"-nya, atau ada solusi lain yang lebih baik?
~o0o~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar