PENGANTAR
Ende dan ende-ende memiliki berbagai macam fungsi seperti untuk sosial-kemasyarakatan, pendidikan, komunikasi dan informasi, serta hiburan. Sedangkan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya mencakup nilai religius, filsafat dan estetika. Sementara struktur makronya mengungkapkan tema-tema umum menyangkut gotong royong, etika, motivasi, kritik sosial, patriotisme, dan lain-lain. Sedangkan struktur mikronya menyangkut penggunaan kosa kata dan gaya bahasa yang merepresentasikan ideologi kultural masyarakat Mandailing. Ende dan ende-ende pada umumnya menggunakan kosa kata dari dua ragam Hata Mandailing yaitu hata somal dan hata andung, sementara gaya bahasa yang digunakan adalah metafora, personifikasi, hiperbola, dan repetisi.
Secara etimologi folklor (folklore, bahasa Inggris) berasal dari kata folk dan lore. Folk artinya kolektif atau bersama-sama, sedangkan lore menunjukkan pada proses tradisi pewarisan kebudayaan secara turun-temurun. Folklor berkembang pada masyarakat yang memiliki kesamaan cita-cita, ciri-ciri fisik, sosial dan budaya. Jadi folklor lebih menunjukkan pada kesamaan identitas dalam suatu kelompok etnik untuk membedakannya dengan kelompok-kelompok etnik lainnya.
Menurut James Danandjaja (1984), folklor adalah suatu kebudayaan masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun dalam bentuk lisan, gerak isyarat dan alat bantu pengingat (mnemonic device). Folklor merupakan sebagian dari unsur kebudayaan yang penyebarannya dilakukan secara lisan (dari mulut ke mulut) atau dengan cara-cara lain, sehingga folklor terdiri atas "folklor lisan" dan "folklor non-lisan". Sebagai tradisi lisan, folklor berkembang sejak masyarakat pra-sejarah atau pra-aksara sampai sekarang. Dengan demikian tradisi lisan merupakan unsur dari folklor itu sendiri, sedangkan cakupan folklor lebih luas jika dibandingkan dengan "tradisi lisan". Sehingga antara jenis folklor dengan "tradisi lisan" memiliki perbedaan. Dalam hal ini, folklor mencakup semua "tradisi lisan", "tari-tarian rakyat" dan "nyanyian rakyat", sedangkan "tradisi lisan" terdiri dari "cerita rakyat", "teka-teki rakyat", "peribahasa rakyat" dan "nyanyian rakyat". Bagi sekelompok masyarakat yang memiliki kesamaan identitas, folklor memiliki fungsi sebagai: (1) sistem proyeksi untuk mencerminkan angan-angan suatu kelompok tertentu; (2) alat untuk mengesyahkan "pranata-pranata sosial" dan lembaga-lembaga kebudayaan; (3) sarana pendidikan terhadap anak-anak dalam menerima pewarisan kebudayaan; dan (4) alat pemaksa terhadap "norma-norma sosial" agar dipatuhi oleh warga atau anggota kelompok bersangkutan.
HATA MANDAILING
Suku-bangsa Mandailing sebagai salah satu kelompok etnik di Indonesia, yang mendiami pedalaman pesisir pantai barat daya di Pulau Sumatera, juga memiliki Bahasa Ibu sendiri yaitu Hata Mandailing (Bahasa Mandailing). Hata Mandailing sebagai Bahasa Ibu yang diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam masyarakat Mandailing ini memiliki 5 (lima) ragam bahasa, yaitu: (1) hata somal; (2) hata andung; (3) hata teas dohot jampolak; (4) hata sibaso; dan (5) hata parkapur.
Hata somal ialah ragam bahasa yang digunakan oleh masyarakat Mandailing dalam pergaulan (percakapan) sehari-hari. Sedangkan hata andung adalah semacam ragam “bahasa sastra”, yang pada masa dahulu secara khusus digunakan ketika orang-orang tertentu sedang meratapi jenasah seseorang dalam upacara kematian (disebut: “mambulungi”) dan juga ketika seorang gadis meratap (menangis) di hadapan orang tuanya manakala ia hendak dibawa ke rumah orangtua calon suaminya untuk dikawinkan, dimana kedua aktivitas budaya tersebut disebut mangandung. Biasanya, ketika terjadi perselisihan dan pertengkaran antara individu atau kelompok dalam masyarakat, mereka cenderung menggunakan kata-kata yang dipandang kasar yaitu hata teas dohot jampolak. Adapun ragam bahasa khusus digunakan oleh Sibaso (yang berfungsi sebagai medium antara alam nyata dan alam gaib di masa lalu) ketika berada dalam keadaan trance (kesurupan) adalah hata sibaso, yang juga digunakan oleh Datu (penyembuh tradisional) pada waktu melakukan pengobatan. Terakhir, adalah hata parkapur, yaitu ragam bahasa “sirkumlokusi” yang dahulu digunakan oleh orang-orang Mandailing ketika sedang berada di dalam hutan belantara untuk mencari "kapur barus" sebagai salah satu komoditi penting yang diperdagangkan di masa lalu.
Di samping kelima macam ragam Hata Mandailing tersebut di atas, pada masa lalu orang Mandailing juga memiliki satu lagi ragam bahasa lain yang dinamakan hata bulung-bulung (“bahasa dedaunan”). Berbeda dari bahasa yang biasa, yang digunakan sebagai “kata-kata” dalam hata bulung-bulung ini adalah daun tumbuh-tumbuhan yang dalam Hata Mandailing disebut “bulung-bulung”. Dedaunan yang digunakan ialah daun-daunan yang namanya punya persamaan bunyi dengan "kata-kata" yang terdapat dalam Hata Mandailing, misalnya daun tumbuh-tumbuhan yang bernama hadungdung, sitata, sitanggis, pau, dan podom-podom yang digunakan oleh pemuda dan pemudi dahulu untuk berkomunikasi dalam mengungkapkan isi hati da perasaan masing-masing sewaktu mereka memadu kasih.
Dengan demikian, dalam kehidupan masyarakat Mandailing secara tradisional mengenal 6 (enam) ragam bahasa. Namun orang Mandailing sekarang umumnya hanya menggunakan hata somal dalam kehidupan (pergaulan) sehari-hari, dan hata andung seperti dalam kegiatan markobar pada upacara adat perkawinan, kematian, dan kelahiran anak. Selain itu, hata somal dan hata andung ini juga digunakan dalam penggarapan lirik ende (sitogol,ungut-ungut, bue-bue, dan jeir), dan ende-ende yaitu sejenis “pantun” yang bersajak “aa-aa” dan “ab-ab”, serta yang tidak bersajak "aa-aa" dan "ab-ab" sebagai kesastraan lama Mandailing yang berbentuk “puisi”.
ENDE
Masyarakat Mandailing memiliki berbagai corak nyayian tradisional (folksongs) dan mereka menyebutnya sebagai “ende”. Seorang ibu misalnya yang sedang bernyanyi sambil menimang anaknya agar tertidur disebut “ende bue-bue”. Begitu pula, ketika seorang ayah misalnya mengungkapkan rasa iba lewat nyanyian kepada anaknya yang ditinggal mati oleh ibunya dinamakan “ende uro-uro”. Selain itu, “ende mamuro” dapat hadir di dangau ketika seorang petani menghalau silopak (burung pipit) yang sedang memakan padi di sawahnya. Adapula seorang penjaja atau penjual ngiro (air nira) di dalam wadah bambu sewaktu ari poken (hari pekan) berteriak: “ … ngiro na … ngiro na !!! patalak … patalak … so u patungkap …” adalah termasuk “near song” (lihat Jan Harold Brunvand, 1968), adalah nyanyian yang lebih mementingkan “lirik” ketimbang lagunya sendiri, yang lebih dikenal dengan sebutan “peddler’s cries”.
Selain empat jenis ende tersebut di atas, di Mandailing ada pula nyanyian yang hadir bersama-sama dengan tarian adat tortor, yaitu jeir yang diiringi oleh ensambel musik adat gondang boru atau gondang dua, dan alat musik tiup bernama sarune atau saleot. Sedangkan ende yang sifatnya individual adalah ende ungut-ungut di Mandailing Julu dan ende sitogol di Mandailing Godang. Kedua jenis ende ini dinyanyikan di tempat-tempat tertentu yang biasanya tidak disaksikan oleh orang banyak. Ende ungut-ungut biasanya diiringi secara berselang-seling dengan tiupan alat musik suling dan salung. Sementara ende sitogol biasanya diselang-selingi dengan alat musik tiup bernama uyup-uyup durame (olanglio, dibuat dari puput padi), dan sesekali membunyikan dosik (suitan dengan mulut) oleh seseorang yang melantunkan ende itu sendiri, atau oleh seorang temannya.
Perlu dicatat bahwa ende sitogol dari Mandailing Godang memiliki "gaya ritmis" dan "pola melodis" yang jauh berbeda (cukup kontras) dengan ende onang-onang dari kelompok etnis Angkola, dan ende sitogol di Mandailing tidak pernah hadir (dinyanyikan) dalam konteks upacara adat perkawinan misalnya, sedangkan ende onang-onang dari Angkola itu merupakan ”nyanyian adat” yang dihadirkan bersama tari adat tortor dengan iringan ensembel musik adat gondang dua. Meskipun ada ende onang-onang yang dinyanyikan bukan dalam konteks upacara adat, namun penggarapan gaya musikalnya tidak jauh berbeda, biasanya hanya lirik atau syairnya saja yang berbeda. Jadi jelas bahwa penggunaan ende sitogol dari Mandailing Godang ini tidak sama dengan ende onang-onang dari Angkola. Dalam hal ini, Angkola adalah satu kelompok etnik tetangga terdekat kelompok etnik Mandailing di Tapanuli bagian selatan, sehingga di antara kedua kelompok etnik ini memang banyak dijumpai persamaan adat dan budaya karena keduanya bertetangga sangat dekat dan mereka hidup berdampingan dengan rukun karena terjalin erat oleh sistem sosial Dalian Na Tolu dan sistem kekerabatan kahanggi, mora, dan anakboru.
Baik ende ungut-ungut maupun ende sitogol memiliki lirik atau syair berbahasa Mandailing dan umumnya berisi keluh-kesah (ungkapan perasaan) tentang cinta atau pun kemelaratan. Karena itu keduanya lebih mementingkan lirik ketimbang lagunya. Keduanya nyanyian tersebut awalnya tidak memiliki jumlah baris (bait) yang tetap karena dinyanyikan secara spontan. Ada kalanya 4 baris (berstruktur “pantun”), 5 baris, 6 baris dan sebagainya, namun dalam perkembangan selanjutnya ada kecenderungan berstruktur ende-ende (pantun). Untuk ende ungut-ungut yang bersajak "ab-ab", dimana baris pertama dan kedua adalah sampiran, sedang baris ketiga dan keempat merupakan isi. Adapun lirik ende sitogol yang berstruktur ende-ende (atau pun tidak) ada pula yang secara keseluruhan merupakan isi, tanpa ada sampiran.
Di dalam lirik ende ungut-ungut dan ende sitogol seringkali terdapat kata “mada”, “ile”, “baya”, “da” dan lain sebagainya yang tidak mengandung arti (meaningless syllables), yang sama kedudukannya dengan kata “lah”, “kah”, “yang”, "duhai", dan “wahai” dalam Bahasa Indonesia. Kata-kata atau silabel tersebut digunakan untuk mendukung ”efek artistik” dan terkadang juga untuk penyesuaian jumlah silabel dalam setiap ”rentangan melodi” (phrase).
Apabila diperhatikan susunan atau jumlah silabel yang dinyanyikan untuk setiap “rentangan melodi”, ternyata tidak memiliki jumlah yang sama. Keadaan ini menunjukkan bahwa jumlah silabel untuk setiap "rentangan melodi" tidak mengikat secara baku. Dalam hal ini, si parende (penyanyi) dapat membentuk kalimat-kalimat yang panjang atau pendek di dalam setiap “rentangan melodi”. Penyesuaian kalimat panjang atau pun pendek di dalam setiap “rentangan melodi” ketika menyanyikan ende sitogol atau ende ungut-ungut tergantung pada ”kepiawaian” si parende itu sendiri.
Ende ungut-ungut dinyanyikan secara "solo" oleh pria dengan tempo lambat, memiliki gaya melodis yang statis (heightened speech), tanpa meter (heterometris) dan biasanya sebagai pengiringnya adalah alat musik tiup suling atau salung. Sementara ende sitogol juga dinyanyikan secara solo oleh pria dengan tempo sedang, yang terkadang diselang-selingi alunan alat musik uyup-uyup durame (olonglio) dan sesekali dibunyian dosik (suitan) oleh si parende atau seorang temannya. Di samping itu, ende sitogol memiliki kantur melodis ascending (naik) dan juga tanpa meter (heterometris). Perbedaan mendasar antara ende sitogol dan ende ungut-ungut, dimana ende ungut-ungut dinyanyikan dengan lembut, sedankan ende sitogol biasanya dilantunkan dengan suara kuat (keras).
Baik ende ungut-ungut maupun ende sitogol cenderung berbentuk strophic karena keduanya selalu mengulang-ulang formula (bentuk) melodi yang sama tetapi dengan teks nyanyian yang baru. Musik (vokal) seperti ini disebut “logogenic” karena lebih mengutamakan teks nyanyian untuk mengungkapkan "ide" ketimbang kepuasan aspek musikalnya.
Ende ungut-ungut dan ende sitogol adalah nyanyian rakyat Mandailing (disebut ende saja oleh mereka) yang terdiri dari kata-kata dan lagu (disebut: logu, antara lain ada yang disebut ende panjang, tirikere, dan opat-opat), yang berbentuk tradisional karena ada dan eksis dalam masyarakat Mandailing sejak dulu sampai sekarang. Kedua jenis ende ini, sejalan dengan pendapat James Danandjaya (1984), banyak memiliki varian dan beredar secara lisan di dalam masyarakat Mandailing, dan dapat dikategorikan ke dalam “nyanyian rakyat” yang bersifat “liris sesungguhnya”. Sebab, liriknya mengungkapkan perasaan tanpa menceritakan suatu kisah yang bersambung, dan dominan mengungkapkan perasaan sedih, putus asa karena kehilangan sesuatu, atau cinta atau pun kemelaratan yang menggambarkan keinginan-keinginan manusia yang tidak pernah tercapai.
Berikut ini diterakan syair (lirik) dari ende ungut-ungut, sitogol, bue-bue, dan jeir yang dikumpulkan sewaktu melakukan studi lapangan (1991-1992) di Mandailing
Ende ungut-ungut
Oleh: Parlagutan Nasution dari Pastap Julu (1991)
u tampul ale uar-kuar
mambaen tungkot panjolung tanaon
ulang ale baya ita padiar-diar
i ganggu alak baya arangantaon
u tampul ale uar-kuar
pantak-pantak baya di tonga saba
ulang ale baya ita padiar-diar
sanga tong marsik aek ni saba
pantak-pantak baya di tonga saba
pala i oban pade ambaen soban
muda na marsik ale aek ni saba
pasti nangkan susut baya pandapotan
poken ale di kotanopan
adong poken baya di simangambat
muda peto ale madung susut pandapotan
nangkan na ita do na malarat
Oleh: Amran & Arman Lubis (1991)
Muda mandurung ko baya tu pahu
Ayup sanggar adik e tu batang gadis
Takodir baya malungun ningku baya
Kirim surat adik e diombuskon angin
Oiii … mada sumbayangko da baya di kotu luhur
Tolong painte laos tu kotu asar
Takodir baya parjolo ho tu bagasan kubur
U painte do ho di Madang Mahazar
Ningku do nangot-nangot dabo
Ganjil di Panyabungan
Borong-borong ke baya marsayop dua
Ganjil baya ningku paruntungan
Ningku jumolo lek malua
Sobarko dabo ale pandan
Di balik tiang boto ningku na lomlom
I balos Tuhan dei saulak on
Ende sitogol
Oleh: Parlagutan Nasution dari Pastap Julu (1991)
mangguris so tarpadaek le
suratan bagian baya
sonang i son baya ita marbaris ningku da
ulang ita buat ayu di ujung ni aek
sanga tong do ro baya tolbak dohot banjir bagian da baya
ancit ni na mandurung jo
na sora nian mian marangan-angan
pukul sapulu au baya ando mangan
muda di ho do dai inang manggadis
inte do toke baya parutangan bagian baya
Mandailing Kotanopan alale
na so unjung na dangol baya
madabu ampang sitare-tare ningku da
on pe madung ro baya parkancitan
mananggung badan simanare da baya
Oleh: Amran & Arman Lubis (1991)
Songon dia ma u dokon le dainang
Padeanma pasada roha
Nasib bagian on antong taononkon
Muda na so disetujui ni roa da baya
Losung di Pidoli ale anggi
Tumbuk salapan do indaluna baya
Janjinta na sanoli
Tumbuk di alak do laluna ale baya
Jambatan di Muaramais
Pamolusan ni ABS dua
Ulangko da anggi sai majais
Ampot na rap do ita na dua
Indang bo le so udok-dok bo
Dongan na dua tolu
Bota-bota do ni padi maduyun da baya
Tangihon tolong so u dokon
Jamita ni na tangis malungun da baya
Ende bue-bue
Oleh: Arman Lubis dari Hutapungkut (1992)
Bue … modom marulak-ulak ko baya modom dabo inang
Anso tibu ho da ningku inang magodang mainjangko ale da inang
Anso magodang ma ho inang
Bue … modom ma ho dabo inang
Bue … inang modom ma ho dabo inang
Modom ma ho dabo inang sai ningku da inang
Anso tibu ho dabo inang magodang
Anso adong mada inang tamba ni gogo muda magodang ko dabo inang
Anso keta tu usaho
Modom … modom … da inang
Muda modom ko dainang
Anso magodang ko da inang siampitan
Pala amangmu da ningku da inang mangomo
Muda magodangko inang da tamba ni gogo so keta tu usaho
Ala inang
Modom maho inang modom marulak-ulak ko inang
Uro-uro modomko inang modom
Muda modomko dabo inang dabo so sonang mada roangku inang
Ale anso ke au ningku tu usaho inang
Modom ma ho inang marulak-ulak modom
Ende jeir
Oleh: Abdul Hakim Lubis (Jatumaya) dari Maga Lombang (1991)
o … santabi sapulu baya noli santabi laung
o … di boru ni ayu ara na godang parsilaungan
o … tortor muyu on tortor maroban domu dohot haratan
o … hamu na opat dimanjujung i mada
o … panortor ni boru na mora habang dongan so tarboto-boto mai
o … na songgop so tarbege-bege boti
o … ayu ara na godang parsilaungan
o … tortor muyu nian na borkat maroban holong dohot domu
o … amu na tolu simanjujung
o … santabi sapulu dongan noli santabi baya
o … di boru ni ayu ara na godang parsilaungan
on mada dongan ibana tortor ni ale nauli bulung do
on di napa-napa boti i tano Maga Lombang on Gunung Marapi do na martua
o … banua ni Raja Panusunan Bulung na sakti on do
o … Mangaraja Bangun dongan Pandapotan panyundut i
o … suang songon parhabang na ni dongan sitamba laut do
o … tortor ni boru na mora
o … na mora amu na tolu
o … simanjujung
o … manortor margindar dongan tolu da sanggar an ma
o … mangadopkon raja-raja humaliang humalogo
o … na tolu simanjujung
o … na suang songon parpusuk ni maldo boti di dolok do
o … tortor ni boru na mora di luat ale tano Maga
o … ayu ara na godang parsilaungan
o … adiankon jolo le somba on laos tu pudi baya
o … marsomba ho inang tu siamun dohot somba tu siambirang ale
o … so horas ko nian da na manortor boru suti
o … na jongjong mada opat boti saanggaran samo ginjang samo godang do
o … di ulu nai da baya naso marrongit do bagas godang na martua do
o … banir na bolak parkolipan
o … ulang kamu maila dina manortor palontik tangan
o … siambirang
o … ulang kamu tolu dongan bajora boru rangkuti baya
o … na di pudi do bayo jambu dongan na mongkol Maga baya
o … i ma bayo dongan na sakti on tarmauk na tarbonggal
o … di luat ni Mandailing on
o … boru rangkuti i mada …
Horas … horas … horas …
ENDE-ENDE
Ende-ende adalah kesusasteraan lama Mandailing yang berbentuk “puisi” yang umumnya bersajak “aa-aa” atau “ab-ab”. Baris pertama dan kedua dari ende-ende merupakan “sampiran”, yang seringkali terkait dengan alam (mencirikan budaya agraris penduduk Mandailing), dan biasanya memiliki hubungan tidak langsung dengan baris ketiga dan keempat sebagai isinya. Tetapi di samping itu, tidak sedikit pula ende-ende yang tidak bersajak “aa-aa” atau pun “ab-ab”, namun masing-masing baris “dirasakan” masih memiliki keterkaitan erat satu sama lain, seperti ende-ende berikut ini:
ancit ni na mandurung
jolo sitanggis podom-podom
ancit ni na malungun
jolo tangis anso modom
balik-balik angin
na ibalikkon ni alogo
anggo roamu do baya namarbalik
tu ise ho mardabu onco
tor dolok martimbang
itoru nai dalan Sibolga
nangkon jaru marsipangkulingan
asal ulang morot sian roha
Penggunaan nama dedaunan dalam ende-ende di Mandailing, adalah sesuatu yang lazim terjadi dalam penggarapannya, seperti dalam lirik-lirik ende-ende tersebut di atas, yaitu “sitanggis”, “podom-podom”, dan “balik-balik angin”. Dalam hubungan ini, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa orang Mandailing mengenal 6 (enam) ragam bahasa. dimana salah satunya adalah hata bulung-bulung (“bahasa dedaunan”). Berbeda dengan 5 (lima) ragam bahasa lainnya, yang digunakan sebagai “kata-kata” dalam hata bulung-bulung ini adalah daun tumbuh-tumbuhan yang dalam Bahasa Mandailing disebut “bulung-bulung”. Dedaunan yang digunakan ialah daun-daunan yang namanya punya persamaan bunyi dengan kata-kata yang terdapat dalam Hata Mandailing. Misalnya, daun tumbuh-tumbuhan bernama “hadungdung” misalnya dalam ende-ende bermaksud untuk menyampaikan perkatan “dung” (artinya, “setelah”); daun tumbuh-tumbuhan yang bernama “sitata” digunakan dengan maksud untuk menyampaikan perkataan “hita” (artinya, “kita”); daun tumbuh-tumbuhan yang bernama “sitarak” digunakan dengan maksud untuk menyampaikan kata “marsarak” (artinya, “berpisah); daun tumbuh-tumbuhan yang bernama “sitanggis” (setanggi) digunakan dengan maksud untuk menyampaikan perkataan “tangis”, (artinya “menangis”); daun tumbuh-tumbuhan yang bernama “pahu” (pakis) digunakan dengan maksud untuk menyampaikan kata “au” (artinya, “saya”); dan daun tumbuh-tumbuhan yang bernama “podom-podom” digunakan dengan maksud untuk menyampaikan perkataan “modom” (artinya, “tidur”). Kalau misalnya kesemua daun tersebut dikirimkan oleh seorang pemuda kepada kekasihnya, maka sang kekasih akan mengerti bahwa sang pemuda mengatakan kepadanya: ”dung hita marsarak jolo tangis au anso modom”. Artinya ”setelah kita berpisah, saya menangis dahulu baru bisa tertidur”.
Seorang guru besar bahasa Melayu di Universitas Leiden , Ch. A. van Ophuijsen pernah meneliti hata bulung-bulung. Di zamannya, menurut Ophuijsen, di Mandailing terdapat kebiasaan kalangan pemuda dan pemudi menjalin hubungan cinta dengan menggunakan daun-daun tertentu dalam bertukar-pesan. Daun-daun tersebut menjadi medium surat-menyurat mereka. Namun, sebenarnya bukan hanya itu fungsinya. Lebih dari sekadar medium penyampai pesan, dedaunan tersebut juga menjadi pesan itu sendiri. Sebagai contoh ambillah daun “sitanggis” (setanggi). Daun itu mengandung asosiasi bunyi (dan selanjutnya arti) tangis. Maka daun itu juga dipergunakan untuk menyampaikan pesan yang berkaitan dengan kesedihan. Begitu juga dengan daun “pahu” (pakis), yang mengandung asosiasi bunyi “au” (saya), namun daun “pahu” itu juga dipergunakan sebagai perlambang “au” (saya).
Ch. A. van Ophuijsen mengatakan bahwa hata bulung-bulung ini lah yang merupakan asal-usul dari ende-ende, yakni semacam “pantun”. Sebab di dalam ende-ende (pantun) tersebut, dalam dua baris pertamanya banyak ditemukan nama-nama daun dan tanaman, untuk kemudian dilanjutkan oleh isi pesan di dua baris berikutnya. Namun pendapat Ophuijsen bahwa hata bulung-bulung sebagai asal-mula dari “pantun”, mendapat bantahan dari beberapa pakar lain. Kebiasaan menggunakan suatu benda sebagai medium sekaligus isi pesan juga ditemukan dalam budaya lain. Misalnya dalam tradisi Melayu. Setelah beberapa hari menikah, seorang pria Melayu biasanya akan memberi "ikan belanak" kepada sang istri. Pemberian itu adalah perlambang pesan agar sang istri cepat-cepat mengandung (hamil), untuk kemudian “beranak” (sangat mirip dengan kata “belanak”), dimana “ikan belanak” biasanya beranak banyak.
Marshall McLuhan, yang pada tahun 1967 menerbitkan buku yang kemudian jadi klasik yaitu The Medium is the Message: An Inventory Effect, dimana salah satu inti dari buku yang pada edisi awalnya mengandung salah cetak (sehingga terbit dengan judul: The Medium is the Massage, yang oleh kebanyakan orang ditafsirkan sebagai: The Medium is the Mass-Age), berkata bahwa medium yang dominan digunakan dalam berkomunikasi selalu mempengaruhi cara manusia berfikir, bertindak dan menerima (menempatkan) dunia di sekitar mereka. Oleh karena itu (teknologi) media sekarang tidak lagi sekadar pengantar atau perantara pesan. Namun ia (medianya) sudah menjadi pesan itu sendiri. Hal ini mirip dengan fungsi daun (hata bulung-bulung) dalam ende-ende yang dimiliki oleh masyarakat Mandailing. Di sini, “dedaunan” tidak lagi hanya sekedar “pengantar pesan”, namun “dedaunan” itu sendiri juga adalah “pesan” (message) yang disampaikan melalui medianya.
Umumnya pengguna hata bulung-bulung di Mandailing dahulu adalah kaum muda-mudi (disebut: naposo-nauli bulung), terutama pada waktu mereka memadu kasih. Di masa lalu, kegiatan berpacaran (asmara) antara pemuda dan pemudi dalam masyarakat Mandailing sama sekali tidak boleh dilakukan secara terbuka. Hubungan dan kegiatan berpacaran harus dirahasiakan atau dilakukan secara rahasia. Oleh karena itu, jika dua orang muda yang berpacaran hendak menyampaikan sesuatu maksud di antara mereka, maka mereka menggunakan hata bulung-bulung. Dan jika seorang kekasih hendak menyampaikan daun-daunan sebagai “surat cinta” kepada kekasihnya, dia harus melakukannya secara rahasia. Misalnya dengan meletakkan daun-daunan tersebut di satu tempat tertentu yang sudah mereka sepakati sebelumnya dan tidak diketahui orang lain. Secara sembunyi-sembunyi mereka yang berpacaran itu akan mengunjungi tempat rahasia tersebut secara bergiliran, untuk melihat apakah di tempat itu terdapat “surat cinta” yang terdiri dari daun-daunan tertentu.
Pada masa sekarang hata bulung-bulung dan penggunaannya sudah hilang sama sekali dari budaya masyarakat Mandailing sebagai warisan leluhur mereka. Demikian pula halnya dengan beberapa ragam bahasa tersebut di atas, kecuali hata somal yang masih terus mereka pergunakan dalam percakapan sehari-hari (dan hata somal ini pun sekarang sudah banyak mengalami perubahan karena pengaruh internal dan eksternal), dan dalam kegiatan markobar atau marhata-hata dalam berbagai upacara adat seperti perkawinan, kematian, dan kelahiran anak. Kepunahan ragam-ragam bahasa yang begitu kaya itu sangat merugikan warga masyarakat Mandailing sendiri, bahkan merugikan bangsa Indonesia karena ragam-ragam bahasa tersebut merupakan kekayaan budaya etnis (Mandailing), sebagai bagian dari bangsa Indonesia, yang kalau sudah punah maka hampir mustahil untuk menghidupkannya kembali.
Berikut ini diterakan sebagian ende-ende yang pernah dikumpulkan sewaktu melakukan studi lapangan (1990-1991) di Mandailing.
balik-balik angin
na ibalikkon ni alogo
anggo roamu do baya namarbalik
tu ise ho mardabu onco
gari bolas perincoran
bulung sialu singgulungku
gari bolas pangidoan
inangmu ma nian nantulangku
ngada nangkan tu dolok
malamun botik ngon bariba
ngada nangkan tarpadonok
lumobi alak sian iba
landit ni sipandurung
sabung manuk simarian-ian
ancit ni siparlungun
tarik ulos modom arian
lasiak na malos
dongan ni uling-kuling
uida do ho lao mamolus
mabiar au mangkuling
koje dongdong koje amir
ke Pintu Padang dalan tu Lumut
anggo naso ho dongan sanikah
padiar dagang saumur hidup
ambasang di Rao-rao
dirambas hodong lidina
pamatang do padao-dao
diombar modom tondina
asar ni kulit manis
obanon tu Pagaran
muda ibuat boru na manis
angkon tahan do partongkaran
muda tulus ko ma rere
jumotjot ko manampul bulung suat
muda tulusko naron kehe
junotjot ko ale manongos surat
habang Ambaroba
na songgop tu bulu
ise baya na denggan roa
salamat tu jae tu julu
amparan di Singaronggur
panjomburan di Singadua
sapanjang ita marosu
pining sangulas ita bagi dua
dongdong baya sotar dongdongkon
tubu dahan di bona bulu
podom baya sotar podomkon
ida-idahan di tompa muyu
tor dolok martimbang
itoru nai dalan Sibolga
nangkon jaru marsipangkulingan
asal ulang morot sian roha
unik ni alak Tobing ibinaen
bayar-bayar ni alak Bakkua
manginjam ile jolo santongkin
ngada pola barang mangua
ro sian Sigalangan
ibolus tu si Bakkua
ro iba mardalanan
ulang lupa marsilua
sangging do boto nai durung
pancabutina bulung birah
tangging do boto ale malungun
malo-malo ke markira-kira
sigalangan male jolo
tu lambung ni Muaratais
marsijalangan ma dongan ita jolo
ujung ni tangan dohot padais
PENUTUP
Dalam khasanah seni-budaya tradisional masyarakat Mandailing, yang dikategorikan sebagai ende (nyanyian) sama sekali berbeda dengan ende-ende (pantun), kendati syair (lirik) dari ende itu adakalanya juga berbentuk ende-ende (pantun) yang bersajak “aa-aa” dan “ab-ab”, atau sama sekali tidak bersajak. Dalam penggunaannya ende bisa diiringi dengan suling atau salung (dimana satu orang atau lebih secara bergantian bernyanyi dan satu orang lagi memainkan alat musik tiup), atau tidak diiringi sama sekali karena masing-masing (ende dan alat musik tiup) digunakan secara berselang-seling (musik monofoni), ataupun bersama-sama dengan alat-alat musik lainnya dalam satu kesatuan (ensambel). Seperti ende ungut-ungut dapat dinyanyikan secara berselang-seling dengan memainkan alat musik tiup suling atau salung. Sedangkan ende sitogol biasanya dinyanyikan dengan diselang-selingi oleh tiupan alat musik tiup bernama uyup-uyup durame (olanglio), tapi adakalanya juga diselang-selingi dengan tiupan suling, dan ende bue-bue dan uro-uro biasanya dinyanyikan secara berselang-seling dengan tiupan uyup-uyup bulung tarutung bolanda (terbuat dari daun pohon zirzak) atau uyup-uyup bulung pisang (terbuat dari daun pisang) karena dimainkan seorang diri. Sementara ende jeir diiringi oleh alat musik tiup bernama saleot atau sarune yang secara bersama-sama tergabung dalam ensembel musik adat gondang boru.]*[
Gandoang, 11 Maret 2013