Senin, 25 Agustus 2014

Gondang & Gordang


GONDANG” DAN “GORDANG”: MUSIK ADAT MANDAILING



PROLOQ
Suku-bangsa Mandailing sudah mengenal kesenian sejak ratusan tahun lalu. Ketika itu, seni musik yang hidup sangat erat sekali kaitannya dengan sistem kepercayaan lama (disebut “si pelebegu”, yaitu si penyembah roh-roh leluhur). Setiap melakukan upacara adat atau ritual  pada masa itu musik digunakan sebagai “perantara”. Pada masa pra-Islam ini, musik merupakan bahagian yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan religi (ritus) dan upacara-upacara adat, baik itu upacara yang bersifat suka-cita yang dinamakan “siriaon” seperti acara adat perkawinan maupun “siluluton”, yaitu upacara adat yang bersifat duka-cita seperti kematian.
Sistem kepercayaan animisme “si pelebegu” menempatkan musik (yang dipergunakan untuk upacara adat dan religi) pada kedudukan yang tinggi. Kemungkinan sekali hal itu disebabkan karena "suara", "nyanyian" dan "musik", merupakan unsur yang sangat penting dalam upacara keagamaan sebagai hal yang biasa menambah suasana keramat atau sakral (Koentjaraningrat 1980 :245).

Tradisi pemujaan roh-roh leluhur dalam "kepercayaan lama" (“si pelebegu”) di masa lalu selalu menggunakan seorang perantara yang dinamakan “si baso”. Sedangkan “bunyi-bunyian suci” diperkirakan adalah ensambel “gondang” maupun “gordang”. Dan pemain musik yang ahli pada masa itu dinamakan “datu peruning-uningan” atau “datu pargondang”. Mungkin, dikarenakan mereka belajar bermain musik bukan dari manusia, melainkan dari “begu” (roh-roh leluhur), yang secara khusus pula memberikan irama-irama “gondang” kepada “datu paruning-uningan”. Namun, keadaan itu mengalami perubahan setelah agama Islam dianut oleh masyarakat Mandailing pada umumnya.  Penggunaan musik yang ditujukan kepada roh-roh leluhur tidak dibenarkan untuk ditampilkan, karena hal itu sangat bertentangan dengan ajaran agama Islam, misalnya tradisi “mengandung” (meratap dihadapan jenazah) yang dilakukan pada upacara adat “siluluton”.  
Di Mandailing juga terdapat alat musik membranofon yang sumber bunyinya berasal dari "kulit" atau "membran" yaitu, antara lain:
~ “gondang dua”, adalah ensambel musik yang juga dinamakan “gondang boru”, “gondang topap”, dan “tunggu-tunggu dua”. Alat musik ini terdiri dari dua buah gendang berbentuk "barrel". Keduanya memiliki ukuran dan bentuk yang sama, dan “gondang dua” atau “gondang boru” ini digunakan pada upacara adat “siriaon” (suka cita) misalnya upacara adat perkawinan yang berfungsi untuk menjemput pengantin perempuan, dan juga pada upacara “silluluton” (duka cita) misalnya upacara adat kematian. Terminologi gondang dalam bahasa Mandailing mengandung beberapa pengertian yaitu: alat musik, gabungan dari sejumlah alat musik (ensambel), nama lagu atau repertoar, irama atau ritmik, jenis musik tertentu, dan sebagai musik itu sendiri, yang sangat erat kaitannya dengan unsur-unsur kebudayaan Mandailing lainnya.
~   “gordang sambilan”, dimana ensambel musik ini terdiri dari sembilan buah “gordang” yang bentuknya panjang dan besar dengan ukuran yang berbeda-beda. Dan nama-nama “gordang” ini tidak sama di wilayah Mandailing seperti di daerah Ulu Pungkut, Pakantan, Huta Pungkut, dan Tamiang. Misalnya, untuk sepasang “gordang” yang paling besar di daerah Pakantan disebut: “jangat”,  sedangkan di Tammiang ada tiga “jangat”, yaitu “siangkaan”, silitonga, dan “sianggian”. “Gordang sambilan” terbuat dari pohon “ingul” tetapi pada saat sekarang tidak jarang memakai batang pohon kelapa karena pohon “ingul” sudah sulit ditemukan di hutan. Untuk membrannya yaitu “kulit lembu” yang diikat dengan rotan yang sebesar jari kelingking orang dewasa dan cara memainkannya dipukul dengan sepasang batang kayu. “Gordang sambilan” ini digunakan di dalam upacara adat “siriaon” dan "siluluton" juga. Dalam hal ini, pengertian kata “gordang” adalah alat musik besar (drum chime) yang kalau dimainkan semakin lama bunyinya bergemuruh.
Para antropolog sepakat bahwa kebudayaan, termasuk upacara adat “siriaon” dan “siluluton” di Mandailing, adalah segala sesuatu yang dapat dipikirkan, dikerjakan, dan diterapkan oleh manusia. Kebudayaan suatu suku-bangsa merupakan suatu penampakan identitas diri dari suku bangsa tersebut. Suatu suku bangsa dapat dikenal oleh suku-suku (bangsa) lain apabila suku-bangsa bersangkutan sanggup memperkenalkan identitas dirinya lewat kebudayaannya sendiri yang khas. Salah satu dari sekian banyaknya kebudayaan yang ada di Indonesia adalah kebudayaan masyarakat Mandailing yang terletak di Provinsi Sumatera Utara. Dalam hal ini, kelompok etnik Mandailing adalah orang-orang yang berasal dari Mandailing secara turun-menurun dimanapun ia bertempat tinggal.[1]
Kelompok etnik Mandailing memiliki “budaya musik” yang menjadi ciri khas kebudayaan Mandailing. Salah satunya adalah “gordang sambilan”, dan juga "godang boru" sebagai “musik adat”. “Gordang sambilan” sebagai ensembel musik adalah seperangkat alat musik sakral yang terdiri dari sembilan buah gendang yang berukuran besar (drum chimes). Ukuran dari “gordang sambilan” tersebut mulai dari yang terbesar sampai terkecil selalu berbeda-beda pada suatu daerah tetapi bentuknya sama, seperti di daerah Panyabungan, Pidoli, Maga, Tambangan, Huta Pungkut Tamiang, Tanagodang, dan Pakantan. Sedangkan "gondang boru" terdiri dari dua buah "gendang" yang berbentuk "barrel". Baik ensambel "gordang sambilan" maupun "gondang boru" memiliki alat musik tiup (seperti: "saleot"). metalofon (seperti: "ogung", "momongan", dan "doal"), dan "tali sasayak" (idiofon). Dan dalam ensambel "gondang boru" dinyanyikan "ende" tertentu (nyanyian tradisional yang dinamakan "jeir")  dalam mengiringi tari tradisional "tortor".
Tabel berikut ini dibuat untuk memperjelas perbedaan nama-nama “gordang sambilan” (dari yang besar sampai yang kecil) di empat tempat pemukiman penduduk (disebut huta atau banua) di Mandailing Julu yaitu Tamiang, Huta Pungkut, Huta Godang dan Pakantan sebagai berikut:
Penamaan “gordang
Pakantan
Tamiang
Huta Pungkut
Huta Godang
gordang” 1
Jangat
Jangat siangkaan
Jangat siangkaan
Jangat siangkaan
gordang” 2
Jangat
Jangat silitonga
Jangat silitonga
Jangat silitonga
gordang” 3
Udong-kudong
Jangat Sianggian
Jangat Sianggian
Jangat Sianggian
gordang” 4
Udong-kudong
Pangaloi
Pangaloi
Panulus
gordang” 5
Padua
Pangaloi
Pangaloi
Panulus
gordang” 6
Padua
Paniga
Paniga
Paniga
gordang” 7
Patolu
Paniga
Paniga
Paniga
gordang” 8
Patolu
Udong-kudong
Udong-kudong
Udong-kudong
gordang” 9
Enek-enek
Eneng-eneng
Teke-teke
Eneng-eneng

Di Pakantan, pemain ensambel “gordang sambilan” sebanyak 11 (sebelas) orang meliputi, (1) satu orang pemain sarune, (2) lima orang memainkan “gordang sambilan” dengan pembagian, (i) satu orang memainkan dua buah “jangat” atau disebut panjangati, (ii) satu orang memainkan “udong-kudong”, (iii) satu orang memainkan dua buah “paduaiI, (iv) satu orang memainkan dua buah “patolu” dan, (e) seorang memainkan “enek-enek”, (3) satu orang memainkan “ogung boru” dan “ogung jantan”, (4) satu orang memainkan “mongmongan” atau “gong panolongi” dan “panduai” dan, (5) satu orang memainkan “pamulosi”, (6) satu orang memainkan doal dan, (7) satu orang memainkan “tali sasayak”.
Sementara di wilayah Huta Pungkut dan Tamiang jumlah pemain pemusiknya adalah 9 (sembilan) orang yang terdiri dari (1) satu orang pemain sarune, (2) empat orang memainkan “gordang Sambilan” dengan pembagian, (i) satu orang memainkan tiga buah “jangat” yaitu “jangat siangkaan,” “jangat silitonga”, “jangat sianggian”, (ii) satu orang memainkan duah buah “pangoloi”, (iii) satu orang memainkan dua buah “paniga”, (iv) satu orang memainkan duah buah “udong-kudong” (3) satu orang memainkan “ogung boru-boru” dan “ogung jantan”, (4) satu orang memainkan “mongmongan”, (5) satu orang memainkan “talempong”, dan (6) satu orang memainkan “tali sasayat”.
Sedangkan di Huta Godang dan Habincaran – Ulu Pungkut jumlah pemain pemusiknya adalah 9 (sembilan) orang juga yang terdiri dari (1) satu orang pemain “saleot” (sarune), (2) empat orang memainkan “gordang sambilan” dengan pembagian, (i) satu orang memainkan tiga buah “jangat” yaitu “jangat siangkaan”, “jangat silitonga”, “jangat sianggian”, (ii) satu orang memainkan duah buah “panulus”, (iii) satu orang memainkan dua buah “udon-kudong”, (iv) satu orang memainkan dua buah “eneng-eneng”, (3) satu orang memainkan “ogung boru-boru” dan “ogung jantan”, (4) satu orang memainkan “mongmongan”, (5) satu orang memainkan “talempong”, dan (6) satu orang memainkan “tali sasayak”.
Nama-nama “gondang” (repertoar) yang dimainkan dengan ensambel “gordang sambilan” antara lain: “roba na mosok”, “sampuara batu magulang”. “udan potir”, “rot”, "mamele begu" dan sebagainya. Sedangkan repertoar dalam ensambel “gondang dua” antara lain “jolo-jolo turun”, “alap-alap tondi”, “moncak”, “raja-raja”, “tua”, “mangido udan”, “tortor”, “pamulihon”, dan lain-lain.
Pada upacara adat perkawinan, “gordang sambilan” dimainkan disaat penyambutan pengantin, tamu dan setelah selesai pemberian “gelar adat” kepada pengantin laki-laki, namun itupun dapat dilakukan setelah diberi izin melalui acara adat “markobar” (musyawarah). Dipukulnya “gondang dua” (“gondang boru”) kemudian adalah sebagai tanda bahwa upacara adat perkawinan sudah resmi dibuka dan “gordang sambilan” sudah dipindahkan dari “sopo gondang”. “Gordang sambilan” bisa dimainkan setelah “disantani” (ditepung tawari) dan untuk “maninggung” (pemukul pertama “gordang”) adalah Raja Panusunan Bulung. Setelah itu, barulah kemudian diserahkan kepada pemain “gordang sambilan” untuk memainkannya. Dan pada saat di hari puncaknya pesta atau hari akhirnya pesta pernikahan selesai dimana acara “margondang” pun dihentikan, maka disimpan kembali namun terlebih dahulu “disoda” kembali sebaimana dengan “manyantan gondang”. Biasanya pada saat “gordang sambilan” dimainkan diikuti pula dengan tari “sarama” (tarian untuk menghormati roh-roh nenek moyang) dengan “manyarama” (kesurupan).

"MARBAGAS" (Upacara Adat Perkawinan)
1.        Sebelum Upacara Adat Perkawinan Dilaksanakan
a.     “Manyapai Boru
Sebelum upacara adat perkawinan dilaksanakan, jika “bayo pangoli” (laki-laki) ingin mengenal dan mengetahui sosok “boru na ni oli” (perempuan) yang ingin dia cintai (pendekatan terhadap seorang perempuan), sebaiknya ia melaksanakan adat  “manyapai boru”. Dalam hal ini, seorang laki-laki menyampaikan perasaannya kepada perempuan yang disukainya. Setelah perempuan tersebut menerima seorang laki-laki yang dipujanya, selanjunya hubungan antara laki-laki dan perempuan ini dibawah ke jenjang perkawinan apabila sudah mencukupi umur.
Setelah laki-laki dan perempuan tersebut “suka sama suka” dan saling mau untuk menjadi keluarga, maka si laki-laki menanyakan dan meminta orang tuanya untuk melihat perempuan yang ingin dijadikan istrinya. Keinginan si anak laki-laki tersebut akan dipertimbangkan oleh orang tuanya, apakah orang tuanya mau atau tuidak untuk menerima perempuan yang disukainya itu.
Ketika anaknya menyampaikan hasrat untuk hidup berumah tangga, orang tuanya terlebih dahulu akan melihat tingkah laku si anak perempuan yang disukai oleh anaknya. Kemudian setelah mempertimbangkan dan melihat anak perempuan tersebut bertingkah laku baik dan mampu untuk menjadi istri dari anaknya, maka hubungan ini akan dilanjutkan ke tahap “mangairirit boru”.

b. “Mangairirit Boru
Suatu perkawinan dalam masyarakat Mandailing tidak hanya bertujuan untuk mempersatukan si anak lelaki dan si anak perempuan, tetapi juga “kedua belah pihak” , yaitu pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan. Dalam tradisi “mangairirit boru” ini, pihak orang tua laki-laki terlebih dahulu mencari tahu asal-usul (keluarga) dari si anak perempuan yang disukai oleh anak laki-lakimya itu. Hal ini penting untuk menyesuaikan apakah kedua keluarga dapat dipertemukan dimana keduanya sama-sama memiliki prilaku yang baik dan memiliki “kecocokan”. Karena pepatah mengatakan “singkam tungkona, singkam tunasna”, artinya tabiat anak tidak jauh dari orang tuanya.
Setelah mengetahui keluarga pihak si anak perempuan, dalam acara “mangiririt boru”, pihak keluarga si anak laki-laki akan memperjelas kedatangannya untuk menanyakan hubungan antara anak laki-lakinya dengan si anak perempuan kepada keluarganya. Pihak keluarga si anak laki-laki biasanya adakalanya membawa “kahanggi” dan “anak boru” di dalam tradisi “mangaririt boru” ini ke rumah pihak si anak perempuan. Hal ini dikarenakan pihak si anak perempuan tidak langsung (begitu saja) mengiakan keinginan dari pihak si anak laki-laki. Untuk itu, keluarga perempuan biasanya akan meminta waktu dengan alasan untuk menanyakan apakah anak gadisnya itu menerima pinangan itu atau sudah menerima pinangan orang lain. Dalam hal ini, yang hadir dari pihak si anak perempuan adalah keluarga terdekat saja, dikarenakan masih dalam tahap menanyakan kesedian si anak perempuan tersebut untuk menjadi istri dari si anak laki-laki.
Setelah adanya kesesuaian dan kesepakatan yang sudah disetujui oleh kedua belah pihak keluarga, maka pihak keluarga si anak laki-laki langsung meminta agar semua syarat-syarat yang akan dipenuhi dibicarakan sekaligus. Hal ini dapat memudahkan informasi untuk mengetahui pihak keluarga si anak laki-laki yang akan datang kepada pihak keluarga si anak perempuan yang sudah siap untuk menerima dengan segala kemungkinan yang terjadi.
Untuk menjaga “silahturrahmi” ketika keluarga si anak laki-laki datang ke rumah keluarga si  anak perempuan kemudian, biasanya disediakan makanan untuk “makan bersama” agar dapat terjalin keharmonisan di antara kedua belah pihak (keluarga). Dan setelah berlanjut bersilaturahmi dengan alasan kedua belah pihak sudah mendapatkan kesepakatan bersama, maka dilanjutkan pula ke tahap “padamos hata”.

c. “Padamos Hata
Setelah dalam kegiatan “mangairirit boru” tidak ada hambatan dalam pelaksanaannya, maka tahap selanjutnya adalah “padamos hata”, yang bertjuan untuk melanjutkan pembicaraan kepada tujuan semula. Pihak keluarga si anak laki-laki akan datang kembali ke rumah pihak keluarga si anak perempuan untuk menanyakan dan meminang si anak perempuan untuk menjadi isteri si anak laki-laki.
Di dalam acara “padamos hata” ini, yang terjadi dalam masyarakat Mandailing ini, biasanya pihak keluarga si anak perempuan akan menanyakan persyaratan yang akan dipenuhi oleh pihak keluarga laki-laki atau dibicarakan sekaligus tentang:
~  Hari yang tepat untuk datang meminang secara resmi yang disebut “patobang hata”.
~  Persyaratan-persyaratan yang akan dipenuhi pihak keluarga si anak laki-laki pada waktu acara “patobang hata”, yaitu: (i) apa saja yang harus dipersiapkan; (ii) berapa ‘tuor” (mas kawin) dan dalam bentuk apa; dan (iii) perlengkapan-perlengkapan lainnya.
Setelah acara dalam “padamos hata” ini tidak ada hambatan di dalamnya, maka dilanjutkan pula dengan acara “patobang hata” untuk menguatkan perjanjian yang telah disepakati pada acara “padamos hata”.

d. “Patobang Hata
Tujuan pelaksanaan adat “patobang hata” adalah untuk menguatkan perjanjian antara pihak keluarga si anak laki-laki kepada pihak keluarga si anak perempuan. Di dalam perkawinan umumnya didahului dengan lamaran, tetapi lamaran ini baru terikat setelah pihak keluarga si anak laki-laki memberi “tuor” (mas kawin) kepada pihak keluarga si anak perempuan perempuan. Adakalanya, perkawinan tidak didahului dengan lamaran, dikarenakan pada saat si anak laki-laki (disebut “poso-poso”) dan si anak perempuan (disebut “bujing-bujing”) melarikan diri bersama-sama (kawin lari, disebut “marlojong”). Tetapi ada juga kawin lari yang direstui oleh orang tua karena pertimbangan tertentu yang disebut dengan “tangko binoto”. Ini terjadi biasanya untuk menghindari syarat-syarat yang memperberatkan atau orang tua tidak menyetujui ataupun masih ada penghalang lain, seperti masih ada kakak atau abang yang belum menikah.
Di dalam tahapan “patobang hata” ini bahwa peminangan antara pihak keluarga si anak laki-laki dan si anak perempuan telah dilakukan secara resmi. Pihak keluarga si anak laki-laki yang diwakili oleh “kahanggi” dan “anak boru” yang harus terlebih dahulu “manopot kahanggi” mereka di tempat pemukiman si anak gadis.. “Manapot kahanggi” maksudnya yaitu menjumpai “anak boru” dari keluarga pihak si anak perempuan, atau “kahanggi” dari pihak si anak laki-laki.
Dengan kata lain, “anak boru” dari pihak keluarga si anak perempuan yang sudah terjadi ikatan perkawinan statusnya akan menjadi “kahanggi” dari pihak keluarga si anak laki-laki. Sebagai ketentuan adat Mandailing, “manopot kahanggi” diperlukan guna untuk membantu keluarga pihak si anak laki-laki untuk “menyeberangkan” mereka sampai tujuan. Artinya pihak kahanggi ini akan membimbing mereka untuk menyampaikan segala maksud dan tujuan mereka agar berjalan dengan cukup lancer agar dapat diterima oleh pihak keluarga si anak perempuan.
Di dalam acara adat “patobang hata”, pihak keluarga si anak laki-laki akan berkata-kata untuk menyampaikan secara perumpamaan, misalnya, antara lain:
-   “mangido lopok ni tobu sisuanon, baen suanon di tano rura banua nami, anso adong tambus-tambusan ni namboruna, anso martumbur on lopus tu pudi ni ari” (ditunjukan kepada anak gadis, dengan lopuk ni tobu sisuanon yaitu meminta kepada perempuan tersebut dapat memberi keturunan).
- “mangido andor na mangolu parsiraisan” (ditunjukan kepada keluarga si anak perempuan/”mora”) tempat tergantung (meminta tuah).
-   “mangido titian batu na so ra buruk” (ditunjukan untuk menjalin hubungan secara terus- menerus).
Adapun hal yang diharapkan oleh kedua belah pihak keluarga, yaitu keluarga si anak laki-laki dan keluarga si anak perempuan dari ketiga hal tersebut adalah:
-   “lopok ni tobu sisuanon” ( meminta anak perempuan mereka dapat penerus keturunan).
- “andor na mangolu parsiraisan” (meminta keluarga perempuan menjadi tempat berlindung/bergantung meminta kesediannya mereka untuk menjadi “mora”).
-   “titian batu na so ra buruk” (meminta mereka untuk menjalin hubungan kekeluargaan selamanya).
Setelah acara “patobang hata” telah resmi dilaksanakan dan sudah diterima kedua belah pihak, acara selanjutnya adalah “manyapai batang boban” (beban yang harus dipikul oleh pihak si anak laki-laki). Secara resmi pada pada pelaksanaan acara “patobang hatadisaksikan oleh seluruh keluarga yang hadir pada saat menentukan besar kecilnya “batang boban”. Dan setelah acara “patobang hata” selesai semuanya akan ditentukan untuk melanjutkan acara berikutnya yaitu “manulak sere”, yang diberi waktu satu atau dua minggu, agar keluarga kedua belah pihak dapat mempersiapkan segala sesuatunya. Pemberitahuan dan mangundang keluarga atau saudara-saudara, yang utama pihak keluarga si anak laki-laki yang haarus menyediakan “bawaan” (uang antaran) yang disebut dengan “sere na godang”, yaitu ”uang antaran” beserta uang lain untuk keperluan lainnya.

e. “Manulak Sere” atau “Patibal Sere
Sesuai dengan waktu yang telah disepakati antara kedua belah pihak keluarga, , maka keluarga si anak laki-laki datang kembali mengantar apa yang telah disepakati pada waktu acara “patobang hata”. Sebelum berangkat pihak keluarga laki-laki terlebih dahulu disampaikan maksud dan tujuan “suhut” yang akan ke rumah si anak perempuan untuk mengantar “sere” (emas). Biasanya yang berangkat untuk mengantar “sere” sebanyak 10 atau 15 orang yang ditentukan pada waktu acara “patobang hata” sesuai dengan kemampuan untuk mempersiapkan segala sesuatu di rumah si anak perempuan.
Acara “manulak sere” adalah menyerahkan “antaran” dari pihak keluarga si anaklaki-laki ke pihak keluarga si anak perempuan, dimana besarnya “antaran” sudah ditentukan pada waktu acara “patobang hata”. Pihak keluarga si anak laki-laki dalam proses “manulak sere” akan membawa “batang boban” yang telah disepakati sebelumnya ke rumah keluarga si anan perempuan. Di samping membawa “batang boban “, juga membawa “silua” (“oleh-oleh”) berupa “indahan tungkus” (nasi yang dibungkus) dengan daun beserta lauknya. Ini bermakna kebesaran hati terhadap keluarga si anak perempuan dengan harapan apa yang diharapkan dapat sukses dan terkabul. Dalam acara “manulak sere” ini biasanya pihak keluarga si anak laki-laki membawa “silua” dan “indahan tungkus” beserta lauknya ditempatkan dalam rantang yang ditutup rapat agar mempermudah untuk dibawa dan tidak tumpah.
Adapun peserta yang ikut hadir di dalam acara “manulak sere” dari pihak keluarga “boru na ni oli” (si anak perempuan) terdiri dari (a) “Hatobangon” (pimpinan adat setempat), (b) “mora” (“pangalapan ni boru” atau “pambuatan ni boru”), (c) “suhut” (orang tua, abang, dan adik), (d) “kahanggi” (“ombar suhut” dan “pareban”), (e) “anak boru” ( dan “pisang raut”), (f) kerabat terdekat lainnya. Sedangkan dari peserta yang ikut hadir dari pihak “bayo pangolin” (si anak laki-laki) adalah (a) “suhut” (orang tua, abang dan adik), (b) “kahanggi” (“ombar suhut” dan “pareban”), (c) “anak boru” (dan “pisang raut”).
Dalam hal ini, ada dua macam “batang boban” yang akan diserahkan kepada pihak keluarga “boru na ni oli” yaitu:
~    “Sere na godang” artinya jumlah yang cukup besar berupa benda berharga yang terdiri dari: “orbo sabara” (kerbau satu kandang); “lombu sabara” (lembu satu kandang); “eme sa opuk” (padi satu lumbung); “sere” (emas) yang besar-kecilnya (banyaknya) tergantung pada status. “Sere na godang” hanyalah sebagai simbol yang tidak harus dipenuhi oleh pihak keluarga si anak laki – laki, dimana yang diserahkan hanya “sejumlah uang” (menurut kebiasaan) yang disebut dengan “sere na menek”. Sedangkan “sere na godang” diserahkan dari perwakilan keluarga si anak laki – laki dan “anak boru”.
~.    “Sere na lamot” atau sama disebut dengan “sere na menek” yang artinya “tuor ni boru” (“uang antaran”) yang berbentuk uang dan ditambah barang keperluan pengantin perempuan, seperti baju dan perlengkapan pengantin lainnya. Di samping itu masih ada yang harus disediakan oleh pihak si anak laki-laki yang disebut dengan “parkayan” yang diserahkan kepada sanak keluarga si anak perempuan sebagai “pengobati hati”, karena salah satu keluarganya akan dibawa menjadi pihak keluarga si anak laki-laki.
Secara harfiah yang berhak menerima “parkayan” adalah (a) “Uduk api”, diberikan kepada ibu calon pengantin perempuan, (b) “Apus ilu”, diberikan kepada “Namboru”-nya, (c) “Tutup uban”, diberikan kepada “Ompung”-nya, (d) “Upa tulang”, diberikan kepada “Tulang”-nya, (e) “Hariman markahanggi”, diberikan kepada amang tua atau “uda”-nya, (f) “tompas handing”, untuk “anak boru”, dan (g) “paroro tondi”, diberikan kepada “raja ni huta”.
Jumlah “bahan yang ke tujuh” tersebut di atas dapat diartikan sebagai gambaran dari “pitu sundut suada mara” yang artinya tujuh keturunan tanpa mara bahaya. Di dalam acara penyerahan “manulak sere” in dipimping langsung oleh “raja ni huta”, dan penyerahan “sere na godang” (“okuandar”) dilakukan pihak si anak laki-laki kepada “mora” dari pihak si anak perempuan. Mora disebut juga “tamburan”, adalah tempat ikan kalau memancing, dan “anak boru” adalah “sipandurang” (“tukang tangguk”).
Adapun peralatan yang harus dibawa oleh pihak keluarga si anak laki-laki untuk “menulak sere” menuju ke rumah si anak perempuan adalah: (a) “pahar”, tempat atau wadah untuk meletakkan semua peralatan lainnya yang akan diserahkan; (b) “abit tonun patani” (kain adat) yang di letakkan di atas “pahar” sebagai alas perlengkapan; (c) “bulung ujung”, (ujung daun pisang yang dipotong sebesar “pahar” yang dikembangkan di atas “pahar”; (d) “danon na gorsing” (“beras kuning”, beras yang diberi ‘kunyit’), yang ditaburkan di atas daun pisang; (e) “oris” (keris); (f) “puntu” (sebagai simbol pengikat); (g) “epeng logam” (uang logam), sebagai simbol pertalian keluarga; (h) “arihir” atau tali pengikat kerbau, sebagai simbol yang diserahkan satu kandang kerbau.44
Setelah rombongan pihak keluarga si anak laki-laki itu sampai di rumah pihak si anak perempuan yang dituju, maka upacara “markobar” (musyawarah) adat pun dimulai.
Meskipun tujuan utamanya adalah “manulak sere”, namun “parkobaran” (acara “markobar”) tetap dimulai dari awal, yaitu “mangiririt boru”, “mangalamar boru” (melamar gadis), membicarakan “batang boban” yang akan dipenuhi dan baru akhirnya upacara adat “manulak sere” dan rencana “pabuat boru” (membwa si anak gadis ke rumah si anak laki-laki).
Sebelum “markobar” dilaksanakan terlebih dahulu memakan hidangan yang terlah disediakan yaitu  “sipulut” (“pulut” berserta intinya) dan air minum. Setelah “markobar” selesai barulah acara adat selanjutnya yaitu “mangalehen mangan pamunan” yang artinya makan bersama dengan teman-teman calon pengantin.

f. “Mangalehen Mangan Pamunan
Si anak perempuan yang akan melangkah kejenjang perkawinan berarti akan meninggalkan keluarganya dan beralih kepada keluarga calon suami. Maka, sebelum pengantin perempuan diberangkatkan, orang tua dan sanak familinya berkumpul untuk memberikan makan yang enak kepadanya yang disebut “mangan pamunan” (makan perpisahan). Dan pada mulanya si calon pengantin perempuan mengajak teman-teman sepermainannya untuk turut bersama makan sebagai makan perpisahan.
Dalam perkembangan zaman, acara “mangalehen mangan” (memberi makan) ini diperbesar bukan saja dihadiri oleh keluarganya saja melainkan juga unsur “dalian na tolu” dan “hatobangon” (pemuka-pemuka masyarakat) dan makanannya sama saja pada saat acara “mangupa”. Biasanya, makanan yang dihidangkan adalah “ambeng” (kambing) yang sudah dimasak sempurna, dengan kepala, hati dan sepasang kaki. Pada bagian atas harus masih terlihat bentuknya yang diletakkan di atas “tampi” yang dihiasi dengan ujung daun pisang, lengkap dengan nasi, telur, udang, ikan, daun ubi, serta garam sehingga upacara “mangalehen mangan” ini mirip dengan “mangupa”. Bedanya upacara “mangalehen mangan” dengan upacara “mangupa” adalah makanan yang dihidangkan harus dimakan benar-benar kenyang. Makanya upacara “mangalehen mangan” ini disebut dengan “mambutongi mangan” yang artinya makan sekenyang-kenyangnya.
Adapun nasehat-nasehat yang diberikan oleh kaum kerabat dan “hatobangon” dalam upacara adat “mangalehen mangan pamunan” yang disampaikan kepada si anak gadis adalah:
i.    Perlakuan yang sama ketika meninggalkan dan menemui orang tua suami.
ii.  Jika kelakuan tidak baik maka semua keluarga turut malu, jika seorang dilahirkan di lingkungan orang baik-baik maka harus menunjukan sikap yang baik.
iii.  Mempelajari adat-istiadat keluarga suami.
iv.  Sebagai suami-istri harus seia-sekata.
v.  Ada bebberapa pepatah Mandailing berisi nasehat yang harus dipedomani dalam berumah tangga, antara lain:
~ “bahat disabur sabi, anso bahat salangon”. Maksudnya setiap orang harus berbuat kebaikanlah sebanyak-banyaknya agar mendapat balas kebaikan yang banyak (setimpal) pula.
~  “nada tola marandang sere, angkon marandang jolma do, ulang bile roha di alak ni pogos, alak na pogos pe adong do gunana”. Jangan memandang orang dari kekayaannya, tetapi harus dilihat budi pekertinya. Oang miskin pun pada saat tertentu juga ada gunanya. Bantuan tidak saja sifatnya material, tetapi juga bisa dengan bantuan immaterial dan tenaga.
~ ”pantis marhula dongan, pala parlomo-lomo, malo martinara”. Artinya pandai beramah tamah, pandai berkasih sayang dan pengasih, tetapi harus pandai pula menghemat.
Pada saat acara “mangalehen mangan pamunan”, namun terlebih dahulu dilaksanakan “manyurdu burangir” (mempersembahkan sirih adat) sebagai tanda bahwa acara telah dimulai dan kata-kata nasehat diberikan kepada peserta yang hadir dalam upacara adat ini adalah si anak perempuan yang akan diberi makan (calon penganten perempuan); orang tuanya (ibu dan bapak); kakek dan nenek; “kahanggi”, “anak boru”; “mora” dan “hatobangon”. Setelah acara “mangalehen mangan pamunan” selesai. maka acara selanjutnya adalah upacara adat perkawinan (“orja”).

2. “ORJA
Dalam masyarakat Mandailing perkawinan adalah suatu peristiwa besar dan penting, yang didasarkan pada harapan-harapan besar seperti upaya kelanjutan keturunan, pembinaan hubungan di antara keluarga antara kedua belah pihak suami dan isteri. Besarnya makna sebuah perkawinan dalam masyarakat Mandailing ditandai dengan keterlibatan ketiga pilar dalam masyarakat Mandailing yaitu “kahanggi”, “mora” dan “anak boru”.
Sudah sejak lama, karena orang Mandailing umumnya telah memeluk agama Islam, mempraktekkan ajaran Islam dalam praktek perkawinan seperti “pernikahan” misalnya. Dalam hal ini, “nikah” secara islam dilaksanakan menurut “hukum fiqih” adalah bagian yang sangat menentukan dari keseluruhan acara adat perkawinan di Mandailing. Pelaksanaannya dilakukan biasanya pada pagi hari sekitar pukul 08:00 pagi atau juga pada malam hari pada pukul 20:00 malam. Apabila pelaksanaannya pada pagi hari, dimana pada malam harinya akan diadakan “wirit yasin”, sama seperti yang dilaksanakan pada malam hari yang sekaligus malamnya langsung mengadakan “wirit yasin” dengan tujuan untuk meminta doa keppada Allah SWT agar selamat agar kiranya perkawinan yang diadakan akan berjalan lancar dan tidak ada hambatan atau halangan [lihat  An nuur (24) : 32].
Dalam hubungan ini, sebagaimana diketahui bahwa masyarakat Mandailing adalah masyarakat yang taat beragama. Meskipun orang Mandailing hidup sesuai tradisi dan norma-norma sosial namun keberadaan agama (Islam) berada di atas adat dan tradisi. Dalam adat masyarakat Mandailing, adat tunduk kepada agama dan yang dianggap melanggar agama dalam pelaksanaan adat dikesampingkan dan tidak dilakukan dalam pelaksanaannya. Sehingga pada praktiknya seorang laki-laki Mandailing bisa saja menikah lagi sampai batas yang ditentukan ajaran islam yaitu empat istri walaupun masyarakat Mandailing membatasi sekali saja.
Dalam masyarakat tradisional Mandailing perkawinan satu marga dilarang karena masih terdapat satu darah ataupun masih satu keluarga misalnya antara seorang gadis bermarga Nasution dengan pemuda semarga karena adat melarang hal itu. Dahulu, apabila terajdi perkawinan se-marga akan dilaksanakan upacara adat “pahabang manuk na bontar”. Kosekwensinya, pemuda dan gadis yang kawin se-marga itu diusir dari tempat tinggal (“huta”) mereka dan tidak lagi memiliki hubungan  kekerabatan dengan orang-orang yang tinggal di huta mereka. Namun setelah masuknya agama islam masyarakat Mandailing berkembang pesat, dimana “perkawinan satu marga” sudah lumrah terjadi, sebab agama Islam tidak melarang perkawianan se-marga.

a. “Orja Aroan Boru
Di Mandailing, “orja aroan boru” adalah upacara adat perkawinan yang dilaksanakan dirumah pihak keluarga si anak laki-laki (“bayo pangoli’). Biasanya setelah dilaksanakan “orja pabuat boru” secara adat dipihak keluarga “boru na ni oli”, biasanya dilaksanakan tidaklah terlalu lama, untuk mengadakan upacara adat perkawinan dipihak keluarga si anak laki-laki, tergantung kesepakatan bersama antara kedua keluarga mempelai, bisa seminggu, sebulan dan bahkan satu tahun lamanya.
sebelum “boru na ni oli” (perempuan) untuk pergi menuju rumah “bayo pangoli“ setelah mengadakan pesta adat (“orja pabuat boru”) di rumahnya, maka “boru na ni oli” melakukan “tor-tor” (tari adat) dengan maksud untuk berpamitan kepada orang tua serta keluarganya.
Tor-tor“ ini dilakukan untuk meminta izin dan doa restu kepada kedua orang tua serta meminta maaf kepada keluarganya apa bila ada kesalahan yang dia (“boru na ni oli”) lakukan sebelumya kepada orang tuanya. Setelah itu “boru na ni oli” tidak dapat untuk bermanja dengan kedua orang tuanya dan harus hidup mandiri bersama suaminya. Tidak jarang di dalam pelaksanaan “tor-tor perpisahan” ini mereka menari sambil menangis karena tidak bisa menahan kesedihan atas kepergian “boru na ni oli” dari rumahnya.
Sementara “suhut” (yang mengadakan pesta) dari pihak keluargasi anak laki-laki mengundang para kerabat ataupun keluarga yang memiliki ikatan “dalihan na tolu” dan terkadang para tetanggapun ikut diundang untuk dapat hadir dirumahnya dengan maksud hati agar dapat kiranya membantu pelaksanaan “orja godang” pada tahap selanjutnya. Setelah mereka hadir “marpokat” (mufakat) yang dilaksanakan untuk membagi tugas-tugas terhadap masing-masing selama “orja” itu berlangsung dirumah “suhut”.

b. “Marpokat
Upacara adat perkawinan yang dilaksanakan dirumah pihak keluarga si anak laki-laki (“bayo pangoli”) sebelum melaksanakan “orja godang” (upacara besar) terlebih dahulu pihak keluarga laki-laki (“suhut”) mengadakan acara “marpokat” (mufakat) dengan sanak famili memohon sudi kiranya agar semua pihak dapat membantu pada saat “orja godang” berlangsung. Dalam “marpokat” inilah dibagikan perkejaan masingmasing pihak pada saat “orja godang” nanti berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip atau ketentuan adat “dalian na tolu”. Dan biasanya para tetangga ataupun masyarakat setempat ikut berperan dalam membantu pelaksanaan upacara perkawinan seperti masalah dapur dan pekerjaan lainnya.
Di dalam acara “marpokat” ini juga sediakan makanan “sipulut” (pulut beserta intinya) agar kegiatan “marpokat” tersebut dapat “melekat di dalam persaudaraan”. Setelah selesai acara makan barulah dilakukan pula acara “manyurdu burangir” (mempersembahkan sirih adat) karena sirih secara umum sangat penting bagi masyarakat Mandailing di dalam mengadakan upacara adat baik upacara “orja siriaon” maupun “orja siluluton”. Bahkan dapat dikatakan bahwa upacara adat (“orja”) tidak terlaksana tanpa adanya “burangir adat”. “Burangir adat” iini terdiri dari “sontang” (“gambir”), “soda” (“kapur sirih”), “pining” (pinang) dan “timbako” (tembako). Semua bahan  (kelima jenis) itu harus ada agar dapat disebut “burangir adat”, yang dengan disebut dengan istilah “opat ganjil lima gonop” artinya perlengkapan kelima bahan itu harus lengkap baru disebut dengan “gonop” (lengap).. Kemudian “burangir adat” dibungkus dengan “tonun patani” (kain adat) dan diletakkan di “salipi” (tempat “burangir adat”). Setelah selesai “menyurdu burangir adat” barulah “suhut” terlebih dahulu memulai pembicaraan yang kemudian disusul dengan “kahanggi”, “anak boru”, “hatobangon” dan ditutup kembali oleh “suhut”.
Dalam konteks upacara adat, acara “marpokat”, yang dilaksanakan pada acara “markobar” (musyarawah) bertujuan untuk mengambil keputusan yang disetujui bersama, dimulai dengan membunyikan “gondang dua” (atau “gondang tunggu-tunggu dua”) dan dilanjutkan dengan kegiatan “manortor” (tarian adat). Kelompok kekerabatan “suhut”, adalah pembuka pertama untuk “menortor”, lalu diikuti pula oleh tokoh-tokoh adat lain. Pada upacara adat Mandailing dimana “uning-uningan” dibunyikan (“margondang”) selalu diikuti dengan acara “manortor” dan nyanyian “jeir” (nyanyian adat).  Adapun syarat-syarat “menortor” itu terdiri dari berpakaian yang sopan dengan memakai lengan panjang dan memakai kain yang dilipat sampai lutut serta memakai peci bagi kaum laki-laki. Sementara bagi kaum perempuan syaratnya yaitu pakai “tudung dan” kain. Setiap orang yang “manortor “dislempangi” dengan “abit adat” (kain adat) pada bahunya. Jika “raja” diselempangkan di bagian bahu menutup kiri-kanan bahu. Jika “suhut”, “sabe-sabe” disandang dibahu kanan, jika “anak boru sebelah kiri” dan “mora” disebelah kiri-kanan bahu.
Setelah selesai “markobar” lalu pada keesokkan harinya “gordang sambilan” diletakkan di “sopo godang” (balai siding adat), sementara di halaman rumah sudah disibukkan dengan acara masak memasak ( seperti air, nasi) dan memasang peralatan-peralatan adat (disebut “paraget” atau “pago-pago”). Peralatan adat ini terdiri dari:
a) “mandera adat” (bendera adat) yang menurut jenisnya terbagi atas:
~  “mandera merah putih” yang dipasang ditiang secara tegak lurus sebagai pernyataan bahwa masyarakat Mandailing adalah bagian dari NKRI;
~ “mandera raja panusunan” yang berwarna kuning keemasan dan bentuknya segitiga dengan panjang tiga meter;
~ “mandera tonggol raja desa na walu” yang warnanya kuning kombinasi hitam dan merah dan bentuknya segi-tiga dengan panjang tiga meter,
~ “mandera harajaon” (kerajaan) berwarna kuning dan panjang tujuh meter bentuk persegi panjang dan dibuat runcing seperti tanda panah;
~ “madera lipan-lipan” yang warnanya merah, putih dan hitam di selang seling mengikuti lebar mandera dengan ukuran 30 cm dengan panjang tujuh meter dan bentuknya empat persegi panjang dan diujungnya diberi “jambul”;
~ “mandera siararabe” berwarna merah, hitam, putih dan kuning dan warna-warna ini dibentuk segi-tiga kemudian diujungnya diberi juga “jambul”, (vii) “mandera marawan i langit” yang berwarna merah, hitam dan hitam dibentuk segi-tiga dan disusun menurut garis lurus dari kiri kekanan.
(b) “payung adat” (paying) yang berwarna kuning keemasan.
(c) “podang” (pedang).
(d) "tombak".
(e) “langit-langit” dan “tabir”.
(f) “rompayen”.
(g) pelaminan untuk pengantin.
Dan pada pintu gerbang sebelum memasuki pekarangan rumah serta simpang jalan menuju rumah pada pintu tersebut terbuat dari bambu dan daun kelapa yang kemudian ditulis dengan tulisan “horas tondi madingin pir tondi matogu sayur matua bulung”, yang artinya doa dan harapan agar acara ini dapat berjalan dengan lancar dan baik. Di samping bambu sebagai tiang dihiasi juga dengan daun pohon beringin, daun pohon pisang yang biasanya pisang yang sudah berbuah, “sanggar”, “dingin-dingin”, “tebu“ dan “silinjuang”.
Kemudian pada satu hari menjelang “mata ni orja” (hari terkhir pesta), adakalanya “gordang sambilan” dipindahkan ke rumah “suhut”, dimana kegiatan dibuka dengan acara “markobar”. Sewaktu “markobar” ini “suhut” meminta izin untuk memainkan “gordang sambilan”.
Di sini acara “markobar” dilaksanakan untuk mengambil keizinan dari “raja-raja” agar dapat memainkan “gordang sambilan”. Sebagaimana diketahui bahwa segala sesuatu didalam5 adat Mandailing harus dilaksanakan dengan acara “markobar” (musyawarah) dan uga harus dengan didahului “menyurdu burangir adat”. Setelah izin diterima, maka “gordang sambilan” terlebih dahulu “disantani” (tepung tawar). Dalam hal ini, “santan” adalah “santan kelapa” yang dicampur dengan “beras ketan” yang mentah yang dipercikkan dengan daun “dingin-dingin” pada permukaan “gordang sambilan”, baru kemudian Raja Panusunan Bulung untuk “maninggung” (memukul) pertama kalinya, kemudian dilanjutkan dengan pemain musiknya.
Kurang lebih sekitar pukul 08:00 WIB pagi (disebut “manyogot”) kerbau sudah bisa disembelih (dipotong) sebagai “longit” untuk upacara adat dimaksud, yang dilanjutkan dengan kesibukkan hal lainnya yang menyangkut keperluan pesta seperti memasak, dan sebagainya.

c. “Mangalo-alo Boru” dan “Manjagit Boru
Ketika kedua pengantin beserta rombongan sudah mempersiapkan diri untuk mengarak kedua pengantin begitu juga dengan makanan yang akan dibawa para rombongan dituntun dengan pembuka jalan yaitu dua orang pemain pencak silat dibelakangnya adalah pembawa tombak sebagai pengawal, kemudian kedua pengantin dipayungi dengan payung yang berwarna kuning dan disusul pula dengan para keluarga si anak laki-laki dan si anak perempuan. Selain itu juga ada penabuh “gondang dua”.
Setelah sampai di rumah yang dituju, para rombongan disambut oleh keluarga yang sudah menunggu kedatangan mereka dan mempersilahkan masuk agar dapat melaksanakan acara adat selanjutnya. Setelah semuanya masuk di dalam rumah, kemudiam para rombongan dan pengantin membawa makanan yang telah disiapkan dari rumah “suhut”. Makanan itu diletakkan di tengah-tengah ruangan dan di hadapan keluarga dan “hatobangon”. Tidak lama kemudian makanan dibawa lagi kebelakang untuk mempersiapkan acara “mangalehen mangan” (makan bersama). Dapat dijelaskan bahwa “tempat makanan” yang dibawa adalah berupa “rantang” sebagai wadahnya agar mudah dibawa dan tidak tumpah. Setelah selesai makan bersama, kemudian  seseorang “menyurdu burangir” kepada “hatobangon” bahwa untuk meminta izin acara adat selanjutnya yaitu “marsipaingot” yaitu menyampaikan pesan (nasihat) kepada kedua pengantin.
Semua kerabat (mora, kahanggi, anak boru), termasuk kedua orang tua dan “hatobangon” menyampaikan pesan (nasihat) kepada kedua mempelai. Biasanya pesan yang mereka berikan adalah mengenai bagaimana menjalani hidup berumah tangga yang penuh dengan rintangan dan cobaa, serta pentingnya musyawarah antara suami dan istri untuk memecahkan masalah. Dan ada juga menyampaikan tanggung jawab mereka sebagai suami dan istri seperti bagi laki-laki yang harus menjadi pemimpin yang benar dan bertanggung jawab kepada istri dan anaknya. termasuk mencari nafkah yang halal. Sementara bagi perempuan harus mampu menjadi istri yang soleha terhadap suami serta anaknya. Dengan demikian, Kedua pengantin bukan lagi tanggung jawab orang tua mereka. Seringkali pesan (nasihat) yang mereka berikan itu “berbaur” dengan isak dan tangis.
Setelah penyampaian pesan untuk kedua pengantin selesai para keluarga baik keluarga si anak laki-laki maupun keluarga si anak perempuan kembali mempersiapkan diri untuk menuju ke rumah “suhut” (tempat pesta). Untuk mengantarkan kedua pengantin ke tempat pesta, posisi pengiring rombongan sama dengan halnya mengarak pengantin, dimana yang bertindak sebagai “pembuka jalan” adalah pemain penca silat (disebut “parmoncak”). Pada saatnya tiba para rombongan dan kedua pengantin dipintu gerbang, kedua pengantin didudukan di halaman yang dan ditemani oleh sejumlah sanak saudara. Dalam acara penyambutan ini biasaya para orang tua dan pemain “gordang sambilan” diberi waktu untuk mempersiapkan diri sekitar 30 menit.
Kemudian orang tuanya menunggu di depan pintu rumah, termasuk “amangtua”, “inangtua” “amangguda” dan “inanguda” untuk menerima kedua pengantin. Ayah dan “amanguda” memegang “bayo pangolin” dan Ibu dan “inanguda” memegang “boru ni oli”, yang kemudian membawa kedua mempelai untuk mengantarkan duduk di “pantar bolak paradaton”. Di tempat itu, keluarga pihak si anak perempuan menyerahkan si anak gadis kepada pihak keluarga si anak laki-laki untuk melaksanakan upacara adat selanjutnya. Terkadang, pihak keluarga “bayo pangoli” menyuruh keluarga “boru na ni oli” tetap tinggal sampai acara adat selesai. Tidak berapa lama kemudian acara adat “markobar” (musyawarah) dilaksanakan untuk meminta izin kepada “hatobangon” agar “gordang sambilan” dapat dibunyikan atau disebut dengan acara adat “panaek gondang”.

d. “Panaek Gondang
Sebelum “markobar” dilaksanakan, semua yang hadir di dalam acara adat “markobar” duduk “ditikar adat” untuk melaksanakan “markobar” (musyawarah) di “sopo godang” yang terlebih dahulu memakan hidangan yang telah disiapkan yaitu pulut beserta intinya (“sipulut”).
Markobar” ini dilaksanakan untuk memohon kepada “hatobangon” (“Namora Natoras”) agar memberikan izin kepada “suhut” untuk membunyikan “gordang sambilan” pada upacara adat perkawaninan di rumahnya. Seperti biasanya dalam kegiatan “markobar” terlebih dahulu “menyurdu burangir” yang dilakukan oleh “anak boru”. Setelah “burangir adat” diterima barulah dilakukan pemukulan alat musik “mongmongan” (perkusi kecil) sebanyak “sembilan kali” sebagai pertanda bahwa pembicaraan akan dilaksanakan. Dalam acara “markobar”, yang memulai pertama adalah “paralok-alok” yang meminta agar “suhut” untuk membuka pembicaraan dan seterusnya yang hadir di dalam acara “markobar”. Dapat dijelaskan bahwa setelah “paralok-alok” memulai pembicaraan, “mongmongan” dipukul sekali dan bisa tiga kali setiap pembicaraan dan ditutup dengan memukul “mongmongan” sebanyak sembilan kali. Adapun yang hadir dalam acara “panaek gondang” ini adalah “suhut” dan “kahanggi”-nya, “anak boru”, “pargondang”, “namora natoras” dan “raja-raja adat” (:hatobangon”).
Setelah izin sudah diterima, para raja-raja memukul “gondang dua” terlebih dahulu. Setelah itu barulah memukul “gordang sambilan” terlebih dahulu setelah “gondang dua” dibunyikan pada waktu akhir “markobar” dan ditutup dengan ucapan kata “horas”. Setelah acara “markobar” selesai dengan membunyikan “gondang dua”, selanjutnya para pemain “gordang sambilan” dapat memukul “gordang sambilan”. Ketika “gordang sambilan” dimainkan, tari “sarama” diikut sertakan pula. Tidak jarang. setiap pemain tari “sarama” mengalami kesurupan oleh “roh-roh halus” yang diyakini adalah roh-roh leluhur. Pada saat pemain tari “sarama” itu kesurupan, para pemain “gordang sambilan” memukul “gordang sambilan” dengan cukup keras tanpa ada kesalahan. Penari “sarama” yang tidak menyadarkan diri (kesurupan) itu akan mengamuk apabila “pargordang” (pemain gordang) salah memukul dalam permainan “gordang sambilan”.
Namun, ketika “gordang sambilan” dibunyikan yang diikuti dengan tari “sarama”, para pemain “gordang sambilan” bergantian untuk membunyikannya karena membutuh tenaga yang cukup besar untuk memainkan “gordang sambilan”. Ketika mahluk halus atau jin (disebut “begu”} yang memasuki tari “sarama: ingin keluar dari raga penari (disebut “panyarama”), dipersembahkanlah “burangir” (sirih) sebagai sarat agar “begu” itu dapat keluar dari raganya. Setelah para “panyarama” itu sadar barulah permainan “gordang sambilan” dapat dihentikan.
Menjelang sore hari, acara adat selanjutnya adalah memainkan “gondang dua” atau “gondang boru”. Dengan membunyikannya “gondang tortor” ini yang diikuti dengan “ende jeir” (nyanyian jeir), maka “galanggang penortoran” pun mulai di buka. “Galanggang penortoran” dibuka oleh raja yang pertama menortor yang kemudian dilanjutkan dengan “suhut”, “kahanggi suhut”, “mora” dan “anak boru”. Pada waktu menjelang malam hari, acara “tortor” pun dihentikan untuk istirahat.
Acara kemudian dilanjutkan sekitar pukul 8 malam, dimana “gordang sambilan” kembali dibunyikan tetapi pemainnya adalah bukan “pemain yang sebenarnya” sebanyak satu atau dua orang pemain dapat digantiakan siapa saja yang bisa dan ingin memainkannya dipersilahkan. Sesudah puas memukul “gordang sambilan” dan mereka punberistirahat sebentar dan kemudian dilanjutkan pu;a dengan acara “tortor naposo nauli bulung” adalah “tortor” yang dilaksanakan kaum muda-mudi yang berlainan “marga”.[2]
Sebelum menarikan “tortor naposo nauli bulung” mereka terlebih dahulu mengundang dan meminta izin kepada orang tuanya. Jika telah diizinkan orang tua maka akan diatur penjemputannya, dan setelah selesai “manortor” diantar kembali kepada orang tuanya. Setelah “tortor naposo nauli bulung”, kemudian dilanjutkan dengan “tortor na morapule” dan “tortor raja-raja” sehingga tidak jarang sacara ini berlangsung sampai tengah malam.

3. “MATA NIORJA
Mata ni orja” adalah puncak upacara adat “siriaon” maupun “siluluton” yang telah dilaksanakan di rumah “suhut”, yang merupakan akhir pesta (upacara) adat. Pada pagi hari semuanya disibukkan dengan mempersiapkan bangku dan meja serta mempersiapkan hidangan makanan untuk para undangan. Menjelang tengah hari, sekitar pukul 10:00 pagi,  para tamu-tamu sudah mulai berdatangan dan “gordang sambilan” pun sudah mulai dibunyikan. Ketika membunyikan “gordang sambilan” ketika itu hanya berupa “latihan” dan untuk meramaikan agar masyarakat berdatangan melihat dan mendengar “gordang sambilan”. Karena itu, dalam memainkan pada waktu itu “gordang sambilan” diperbolehkan siapa saja yang bisa dan mau (belajar) memainkannya.
Pada pagi hari acara “menortor” pun sudah dilaksanakan sekitar pukul 09:00. Kelompoak yang pertama melaksanakan “tortor” adalah para “raja-raja” yang disebut dengan “tortor raja-raja” dan dilanjutkan kelompok “penortor” lain secara berturut-turut yaitu “suhut”, “kahanggi”, “anak boru”, “mora”, “raja-raja” dan “raja panusunan bulung”yang diiringi oleh ensambel “gondang tortor” dan “ende jeir”, namun terkadang juga dengan “ende onang-onang” (nyanyian angkola) dsajikan.
Setelah acara “panortoran” selesai, kemudian  dilanjutkan dengan mengundang “raja-raja” untuk hadir di “pantar paradaton” agar acara “markobar” dilaksanakan. Seperti biasanya di dalam acara “markobar” terlebih dahulu memakan “sipulut” serta intinya dan minuman yang telah dihidangkan dan setelah selesai makan “pulut” itu, barulah “manyurdu burangir” sebagai pertanda bahwa acara “markobar” dimulai. Untuk memulai acara “markobar”, alat musik ”mongmongan” dibunyikan sebanyak sembilan kali sebagai pertanda “galanggang ni adat” telah dibuka dan seterusnya “paralok-alok” mempersilahkan “suhut” untuk membuka pembicaraan dalam menyampaikan maksud mulai dari “menyampai boru” sampai mengadakan “orja godang” dan “suhut” juga memohon agar kedua pengantin dapat direstui oleh “raja-raja” (“hatobangon”). Di dalam permohonan “suhut” ini didukung oleh “kahanggi” dan “anak boru” serta “namora natoras” yang menguatkan maksud dari “suhut” itu. Selesai “suhut” berbicara, ke,mudian “mongmongan”  dibunyikan sekali dan diikuti pembicara “kahanggi” serta yang lainnya untuk “markobar” dan ditutup oleh “raja panusunan bulung” yang “markobar” yang isinya sebagian menyambut berbagai pendapat, saran maupun kritikan, dan keputusan bahwa permohonan “suhut” dapat dilaksanakan dan “mongmongan” pun kembali dibunyikan sebanyak sembilan kali.
Setelah selesai acara “markobar” dan sudah ada keputusan dari “raja panusunan bulung”, maka kedua pengantin yaitu “bayo pangolin” dan “boru na ni oli” serta rombongan yang sebagai pengiring kedua pengantin mempersiapkan diri untuk melaksanakan acara adat selanjutnya, dimana kedua pengantin akan di bawa ke “tapian raya bangunan”, yang maksudnya adalah untuk membuang sifat masa lajang dan masa anak gadis ke sungai sewaktu mereka belum menikah.

a. Membawa Pengantin Ke “Tapian Raya Bangunan
Membawa pengantin ke “tapian raya bangunan” maksudnya yaitu membawa mereka ke sungai untuk melepaskan masa lajang dan masa gadis para pengantin. Kegiatan ini misalnya dilakukan di pinggiir sungai Batang Gadis.
Perlengkapan yang harus dibawa adalah “pangir” yang terdiiri dari “jeruk purut” yang dipotong dan air secukupnya. Kemudian untuk memercikkanya adalah dengan menggunakan daun-daunan berwarna hijau yang diikat menjadi satu. Sebenarnya ketika membawa kedua pengantin ke “tapian raya bangunan” bukanlah hanya begitu saja, tetapi mempunyai susunan sekelompok orang untuk mengiringinya sebagai berikut:
~   Dua orang “parmoncak” (pemain pencak silat) yang  memakai “podang” (pedang) yang berfungsi sebagai “pembawa jalan” ke “tapian raya bangunan”.
~    Dua orang membawa tombak yang ujung tombaknya ke arah atas.
~   Seorang ibu yang berkedudukan sebagai “anak boru” untuk membawa “pangir” dengan cara menjujung atau diletakan di atas kepalanya.
~    Seorang membawa bambu dan batu kerikil.
~  Dua orang ibu diselah kiri dan kanan pengantin yang biasanya adalah “namboru” dari pengantin laki-laki dan “boru na ni oli” membawa bambu yang dibentuk pakai tangkai dan diikat bersama daun-daunan. Kemudian dibelakangnya adalah membawa “payung adat” sebagai paying kedua mempelai.
~  Dua orang laki-laki yang sudah menikah serta orang yang dibelakangnya memegang payung beserta rombongan untuk mengiringi dan meramaikan acara di “tapian raya bangunan”.
~   Kelompok terakhir adalah pemain ensambel musik “gondang boru”.
Setelah sampai di tempat, para pengantin didudukkan di bangku yang telah disediakan kemudian seorang “datu” (dukun) mempercikkan air kepada kedua pengantin. Sambil memercikkan air tersebut, sang datu sambil menanyakan berapa keturunan (anak) dan jenis kelamin apa yang mereka inginkan ketika berumah tangga, yang ditandai dengan batu kerikil yang sudah disiapkan. Kegiiatan ini disaksikan oleh para rombongan dan masyarakat yang melihatnya. Kemudian ditutup dengan doa. Cara pemercikannya dengan menggunakan daun-daun yang dingin seperti daun “silinjuang” (yang berwarna hijau). Setelah semuanya selesai, Kedua pengantin dibawa kembali ke rumah. Cara membawanya juga seperti membawanya  ke “tapian raya bangunan” yang diiringi oleh para “pargondang” dan “parmoncak”. Sesampai di pintu rumah mereka sudah ditunggu oleh kedua orang tua yang sudah mempersiapkan tiga “pelepah batang pisang” beserta pelengkapannya, kemudian “pelepah batang pisang” tersebut diinjak terdahulu oleh kaki sebelah kanan dan diikuti kaki sebelah kiri, barulah “bayo pangoli” dan “boru na ni oli” masuk ke dalam rumah.
Setelah kedua pengantin telah melaksanakan adat “tapian raya bangunan” dan KEMBALI memasuki rumah, maka “markobar” kembali  dilaksanakan untuk memberikan “gelar adat” kepada “bayo pangoli” (“mangalehen gorar”). Jika “bayo pangoli” kawin dengan anak gadis dari suku-bangsa lain misalnya dari suku Jawa, maka dalam kesempatan in “boru Jawa” tersebut diberi “marga” dari “boru tulang”-nya. Kalau “bayo pangoli” ber-marga Nasution, maka “boru Jawa” itu dapat diberi “margaNasution, rangkuti, Parinduri, dan “marga-marga Mandailing” lainnya.

b. “Mangalehen Gorar
Ketika kedua pengantin telah selesai melaksanakan upacara adat di “tapian raya bangunan”, maka dilanjutkan dengan acara adat “mangalehen gorar”. Acara adat “mangalehen gorar” adalah menabalkan “gelar adat” kepada “bayo pangolin” yang biasanya dilaksanakan pada sore hari  yang dilaksanakan setelah disetujui dalam kegiatan adat “markobar”. Dalam hal ini. para “raja-raja” dan semua kelompok kekerabatan yang hadir62 di dalam acara adat “markobar” merundingkan untuk menentukan gelar yang akan diberikan kepada pengantin laki-laki. Setelah gelar yang sesuai sudah didapatkan untuk diberikan kepada “bayo pangolin”, maka “bayo pangolin” di panggil untuk segera datang ke “pantar bolak paradaton”.
Sesampai di situ “bayo pangoli” langsung duduk di “tikar adat” yang sudah disiapkan di tengah-tangah “pantar bolak paradaton”. Kemudian “burangir adat” dan “salipi” yang berisikan “beras”, “jahe”, “garam” dan “rumpit” yang dilapisi oleh “ujung daun pisang” yang ujungnya dihadapkan ke “bayo pangolin” dan “pangkal”-nya ke arah “raja panusunan bulung”, serta “oris” (keris) yang dilintangkan ke arah depan.
Sebelum gelar diberikan oleh “raja panusunan bulung”, ia memberikan arahan kepada “bayo pangoli” seperti bagaimana menjalankan hidup berumah tangga, maka “salipi” yang berisikan “beras” yang artinya untuk kebutuhan pokok dalam kehidupan berumah tangga, “jahe” yang dicampurkan dengan “garam” apabila dimakan akan terasa asin dan pedas begitulah hidup berumah tangga, namun lama-kelamaan makan “jahe” dan “garam” akan terasa manis, itulah hidup berumah tangga setelah pedas dan asin dirasakan lebih dahulu barulah terasa manis kemudian, sementara “rumpit” yang bertanda apabila kalau ada masalah di dalam rumah tangga jangan disebar-luaskan kepada orang, melainkan harus dimusyawarahkan, dan terakhir adalah keris meupakan pemimpin yang benar dan tidak pandang bulu terhadap rumah tangga dan keluarga.
Setelah arahan diberikan kepada “bayo pangoli”, maka “mongmongan” dibunyikan sebanyak sembilan kali sebagai pertanda bahwa pemberikan gelar akan berikanoleh “raja panusunan bulung”. Dalam pemberian gelar ini, “bayo pangoli” mengangkat keris serta membukanya ke arah atas sebagai pertanda bahwa “bayo pangoli” sudah syah mendapatkan gelar yang diterimanya. Pemberian gelar ini dilakukan oleh “raja panusunan bulung” atas usul dari “natoras” yang disaksikan oleh “raja-raja” serta semua yang hadir di dalam acara “markobar”. Dan “penambalan gelar” ini dilakukan oleh “raja panusunan bulung” atas usulan dari “namora-natoras” yang disaksikan oleh “raja-raja adat” lainnya. Lazimnya,  pemberian gelar adat kepada “bayo pangoli” adalah mengikuti dari kakeknya dan tidak bisa mengambil gelar dari orang tuanya.

c. “Mangupa
Setelah selesai pemberian “gorar adat” (gelar adat) dilaksanakan, maka dilanjutkan dengan melaksanakan acara adat “mangupa”, adalah upacara adat dengan menyampaikan pesan-pesan adat dan petunjuk kepada “ bayo pangoli” dan “boru na ni oli”. Dan biasanya “mangupa” dapat diartikan sebagai ungkapan kegembiraan bahwa “sesuatu” yang diharapkan dapat terlaksana dengaan baik sudah terwujud. Apabila “mangupa” selesailah sudah pelaksanaan upacara adat perkawinan semuanya. Dan jika masih ada upacara adat berikutnya, itu adalah sebagai pelengkap acara saja.
Dalam pelaksanaan “mangupa” terhadap “bayo pangoli” dan “boru na ni oli” terlebih dahulu “manyurdu burangir” yang dilakukan oleh kedua orang tua mereka, keluaraga dari “dalian na tolu” (“mora”, “kahanggi”, “anak boru”), “raja-raja” dan “datu pangupa” serta ditutup oleh “raja panusunan bulung”. Setelah “manyurdu burangir”, “raja panusunan bulung” melakukan pembicaraan khusus dengan kedua pengantin, kemudian menyerahkan kepada “datu pangupa” untuk melaksanakan acara adat “mangupa” kepadanya. Seterusnya “datu pangupa” memberikan izin kepada kedua orang tua mempelai untuk memberikan ucapan kepada mereka dan biasanya mengungkapkan perasaan bersyukur  kedua pengantin, dengan harapan agar masalah di dalam berumah tangga dapat mereka selesaikan berdua. Pelaksanaan “mengupa” setelah “manggoar” juga dimaksudkan agar nama yang diberikan tersebut diterima sebagai “tondi dohot badan” kedua pengantin. Dalam hal ini, “tondi” adalah sesuatu yang abstrak dalam jiwa seseorang yang memberi kekuatan “tuah” dan “marwah” kepada seseorang. Sering juga disebut pada “acara adat” agar kedua pengantin ini “maroban tuah dohot asangapon” (membawa “marwah” dan rezeki atau “tuah”).
Tujuan dari “mangupa” adalah untuk memperkuat “tondi” atau mengembalikan “tondi” ke dalam tubuh agar “bayo pangoli” dan “boru na ni oli” menjadi tegar dalam menghadapi tantangan ataupun dapat hidup normal kembali seperti biasa apabila “tondi-“nya hilang. menurut Pandapotan Nasution (2005:174-181), ada berbagai macam tingkatan “pangupa” yaitu :
~  “pangupa pira ni manuk” (telur ayam, adalah “pangupa” yang paling sederhana, yang terdiri dari telur ayam dan nasi, garam, udang, ikan, sayur daun ubi, dan air putih untuk diminum. Dan yang hadir adalah biasanya hanya yang satu rumah, kalaupun ada orang luar adalah orang yang membawa “upa-upa”.
~  “pangupa manuk” (ayam). Untuk “pangupa manuk” yang disajikan adalah ayam yang dipanggang dan masih utuh tanpa dipotong–potong. Ditambah pula dengan tiga butir telur ayam yang direbus, “gulaen garing” (ikan), nasi putih dan garam. Dengan “pangupa manuk” ini, yang hadir adalah anggota keluarga dan kaum kerabat lainnya.
~ “pangupa ambeng” (kambing). Acara ini dilakukan dengan acara yang benar-benar dilaksqanakan secara formal. Adapun bagian-bagian tubuh kaming yang digunkan adalah kepala, kaki depan sebelah kanan, kaki kiri bagian belakang, ekor, sedikit dagingnya, hati, jantung dan serta isi perut. Dalam “pangupa kambing” ini,  yang hadir adalah tentunya lebih lengkap dan ditambah dengan “namora natoras” serta “raja pamusuk”.
~  “pangupa orbo” (kerbau), adalah bentuk “pangupa” yang paling tinggi dan biasanya “pangupa orbo” dilakukan pada acara-acara yang diadakan oleh “raja-raja” dan keturunannya. Bahan-bahan yang disediakan untuk “pangupa orbo” sama dengan yang di atas yaitu: (i) Nasi putih adalah nasi yang dilambangkan sebagai lambing perencanaan dan tanda-tanda keikhlasan hati dalam segala hal. Untuk “sampai ke atas piring nasi” memerlukan proses panjang dan kerja keras yang dimulai dari menabur bibit, meencangkul, menanam, menyingai sampai kepada panen, menumbuk padi menjadi beras dan menanak beras menjadi nasi. Sedangkan warna putih melambangkan keikhlasan; (ii) Telur ayam, sebagai lambang doa untuk memohon agar jiwa dan raga bersatu padu, tetap selamat dan sehat-sehat; (iii) Garam (“sira”), yang melambangkan kekuatan. Garam sangat dibutuhkan manusia. demikian juga yang “diupa-upa” diharapkan tetap dibutuhkan dan bermanfaat bagi orang lain; (iv) Air putih melambangkan keikhlasan karena dalam mengerjakan sesuatu haruslah dengan hati – hati dan yang bersih serta ikhlas; (v) “Gu;aen” (ikan) adalah melambangkan dinamika dan persatuan. Ikan upah – upah terdiri dari dua ekor melambangkan suami istri sebagai ikan, yang selalu sama – sama kehulu dan sama – sama ke ilir; (vi) Udang melambangkan sebagai strategi kehidupan. Gerakan maju mundur adalah karakter udang; (vii) Daun ubi yang diikat lembar demi lembar. Daun ubi melambangkan sebagai umur yang panjang dan bermanfaat; dan (ix) Kepada kerbaua dalah “pangupa” yang paling besar. “Pangupa ulu ni orbo” ini dihadapkan ke muka pengantin dalam keadaan utuh. Namun untuk saat ini sudah jarang digunakan “kepala kerbau” secara utuh sebagai “pangupa” pada acara adat. Hal ini terjadi setelah masuknya agama islam karena bertentangan dengan ajaran agama Islam. Namun begitupun ada istilah adat yang menyatakan “hombar do adat dohot ibadat”, yang artinya adat dan ibadat tidak dapat dipisahkan. Adat tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama islam, jika bertentangan dalam pelaksanaannya maka adat itu dikesampingkan sehingga kepala kerbau sebagai “pangupa” dihapuskan.
Di tempat pelaksanaan acara adat “mangupa”, kepala kerbau diletakkan di atas “induri” setelah dialasin dengan “bulung bulung ujung” (daun pisang) sebayak tiga helai sebagai perlambang “dalian na tolu”. Sedangkan bahan-bahan lainnya telah dimasak disusun di atas piring besar. “Induri” adalah lambang kemasyarakatan sebagai sesuatu yang benar dan salah. Setelah acara adat “pangupa orbo” ini selesai, maka pada malam harinya dilanjutkan dengan acara “mangoloi na loja” yaitu meladeni yang bekerja selama upacara adat perkawinan itu berlangsung dan untuk itu “suhut” mengucapkan terima kasih kepada kerabat yang selama ini membantu di dalam pelaksanaan “orja godang”. Tidak jarang di dalam pelaksanaannya dihidangkan makanan untuk makan bersama semua unsur “dalian na tolu” serta masyarakat yang membantu selama pelaksanaan upacara adat perkawinan di rumah “suhut”. Selanjutnya, setelah makan bersama selesai, kemudian “suhut” memberi mereka “bungkusan” yang berisi “daging” ataupun “tulang rinca” berserta lauknya sebagai uangkapan rasa terima kasih.

FUNGSI "MUSIK ADAT "
Pada upacara adat perkawinan dalam masyarakat Mandailing, seni pertunjukan “gordang sambilan” dan "gondang boru" identik dengan “kemapanan” seseorang melaksanakan upacara adat perkawinan tersebut. Sebab suatu keluarga yang mengadakan upacara adat dengan menggunakan ensambel “gordang sambilan” termasuk keluarga yang bisa dikatakan orang yang mempunyai harta yang lebih karena dalam mengadakan “gordang sambilan” menggunakan anggaran yang besar mulai dari mengadakan peralatan adat (“paragek” atau “pago-pago”) di halaman rumah seperti bendera adat, payung adat yang diberi rumbai, pedang, “langit-langit”, “rompayan” dan 6 pelaminan hingga upacara adat perkawinan yang berlangsung selama “tiga hari dua malam”, sehingga keluarga yang mengadakannya boleh dikatakan orang yang terpandang.
Dalam upacara “orja godang” (pesta besar), seekor kerbau jantan yang sudah cukup umur disembelih (disebut “longit”) sebagai syarat untuk mengadakan “gordang sambilan”, meskipun untuk “mangampeon gondang” (menempatkan “gordang” pada “rumah gendang” yang disebut “sopo godang” dalam upacara adat perkawinan tersebut itupun harus meminta izin kepada Raja Pasunan Bulung. Meminta izin tersebut dengan “menyurdu burangir adat“ kepada raja tersebut.
Raja Pasunan Bulung” adalah seorang ahli dan penguasa dalam adat-istiadat Mandailing. Keizinan dapat diperoleh dari hasil “marpokat” dalam acara “markobar” (musyawarah adat). “Gordang aambilan” yang dimainkan adalah alat musik yang bersifat sebagai pembawa ritme yang berulang-ulang. Dalam segi musikal, “gordang sambilan” mempunya pola ritme yang dimana penentu patokannya terhadap ritme “gordang sambilan” adalah “patolu” yang dipukul dua kali dalam setiap empat ketuk dengan pukulan yang konstan, “padua” (setelah “patolu”), “udong-kudong” sebagai pengisi ritme, dan “enek-enek” (paling kecil) serta “jangat” (paling besar) yang berfungsi sebagai variasinya dari empat “gordang” tersebut (di Pakantan).
Ada beberapa fungsi “gordang sambilan” dan "gondang boru". Fungsi “gordang sambilan” dan "gondang boru" pada upacara adat “orja siriaon” (perkawinan) adalah suatu bentuk pengumuman kepada masyarakat mengenai proses perkawinan yang dilaksanakan. Selain itu, juga berfungsi sebagai media pertemuan antar pemuka masyarakat atau tokoh adat Mandailing, sebagai simbol pengesahan bahwa telah dilakukannya pemberian gelar ataupun penerapan hukum adat, dan sebagai tanda sekaligus pemberitahuan kepada masyarakat bahwa upacara acara adat sedang berlangsung.
Dengan memperhatikan teori William P. Malam (1964) tersebut, paling tidak terdapat 4 (empat) fungsi “gordang sambilan” dalam upacara adat perkawinan dalam masyarakat Mandailing, yaitu:
~    Hiburan, yaitu anggota masyarakat Mandailing yang mengadakan “gordang sambilan” di dalam upacara adat perkawinan akan terhibur dengan adanyagordang sambilan” karena salah satu tujuan “gordang sambilan” disajikan adalah untuk menghibur masyarakat yang hadir di dalam upacara adat perkawinan tersebut.
~  Pengesahan lembaga sosial, dengan dimainkannya “gordang sambilan”  dalam upacara adat perkawinan telah menjadi simbol (pertanda) bahwa sahnya pelaksanaan upacara adat perkawinan tersebut.
Kesunambungan masyarakat, dimana seni pertunjukan “gordang sambilan” merupakan kegiatan yang secara sengaja dilakukan untuk mempertahankan dan kesinambungan tradisi budaya music yang ada pada kebudayaan masyarakat Mandailing.
~  Pengungkapan emosional, dimana kegiatan yang dilakukan pada “gordang sambilan” erat kaitannya dengan pengungkapan perasaan dan ekspresi bahagia yang dituangkan dalam wadah “orja siriaon”ini memanfaatkan ensambel musik“gordang sambilan”.

EPILOQ
Fakta menunjukkan bahwa permainan “gordang sambilan” dan "gondang boru" cenderung berbeda di setiap daerah (huta atau banua) dan demikian pula dengan jumlah pemainnya seperti Pakantan, Huta pungkut dan Tamiang dan Huta Godang. Meskipun demikian, namun bentuk dan jumlah “gordang sambilan” dan "gondang boru" yang digunakan adalah sama dalam setiap pelaksanaan upacara adat perkawinan di Mandailing.
Hadirnya seni pertunjukan “gordang sambilan” dan "gondang boru" dalam setiap pelaksanaan upacara adat perkawinan Mandailing harus terlebih dahulu meminta izin kepada “raja pansunan bulung” melalui acara adat “markobar” (musyawarah) dengan menyembelih minimal seekor kerbau jantan yang sudah cukup umur sebagai “longit”.  Dan sebagai seni pertunjukan musik yang memiliki keunikan tersendiri (seperti rhythmic density), maka sudah seharusnys eksisitensi “gordang sambilan” dan "gondang boru" didiupayakan dengan melestarikannya sebagai kebudayaan asli Indonesia.

Gandoang, 26 Agustus 2014.
~0~




[1] Dengan berbagai alasan orang Mandailing sejak dahulu telah merantau ke berbagai wilayah seperti Medan (Doli), Sumatera Barat, Riau, dan lain-lain, bahkan hingga ke semenanjung Malaysia.
    [2] Misalnya anak gadis bermarga Nasution yang ”iayapi” atau “isembar” oleh pemuda yang bermarga Lubis, atau sebaliknya.