Minggu, 20 Januari 2013

Urak Ulu & Siladang










Pulau Sumatera atau dahulu disebut Andalas adalah tanah pertama yang disinggahi dan dilalui oleh migrasi besar-besaran suku-bangsa Proto Malayan, dan oleh karena itulah pulau Sumatera termasuk wilayah yang banyak tersebar suku-bangsa Proto Malayan. Mereka tersebar ke seluruh wilayah pedalaman Pulau Sumatera dan juga di bagian pesisirnya.

Suku-suku bangsa Proto Malayan di pulau Sumatra, antara lain yaitu: 1. Nias; 2. Simalur (Simelue: Devayan, Lekon, Sigulai/suku Salang, dan Haloban di kepulauan Banyak); 3. Mentawai; 4. Enggano (puak Kauno, puak Kaitora, puak Kaohoa, puak Kaarubi, puak Kaaruba); 5. Alas; 6. Gayo; 7. Singkil; 7. Kluet; 8. Pakpak (puak Pakpak Keppas, puak Pakpak Boang,puak Pakpak Kelasen,puak Pakpak Pegagan,puak Pakpak Simsim); 9. Karo; 10. Simalungun; 11. Toba (puak Samosir, puak Silindung, puak Humbang, puak Toba); 12. Angkola; 13. Siladang; 14. Mandahiling; 15. Orang Ulu; 16. Rao; 17. Rokan; 18. Padang Lawas; 19. Pasisi; 20. Akit; 21. Sakai; 22. Talang Mamak; 23. Kubu (anak dalam); 24. Laut; 25. Ranau; 26. Abung; 27. Komering; 28. Lampung; 29. Daya; 30. Pasemah; 31. Rawas; dan 32. Rejang.

Khususnya di pedalaman pesisir pantai barat daya pulau Sumatera terdapat dua suku-bangsa Proto Malayan, yaitu Suku Lubu (Siladang) di Panyabungan dan Suku Ulu (Urak Ulu) di Muara Sipongi, Kabupaten Mandailing Natal (Madina) sekarang. Suku Lubu dan Suku Ulu ini sejak abad ke-2 Masehi diperkirakan telah bermukim di Pulau Sumatera, tepatnya di pedalaman pesisir pantai barat daya Pulau Sumatera, yaitu di luat (wilayah) Mandailing, tepatnya di kaki-kaki pegunungan Bukit Barisan. 


Berikut ini diuraikan sedikit tentang beberapa aspek kehidupan Suku Lubu dan Suku Ulu.

1. URAK ULU

Urak Ulu (Suku Ulu) atau sering juga disebut "Orang Tanah Hulu", adalah suatu masyarakat adat yang tempat pemukimannya terletak di Desa Sibinail dan Desa Tamiang Mudo di kecamatan Muara Sipongi, Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatra Utara. Diperkirakan populasi suku Ulu ini sekitar 135 Kepala Keluarga.

Suku Ulu ini telah eksis di banua (kawasan) Mandailing sejak awal abad ke-2 Masehi, yang bermukim di hutan pedalaman di luat (wilayah) Mandailing. Ketika itu mereka hidup sebagai nomaden, menjelajah di hutan pedalaman, dan tidak menetap pada suatu tempat secara permanen. Namun kemudian akhirnya mereka menemukan suatu tempat yang cocok untuk dijadikan sebagai lahan pertanian (sawah dan ladang). Namun lama kelamaan setelah mereka menetap dan membangun perkampungan di daerah baru tersebut, pemukiman mereka di perkampungan ini semakin terasa sempit, sementara mereka masih membutuhkan lahan untuk memperluas tanah garapan. Pada masa itu lahan di pemukiman mereka semakin terbatas seiring dengan pertambahaan penduduk. Wilayah pemukiman mereka dianggap tidak mencukupi lagi sumberdaya alamnya, baik persawahan maupun perladangan, sehngga mereka memilih pergi untuk mencari tempat baru untuk dijadikan pemukiman dan lahan pertanian baru. Akhirnya sampailah mereka di suatu tempat dan membuat sebuah perkampungan yang disebut sebagai Desa Sibinail di Muara Sipongi.

Pada awalnya di daerah Sibinail ini sudah dihuni oleh tiga suku yang telah lebih dahulu bermukim di wilayah ini, yaitu Suku Mondoilig (Mandailing), Suku Pungkut dan Suku Kamak Kepuh. Keturunan dari tiga suku yang mendiami Desa Sibinail ini berbaur pula dengan suku Ulu. Desa Sibinail ini dalam perjalanan sejarahnya, awalnya terdiri dari tiga Dusun yaitu Dusun Sibinail, Dusun Ranto Lolo dan Dusun Tamiang Mudo. Setelah sekian lama, ketiga dusun tersebut semakin berkembang, lalu digabungkan dan membentuk dua desa, yaitu Desa Sibinail dan Desa Tamiang Mudo. 

Sewaktu Perang Paderi yang bergolak pada akhir abad ke-19, sebagian penduduk dari ketiga dusun tua tersebut pindah ke tempat pemukiman lain yang dikenal dengan sebutan Sipaga-paga di luat Panyabungan (Mandailing Godang) yang dihuni oleh Suku Lubu yang lebih dikenal sebagai Alak Siladang (Suku Siladang). Perpindahan mereka dikabarkan karena menghindar dari pasukan serdadu Paderi. Di tempat baru tersebut mereka berbaur dan terjadi perkawinan campur dengan Suku Siladang yang menyebabkan terbentuknya bahasa dan adat-istiadat tersendiri, yang berbeda dengan bahasa dan adat-istiadat penduduk di Sibinail. Sedangkan sebagian lain yang bertahan di desa Sibinail dan desa Tamiang Mudo, tetap mempertahankan adat-istiadat asli mereka hingga saat ini, dan tetap memakai identitas diri sebagai suku Ulu atau Alak Ulu.

Bahasa Suku Ulu sendiri berbeda dengan bahasa Mandailing. Bahasa Ulu ini tampaknya bernuansa Melayu, tetapi bisa jadi lebih tua dari bahasa Melayu itu sendiri. Selain itu bahasa Suku Ulu ini juga menyerap perbendaharaan kata dari bahasa Mandailing, sehingga terjadi perubahan pada pengucapan bunyi, yang menyesuaikan dengan dialek Suku Ulu.Secara klasifikasi bahasa, bahasa Ulu diklasifikasikan ke dalam rumpun bahasa Malayic (Melayu Purba).

Masyarakat suku Ulu saat ini mengandalkan hidup pada bidang pertanian terutama pada persawahan dan perladangan. Selain itu mereka juga banyak menjadi buruh tani.

Contoh kata-kata dalam bahasa Suku Ulu, antara lain: "aengko" = kau, engkau; "bulih" = boleh; "denga" = dengar; "dilihek" = dilihat; "dioso" = tahu, tau; "dusto" = dusta; "elah" = sudah; "idenga" = didengar; "iko" = ini; "indo" = tidak; "ingek" = ingat; "ke" = kan; "kirit" = kirim; "kiro-kiro" = kira-kira; "ko" = ke; "koro" = kalau; "liaek" = lihat; "lihek" = lihat; "minto" = minta; "mono" = mana; "siopo" = siapa; "torus" = terus; dan "urak" = orang.


2. SILADANG

Selain Suku Ulu, di Mandailing juga terdapat Suku Lubu atau lebih dikenal dengan sebutan Alak Siladang oleh orang Mandailingyang di masa lalu mereka dipandang sebagai "suku terasing" dengan bahasa dan adat-istiadat yang berbeda dengan bahasa dan adat-istiadat masyarakat Mandailing.

Tempat pemukiman Suku Siladang yaitu di Desa Siladang. Desa ini memang tidak begitu besar, namun desanya memanjang. Nama desa ini sekarang di beri nama Sipapaga, tidak jauh dari ibukota Kabupaten Madina yaitu Panyabungan. Di sekitar tempat pemukiman mereka berkebun karet dan pohon aren yang amat luas sebagau mata pencaharian utama. Mereka memasak air nira dari pohon enau untuk diolah jadi gula, yang dimasak di luar rumah dengan membuat gubuk khusus di depan rumah mereka. Tempat pemukiman Suku Siladang ini, menurut kisahnya merupakan "desa" asal-usul Si Sampuraga, yaitu seseorang (laki-laki) yang malu mengakui seorang ibu tua miskin sebagai ibu kandungnya sendiri. Cerita rakyat Si Sampuraga masih diketahui banyak orang sampai sekarang dan telah melegenda di Mandailing,

Bahasa Suku Siladang yaitu Bahasa Siladang adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat Siladang, yaitu sebagian penduduk yang bermukim di bagian Utara daerah Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal. Secara geografis,masyarakat Siladang tinggal di lembah perbukitan Tor Sihite. Pada bagian Timur, Utara, dan Selatan berbatasan langsung dengan suku Mandailing yang menggunakan bahasa berbeda dengan Bahasa Siladang, yaitu bahasa Mandailing. Secara historis, dalam literatur Belanda Adatrechtbundels SerieA No. 25 (Maret 1916 - 1 Mei 1919) tentang masyarakat Siladang dinamakan Lubu dan Ulu di Afdeeling Mandailing (Residentie Tapanoeli).

Tempat pemukiman di lembah Tor Sihite tersebut didiami oleh dua suku yaitu orang Lubu dan orang Ulu. Dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa suku Lubu dan Ulu masih menganut sisa-sisa agama animisme Hindu. Mereka berasal dari Minangkabau yang melarikan diri ke Mandailing karena sebelum adanya pembahagian suku di kalangan orang Minangkabau di zaman dahulu telah terjadi banyak peperangan-peperangan. Orang-orang Lubu dan Ulu tersebut melarikan diri ke tengah hutan sehingga hidup mereka menjadi terisolasi dan menjadi setengah liar. Pada umumnya mereka memakai pakaian yang terbuat dari kulit kayu dan beberapa hiasan untukmenutupi bagian bawah badan (setengah telanjang). Pekerjaan orang Ulu adalah berladang dan berburu serta mengumpulkan hasil hutan, yang ditukarkan dengan penduduk Lubu. Senjata mereka ialah sumpitan dengan panah-panah beracun. Orang Ulu mempunyai rumah dan pakaian lebih baik dari orang Lubu.

Laporan J. Kreemer (1912) dalam De Loeboes in Mandailing dinyatakan bahwa orangLubu berdiam di daerah Padang Lawas dan Mandailing yang terbagi atas 11 pemukiman. Padatahun 1891 pengambilan sensus mentabulasi jumlah mereka 2033 jiwa. kemudian berdasarkan statistik kependudukan tahun 1975, penduduk Siladang berjumlah 1113 jiwa denganrincian : 1. Kampung Sipapaga, luas 10 HA dengan jumlah penduduk 264 jiwa dan terdiri dari 55 rumah tangga; dan 2. Kampung Aek Banir, luasnya 8 HA dengan jumlah penduduk 849 jiwa.

Contoh kata-kata dalam Bahasa Siladang, antara lain: "ivang" = mereka; "loki" = laki; "ipah" = lepas; "pajusi" = gadis; "léhé" = leher; "aé" =  air; "hélé" = hilir; "apé" = api; "jalme" = manusia; "amai" = ibu; "balinda" = lari; "holo" = alu; "mentuhe" = mentua; "edi" = ndik; "tobo" = terbang; "bopo" = bapak : "baso" = basuh; "pavéok" = periuk; "lopoi" = lapar; "podo" = lpadang; "ponjo" = panjang; "topo" = tapak; "botu" = batu; "tomi" = tumit; "amai" = ibu; dan "hanau" = enau.