Pulau
Sumatera atau dahulu disebut Andalas adalah tanah pertama
yang disinggahi dan dilalui oleh migrasi besar-besaran suku-bangsa Proto Malayan, dan oleh karena itulah pulau Sumatera
termasuk wilayah yang banyak tersebar suku-bangsa Proto Malayan. Mereka
tersebar ke seluruh wilayah pedalaman Pulau Sumatera dan juga di bagian
pesisirnya.
Suku-suku
bangsa Proto Malayan di pulau Sumatra, antara lain yaitu: 1. Nias; 2.
Simalur (Simelue: Devayan, Lekon, Sigulai/suku Salang, dan Haloban di kepulauan
Banyak); 3. Mentawai; 4. Enggano (puak Kauno, puak Kaitora, puak Kaohoa, puak
Kaarubi, puak Kaaruba); 5. Alas; 6. Gayo; 7. Singkil; 7. Kluet; 8. Pakpak (puak
Pakpak Keppas, puak Pakpak Boang,puak Pakpak Kelasen,puak Pakpak Pegagan,puak
Pakpak Simsim); 9. Karo; 10. Simalungun; 11. Toba (puak Samosir, puak
Silindung, puak Humbang, puak Toba); 12. Angkola; 13. Siladang; 14.
Mandahiling; 15. Orang Ulu; 16.
Rao; 17. Rokan; 18. Padang Lawas; 19. Pasisi; 20. Akit; 21. Sakai; 22. Talang
Mamak; 23. Kubu (anak dalam); 24. Laut; 25. Ranau; 26. Abung; 27.
Komering; 28. Lampung; 29. Daya; 30. Pasemah; 31. Rawas; dan 32. Rejang.
Khususnya di pedalaman
pesisir pantai barat daya pulau Sumatera terdapat dua suku-bangsa Proto
Malayan, yaitu Suku Lubu (Siladang) di Panyabungan dan Suku Ulu (Urak Ulu) di Muara Sipongi, Kabupaten
Mandailing Natal (Madina) sekarang. Suku Lubu dan Suku Ulu ini sejak abad ke-2
Masehi diperkirakan telah bermukim di Pulau Sumatera, tepatnya di pedalaman
pesisir pantai barat daya Pulau Sumatera, yaitu di luat (wilayah) Mandailing,
tepatnya di kaki-kaki pegunungan Bukit Barisan.
Berikut ini diuraikan sedikit tentang beberapa aspek kehidupan Suku Lubu dan Suku Ulu.
Berikut ini diuraikan sedikit tentang beberapa aspek kehidupan Suku Lubu dan Suku Ulu.
1.
URAK ULU
Urak
Ulu (Suku Ulu) atau
sering juga disebut "Orang Tanah Hulu", adalah suatu masyarakat adat
yang tempat pemukimannya terletak di Desa Sibinail dan Desa Tamiang Mudo di
kecamatan Muara Sipongi, Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatra Utara.
Diperkirakan populasi suku Ulu ini sekitar 135 Kepala Keluarga.
Suku Ulu ini telah
eksis di banua (kawasan) Mandailing sejak awal abad ke-2 Masehi, yang
bermukim di hutan pedalaman di luat (wilayah) Mandailing. Ketika itu mereka hidup sebagai nomaden,
menjelajah di hutan pedalaman, dan tidak menetap pada suatu tempat secara
permanen. Namun kemudian akhirnya mereka menemukan suatu tempat yang cocok
untuk dijadikan sebagai lahan pertanian (sawah dan ladang). Namun lama kelamaan
setelah mereka menetap dan membangun perkampungan di daerah baru tersebut,
pemukiman mereka di perkampungan ini semakin terasa sempit, sementara mereka
masih membutuhkan lahan untuk memperluas tanah garapan. Pada masa itu lahan di
pemukiman mereka semakin terbatas seiring dengan pertambahaan penduduk. Wilayah
pemukiman mereka dianggap tidak mencukupi lagi sumberdaya alamnya, baik
persawahan maupun perladangan, sehngga mereka memilih pergi untuk mencari
tempat baru untuk dijadikan pemukiman dan lahan pertanian baru. Akhirnya
sampailah mereka di suatu tempat dan membuat sebuah perkampungan yang disebut
sebagai Desa Sibinail di Muara Sipongi.
Pada awalnya di daerah
Sibinail ini sudah dihuni oleh tiga suku yang telah lebih dahulu bermukim
di wilayah ini, yaitu Suku Mondoilig (Mandailing), Suku Pungkut dan Suku Kamak
Kepuh. Keturunan dari tiga suku yang mendiami Desa Sibinail ini berbaur pula
dengan suku Ulu. Desa Sibinail ini dalam perjalanan sejarahnya, awalnya terdiri
dari tiga Dusun yaitu Dusun Sibinail, Dusun Ranto Lolo dan Dusun Tamiang Mudo.
Setelah sekian lama, ketiga dusun tersebut semakin berkembang, lalu digabungkan
dan membentuk dua desa, yaitu Desa Sibinail dan Desa Tamiang Mudo.
Sewaktu Perang Paderi
yang bergolak pada akhir abad ke-19, sebagian penduduk dari ketiga dusun tua
tersebut pindah ke tempat pemukiman lain yang dikenal dengan sebutan
Sipaga-paga di luat Panyabungan (Mandailing Godang) yang dihuni oleh Suku Lubu yang
lebih dikenal sebagai Alak Siladang (Suku Siladang). Perpindahan mereka
dikabarkan karena menghindar dari pasukan serdadu Paderi. Di tempat baru
tersebut mereka berbaur dan terjadi perkawinan campur dengan Suku Siladang yang
menyebabkan terbentuknya bahasa dan adat-istiadat tersendiri, yang berbeda
dengan bahasa dan adat-istiadat penduduk di Sibinail. Sedangkan sebagian lain
yang bertahan di desa Sibinail dan desa Tamiang Mudo, tetap mempertahankan
adat-istiadat asli mereka hingga saat ini, dan tetap memakai identitas diri
sebagai suku Ulu atau Alak Ulu.
Bahasa Suku Ulu
sendiri berbeda dengan bahasa Mandailing. Bahasa Ulu ini tampaknya bernuansa
Melayu, tetapi bisa jadi lebih tua dari bahasa Melayu itu sendiri. Selain itu
bahasa Suku Ulu ini juga menyerap perbendaharaan kata dari bahasa Mandailing,
sehingga terjadi perubahan pada pengucapan bunyi, yang menyesuaikan dengan
dialek Suku Ulu.Secara klasifikasi bahasa, bahasa Ulu diklasifikasikan ke dalam
rumpun bahasa Malayic (Melayu Purba).
Masyarakat suku Ulu saat
ini mengandalkan hidup pada bidang pertanian terutama pada persawahan dan
perladangan. Selain itu mereka juga banyak menjadi buruh tani.
Contoh kata-kata dalam
bahasa Suku Ulu, antara lain: "aengko" = kau, engkau;
"bulih" = boleh; "denga" = dengar; "dilihek" =
dilihat; "dioso" = tahu, tau; "dusto" = dusta;
"elah" = sudah; "idenga" = didengar; "iko" = ini;
"indo" = tidak; "ingek" = ingat; "ke" = kan;
"kirit" = kirim; "kiro-kiro" = kira-kira; "ko" =
ke; "koro" = kalau; "liaek" = lihat; "lihek" =
lihat; "minto" = minta; "mono" = mana; "siopo" =
siapa; "torus" = terus; dan "urak" = orang.
2.
SILADANG
Selain Suku Ulu, di
Mandailing juga terdapat Suku Lubu atau lebih dikenal dengan sebutan
Alak Siladang oleh orang Mandailing, yang di masa lalu mereka dipandang sebagai "suku
terasing" dengan bahasa dan adat-istiadat yang berbeda dengan bahasa dan
adat-istiadat masyarakat Mandailing.
Tempat pemukiman Suku
Siladang yaitu di Desa Siladang. Desa ini memang tidak begitu besar, namun
desanya memanjang. Nama desa ini sekarang di beri nama Sipapaga, tidak jauh
dari ibukota Kabupaten Madina yaitu Panyabungan. Di sekitar tempat pemukiman
mereka berkebun karet dan pohon aren yang amat luas sebagau mata pencaharian
utama. Mereka memasak air nira dari pohon enau untuk diolah jadi gula, yang
dimasak di luar rumah dengan membuat gubuk khusus di depan rumah mereka. Tempat
pemukiman Suku Siladang ini, menurut kisahnya merupakan "desa"
asal-usul Si Sampuraga, yaitu seseorang (laki-laki) yang malu mengakui seorang
ibu tua miskin sebagai ibu kandungnya sendiri. Cerita rakyat Si Sampuraga masih
diketahui banyak orang sampai sekarang dan telah melegenda di Mandailing,
Bahasa Suku Siladang
yaitu Bahasa Siladang adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat Siladang,
yaitu sebagian penduduk yang bermukim di bagian Utara daerah Panyabungan
Kabupaten Mandailing Natal. Secara geografis,masyarakat Siladang tinggal di
lembah perbukitan Tor Sihite. Pada bagian Timur, Utara, dan Selatan berbatasan
langsung dengan suku Mandailing yang menggunakan bahasa berbeda dengan Bahasa
Siladang, yaitu bahasa Mandailing. Secara historis, dalam literatur
Belanda Adatrechtbundels SerieA No. 25 (Maret 1916 - 1 Mei 1919) tentang
masyarakat Siladang dinamakan Lubu dan Ulu di Afdeeling Mandailing (Residentie Tapanoeli).
Tempat pemukiman di
lembah Tor Sihite tersebut didiami oleh dua suku yaitu orang Lubu dan orang
Ulu. Dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa suku Lubu dan Ulu masih menganut
sisa-sisa agama animisme Hindu. Mereka berasal dari Minangkabau yang melarikan
diri ke Mandailing karena sebelum adanya pembahagian suku di kalangan orang
Minangkabau di zaman dahulu telah terjadi banyak peperangan-peperangan.
Orang-orang Lubu dan Ulu tersebut melarikan diri ke tengah hutan sehingga hidup
mereka menjadi terisolasi dan menjadi setengah liar. Pada umumnya mereka
memakai pakaian yang terbuat dari kulit kayu dan beberapa hiasan untukmenutupi
bagian bawah badan (setengah telanjang). Pekerjaan orang Ulu adalah berladang
dan berburu serta mengumpulkan hasil hutan, yang ditukarkan dengan penduduk
Lubu. Senjata mereka ialah sumpitan dengan panah-panah beracun. Orang Ulu
mempunyai rumah dan pakaian lebih baik dari orang Lubu.
Laporan J. Kreemer
(1912) dalam De Loeboes in Mandailing dinyatakan bahwa orangLubu berdiam di daerah
Padang Lawas dan Mandailing yang terbagi atas 11 pemukiman. Padatahun 1891
pengambilan sensus mentabulasi jumlah mereka 2033 jiwa. kemudian berdasarkan
statistik kependudukan tahun 1975, penduduk Siladang berjumlah 1113 jiwa
denganrincian : 1. Kampung Sipapaga, luas 10 HA dengan jumlah penduduk 264
jiwa dan terdiri dari 55 rumah tangga; dan 2. Kampung Aek Banir, luasnya 8 HA
dengan jumlah penduduk 849 jiwa.
Contoh kata-kata dalam
Bahasa Siladang, antara lain: "ivang" = mereka; "loki"
= laki; "ipah" = lepas; "pajusi" = gadis; "léhé"
= leher; "aé" = air; "hélé" = hilir; "apé"
= api; "jalme" = manusia; "amai" = ibu; "balinda"
= lari; "holo" = alu;
"mentuhe" = mentua; "edi" = ndik; "tobo" =
terbang; "bopo" = bapak : "baso" = basuh; "pavéok"
= periuk; "lopoi" = lapar; "podo" = lpadang;
"ponjo" = panjang; "topo" = tapak; "botu" = batu;
"tomi" = tumit; "amai" = ibu; dan "hanau" = enau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar