DI
MANDAILING, “OMBAR DO ADAT DOHOT UGAMO”
Oleh:
Samsyir Alamsyah Batubara
Perkataan “ombar do adat dohot ugamo”, yang secara
harafiah artinya “adat dan agama seiring-sejalan”, adalah sebuah ungkapan yang
cukup sering diucapkan oleh orang Mandailing, baik itu warga masyarakat biasa,
tokoh masyarakat, tokoh adat, maupun tokoh agama. Ungkapan “ombar do adat dohot ugamo” atau ada juga
yang mengatakannya dengan ungkapan “ombar
do adat dohot ibadat” ini belum ada semasa orang Mandailing dahulu memeluk sistem
kepercayaan lama (animisme) yang disebut Si
Pelebegu, melainkan muncul setelah orang Mandailing mayoritas memeluk agama
Islam di sekitar awal abad ke-20.
Dalam sistem
kepercayaan Si Pelebegu di masa lalu
itu orang Mandailing menyembah roh-roh dari para leluhur (nenek moyang) mereka
yang disebut Begu. Menurut sistem
kepercayaan animisme Si Palebegu ini,
jumlah begu tidak hanya satu tetapi
banyak dan menghuni berbagai tempat. Ada yang menghuni hutan, pohon-pohon kayu
besar, sungai, batu besar, dan sebagainya. Misalnya begu yang bernama Begu Tagasan
dipercayai sebagai begu pelindung. Begu Tagasan ini pun banyak macamnya,
seperti begu pelindung bagi
orang-orang yang satu marga, yang satu keturunan, yang satu kakek, atau
pelindung orang-orang atau tokoh-tokoh tertentu. Dalam buku Turi-turian
Ni Raja Gorga Di Langit Dohot Raja Suasa Di Portibi (Mangaraja Sorik
Marapi, 1957) disebutkan ada begu yang
bernama Boru ni Namora Nam Puna Tano
(puteri yang mulia, pemilik tanah); Boru
Ni Ambolungan Bulu Begu Na Pahae Paulu di Batang Aek (Puteri Ambolungun
Bambu Begu yang ke hilir ke hulu mandi di sungai); dan Tuan Jonjang Balentung Na Mian Di Pangulu Balang (Tuan Jonjang yang
menempati patung penjaga). Dalam pada itu, dahulu ada juga orang Mandailing
yang percaya bahwa ada orang-orang tertentu yang dapat memelihara begu dan
dapat disuruhnya untuk melakukan apa yang dikehendakinya, seperti membuat orang
sakit atau sebaliknya menyembuhkan penyakit. Menurut keyakinan orang Mandailing
pada masa pra-Islam ini, dari semua begu
yang dipuja tersebut terdapat tokoh tunggal atau satu tokoh yang maha kuasa
yang oleh warga masyarakat pada masa itu dinamakan Na Gumorga Langit Na Tumompa Tano
(yang mengukir menciptakan langit, yang menempati tanah atau bumi). Adapun yang
disebut sebagai Na Gumorga Langit Na
Tumompa Tano ini dianggap berada di atas segala-galanya karena dialah yang
menciptakan langit dan bumi serta segala isinya.
Perlu
diketahui bersama bahwa keterangan atau infomasi mengenai sistem kepercayaan Si Pelebegu ini sekarang sudah sangat
sulit diperoleh karena sebagian besar warga masyarakat Mandailing sendiri pun
tidak banyak lagi yang mengetahui seluk-beluknya. Namun demikian, beberapa
orang tua di Mandailing pernah mengemukakan bahwa dalam sistem kepercayaan lama
Si Pelebegu ini ada dua tokoh utama yang
memiliki peran yang cukup penting, yaitu Si
Baso dan Bayo Datu.
Dalam banyak
hal, Si Baso sangat dibutuhkan oleh
komunitas Huta atau Banua (“kerajaan kecil”) untuk melakukan
hubungan (komunikasi) dengan alam gaib atau roh-roh leluhur karena Si Baso diyakini dapat berperan sebagai
medium (perantara) untuk itu, di mana melalui suatu upacara ritual tertentu Si Baso dapat dirasuki oleh roh leluhur
untuk memberi petunjuk guna mengatasi berbagai macam bala (malapetaka) yang sedang menimpa warga Huta, misalnya seperti terjadinya kemarau panjang yang mengganggu
aktivitas pertanian masyarakat dan timbulnya penyakit menular yang mewabah.
Upacara ritual yang dilaksanakan untuk meminta pertolongan roh leluhur itu,
yang dinamakan Pasusur Begu atau Paturun Si Baso, dilakukan melalui
perantaraan Si Baso dengan bimbingan
dan arahan dari Bayo Datu. Pada
upacara ritual Pasusur Begu atau Pasusur Si Baso ini dimainkan pula
ensembel musik adat Gordang Sambilan
dengan memainkan gondang (irama
musik) khusus yang dinamakan Mamele Begu.
Hingga
sekarang Bayo Datu masih memiliki
peran dalam kehidupan masyarakat Mandailing. Bayo Datu dikenal dan dibutuhkan sebagai traditional healer (penyembuh tradisional) atau sebagai medicine man (dukun untuk mengobati). Di
setiap Huta atau Banua biasanya terdapat beberapa orang Bayo Datu, ada Bayo Datu
yang dapat menyembuhkan beberapa penyakit, namun ada pula Bayo Datu yang menjurus kepada spesialisasi penyembuhan
penyakit-penyakit tertentu seperti misalnya Datu
Rasa khusus untuk menyembuhkan orang yang terkena rasa (racun), Datu Ipon
adalah dukun yang khusus menyembuhkan orang yang mengalami sakit gigi, dan Datu Natarsilpuk adalah dukun khusus
untuk mengobati orang yang terkilir dan patah tulang.
Namun kedudukan dan
peran Bayo Datu jauh lebih luas lagi
di masa-masa sebelumnya. Bayo Datu
dapat menentukan waktu-waktu yang tepat
dan baik untuk mengerjakan sawah dan ladang, pelaksanaan upacara adat dan
ritual, maupun untuk memasuki rumah baru dan memberi nama anak yang baru lahir.
Di samping itu, kemampuannya yang mumpuni dalam meramal diperlukan untuk
melihat kapan datangnya suatu bencana atau sebaliknya keberuntungan, dan ilmu
gaibnya yang luar biasa itu dibutuhkan pula untuk menangkal atau menyembukan
penyakit akibat guna-guna. Seorang Bayo
Datu selalu diserahi tanggungjawab untuk memimpin berbagai upacara adat dan
ritual karena dia dipandang sebagau “gudang ilmu”. Dalam konteks sistem
pemerintahan di masa lalu, Bayo Datu
sebagai pendamping Raja yang
mengepalai kepemimpinan tradisional Huta
atau Banua yaitu Namora Natoras, memiliki kemampuan yang luar biasa pula dalam
memberikan berbagai macam kearifan tradisional (traditional wisdom) yang sangat dibutuhkan guna kesempurnaan hidup
keseluruhan warga Huta.
Namun dalam
perkembangannya kemudian, seiring dengan masuknya agama Islam ke Mandailing dan
mayoritas telah menjadi pemeluknya yang taat, para ulama Islam terus berusaha
untuk mengikis habis kepercayaan animisme Si
Pelebegu. Begitupun, sampai sekarang di antara orang Mandailing masih ada
yang melaksanakan berbagai upacara adat yang erat kaitannya dengan sistem
religi kuno Si Pelebegu, seperti
misalnya ritus mangupa-upa (upacara
memanggil “tondi” guna membangkitkan kembali semangat hidup seseorang), dan marpangir (tradisi berlangir di sungai),
sehingga pelaksanaan ritus-ritus tersebut selalu menjadi sumber perdebatan yang
tak kunjung habis antara tokoh-tokoh adat dan para ulama Islam di Mandailing.
Sehubungan
dengan itulah, entah bagaimana prosesnya, lalu kemudian muncul ungkapan “ombar do adat dohot ugamo”, yang boleh
dikatakan merupakan suatu “sejarah pemikiran” yang mengungkapkan proses
dinamika agama Islam yang masuk ke dalam kehidupan masyarakat Mandailing,
sehingga terjadi titik temu dan perpaduan antara ajaran adat-istiadat (lama)
dengan agama Islam sebagai sebuah sistem nilai dan norma yang baru. Hal ini
merupakan puncak dari proses, pertemuan, persentuhan, perbenturan, penyesuaian
dan perpaduan antara adat-istiadat orang Mandailing yang telah ada sebelumnya
di wilayah Mandailing sebelumnya dengan ajaran agama Islam yang datang
kemudian.
Kurang lebih
sama keadaannya dengan sistem kepercayaan animisme Si Pelebegu, bahwa sampai sekarang pun belum pernah ditemukan
tulisan yang mengemukakan dengan pasti kapan waktunya agama Islam masuk ke
Mandailing untuk pertama kalinya. Namun demikian cukup banyak orang yang
berpendapat bahwa yang pertama kali mengembangkan agama Islam di Mandailing
adalah kaum Paderi yang datang menyerbu ke Mandailing dari Minangkabau. Pendapat
ini dibantah oleh Lance Castles (2001:14) yang mengatakan bahwa sebelum kaum
Paderi masuk ke Mandailing dan menyerang pada tahun 1820, beberapa pemimpin
orang Mandailing telah beragama Islam. Hal ini dapat berarti bahwa agama Islam
sudah mulai dianut tokoh-tokoh pemimpin orang Mandailing menjelang dekade kedua
abad ke-19. Hal ini diperkuat pula oleh hasil penelitian Basyral Hamidy Harahap
(2004: 283), yang mengatakan bahwa “menurut cacatan Wilter, ada dua raja
Mandailing yang sudah memeluk agama Islam sebelum Paderi, ialah Raja Gunung
berdiam di Gunung Baringin dan Mangaraja Gunung Kuria Huta Siantar. Mereka
memerintah kira-kira setengah abad sebelum perang berkecamuk di Mandailing”.
Meskipun ada keterangan yang demikian itu, menurut Z Pangaduan Lubis (2010:
52), tidak dapat berarti bahwa kedua tokoh raja tersebutlah yang merupakan dua
orang pertama pemeluk agama Islam di Mandailing dan juga tidak menunjukkan
bukti laporan yang sebenarnya mengenai agama Islam pertama kali masuk ke
Mandailing dan siapa yang membawanya pertama kali masuk ke Mandailing, serta
dari mana datangnya ke Mandailing.
Masih menurut
Basyral Hamidy Harahap (2004: 282) bahwa “Perang Paderi bukanlah satu-satunya
gerakan Islamisasi di Madina. Buktinya kira-kira 128 tahun sebelum perang yang
dahsyat itu (Perang Paderi), raja-raja Natal telah membuka perjanjian dengan
pengusaha VOC yang di dalam teks (perjanjian) disebutkan bahwa perjanjian itu
dibuat di bawah sumpah berdasarkan Al-Quran. Hal ini menunjukkan bahwa pada
masa itu, abad 18, Islam sudah masuk ke Natal. Ada kemungkinan masuknya agama
Islam ke Natal ialah dari Pelabuhan Barus yang tidak jauh dari Natal”. Dalam
hal ini, Z Pangaduan Lubis (2010: 53) juga sependapat bahwa “agama Islam
pertama kali ke Barus, yang letaknya relatif tidak jauh dari Natal, sehingga
ada kemungkinan dari Barus lah kemudian agama Islam masuk ke Natal dan
selanjutnya dari Natal masuk ke Mandailing sekitar abad 18”.
Kendati orang
Mandailing sekarang umumnya telah memeluk agama Islam, namun sistem kekerabatan
orang Mandailing tetap menganut patrilineal,
di mana hubungan kekerabatan mereka dapat ditinjau berdasarkan pertalian darah
dan perkawinan yang terpola. Dalam hal ini, orang Mandailing mengelompokkan
diri ke dalam tiga kelompok kekerabatan yang menjadi tumpuan dasar dari
berbagai aktivitas sosial-budaya mereka. Menurut adat-istiadat, ketiga kelompok
kekerabatan itu masing-masing berkedudukan sebagai mora (kelompok pemberi anak gadis), anak boru (kelompok penerima anak gadis), dan kahanggi (kelompok kekerabatan yang se-marga), di mana ketiga
kelompok kekerabatan tersebut terikat erat satu sama lain berdasarkan hubungan
fungsional dalam satu sistem sosial yang dinamakan Dalian Natolu, yang artinya
“tumpuan yang tiga” atau “tiga tumpuan”. Dengan menggunakan sistem sosial Dalian Natolu itulah orang Mandailing
mengatur dan melaksanakan berbagai aktivitas sosial-budayanya, serta membentuk
satu “persekutuan hukum” (adattrechts
gemeenschap) yang nama aslinya adalah Janjian.
Selain ketiga
kelompok kekerabatan mora, kahanggi dan anak boru tersebut di atas, orang Mandailing juga mengenal kelompok
kekerabatan lain sebagai “kelompok kekerabatan tambahan” yang sebenarnya
berasal dari ketiga kelompok kekerabatan inti (mora, kahanggi dan anak boru), yaitu mora ni mora (kelompok
kekerabatan mora daripada mora) dan pisang raut atau kijang jorat
(kelompok kekerabatan anak boru
daripada anak boru). Di samping itu
ada pula kelompok kekerabatan yang disebut kahanggi
pareban, yaitu kelompok kekerabatan yang terdiri dari beberapa “keluarga
batih” yang berlainan marga namun mereka sama-sama atau merupakan anak boru dari satu keluarga yang ber-marga tertentu.
Berdasarkan
pertalian darah terdapat kelompok kekerabatan yang dinamakan saompu parsadaan (satu nenek moyang yang
sama), saompu (satu kakek), sabagas (se-rumah), saudon (se-periuk) dan saama-saina
(se-ayah dan se-ibu). Kelompok kekerabatan yang disebut saompu adalah kelompok orang-orang se-marga yang merupakan cucu
dari beberapa orang ompung (kakek)
yang bersaudara kandung; sabagas
adalah sejumlah anak se-marga yang bersaudara kandung; saudon adalah kumpulan orang-orang se-marga yang merupakan cucu
dari seorang ompung (kakek); dan saama-saina
adalah kumpulan sejumlah anak dari pasangan ayah dan ibu kandung namun di
dalamnya tidak termasuk “anak tiri” dan “anak angkat”. Sedangkan berdasarkan
hubungan perkawinan dikenal pula istilah koum,
yaitu kelompok orang yang tidak se-marga dengan seseorang, yang merupakan
kelompok kekerabatan mora (mora ni mora) maupun anak boru (kijang jorat). Dalam hubungan ini, ada pula istilah “koum-sisolkot” yang terbentuk dari kata
“koum” dan “sisolkot”, yang masing-masing mengandung makna klasifikasi dalam
konteks sistem kekerabatan. Sedangkan sisolkot
berarti orang-orang yang se-marga, yang adakalanya disebut markahanggi atau marsisolkot.
Oleh sebab itulah, sistem sosial orang Mandailing yang dinamakan adat Dalian Natolu itu juga disebut adat Markoum-Sisolkot.
Dalam prakteknya,
meskipun orang Mandailing sekarang umumnya telah memeluk agama Islam sebagai
tuntunan hidup, namun mereka masih tetap mengamalkan dan melaksanakan
adat-istiadat lama Dalian Natolu
sebagai warisan para leluhur. Pada setiap upacara adat perkawinan (disebut markaroan boru atau marbagas)
misalnya, baik pada tahap-tahapan upacara adat perkawinan dan pelaksanaannya,
orang Mandailing masih tetap memfungsikan sistem sosial Dalian Natolu. Hal ini tampak sangat jelas ketika mereka (kelompok
kekerabatan mora, kahanggi, dan anak boru) melakukan kegiatan adat markobar (berpidato adat) dan marpokat
(musyawarah adat) untuk mencapai “kata sepakat” dalam pelaksanaan upacara adat
perkawinan tersebut. Demikian pula halnya dengan peran dan fungsi masing-masing
kelompok kekerabatan dalam setiap tahapan dari pelaksanaan upacara adat
perkawinan tersebut, mulai dari kegiatan adat mangaririt boru, manyapai
boru, patibal sere, pokat menek, pokat
godang, paboru-boruon atau marburangir, mata ni orja, patuaek boru,
hingga kegiatan adat marulak ari atau
mebat. Dalam setiap kegiatan adat markobar dan marpokat misalnya selalu dibuka dengan ucapan “Bismillahirrohmanirrohim” dan “Assalamu’alaikum
warohmatullahi wabarokatuh”, serta diakhiri atau ditutup dengan kegiatan berdo’a
kehadirat Allah SWT, yang dipimpin tokoh agama untuk memohon taufiq dan
hidayah-Nya dengan harapan semoga upacara adat perkawinan yang akan mereka
laksanakan bersama-sama tersebut dapat terselenggara semua tahapannya dengan
sebaik-baiknya sesuai dengan adat-istiadat mereka yang sudah tidak lagi bertentangan
dengan ajaran agama Islam.
Pada upacara adat
perkawinan di Mandailing di masa sekarang, memang kaum bangsawan orang
Mandailing (disebut: namora-mora) masih
sering menampilkan berbagai berbagai macam kesenian tradisional sebagai warisan
para leluhur, seperti misalnya penggunaan ensambel musik adat Gordang Sambilan, tarian adat Tortor dan nyanyian adat Jeir yang diiringi dengan ensambel musik adat Gondang Dua (Gondang Topap).
Namun kesemuanya itu sekarang sudah dipandang orang Mandailing sebagai kesenian
(seni pertunjukan) yang berfungsi sebagai “hiburan”, meskipun pada dasarnya
masih melekat fungsi lainnya yaitu untuk mempererat rasa persaudaraan antar sesama
orang Mandailing. Sementara kalau pelaksanaan upacara adat perkawinan di
kalangan orang kebanyakan (disebut: alak
na jaji atau si tuan na jaji),
tidak jarang pula menampilkan kesenian Pan-Islam seperti Barzanji dan Dikir yang
berfungsi sebagai hiburan, dan juga sekaligus dapat mempererat rasa persaudaraan
mereka sesama muslim. Menurut Edi Nasution (1990), Dikir adalah salah satu bentuk kesenian Islam yang sudah sejak lama
hidup dan berkembang di luat Mandailing.
Seni pertunjukan Dikir terdiri atas tiga atau empat pemain “gondang dikir” sebagai pengiring
nyanyian Dikir, namun adakalanya salah seorang pemain “gondang dikir” itu sekaligus bertindak sebagai penyanyi utamanya
dan yang lainnya bertindak sebagai
“penyanyi latar”. Seni pertunjukan Dikir
ini dapat dikategorikan sebagai “musik polifoni” yang diselenggarakan pada
hari-hari besar Islam seperti Maulid Nabi dan Hari Raya Islam Idil Fitri.
Selain itu, Dikir sering pula
dipertunjukkan dalam upacara adat perkawinan di Mandailing.
Sebagaimana
telah disinggung sebelumnya bahwa Mandailing dengan kebudayaannya telah ada
jauh sebelum datangnya Islam, bahkan juga telah ada sebelum agama Hindu
memasuki wilayah Mandailing. Munculnya ungkapan ”ombar do adat dohot ugamo” merupakan
puncak dari persentuhan, perbenturan, penyesuaian dan perpaduan antara adat-istiadat lama (tradisional) Mandailing dengan
agama Islam yang datang kemudian. Lahirnya ungkapan tersebut tidaklah muncul
begitu saja, akan tetapi melalui suatu proses dalam masa yang cukup panjang, dan
di dalam masa yang panjang itulah terjadi benturan antara adat-istiadat dan
agama Islam. Benturan tersebut terjadi karena adat-istiadat orang Mandailing
sudah memiliki tatanan kehidupan, baik itu secara individu maupun secara
bermasyarakat. Sementara agama Islam yang datang kemudian juga membawa tatanan di
berbagai aspek kehidupan, yang menuntut ketaatan pula dari para pemeluknya.
Dengan kedatangan Islam itu maka bertemulah dua tatanan kehidupan di dalam masyarakat
Mandailing yang masing-masing menuntut kepatuhan dari penganut/pendukungnya,
yang membuat
adanya persentuhan intens yang saling tarik-menarik antara kepentingan adat-istiadat
dan agama, sehingga pada akhirnya lahirlah ungkapan ”ombar do adat dohot ugamo” di dalam masyarakat Mandailing.
Medan,
10 Juni 2012
Penulis
REFERENSI
Basyral Hamidy Harahap, Madina
yang Madani, Panyabungan: Pemerintah Daerah Kabupaten Mandailing Natal,
2004.
Edi Nasution, Tulila: Muzik Bujukan Mandailing,
Penang-Malaysia: Arecabooks, 2007.
__________”Gondang Aek Magodang dan
Riwayatnya”, Harian Waspada Medan,
hal. V, 1990.
__________”Dikir di Mandailing”,
Harian Waspada Medan, hal. V, 1990.
__________”Dalian Na Tolu”, http://gondang.blogspot.com.
__________”Tari Tradisional Mandailing”,
http://gondang.blogspot.com.
IAIN Sumatera Utara, Sejarah Ulama-Ulama Terkemuka,
Medan, 1983.
Lance Castles, Tapanuli: Kehidupan
Politik Suatu Kresidenan Di Sumatera Utara, Jakarta: KPG, 2001.
Mangaraja Lelo Lubis, “Beberapa Catatan Tentang Adat
Perkawinan Mandailing”, dalam bulletin Parata Na Malos No. V dan VI, Medan: HIKMA, 1988.
Usman Pelly, Prospek Budaya Mandailing Dalam
PJPT II, Medan: HPPMM Tingkat I Sumatera Utara, 1994.
Z. Pangaduan Lubis, “Na Mora Na Toras: Kepemimpinan
Tradisional Mandailing”, Skripsi FISIP USU, 1986.
__________Kisah Asal-Usul Marga Di
Mandailing, Medan: Yapebuma, 1986.
__________Kumpulan Catatan Lepas Tentang
Mandailing, Medan: Pustaka Widiasarana & Kelompok Humaniora Pokmas
Mandiri, 2010.
Zulkifli B. Lubis, “Manipol: Studi Tentang Orientasi
Nilai Budaya Mandailing”, Skripsi FISIP USU, 1988.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar