Kamis, 04 September 2008

G9

GORDANG SAMBILAN: SUATU PENGAMATAN AWAL


Pengantar

Bangsa kita yang majemuk merupakan suatu realitas yang tidak bisa dipungkiri. Untuk itu, menurut Ibu Meutia Farida Hatta Swasono, perlu memberi tempat dan kesempatan bagi berkembangnya kebudayaan suku-suku bangsa yang ada di Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan suku-suku bangsa di tanah air, bersama-sama dengan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, mewarnai perilaku dan kegiatan kita. Berbagai ragam kebudayaan itu berseiringan, saling melengkapi dan saling mengisi, tidak berdiri sendiri-sendiri, bahkan mampu untuk saling menyesuaikan (fleksibel) dalam percaturan hidup sehari-hari. Kelangsungan dan berkembangnya kebudayaan lokal perlu dijaga dan dihindarkan dari berbagai hambatan. Unsur-unsur budaya lokal yang bermanfaat perlu dikembangkan lebih lanjut agar dapat menjadi bagian dari kebudayaan bangsa guna memperkaya unsur-unsur kebudayaan nasional.[1]

Di Indonesia, salah satu kelompok etnik yang masih eksis hingga saat ini adalah masyarakat Mandailing. Wilayah pemukiman mereka terletak di pedalaman pesisir pantai barat pulau Sumatra yang dikenal dengan sebutan Luat Mandailing, Tano Rura, atau Tano Sere.[2] Kehidupan sosial-budaya orang Mandailing berlangsung di dalam suatu tempat pemukiman mulai dari yang dinamakan banjar, pagaran, lumban hingga kepada yang lebih luas yaitu huta. Dahulu, semasa tempat pemukiman itu masih berstatus banjar, pagaran ataupun lumban tidak diperbolehkan memiliki raja dan wilayahnya sendiri yang otonom. Banjar, pagaran ataupun lumban masih tergantung pada huta atau banua asal karena dianggap belum mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Untuk itu mereka dipimpin oleh seseorang yang dinamai Raja Ihutan yang tidak berfungsi sebagai kepala pemerintahan. Sampai sekarang sumber mata pencaharian utama masyarakat Mandailing umumnya adalah bertani dengan mengolah sawah dan ladang. Sedangkan sistem kekerabatan mereka adalah patrilineal dan memiliki tradisi perkawinan exogam marga. dimana hubungan kekerabatan berdasarkan pertalian sedarah dan perkawinan yang terpola. Tradisi masyarakat Mandailing yang mengelompokkan diri menjadi tiga kelompok kekerabatan, yaitu mora (pihak pemberi gadis), anakboru (pihak penerima gadis), dan kahanggi (saudara semarga) yang disebut adat Dalian Na Tolu atau adat Markoum-Sisolkot, adalah tumpuan dasar bagi berbagai aktivitas sosial-budaya mereka, termasuk seni pertunjukan musik tradisional[3] gordang sambilan.

Tulisan ini diberi judul “Gordang Sambilan : Suatu Pengamatan Awal” karena penulis menyusunnya berdasarkan “catatan-catatan yang terserak dan seadanya” semasa kuliah di jurusan Etnomusikologi-USU, hasil penelitian lapangan singkat tentang seni pertunjukan gordang sambilan di Mandailing sekitar 18 tahun lalu, beberapa artikel dalam Harian Waspada, dan makalah yang ditulis oleh etnomusikolog Rizaldi Siagian untuk Temu Wicara Etnomusikologi II di Surakarta (1986).


Musik Tradisional Mandailing

Seperti halnya suku-suku bangsa lain di Indonesia, masyarakat Mandailing juga memiliki aneka ragam musik tradisional yang keadaannya sangat memprihatinkan di era globalisasi sekarang karena semuanya sudah berada di ambang kepunahan. Adapun alat-alat musik tradisional Mandailing dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Membranofon : gordang sambilan dan gondang dua
Aerofon : suling, salung, sordam, tulila, katoid, saleot, dan uyup-uyup
Metalofon : ogung, momongan, doal, dan talisasayat
Idiofon : etek, dongung-dongung, pior, gondang aek dan eor-eor
Kordofon : gordang tano dan gondang bulu

Repertoar
Gondang
1 Jolo-jolo Turun; 2 Alap-alap Tondi; 3 Moncak (Kutindik); 4 Raja-raja; 5 Ideng-ideng; 6 Tua; 7 Sampuara Batu Magulang; 8 Roba Na Mosok; 9 Mandailing; 10 Pamulihon; 11 Udan Potir; 12 Porang; 13 Sarama Datu; 14 Sarama Babiat; 15 Lima; 16 Roto; 17 Sampedang; 18 Aek Magodang (Touk); 19 Mamele Begu; dan 20 Tortor.
Ende
1 Ungut-ungut; 2 Sitogol; 3 Jeir; 4 Bue-bue; 5 Uyup-uyup; 6 Opat-opat; 7 Ende Panjang.

Masyarakat Mandailing menyebut musik tradisional mereka dengan ungkapan “uning-uningan ni ompunta na jumolo sunduti”. Artinya, seni musik dari para leluhur, yang diwariskan secara turun-temurun. Tradisi musik yang cukup terkenal dari Mandailing adalah gordang sambilan dan gondang boru[4] yang dimainkan pada berbagai upacara adat dan ritual.[5] Dahulu gordang sambilan tidak dapat dibunyikan dengan sembarangan, namun dalam perkembangannya kemudian gordang sambilan telah menjadi musik hiburan (entertainment) seperti ketika dimainkan pada hari-hari terakhir Ramadhan (bulan puasa) dan awal Syawal (hari raya Idul Fitri). Selain itu gordang sambilan juga dimainkan dalam perayaan hari-hari besar seperti pada Hari Proklamasi Kemerdekaan RI, Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), dan tidak jarang pula dimainkan untuk menyambut ”tamu-tamu terhormat” pemerintah daerah di Mandailing.
Pada horja siriaon[6] (upacara adat perkawinan) dan horja siluluton (upacara adat kematian yang juga disebut mambulungi), selain gordang sambilan, biasanya gondang boru juga dimainkan untuk mengiringi tortor (tarian adat). Dalam upacara adat ini, pihak-pihak yang menarikan tarian adat tortor antara lain adalah kelompok kekerabatan mora, kahanggi (suhut)[7] dan anak boru. Karena itulah tortor yang ditarikan oleh kelompok-kelompok kekerabatan itu dinamakan tortor mora, tortor suhut dan tortor anak boru. Selain itu, dalam setiap horja godang (pesta adat besar) biasanya kalangan raja-raja juga menarikan tarian adat tortor, sehingga tortor tersebut dinamakan tortor raja-raja, dan tortor yang ditarikan oleh kalangan muda-mudi disebut tortor na poso na uli bulung.

Pada horja godang, misalnya upacara adat markaroan boru (pesta adat perkawinan), seekor kerbau disembelih (disebut longit) sebagai syarat untuk mangampeon gondang (menempatkan gordang ke tempatnya yaitu di bagas godang) dan kemudian meminta izin penggunaannya melalui proses musyawarah adat yang disebut markobar yang dihadiri oleh Namora Natoras dan Raja Panusunan Bulung.[8] Menurut Burhanuddin Lubis dan Makmur Lubis, setelah izin diperoleh melalui musyawarah adat markobar, untuk dapat memainkan gordang sambilan harus terlebih dahulu di-tinggung (semacam ”upacara pemukulan pertama”) oleh Raja Panusunan Bulung, atau Datu Paruning-uningan yaitu pimpinan kelompok pemusik yang bertindak mewakili Raja Panusunan Bulung.[9] Setelah gordang sambilan di-tinggung maka kesempatan margordang (memainkan gordang) terbuka bagi siapa saja, termasuk bagi mereka yang baru belajar sekalipun. Pemain gordang yang senior dan dianggap hebat juga memanfaatkan kesempatan ini untuk mendemonstrasikan kebolehannya. Dalam permainan gordang sambilan, penonton menilai setiap pemain gordang, terutama pemain jangat yang bertindak sebagai pemimpinnya, dengan memperhatikan bagaimana panjangati (master of drum) tersebut membangun dan mengendalikan kesinambungan bangunan ritme gondang secara keseluruhan. Satu hal penting, audiens (penonton) tidak hanya menilai segi bermain gordang semata, melainkan juga kewibawaan dan bakat kepemimpinan pada panjangati. Menurut para tokoh adat, panjangati yang berwibawa dan mampu memimpin kesatuan bangunan ritmis dalam permainan gordang sambilan diyakini mampu pula memimpin masyarakat. Dengan kata lain, Raja Panusunan Bulung yang berkedudukan sebagai pemimpin adat dan masyarakat (raja) haruslah ahli bermain jangat dan menguasai seluk-beluk gordang sambilan sebagai ensembel musik adat Mandailing, sehingga tidak mengherankan dan juga tidak sekedar formalitas belaka apabila dalam upacara meninggung gordang tersebut Raja Panusunan Bulung diberi kehormatan sebagai orang yang pertama sekali memukul gordang.

Di masa lalu, gordang sambilan dimainkan ketika suatu huta atau banua sedang mengalami bencana seperti merebaknya wabah penyakit menular. Upacara ritual ini dinamakan paturun sibaso atau pasusur begu. Melalui perantaraan seorang medium (tokoh shaman) yang disebut sibaso, seorang datu (tokoh supranatural sebagai pemimpin ritus tersebut) melakukan komunikasi dengan sibaso untuk mengetahui penyebab bencana sekaligus solusinya. Selain itu, gordang sambilan atau gordang tano[10] juga dimainkan untuk mangido udan (meminta hujan turun) ketika terjadi kekeringan yang cukup parah, dengan maksud agar aktivitas pertanian dan kehidupan masyarakat dapat pulih kembali.[11]

Ensambel gordang sambilan terdiri dari sembilan buah gendang besar dengan ukuran yang relatif cukup besar dan panjang (drum chime) yang dibuat dari kayu ingul dan dimainkan oleh empat orang. Ukuran dan panjang dari kesembilan gendang tersebut bertingkat mulai dari yang paling kecil sampai kepada yang paling besar. Tabung resonator dibuat dengan cara melobangi kayu, dan salah satu ujung lobangnya (bagian kepalanya) ditutup dengan membran yang terbuat dari kulit lembu kering (disebut jangat) yang diregangkan dengan rotan sekaligus sebagai alat pengikatnya.

Kesembilan ”gendang” tersebut mempunyai nama sendiri yang tidak sama di semua tempat (huta) di Mandailing. Di Gunungtua-Muarasoro, nama ”gendang” secara berurutan dari yang paling kecil sampai kepada yang paling besar bernama: eneng-eneng, udong-kudong, paniga dan jangat. Selain itu, ada pula sejumlah peralatan musik metalofon yang dinamakan: ogung jantan dan ogung boru-boru yang dimainkan oleh satu orang; mongmongan (tiga buah gong kecil) yang dimainkan satu orang; doal (satu buah gong yang lebih besar sedikit dari mongmongan) yang dimainkan satu orang; dan talisasayat (simbal) yang dimainkan oleh satu orang; dan adakalanya disertai sebuah alat musik tiup dimainkan satu orang yang disebut saleot atau sarune. Gondang (repertoar lagu) yang dimainkan dengan ensambel gordang sambilan ini antara lain: sabe-sabe, horja, sampuara batu magulang, roba na mosok, aek magodang, mamele begu dan sarama babiat.[12]

Berikut persamaan dan perbedaan nama-nama gordang pada ensambel Gordang Sambilan di beberapa huta di Mandailing.[13]
Pakantan
1. Jangat 2. Jangat 3. Udong-kudong 4. Udong-kudong 5. Panduai 6. Panduai 7. Patolu 8. Patolu 9. Enek-enek
Huta Pungkut & Tamiang
1. Jangat (Siangkaan) 2. Jangat (Silitonga) 3. Jangat (Sianggian) 4. Pangaloi 5. Pangaloi 6. Paniga 7. Paniga 8. Udong-kudong 9. Teke-teke (Huta Pungkut); Eneng-eneng (Tamiang)
Huta Godang, Habincaran, Huta Padang, Manambin & Gunung Tua- Muarasoro
1. Jangat 2. Jangat 3. Jangat 4. Paniga 5. Paniga 6. Udong-kudong 7. Udong-kudong 8. Eneng-eneng 9. Eneng-eneng
Tombang Bustak
1. Jangat 2. Jangat 3. Jangat 4. Udong Tolu 5. Udong Dua 6. Udong Sada 7. Udong Sada 8. Jogo-jogo 9. Jogo-jogo
Singengu, Sayurmaincat, Simpang Tolang, Rao-rao, Hutarimbaru, Laru & Tambangan
1. Jangat 2. Jangat 3. Jangat 4. Paniga 5. Paniga 6. Udong-kudong 7. Udong-kudong 8. Enek-enek 9. Enek-enek
Siabu, Gunung Tua, Panyabungan Tonga-tonga, Panyabungan Julu, Huta Siantar, Pidoli & Maga
1. Jangat 2. Jangat 3. Jangat 4. Paniga 5. Paniga 6. Udong-kudong 7. Udong-kudong 8. Tepe-tepe 9. Tepe-tepe

Sedangkan ensambel gondang boru terdiri dari dua buah gendang dua sisi berbentuk barrel yang masing-masing dimainkan oleh satu orang. Ensembel gondang boru juga dilengkap dengan berbagai alat musik metalofon dan aerofon seperti yang ada pada ensambel gordang sambilan. Meskipun ensambel gondang boru biasanya hanya dipergunakan untuk mengiringi tarian adat tortor, akan tetapi gondang (repertoar lagu) yang dimainkan dengan ensambel gordang sambilan dapat pula dimainkan dengan ensambel godang boru, demikian pula sebaliknya.

Di beberapa sopo (dangau) baik di sawah maupun di ladang petani dapat dijumpai sebuah alat musik yang terbuat dari seruas bambu yang disebut etek atau otuk. Alat musik ini, pada bagian bawahnya dilobangi untuk resonansi suara dan pada salah satu bagian ujungnya diarit untuk membuang bagian dalamnya sehingga membentuk huruf “U”. Etek dimainkan oleh satu orang dengan memakai tiga buah stik dari kayu. Di samping dapat digunakan untuk menghalau berbagai macam hama tanaman seperti burung dan kera. Etek juga digunakan sebagai sarana untuk melatih pola-pola ritmik yang biasa dimainkan pada gordang sambilan. Oleh sebab itulah ada satu ungkapan “etek do mulo ni gondang”, yang artinya etek lah asal mula dari gondang. Sedangkan untuk melatih pola-pola ritmik yang dimainkan pada gondang boru, alat musik yang digunakan adalah gondang bulu. Alat musik ini terbuat dari seruas bambu yang pada bagian bawahnya sembilunya dibuang dan disayat lebar untuk resonansi suara, dan sembilu pada bagian atasnya dicungkil untuk membuat senar sebanyak tiga buah yang diregangkan dengan pasak-pasak (potongan-potongan kayu). Alat musik ini dimainkan oleh satu orang dengan memakai satu buah stik yang terbuat dari sepotong bambu. Selain kedua alat musik tersebut, di sopo tersebut adakalanya seseorang juga menyembunyikan berbagai alat musik tiup agar tidak diambil orang lain, seperti suling, salung, sordam, katoid dan tulila.[14]

Ketika musim tanam padi tiba, para petani ada yang membuat sebuah alat musikal yang dinamakan gondang aek (kincir air) yang dapat berfungsi sebagai alat pengontrol debit air sawah agar padi yang baru ditanam dapat tumbuh dengan baik. Dan ketika musim panen panen tiba, seringkali didengar bunyi alat musik tiup yang disebut uyup-uyup durame atau olanglio yang terbuat dari puput batang padi.

Baik di areal sawah maupun di ladang dapat ditemukan kolam ikan milik petani yang disebut tobat. Jenis gulaen (ikan) yang dipelihara di dalam tobat antara lain kalu, mujair, siroken dan mas. Di tobat ini biasanya ditanam secara tersembunyi sebuah alat musikal yang terbuat dari bambu yang disebut dongung-dongung atau salibung. Alat musikal ini dapat berfungsi sebagai pengontrol debit air tobat. Apabila debit air tobat semakin berkurang, secara otomatis dongung-dongung (salibung) tersebut mengeluarkan suara berdengung yang cukup keras dan lama, sehingga si pemilik tobat dapat mendengar dan mengetahui bahwa debit air kolam ikannya mengalami gangguan yang dapat berdampak pada kehidupan ikan peliharaannya.

Pada waktu siang hari biasanya suasana huta terasa sepi dan lengang karena warga huta umumnya pergi bekerja di sawah ataupun di ladang masing-masing. Begitupun, tetap ada orang yang tinggal di huta seperti orang-orang yang sudah cukup tua dan beberapa anak gadis yang mengasuh adik-adiknya yang masih kecil-kecil. Tidak jarang, di siang hari yang lengang itu terdengar suara musikal yang dimainkan oleh seorang anak gadis. Alat musikal ini disebut juga uyup-uyup yang terbuat dari selembar bulung tarutung bolanda (daun pohon sirsak) atau terbuat dari sepotong bulung pisang (daun pohon pisang) yang digulung membentuk kerucut, lalu dimasukkan ke dalam mulut untuk ditiup dengan cara dan teknik tertentu. Di samping itu, adakalanya sang kakak (perempuan) menyanyikan nina bobok bue-bue (lublaby) sembari mengayun-ayun adiknya untuk menidurkannya.[15]

Di puncak tor (bukit-bukit kecil) tidak jauh dari huta dapat pula ditemukan sebuah alat musikal yang disebut pior (kincir angin). Selain berguna untuk menunjukkan arah hembusan angin, ternyata pior ini pun dapat menghasilkan bunyi yang cukup merdu. Di masa lalu, suara pior ini dimanfaatkan oleh para pemuda dengan memakai mantra-mantra tertentu, disebut pitunang, untuk menaklukkan hati anak gadis yang didambakannya.

Nyanyian tradisional yang disebut ende sesungguhnya tidak banyak ditemukan di Mandailing. Ende yang dikenal luas di Mandailing Godang adalah sitogol, sementara di Mandailing Julu adalah ungut-ungut, sedangkan jenis ende yang disebut jeir biasanya dinyanyikan dalam upacara adat perkawinan sebagai salah bagian terpenting dari kegiatan tortor (manortor) yang diiringi dengan ensambel gondang boru.

Sama seperti keadaan ende, bentuk sastra lisan pun amat sedikit ditemukan di Mandailing. Sastra lisan yang cukup dikenal luas adalah ende-ende atau pantun dan turi-turian (cerita bertutur). Turi-turian yang cukup dikenal luas antara lain Raja Gorga Di Langit dan Nan Sondang Milong-ilong. Seseorang yang memiliki keahlian menuturkan turi-turian ini disebut parturi, yang sekarang ini sudah langka ditemukan di Mandailing, bahkan mungkin saat ini tidak ada lagi. Sewaktu melakukan penelitian di Maga Lombang, saya masih sempat menyaksikan keahlian marturi yang disajikan oleh Abdul Hakim Lubis, beliau ini juga seorang datu, yang telah berusia 51 tahun.

Artifak peninggalan sejarah orang Mandailing yang berkaitan dengan seni patung dan pahat adalah tagor, yang di masa lalu ditempatkan pada areal pemakaman kuno yang disebut lobu atau huta lobu. Dan ada pula patung yang disebut pangulu balang, yang ditempatkan di empat sudut huta. Kedua patung batu ini dipercayai oleh masyarakat Mandailing memiliki tuah (keramat). Selain itu, ada artifak lain berupa patung diberi nama sangkalon yang terbuat dari kayu yang biasanya ditempatkan di depan bagas godang dan sopo godang. Bagi orang Mandailing, artifak bernama sangkalon ini merupakan simbol keadilan, sesuai dengan ungkapan yang melekat padanya, yaitu “sipangan anak sipangan boru”. Artinya, siapapun yang telah melakukan kesalahan pasti diberi sanksi sesuai dengan ketentuan adat dan uhum (hukum) yang berlaku.

Pada bagian atap bagas godang dan sopo godang yang disebut bindu atau tutup ni ari terdapat ornamen tradisional yang umumnya berbentuk simetris (garis-garis lurus) diberi warna hitam, putih dan merah yang pada hakikatnya mengandung makna-makna penting dan mendalam bagi masyarakat Mandailing.


Prediksi Asal-usul Gordang Sambilan

Selain bercocok tanam eme (padi) di sawah, orang Mandailing juga bertanam padi di ladang di daerah tor (perbukitan) yang dinamakan marhauma. Setelah area yang akan ditanami eme itu dibersihkan, maka bibit atau butir-butir eme ditanam ke dalam tanah dengan menggunakan alat sederhana yang terbuat dari sepotong kayu yang salah satu ujungnya diruncingkan. Alat sederhana bercocok tanam padi (semacam “tugal”) di hauma (ladang) ini dinamakan ordang, sedangkan aktivitas menanamkan padi ke dalam tanah itu dinamakan mangordang. Dalam hubungannya dengan kegiatan mangordang ini ada uling-kulingan (sejenis “ungkapan tradicional” Mandailing) yang berbunyi:
Pertanyaan:
Taksipatuktak tolu indegena, aha mai?
Jawaban:
Alak na mangordang!

Ada kemungkinan bahwa perkataan ordang ini erat kaitannya dengan perkataan gordang atau gordang sambilan dan gordang tano, tetapi bukan perkataan gondang. Untuk melihat hubungan kedua perkataan (ordang dan gordang) ini dapat dilakukan dengan pendekatan metafora dan metonymy. Hipotesis yang diajukan dalam konteks penelitian asal-usul gordang sambilan ini adalah, bahwa gordang sambilan sebelumnya berasal dari peralatan musik yang lebih sederhana yaitu gordang tano, sedangkan ide dasar dari gordang tano itu sendiri berasal dari aktivitas mangordang di hauma.

MANGORDANG
Material:
1. lubang di dalam tanah
2. kayu untuk pangordang (tugal)
3. benih padi
~ udara

GORDANG TANO
Material:
1. lubang di dalam tanah.
2. ayu untuk tokok (stik) dan “penyangga” dawai.
3. tano (tanah)
4. otang (rotan) untuk dawai.
~ udara.
~ ayu untuk pasak dawai.
5. papan sebagai penutup lubang, kemudian ditimbun dengan tanah.

GORDANG SAMBILAN
Material:
1. lubang di dalam ayu.
2. ayu untuk tokok (stik), instrumen gordang, dan lain-lain.
3. disangga dengan kontruksi kayu.
4. otang (rotan) untuk pangkobek (pengikat).
5. jangat (kulit) untuk ”membran” gordang.

Keterangan:
1. Untuk marngordang, gordang tano dan sambilan perihal mendasar yang sama yaitu: lubang, yang ditutup dengan ”sesuatu” (tano, papan, jangat).
2. Istilah atau terminologi yang digunakan untuk ketiga kebudayaan material ini relatif sama yaitu:
- ma/n/g/ordang
- g/ordang/ tano
- g/ordang/ sambilan
3. Ketiga kebudayaan material tersebut juga sangat erat kaitannya dengan kosmologi etnik Mandailing.
4. Penggunaan dan fungsinya relatif sama.
5. Jika kebudayaan musik itu lahir dari masyarakat peladang, maka budaya musik itu sendiri akan erat kaitannya sistem mata pencaharian hidup mereka sebagai petani di ladang.


Pola Ritmik Gordang Sambilan

Gondang (repertoar musik) yang dimainkan dalam seni pertunjukan gordang sambilan diketahui tidak begitu banyak jumlahnya (lihat tabel repertoar gondang sebelumnya). Di Pakantan, ada tiga gondang yang umum dimainkan yaitu sarama datu, sarama babiat dan pemulihon. Di daerah lain seperti Huta Pungkut dan Tamiang dapat ditemukan beberapa gondang yaitu roba na mosok, sampuara batu magulang, paturun sibaso, dan beberapa gondang yang diambil dari musik ensambel gondang tortor (gondang boru) seperti halnya gondang tua, yang mempunyai pola dan bangunan ritme yang berbeda, sedangkan nama-nama gondang yang disebut sebelumnya mempunyai irama yang boleh dikatakan relatif persis sama kecuali kecepatannya (tempo) saja yang berbeda.[16] Dapat ditambahkan bahwa di Ulu Pungkut terdapat satu nama gondang bernama aek magodang yang sengaja dibuat untuk mengenang peristiwa karamnya suatu perkampungan bernama Mompang Julu di masa lalu.[17]

Menurut etnomusikolog Rizaldi Siagian, ”pada dasarnya kunci bangunan ritme jenis-jenis gondang tersebut di atas terletak pada perpaduan ritme yang dibangun oleh pasangan hudong-kudong, panduai, serta patolu” (khususnya di Pakantan). Sementara keluarga gong yang memiliki susunan ritmis berpola ostinato bertindak memandu bentuk metriknya. Jangat yang berperan sebagai pemimpin dalam ensambel menyatukan keseluruhan bangunan ritme dengan pola-pola dan variasi-variasi ritmis yang muncul dari kemampuan pemain dalam berimprovisasi. Pola atau motif ritme yang pendek diulang dan diuntaikan ke dalam frasa-frasa yang menggiring pendengar merasakan ”ketegangan”. Suasana ini tidak dibiarkan berlarut-larut, melainkan dibawa ke suatu penyelesaian yang diarahkan bersamaan dengan jatuhnya pukulan gong (downbeat). Enek-enek, dengan menggunakan alat pemukul terbuat dari bambu yang dipecah, memberikan reaksi terhadap ”ketegangan” ritmis yang diciptakan jangat ini”. [18]

Dalam permainan gordang sambilan, proses pembentukan bangunan ritme dimulai dengan memainkan not-not sepertempat (lihat Contoh 1) secara serempak oleh semua pemain gordang. Kemudian pukulan tersebut berkembang menjadi kelipatan ritmis seperdelapan (lihat Contoh 2). Pada tingkat ini, patolu sampai pada bentuk ritmenya yang baku. Adapun tugas patolu selanjutnya adalah mempertahankan tempo yang konstan, memberikan aksen (tekanan) keras pada jatuhnya gong (ketukan pertama), ketukan kedua, dan ketukan ketiga. Pada ketukan keempat, patolu hanya menjatuhkan pukulan ringan ke permukaan kulit gordang, atau istirahat (lihat Contoh 3). Ketika patolu sampai pada pola ritme yang baku ini, ritme hudong-kudong atau panduai dikembangkan pada kelipatan ritmis tingkat ketiga dari pulsa dasar. Dengan sendirinya kelompok not yang dimainkan jauh lebih rapat (kelompok not seperenambelas, lihat Contoh 4). Di sini kedua pasang gordang membagi kerja dengan cara: hudong-kudong memukul dua dua buah not terdekat dengan aksen pada ketukan ”pertama” dari kelompok empat not tersebut dan istirahat pada bagian ketiga (lihat Contoh 5). Dalam kerjasama ini, panduai memulai pukulannya pada ketukan kedua dari hudong-kudong dan pukulan kedua dari panduai diberi aksen. Dengan demikian, saat istirahat hudong-kudong diisi dengan pukulan yang kedua dari panduai (lihat Contoh 6). Bila diperhatikan gerakan tangan kedua pemainnya ini, maka dapat dilihat bahwa pada saat-saat tertentu salah satu tangan dari kedua pemain akan jatuh pada pukulan yang bersamaan. Gabungan ritmis dari ketiga pasangan gordang (hudong-kudong, panduai dan patolu) itu merupakan motor dalam bangunan pola ritme yang baku (pokok) pada permainan gordang sambilan.[19]

Apabila bangunan ritme tersebut diperhatikan lebih teliti akan memperlihatkan strukturnya begitu kompleks dan bisa menimbulkan berbagai interpretasi. Salah satu struktur metrik yang muncul adalah hemiola, atau “meter tiga lawan empat” (dalam satu birama terdapat birama 3 dan birama 4). Di dalam tiga kelompok empat not sseperenambelas terdapat empat kelompok tiga-not seperenambelasan (lihat Contoh 7). Hal ini disebabkan oleh pergeseran letak aksen yang terus-menerus “bergerak” dari pasangan hudong-kudong dan panduai di sepanjang tiga kelompok empat-not seperenambelas tersebut. Bila kedua pasangan gordang ini, secara ritmis, terlepas hubungannya dengan patulu, maka kesan metrik yang ditimbulkan adalah empat dengan susunan metris triplet (lihat Contoh 8). Patolu sendiri seolah-olah bergerak tidak perduli dengan meter empatnya (4/4), yaitu dengan mempertahankan aksen-aksen pada ketukan satu, dua dan tiga di dalam ritme duple dan mengalir terus (atau istirahat) dengan pukulan lemah pada ketukan keempat. Sehingga membuat siklus metrik antara patolu di satu pihak, serta hudong-kudong dan panduai di lain pihak, menjadi berbeda. Patolu mengalir dengan empat ketukan duple (dalam metrik 4/4, bentuk metrik dalam gondang ini), dengan melemahkan pukulan pada ketukan keempat, sedangkan hudong-kudong tiga ketukan dalam satu siklus (di dalam birama 4/4). Yang menarik di dalam “meter ¾” ini terdapat meter lain (4) yang terangkat dari gerakan aksen kedua pasang gordang ini. Dengan demikian, bagi hudong-kudong dan panduai, untuk kembali kepada siklus yang “tepat” (yaitu bersamaan dengan jatuhnya ketukan yang pertama dari patolu dan gong) harus melalui perjalanan waktu dua belas ketukan (dalam 3 birama 4/4).
[20]

Pada permainan ensambel gordang sambilan, yang memimpin adalah pasangan gordang yang paling besar, yaitu jangat. Pemainnya yang diberi gelar panjangati biasanya adalah pargordang (“pemusik”) yang mampu dan menguasai pola ritmik setiap instrumen dalam ensambel gordang sambilan. Panjangati (master of drum) ini memiliki sense of rhythm yang sangat tinggi. Motif-motif ritme yang diolahnya dari pola-ritmik instrumen yang terdapat dalam ensambel gordang sambilan. Sekalipun jenis ritme misalnya diambil dari hudong-kudong atau patolu, namun dengan memberi aksen pada tempat yang berbeda, menimbulkan efek “ketegangan” yang lain. Dalam menyelesaikan “ketegangan” ritmis ini terdapat motif ritme yang khas, yaitu dengan memainkan kelompok empat-not seperenambelas, dengan cara istirahat pada not pertama dan ketiga (lihat Contoh 9), serta menyelesaikannya pada ketukan berikut. Sebelum “motif penyelesaian” ini biasanya terdapat motif-motif lain, yaitu dua kelompok not duple yang dimainkan dengan memberikan tekanan pukulan kuat pada offbeat, sementara pada jatuhnya ketukan (downbeat) dipukul dengan tekanan yang lemah dan bahkan sama sekali istirahat (lihat Contoh 10). Penggabungan dua bentuk motif ini menciptakan “frasa kadensa” (lihat Contoh 11) yang sangat khas dari permainan jangat dan diakhiri dengan sebuah pukulan bersamaan dengan jatuhnya pukulan ogung dada boru (lihat Contoh 12). Frasa yang khas ini mempunyai batas pemanjangan (elongasi) tertentu; jarang sekali dimainkan lebih dari satu putaran gong. Umumnya dimulai dari offbeat pada ketukan “ketiga” (saat jatuhnya pukulan ogung jantan), atau pada ketukan ”kedua” (lihat Contoh 13).[21] Gordang yang paling kecil di Pakantan, yaitu enek-enek (“anak-anak”) bertugas memberikan reaksi terhadap jangat. Pola ritme yang baku dari enek-enek adalah kelompok empat-not seperenambelas (lihat Contoh 14), dengan awal pukulan terletak atau diakhiri pada jatuhnya ketukan ”satu” dan ”tiga”. Dalam menghadapi rekasi terhadap jangat, enek-enek terkadang melakukan imitasi ritmis yang dimainkan oleh jangat. Bahkan terkadang dengan “nakal” hubungan metriksnya terlepas dari hubungan ritme secara keseluruhan.[22]

Menurut Rizaldi Siagian, keluarga gong menetralkan dan mempertegas bentuk meter pada jenis-jenis gondang yang terdapat pada ensambel gordang sambilan. Ogung dada boru dan ogung jantan bekerjasama dalam membentuk aksentuasi metriknya. Dalam transkripsi ogung dada boru ditempatkan pada ketukan “pertama”, sedangkan ogung jantan pada ketukan “ketiga”. Nilai durasi not masing-masing ogung adalah not setengah. Masing-masing ogung ini terkadang menguasai satu putaran meter, yaitu dengan nilai durasi not penuh; lain halnya dengan doal, yang berperan menyuarakan setiap ketukan dalam meter 4/4. Dengan demikian ketukan kedua dan ketiga pada doal memberikan selingan bunyi di antara gong dada boru dan gong jantan. Pola ritme keluarga mongmongan berbeda antara Pakantan dengan Huta Pungkut dan Tamiang. Di Pakantan keluarga mongmongan (khususnya panolongi dan panduai) membagi ritme dengan panjang frasa satu putaran gong (lihat Contoh 15). Adapun pamulusi memberikan variasi ritmis ditengah-tengah pola ritme pasangan panolongi dan panduai dengan memulai pukulan pertamanya pada posisi offbeat di ketukan “keempat” (lihat Contoh 16), atau dengan menambah ekstra pukulan pada ketukan “ketiga” (lihat Contoh 17). Teknik interlocking pada keluarga mongmongan ini menciptakan kesan melodic ostinato pada keseluruhan bunyi musikal ensamble gordang sambilan. Tidak sama seperti di Pakantan, teknik interlocking pada epong-epong (keluarga mongmongan) di Huta Pungkut dan Tamiang membagi kelompok empat-not seperenam belas ke dalam dua bagian. Epong-epong yang satu memainkan dua not seperenambelas tepat pada ketukan jatuh (downbeat), sedangkan pasangannya memainkan motif ritem yang sama dengan memulai pukulan pada offbeat (lihat Contoh 18). Di Huta Pungkut dan Tamiang, mongmongan mempunyai dua pola ritme yang dapat dipakai dalam keseluruhan bangunan ritme. Pertama, polanya mirip dengan doal di Pakantan (lihat Contoh 19). Kedua, memberikan syncopation pada setiap ketukan dalam meternya (lihat Contoh 20).
[23]

Dalam permainan gordang sambilan, sepasang simbal yang memiliki bunyi tajam dan nyaring yang disebut tali sasayat atau tali sasayap memberikan efek ”menyatukan” (dalam bahasa Mandailing: domu) keseluruhan bunyi instrumen. Pola ritme tali sasayat, terutama bila pemainnya sudah sangat berpengalaman, berorientasi pada pola yang terdapat pada keluarga mongmongan dan digarap dengan pendekatan yang cenderung berimprovisasi. Begitupun, pola dasarnya merupakan gabungan not-not duple dengan variasi aksen yang menirukan bunyi mongmongan.
[24]


Penutup

Meskipun bukan merupakan kesimpulan, menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang cukup penting dan relevan untuk dikemukakan pada bagian penutup tulisan ini.

Pertama, deskripsi mengenai berbagai jenis instrumen dan musik tradisional Mandailing pada bagian awal tulisan ini bukanlah bermaksud untuk memberikan suatu ”gambaran umum” tentang seni-budaya tradisional masyarakat Mandailing, melainkan hanya karena sangat terbatasnya waktu dan kesempatan untuk dapat menginformasikan kepada khalayak luas tentang aneka ragam instrumen dan musik tradisional Mandailing.

Kedua, pembahasan gordang sambilan yang tidak holistik dan komprehensif dalam tulisan ini antara lain karena sangat terbatasnya dokumen atau data yang dimiliki mengenai subjek tersebut, terlebih-lebih lagi ”dunia seni tradisional (etnomusikologi)” telah cukup lama ”ditinggalkan” karena penulis sudah sejak lama bergelut dengan disiplin ilmu lain. Di samping itu, meskipun penulis adalah warga Mandailing namun bukan seseorang yang ”biasa” dan ”bisa” memainkan gordang sambilan.

Ketiga, Rizaldi Siagian mengemukakan bahwa dalam permainan gordang sambilan terdapat nama-nama gondang (irama) yang berbeda, padahal mempunyai irama yang relatif sama kecuali kecepatannya (tempo) saja yang berbeda seperti di Pakantan, Tamiang dan Huta Pungkut. Hal yang sama juga ditemukan di Ulu Pungkut dan di wilayah ini juga terdapat nama gondang yang disebut roba na mosok (”irama padang ilalang yang terbakar”) yang biasanya dimainkan dengan eneng-eneng; sampuara batu magulang (”irama batu berguling”) dan udan potir (”irama hujan petir”) dimainkan dengan paniga. Terkait masalah tempo (cepat-lambatnya suatu irama), sepanjang pengetahuan penulis hanya dua: naipas i (cepat) dan naerer i (lambat).

Keempat, di beberapa huta, terdapat nama-nama gordang yang berbeda dan jumlahnya juga bervariasi (lihat tabel pada halaman 4). Untuk gordang yang disebut jangat, di Pakantan hanya 2 (dua) saja, sedangkan di huta lain umumnya 3 (tiga). Hal lain yang cukup ”menggelitik” adalah gordang yang bernama udong-kudong. Pada umumnya di setiap huta ada 2 (dua) buah, sementara di Tombang Bustak sebanyak 4 buah (udong sada sebanyak 2 buah, udong dua sebanyak 1 buah dan udong tolu sebanyak 1 buah). Begitu juga halnya dengan penamaan gordang yang terkecil: eneng-eneng (Tamiang, Ulu Pungkut, Manambin, Gunungtua-Muarasoro), enek-enek (Pakantan, Singengu, Sayurmaincat, Simpang Tolang, Tambangan), teke-teke (Huta Pungkut), tepe-tepe (Maga, Panyabungan, Gunung Tua, Siabu), dan jogo-jogo (Tombang Bustak). Kesemuanya itu mungkin refleksi dari tingkat kedemokratisan yang relatif cukup tinggi pada masyarakat Mandailing.

Kelima, dalam perkembangannya kemudian, tidak tertutup kemungkinan adanya perbedaan pola ritme dalam permainan gordang sambilan antar huta, dan juga bentuk-bentuk variasinya. Karena itu masih diperlukan upaya pendokumentasian musik gordang sambilan di beberapa huta, baik secara visual maupun audio-visual, untuk kemudian ditranskripsi dan dianalisis guna menemukan gaya permainan seni pertunjukan gordang sambilan di masing-masing huta. Di Ulu Pungkut misalnya, permainan gordang sambilan diawali dengan membunyikan kelompok gong (mongmongan), sementara di Tamiang dan Huta Pungkut diawali dengan pemukulan gordang yang kemudian diikuti kelompong gong dan simbal. Menurut beberapa informan saya, termasuk budayawan Z. Pangaduan Lubis, dahulu permainan gordang sambilan diawali dengan pemukulan nio-nio (doal) sebagai pembuka (pemberi aba-aba), dan setelah itu diikuti udong-kudong, paniga, panulus, eneng-eneng, kelompok gong dan simbal. Setelah semuanya menjadi domu (padu), barulah panjangati (master of drum) memainkan gordang dengan gayanya yang cukup khas: ”energik, kuat dan berwibawa”, sehingga audiens menjadi terpesona dan berdecak terkagum-kagum.(*)

Dirgahayu Republik Indonesia
Horas tondi madingin, pir tondi matogu, sayur matua bulung di hita sasudena.

Gandoang, 23 Agustus 2008
Edi Nasution

· Paper ini dipresentasikan pada ”Dialog & Pagelaran Seni Budaya Gordang Sambilan” di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Minggu, 24 Agustus 2008.

Catatan kaki :
[1] Meutia Farida Hatta Swasono, “Kebudayaan Nasional Indonesia: Penataan Pola Pikir”, makalah disampaikan disampaikan pada Kongres Kebudayaan V di Bukittinggi, 20-22 Oktober 2003.
[2] Di Mandailing Julu banyak ditemukan bekas-bekas penambangan emas yang ditinggalkan orang Agam (Minangkabau), seperti di sekitar Huta Godang ada suatu tempat yang dinamakan garabak ni agom, dan orang Belanda pun pernah membuka tambang emas di dekat kota kecil bernama Muarasipongi. Di samping itu, sungai Batang Gadis yang hulunya terletak di Gunung Kulabu di dekat Pakantan itu melintasi wilayah Mandailing mulai dari selatan hingga utara dan bermuara di Singkuang di pantai barat mengandung bijijh-bijih emas pula. Pada waktu-waktu tertentu di sungai Batang Gadis sampai sekarang banyak penduduk yang manggore (mendulang emas) sebagai mata pencaharian tambahan terutama pada masa pacekelik, yaitu sewaktu harga kopi, kayu manis, cengkeh dan karet turun di pasaran. Oleh sebab itulah tano rura Mandailing disebut juga tano sere. Edi Nasution, Tulila: Muzik Bujukan Mandailing, (Penang-Malaysia : Areca Books, 2007), hal. 14.
[3] Ibid, hal. 16-18.
[4] Di beberapa huta, gondang boru dinamakan juga gondang dua , gondang topap, atau tunggu-tunggu dua.
[5] Upacara adat dan ritus di Mandailing antara lain: Horja Haroan Boru & Pabuat Boru, Patuaek Boru, Mamungka Huta, Mambongkot Bagas Godang & Sopo Godang, Anak Sorang, Paijur Danak, Manggorar, Mambulungi, Mangan Ulu Taon, Paturun Sibaso/Pasusur Begu, Pahabang Manuk Na Bontar, Mangido Udan, Mangalo-alo Alak na Godang
[6] Untuk menghias rumah tempat pelaksanaan horja siriaon, salah satu bahan yang digunakan adalah bulung ni bargot (daun muda pohon enau). Dari daun pohon enau beserta lidinya, orang-orang dewasa seringkali membuat sebuah alat musikal untuk dimainkan anak-anak yang disebut eor-eor.
[7] Suhut adalah kelompok kekerabatan semarga (kahanggi) yang melaksanakan suatu upacara adat atau upacara ritual tersebut.
[8] Raja Panusunan Bulung adalah seorang ahli adat-istiadat yang juga berkedudukan sebagai raja (kepala pemerintahan). Sedangkan Namora Natoras adalah kepemimpinan tradisional yang terdiri atas Namora (“kaum bangsawan”) dan Natoras (“kaum cerdik pandai”) pada setiap huta di masa lalu.
[9] Burhanuddin Lubis dan Makmur Lubis adalah informan saya sewaktu melakukan penelitian lapangan di Mandailing Julu sekitar tahun 1990. Burhanudin Lubis adalah tokoh adat di Huta Pungkut, dan Makmur Lubis adalah tokoh adat di Habicaran-Ulu Pungkut.
[10] Gordang tano dibuat di atas permukaan tanah yang bagian bawahnya dilobangi dan kemudian ditutup dengan beberapa belah kayu (papan). Di bagian atasnya diregangkan empat buah senar yang terbuat dari otang (rotan) dan dimainkan oleh empat orang dengan menggunakan stik dari kayu.
[11] Paturun sibaso atau pasusur begu adalah salah satu ritus dalam sistem kepercayaan lama orang Mandailing yang disebut sipelebegu. Setelah sebagian besar orang Mandailing memeluk agama Islam, upacara ini praktis tidak pernah mereka lakukan lagi. Sesajian utama yang harus ada dalam ritus ini adalah parlas-las yang terdiri dari : (1) ngiro yang disimpan dalam sahan (tanduk kerbau); (2) gulaen sale (ikan asap); (3) itak (tepung beras); (4) poltuk (padi yang digongseng); (5) sira (garam); dan (6) pege (jahe). Semua bahan itu, kecuali ngiro, diletakkan di atas sebuah wadah terbuat dari kuningan bernama pahar, yang dilapisi dengan bulung ujung (ujung daun pisang). Selain itu juga dipersembahkan burangir adat yang terdiri dari: (1) burangir (daun sirih); (2) timbako (tembakau); (3) soda (kapur sirih); (4) pining (buah pinang); dan (5) gambir, yang semuanya diletakkan di atas sebuah tikar kecil berbentuk segi empat yang disebut salipi.
[12] Gondang sarama babiat dapat dimainkan dengan ensambel gordang sambilan dan gondang boru pada saat seekor harimau yang selalu mengganggu ketenteraman penduduk suatu huta telah mati setelah diburu dan dibunuh oleh warga setempat. Seiring dengan kematian harimau tersebut dilaksanakan suatu upacara adat karena orang Mandailing memandang harimau sebagai mahluk yang memiliki kekuatan magis yang juga memiliki adat. Ketika gondang dimainkan, seorang laki-laki menarikan tarian (disebut manyarama) yang mirip dengan gerakan-gerakan seekor harimau yang sedang marah.
[13] Nama-nama gordang pada sejumlah huta tersebut perlu dilakukan cross-check karena belum valid.
[14] Tulila adalah sebuah alat musik tiup (aerofon) yang biasanya digunakan naposo-poso (pemuda) untuk merayu bujing-bujing (gadis) yang didambakannya dalam kegiatan berkencan pada malam hari yang disebut markusip. Informasi yang lebih lengkap mengenai tulila dan tradisi markusip lihat Edi Nasution, Tulila: Muzik Bujukan Mandailing, Op.Cit.
[15] Lihat Edi Nasution, “Uyup-uyup Na Tarsino dari Mandailing”, Harian Waspada, 1990.
[16] Lihat Rizaldi Siagian, “Gordang Sambilan: Ensambel Musik Adat Orang Mandailing di Tapanuli Selatan”, kertas kerja dibacakan dalam Temu Wicara Etnomusikologi II di ASRI Surakarta pada tanggal 7-9 April 1986, hal. 84.
[17] Puluhan tahun silam bencana alam pernah melanda sebuah perkampungan yang bernama Mompang Julu di Mandailing Godang. Begitu hebatnya peristiwa banjir yang menghanyutkan p.erkampungan itu, sehingga para orang tua di sana sering menceritakan kejadian tersebut kepada keturunannya. Perkataan mayup (hanyut) mompang atau karom (karam) mompang masih sering kita dengar disebut-sebut dalam kehidupan masyarakat Mandailing sampai sekarang. Gondang aek magodang ini sering pula disebut dengan gondang mayup mompang dan penamaan ini tentu erat kaitannya dengan kejadian di maksud. Menurut beberapa orang tua Mandailing di Ulu Pungkut, bahwa paduan bunyi gondang aek magodang ini merupakan perwujudan dari suara-suara yang terdengar pada saat kejadian tersebut (emic view). Seperti adanya suara dari batu-batu yang menggelinding dan saling bertubrukan, hujan lebat, dan angin kencang. Sesekali diiringi suara pohon tumbang dan sambaran petir, dan ada pula suara katak yang bersahutsahutan. Akhirnya, kombinasi atau paduan suara-suara dari bencana alam itu terwujud di dalam gondang aek magodang. Apabila gondang ini dimainkan seakan-akan menyampaikan pesan -- melukiskan keadaan peristiwa banjir, tidak ubahnya seperti ”bahasa” yang ingin mengungkapkan kejadian itu kepada khalayak ramai. Karena itulah Sutan Singasoro dan Sutan Baringin mengatakan bahwa penciptaan gondang aek magodang oleh warga Ulu Pungut, adalah perwujudan dari rasa solidaritas' masyarakat Mandailing, yaitu olong dohot domu (saling menyayangi, seia sekata dan bersatu padu). Dengan lahirnya gondang yang baru ini pada beberapa puluhan tahun yang lalu, semula diharapkan agar warga Ulu Pungkut khususnya, maupun masyarakat Mandailing umumnya agar selalu mengingat dan mengenang peristiwa hanyutnya perkampungan itu. Edi Nasution, “Gondang Aek Magodang dan Riwayatnya”, Harian Waspada, 1990.
[18] Rizaldi Siagian, Op.Cit, hal. 84-85. Sebagai perbandingan, di Tombang Bustak kunci bangunan ritme dalam seni pertunjukan gordang sambilan dibangun oleh udong sada, udang dua, dan udong tolu. Selain itu, gordang yang terkecil (eneng-eneng) dipukul dengan stik kayu, bukan dengan bambu yang dipecah.
[19] Rizaldi Siagian, Op.Cit., hal. 85-86.
[20] Ibid, hal. 86-87.
[21] Ibid, hal. 87-89.
[22] Pengertian kata ”nakal” di sini untuk menunjukkan kebebasan enek-enek bermain dengan pola ritme. Fakta menunjukkan bahwa pemain lain pun tidak merasa terganggu atau menjadi marah bila pola ritme enek-enek keluar dari jalur metrik atau ritmr yang ada. Ibid, hal. 91.
[23] Ibid, hal. 89-90.
[24] Ibid, hal. 90. Dapat ditambahkan bahwa pemain tali sasayap dan jangat tidak jarang bermain sambil ”menari” (manortor) dalam permainan gordang sambilan. Bila salah satu pemain mulai ”menari”, yang lain pun ikut mengimbangi dengan gerakan-gerakan tarian (minimal enjutan tubuh turun-naik) sambil memukul gordang yang dilakukan sambil berdiri itu. Posisi gordang yang diletakkan diagonal ke arah dada pemain tidak memberikan kesulitan bagi pemain untuk melakukan gerakan-gerakan itu. Tidak jarang pula gordang disusun dalam posisi horizontal yang diletakkan di atas panggung khusus, sejajar dengan kepala pemainnya. Ibid, hal. 81.