"PERSELINGKUHAN ANTARA POLITIK DAN UANG (MONEY POLITICS) MENCIDERAI
SISTEM DEMOKRASI"
Oleh: Edi Nasution
PENDAHULUAN
P
|
olitik dan uang
merupakan dua hal yang berbeda, namun tidak dapat dipisahkan. Untuk berpolitik
orang membutuhkan uang dan dengan uang orang dapat berpolitik. Istilah ‘politik
uang’ (dalam bahasa Inggris: ‘money
politics’) mungkin termasuk salah satu istilah yang sudah sangat sering
didengar. Istilah ini menunjuk pada penggunaan uang untuk mempengaruhi
keputusan tertentu, entah itu dalam Pemilu ataupun dalam hal lain yang
berhubungan dengan keputusan-keputusan penting. Dalam pengertian seperti ini, ‘uang’
merupakan ‘alat’ untuk mempengaruhi seseorang dalam menentukan keputusan. Tentu
saja dengan kondisi ini maka dapat dipastikan bahwa keputusan yang diambil
tidak lagi berdasarkan baik tidaknya keputusan tersebut bagi orang lain, tetapi
keuntungan yang didapat dari keputusan tersebut.[1]
Selain pengertian tersebut di atas, istilah ‘politik uang’ juga dapat
dipakai untuk menunjuk pada pemanfaatan keputusan politik tertentu untuk
mendapatkan uang. Artinya ialah kalangan tertentu yang memiliki akses pada ‘keputusan
politik’ dapat memanfaatkan keputusan tersebut untuk mendapatkan uang. Kondisi
ini disebutkan oleh Adi Sasono sebagai ‘Kapitalisme
dalam tenda Oksigen’, dan dijelaskan sebagai sebuah kondisi dimana
pemerintah (penguasa) ikut ‘bermain’ dalam seluruh tindakan ekonomi masyarakat
dengan melakukan sebuah sistem ekonomi tertutup dan protektif. Keterlibatan pihak
pengambil kebijakan dalam sistem ekonomi seperti ini menghasilkan ekonomi biaya
tinggi (high cost economy) yang tidak
menguntungkan rakyat ketika sekelompok orang tertentu melindungi kepentingan
pribadi dan kelompok mereka dengan mengendalikan arus suplai barang kebutuhan
masyarakat.[2]
Relasi kuat antara ‘politik dan uang’ (money politics) dipengaruhi oleh, dan
mempengaruhi, hubungan antara pihak politisi, keanggotaan partai dan para
pemilih. Timbulnya masalah uang bagi demokrasi karena banyaknya kegiatan
politik demokratis yang tidak bisa dilaksanakan tanpa uang. Dalam hal ini,
‘politik uang’ cenderung diartikan secara sempit karena hanya berfokus pada
dana kampanye dan partai politik. Padahal, banyak pihak pelaku luar yang
terlibat dalam persaingan politik dengan tujuan membentuk agenda ‘kebijakan
publik’, mempengaruhi undang-undang atau debat pemilu dan keberhasilannya.
Sebuah contoh misalnya kasus Fujimori-Montesinos di Peru. Pada pertengahan
September 2000, rekaman video yang dirilis menunjukkan Vladimiro Montesinos,
kepala Dinas Intelijen Nasional Peru, ternyata terlibat dalam pembelian suara
dengan menyerahkan sekitar US $ 15.000 kepada pihak oposisi Kongres Luis
Alberto Kouri untuk beralih posisi sehingga membuat pemerintah menjadi mayoritas
dalam parlemen. Skandal ini menyebabkan pengunduran diri Alberto Fujimori
sebagai Presiden Peru.[3]
Conton lain,
baru-baru ini masyarakat Indonesia cukup terkejut dengan pemberitaan media massa
tentang penangkapan Ketua Mahkamah Konsitusi (Akil Mochtar) oleh Komisi
Pembertansan Korupsi (KPK), tidak terkecuali Presiden RI Susilo Bambang
Yudhoyono yang mengatakan: “Saya juga merasakan kemarahan dan
keterkejutan rakyat Indonesia mengetahui apa yang terjadi tadi malam”. Dan juru
bicara KPK (Johan Budi SP) mengatakan bahwa penangkapan tersebut terkait dengan
sengketa pemilihan kepala daerah Gunung Mas di Kalimantan Tengah, dan ‘barang
bukti’ yang ikut dibawa dari penangkapan itu adalah uang senilai Rp 2-3 miliar.[4]
Berita penangkapan Akil Mochtar ini sudah meluas hingga menjadi pemberitaan
internasional, seperti Aljazeera, Financial Times, Fox News, BBC, ABC Online, dan Straits Times. Surat kabar terkemuka di Amerika Serikat, Financial Times, menulis berita
penangkapan Akil dengan ‘judul besar’ dan
sebagian isinya menyebutkan bahwa kasus penangkapan
petinggi negara ini sudah ketiga kalinya terjadi di Indonesia dalam setahun.[5]
Terkait dengan kasus suap Ketua MK Akil Mochtar tersebut, KPK
juga menahan Chairun Nisa (anggota Komisi II DPR), Hambit Bintih (Bupati Gunung
Mas), Cornelis (pengusaha di Kalimantan Tengah), dan Tubagus Chaeri Wardana
(adik dari Gubernur Banten dan sekaligus suami dari Walikota Tangerang
Selatan).[6] KPK telah menetapkan status tersangka kepada Akil Mochtar atas
dugaan suap sengketa pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan
pilkada Kabupaten Lebak, Banten. Karena itu, Mahkamah Konstitusi (MK)
memastikan akan melayangkan surat pemberhentian sementara Akil Mochtar sebagai Ketua
MK kepada Presiden SBY. Surat tersebut dikirim karena Akil Mochtar sudah berstatus tersangka. Dengan pemberhentian sementara, Akil Mochtar
otomatis tidak aktif sebagai Ketua MK. Tugas Akil Mochtar sementara akan
digantikan oleh Wakil Ketua MK Zoelva. [7]
James Kerr Pollock (1932) menyatakan bahwa relasi
antara uang dan politik akan terus menjadi persoalan besar dalam demokrasi dan
pemerintahan. Menurutnya, kehidupan politik yang sehat mustahil diwujudkan,
selagi uang secara tanpa batas terus
berbicara dalam kehidupan politik.[8] Harus diakui, bahwa peran uang memang semakin vital dalam ‘demokrasi
modern’, antara lain digunakan dalam pembiayaan iklan, proses seleksi kandidat,
penyelenggaraan survei, dan juga mobilisasi pemilih selama kampanye. Namun,
peran uang juga dikhawatirkan kian
membahayakan proses demokrasi ketika setiap parpol dan kandidat terus
berlomba-lomba menumpuk uang dengan berbagai cara untuk membiayai proses
pemenangannya. Dengan beragamnya sumber ‘uang haram’ (dirty money), sehingga praktik ‘pencucian uang’ (money laundering), dan ‘politik uang’ (money politic) memungkinkan dilakukan
oleh parpol dan kandidat dalam memenangkan pemilu. Dengan kata lain, Terjadinya
“perselingkuhan antara politik dan uan” sangat merugikan masyarakat banyak,
dan telah mengubur cita-cita luhur sistem demokrasi. Karena itulah reformasi
pengaturan atas peran uang atau donasi politik menjadi ‘agenda penting’
dalam upaya menyelamatkan sistem demokrasi.
Indonesia
adalah salah satu negara demokrasi di kawasan Asia Tenggara yang juga dapat
digunakan sebagai referensi untuk memahami tentang betapa eratnya hubungan
antara politik dan uang. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) mengingatkan bahwa ‘politik uang’ merupakan tantangan terbesar dalam
perkembangan demokrasi di tanah air. Saat ini, Indonesia dihadapkan pada
situasi bagaimana mengurangi dan menghilangkan ‘politik uang’. Sebab ‘politik
uang’ telah merusak demokrasi serta membuat para pemimpin yang terpilih
mengabdi kepada penyedia uang, sehingga menghasilkan demokrasi buatan yang
membayang-bayangi kehidupan politik. Dan hal seperti ini mengkhianati ‘kepercayaan
publik’ sekaligus menghancurkan demokrasi yang ideal dan konsisten. Demokrasi
yang baik, juga ditunjukkan dengan fokus pada sistem, bukan pada perseorangan.
Dalam pada itu, ‘pengambilan keputusan’ dalam demokrasi harus dilakukan dengan
transparan dan akuntabel.[9]
Dalam suatu event pemilu legislatif ataupun pilkada,[10]
apabila ada dugaan telah terjadi praktik ‘politik uang’ maka hal yang sulit dilakukan ialah membuktikan sumber atau
penyebab terjadinya praktik ‘politik uang’ tersebut. Demikian sulitnya
dibuktikan sehingga tidak jarang dialami suatu kondisi dimana penanganan dugaan
kasus ‘politik uang’ menjadi terkatung-katung. Padahal, kecepatan proses
pembuktiannya merupakan dasar bagi proses penanganan berikutnya, yaitu melihatnya
dari sisi ketentuan perundang-undangan yang berlaku, seperti Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD (Undang-Undang Pemilu), Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Undang-Undang Pilkada), Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PP
TPPU), dan Undang-Undang lainnya.
Dengan mengacu kepada
ketentuan-ketentuan yang sudah diatur dalam Undang-undang RI Nomor 8 Tahuun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PP
TPPU), setidaknya ada dua hal mendasar yang menimbulkan kesulitan dalam menentukan
kualifikasi ‘perbuatan melawan hukum’ (onrechmatigedaad) terkait dengan praktik ‘politik
uang’, yaitu: (1) apabila uang yang digunakan berasal dari sumber yang sah
(legal), namun digunakan untuk keperluan ‘politik uang’ (ilegal); dan (2)
apabila uang berasal dari sumber yang tidak sah, namun digunakan untuk
keperluan kampanye dengan tidak melanggar peraturan perundangan-undangan yang
berlaku. Dalam hubungan ini, sebagaimana diketahui bahwa UU PP TPPU menetapkan 12
(dua belas) jenis ‘tindak pidana asal’ (predicate
crime) yang menghasilkan Harta Kekayaan yang tidak sah (proceeds of crime), namun di dalamnya
tidak termasuk ‘tindak pidana pemilu legislatif dan eksekutif’. Dan meskipun
dalam Pasal 2 huruf z UU PP TPPU ditetapkan bahwa proceeds of crime itu bisa juga diperoleh dari ‘tindak pidana lain’
(yang diancam dengan pidana penjara empat tahun atau lebih), tetapi sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Pemilu/Pilkada, bahwa sanksi hukum atas
pelanggaran terhadap ketentuan dana kampanye pemilu tidak ada yang mencapai 4
(empat) tahun.
Keterpilihan
seseorang dalam ‘jabatan publik’ dengan cara-cara yang melanggar hukum
(ketentuan peraturan perundangan-undangan) yang berlaku, tentu saja
berimplikasi buruk pada saat ia menjalankan kekuasaannya. Di situlah nantinya
terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse
of power) yang akan melahirkan bibit-bibit korupsi dan jika itu dibiarkan
terus berlangsung akan menimbulkan kerugian keuangan negara yang sangat besar.
‘POLITIK UANG’ DALAM PERSPEKTIF AML REGIME
U
|
ndang-Undang
Pemilu telah melalui revisi dan mengalami pergantian peraturan dengan
disahkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan
DPRD. Setelah melalui masa sidang yang
panjang serta perdebatan yang berbelit-belit, akhirnya DPR berhasil menyepakati
empat isu krusial yang menjadi inti dari perbedaan pendapat antar fraksi yaitu
sistem, ambang batas, formula penghitungan suara, dan alokasi suara. Seyogiyanya,
revisi undang-undang tersebut bertujuan untuk melakukan perbaikan dan membawa
perubahan yang signifikan. Namun, pembahasan undang-undang dengan perdebatan
yang panjang itu ternyata tidak menghasilkan perubahan peraturan yang cukup
signifikan.[11]
Adapun
sejumlah perubahan yang cukup ‘menonjol dan maju’ dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2012 (Undang-Undang Pemilu) ini terlihat dalam ketentuan dari sejumlah
pasal yang mengatur tentang ‘politik uang’. Selain itu, kemajuan juga terlihat
dengan adanya pasal-pasal yang mengatur tentang sanksi ketentuan pidana,
sengketa, dan pelanggaran yang lebih tertib dan selaras. Namun, sangat
disayangkan perubahan Undang-Undang Pemilu ini kurang membawa perubahan yang
berarti dalam isu penting yang lainnya. Dalam peraturan tentang dana kampanye
misalnya, terlihat tidak ada perubahan yang signifikan dan yang ada
justru perubahan jumlah sumbangan maksimal yang diperbolehkan dari badan
usaha/perusahaan/kelompok kepada partai politik. Minimnya pengaturan dana
kampanye karena tidak ada revisi yang cukup membawa pengaruh untuk perbaikan
memperlihatkan ketidakseriusan DPR untuk membahas isu dana kampanye.[12]
Sementara
itu, bila kita mau belajar dan berkaca dari praktek Pemilu 2009 sebenarnya
dapat dipetik sejumlah pelajaran yang sangat berharga sebagai pedoman perubahan
Undang-Undang Pemilu. Adnan Topan Husodo yang menulis dalam “Pengaturan
Dana Kampanye dan Implikasinya terhadap Praktek Korupsi Pemilu” mengungkapkan bahwa
ternyata banyak terjadi berbagai praktek korupsi dalam proses pemilu. Korupsi
politik tersebut merupakan dampak dari peraturan yang ada dalam undang-undang
maupun peraturan lainnya sangat minim dan tidak tegas. Sehingga melahirkan
kesempatan bagi seseorang untuk melakukan ‘korupsi politik’ seperti jual- beli
suara, manipulasi suara, politik uang dan sebagainya.[13]
Padahal,
‘dana kampanye’ adalah isu yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan pemilu.
Setiap kegiatan kampanye pemilu akan berkaitan erat dengan dana kampanye. Oleh
karena itu, diperlukan perhatian khusus dalam mengatur tentang dana kampanye.
Namun, di Indonesia isu dana kampanye kurang menjadi ketentuan yang diatur
dengan jelas dan tegas. Lia Wulandari dalam tulisan “Dana Kampanye Pemilu di
Indonesia: Isu Krusial yang Cenderung Terabaikan” ada memaparkan bahwa dari
tiga model pemilu di Indonesia yaitu pemilu legislatif, pemilu presiden, maupun
pemilu kepala daerah belum ada ketentuan undang-undang mengatur secara
komprehensif mengenai dana kampanye. Semestinya, dana kampanye mendapatkan
sorotan dalam pembahasan undang-undang pemilu. Apalagi di Indonesia, ketentuan
yang ada kurang bisa menjamin transparansi dan akuntabilitas dana kampanye
peserta pemilu. Pemilu yang berintegritas harus dapat menjamin adanya
keterbukaan informasi terutama dalam hal dana kampanye dari peserta pemilu.
Oleh sebab itu, diperlukan sistem yang dapat menciptakan transparansi dan
akuntabilitas dana kampanye pemilu.[14]
Sistem
proporsional dengan ‘suara terbuka’ yang diterapkan saat ini pada akhirnya akan
menimbulkan dampak terjadinya ‘pasar bebas’ dalam pemilu. Pengalaman Pemilu
2009 yang lalu memperlihatkan bagaimana setiap kandidat pemilu legislatif
saling bersaing dan menghabiskan dana yang fantastis untuk kampanye. Untuk
menjamin fairness dan equality dalam pemilu, maka diperlukan
sejumlah ‘aturan main’. Salah satu gagasan yang telah diterapkan oleh sejumlah
negara adalah dengan pemberlakuan pembatasan dana kampanye (limitation/campaign cap).[15]
Salah
satu hal yang perlu diatur dalam dana kampanye pemilu adalah terkait dengan praktik
‘politik uang’ dan ‘pencucian uang’. Pengaturan dalam undang-undang yang ada sebenarnya
sudah mampu menaungi aparat penegak hukum untuk dapat menjerat para pelaku
kejahatan tersebut. Namun, dalam upaya penegakkan hukum terhadap mereka
diperlukan koordinasi yang solid dari penyelenggara pemilu (KPU), pengawas
pemilu (Bawaslu), aparat penegak hukum (Polri, Kejaksaan, dan Hakim), KPK, dan
PPATK.
Untuk mengantisipasi terjadinya ‘perbuatan melawan hukum‘ dalam rangka
penyelenggaraan pemilu dan pilkada ini, PPATK memiliki peran penting dan
strategis sebagai national focal point
dalam pencegahan dan pemberantasan TPPU. Dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 UU PP TPPU dirumuskan delik TPPU
sebagai berikut:
Pasal
3
Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,
membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri,
mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan
lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak
pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 4
Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul,
sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang
sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena
tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 5
(1) Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini.
Dalam
hal TPPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan
oleh Korporasi, maka pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personil
Pengendali Korporasi [Pasal 6 ayat (1)]. Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi
apabila TPPU: a) dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali
Korporasi; b) dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi; c) dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi
pelaku atau pemberi perintah; dan d) dilakukan dengan maksud memberikan manfaat
bagi Korporasi [Pasal 6 ayat (1)].
Pelaku ‘politik uang’ sudah pasti mengeluarkan biaya yang
tidak sedikit dalam menjalankan praktiknya, sehingga menjadi
pertanyaan bagi kita: kalau dana yang digunakan dalam kampanye ternyata
melebihi (jauh lebih besar) dari dana yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan, maka dari mana ’dana besar’ itu diperoleh? Dan, bagaimana
asal-usul uang yang diperoleh itu: apakah berasal dari kegiatan yang sah? Atau,
kalaupun uang itu berasal dari kegiatan yang sah, apakah sudah digunakan sesuai
dengan ketentuan yang ada? Karena, jika sumber (asal-usul) dari ’dana besar’ berasal
dari kegiatan yang melanggar hukum, maka berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku harus diusut. Tabir dari beberapa pertanyaan tersebut dapat kita
ketahui, lewat pembelajaran dari pengungkapan ada atau tidak adanya indikasi TPPU,
antara lain dari upaya yang ditempuh untuk menyembunyikan atau menyamarkan
sumber dan kepemilikan dana. Dalam hal ini, para pihak yang terlibat menyadari
bahwa apa yang mereka lakukan berindikasi ’tindak pidana’ dan melakukan ’permupakatan
jahat’.
Para ‘penerima dana’ dalam
berbagai pemilihan, termasuk pemilihan ketua organisasi maupun ketua umum
partai politik misalnya, bisa dikenakan pasal tindak pidana pencucian uang (money laundering). Sedangkan praktik
suap dan korupsi dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Kalau
misalnya para kader partai diberi uang oleh seorang kandidat dalam jumlah
tertentu, maka si penerima harus menanyakan darimana ‘sumber uang’ itu, dan
bagaimana si pemberi bisa memiliki uang sebesar itu. Jadi, tidak ada alasan bagi
si penerima uang untuk mengatakan ‘tidak tahu’ dananya dari mana sumbernya.
Dalam hal ini, UU PP TPPU menghendaki agar ‘uang pemberian’ tersebut harus
jelas sumbernya. Maka harus ditanyakan dari mana dia mendapatkan atau asal-usul
uang tersebut. Jika dalam suatu kongres misalnya ada yang memberi uang namun
sumbernya tidak bisa dijelaskan, maka si penerima harus menolaknya jika tidak
mau dikenakan pasal TPPU. Hal ini berlaku umum untuk setiap pemilihan. Kalau
seseorang menerima uang yang sumbernya adalah hasil tindak pidana, sebagai
konsekwensinya kepada orang tersebut dapat diterapkan pasal TPPU, sebagaimana
diatur dalam Pasal 5 UU TPPU (pelaku pasif), sedangkan untuk si pemberi dapat
dikenakan Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang yang sama (pelaku aktif).
Dalam praktik
internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan TPPU, lembaga semacam
PPATK disebut dengan nama generik financial intelligence unit (FIU). Keberadaan FIU ini pertama kali
diatur secara implisit oleh FATF dalam Forty Reccomendations.[16] Dalam rekomendasi 16 (keenambelas) FATF
disebutkan, bahwa ”if Financial Institutions suspect that funds stem from a
criminal activity, they should be permitted or required to report promptly
their suspision to the competent authorities”. FIU adalah lembaga permanen yang secara khusus menangani TPPU, sekaligus
merupakan salah satu infrastruktur terpenting di setiap negara dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan TPPU. Keberadaan lembaga khusus ini mutlak
diperlukan ada mengingat peranan FIU yang sangat penting dan strategis dalam
penanganan TPPU (dan juga terhadap serious
crime lainnya--pen). Terlebih-lebih pada masa sekarang praktik pencucian
uang (money llaundering) merupakan
persoalan yang cukup rumit karena melibatkan organized crime (kejahatan
terorganisir) yang memahami dan menggunakan berbagai metode dan teknik
pencucian uang yang canggih, sehingga penanganan kejahatan pencucian uang
menjadi semakin bertambah berat pula karena praktik pencucian uang pada umumnya
telah dilakukan melewati batas-batas negara (cross-border).[17]
Mengingat bahwa kejahatan pencucian uang berdampak sangat
buruk terhadap perekonomian nasional dan internasional, maka untuk itu perlu
segera diambil langkah dan tindakan kongkrit untuk dapat mencegah dan memberantasnya.
Namun disadari sepenuhnya bahwa untuk mencegah dan memberantas praktik
pencucian uang tidak semata-mata hanya memerlukan pengetahuan tentang hukum dan
peraturan, cara-cara melakukan penyidikan serta menganalisisnya, tetapi juga
membutuhkan pengetahuan yang luas dan mendalam di bidang keuangan, perbankan,
akunting, dan keterkaitannya dengan kegiatan bisnis-bisnis lain. Dengan kata
lain, kejahatan pencucian uang hanya dapat ditangani oleh FIU yang di dalam
struktur organisasinya terdapat tenaga ahli dari berbagai disiplin ilmu
pengetahuan (multi-disipliner).
Beberapa negara yang membentuk FIU di awal tahun 1990-an
sebenarnya tidak lebih hanya merupakan suatu kebutuhan khusus bagi
pemerintahnya sendiri. Namun sejak tahun 1995 sejumlah FIU mulai melakukan
kerjasama yang pada mulanya hanya sebagai kegiatan organisasi yang tidak resmi,
dan pertemuan pertama kali diadakan di Istana Arenberg-Brusel, Belgia dengan
maksud untuk menyediakan forum, media atau kesempatan bagi sesama FIU untuk
dapat meningkatkan peran dan dukungannya terhadap upaya dan program
masing-masing negara dalam memerangi praktik pencucian uang. Dukungan tersebut
meliputi peningkatan, perluasan dan melakukan kerjasama dalam pertukaran
informasi secara sistematis, meningkatkan program pelatihan, keahlian dan
kemampuan sumber daya manusia, serta mendorong terciptanya komunikasi yang
lebih baik antar sesama FIU dengan menggunakan teknologi mutakhir. Dengan
demikian FIU dapat menjadi lembaga sentral (focal
point) di negara masing-masing yang bertindak sebagai penyedia data,
informasi dan melakukan proses investigasi atas laporan-laporan transaksi
keuangan yang diterimanya.[18]
Tujuan pembentukan FIU menurut Egmont Group adalah menciptakan jaringan FIU secara global guna
memfasilitasi kerjasama internasional untuk memerangi TPPU dan pendanaan
terorisme. Selain itu juga bertujuan untuk melakukan penyempurnaan ketentuan
anti pencucian uang dan pendanaan terorisme. Dalam pertemuan bulan Oktober 2001
lalu, Egmont Group mendukung upaya
penegakan hukum dan dilakukannya investigasi terhadap Tragedi WTC 11 September
2001, dan menyetujui untuk: (1) melakukan review
terhadap undang-undang nasional yang ada untuk mengidentifikasi serta untuk
meng-hindarkan adanya hambatan dalam melakukan pertukaran informasi antar
sesama anggota FIU, khususnya informasi mengenai terorisme; (2) mendorong
pemerintah masing-masing untuk menetapkan bahwa pendanaan terorisme sebagai
tindak pidana, dan lembaga-lembaga keuangan yang diduga terkait perlu diawasi
lebih ketat; (3) meneruskan permintaan informasi dari badan-badan pemerintah
lain, namun informasi yang ada kaitannya dengan FIU diperlakukan secara khusus
dan tersendiri; (4) memberikan peranan yang lebih besar dalam penyeleksian
permintaan informasi; dan (5) memusatkan sumber informasi terkait dan relevan
pada Egmont Group agar secara
bersama-sama dapat dilakukan studi strategis mengenai sistem dan cara-cara
pengiriman atau tipologi pencucian uang.[19]
Idealnya PPATK sebagai FIU Indonesia dan
mitra kerja penegak hukum dalam upaya penegakan hukum (law enforcement) yang berkeadilan dan konsisten, juga memiliki
andil besar dalam mengawal demokrasi di Indonesia, misalnya dalam rangka
mencegah dan memberantas terjadinya praktik TPPU dan ‘politik uang’ yang
sumbernya berasal dari berbagai jenis tindak pidana serius (serious crime), yang salah satunya
adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari hasil praktik korupsi dari Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).
APBN/APBD adalah sumber penerimaan dan
belanja negara yang paling sering dikorupsi di Indonesia. Pada 2012, hampir
semua transaksi keuangan mencurigakan (TKM) yang tindak pidana asalnya korupsi
berasal dari APBN dan APBD. Korupsi APBN dan APBD menempati urutan teratas dari
Laporan Hasil Analisis (LHA) yang disampaikan oleh PPATK kepada penegak hukum.
Berdasarkan LHA PPATK tersebut, korupsi merupakan tidak pidana asal (TPA)
dari TPPU yang tertinggi dengan angka 70 persen. Modus klasik masih
dilakukan, dimana banyak oknum yang identitasnya ada pada LHA ‘memainkan’
anggaran penerimaan negara, sehingga penerimaan negara tidak sesuai dengan yang
seharusnya diperoleh. Hal ini biasanya dilakukan dengan cara penyalahgunaan
kewenangan, sehingga misalnya negara seharusnya terima 100 jadi cuma terima 40,
yang 60 masuk kantong pribadi. Sebaliknya, belanja atau pengeluaran juga
seringkali mengalami kemahalan. Sehingga, misalnya saja negara seharusnya hanya
bayar 40, malah harus membayar 100. Oleh karena itu perlu sekali penegak hukum
sebaiknya fokus untuk mengawal APBN dan APBD dari modus mark down dan mark up.[20]
Praktik korupsi terkait
anggaran terjadi karena adanya peluang, yaitu menumpuknya realisasi anggaran di
akhir tahun anggaran. Hal ini menyebabkan banyak proyek tidak bisa
dipertanggungjawabkan tepat waktu Akibatnya, timbul tindakan-tindakan dari para
bendaharawan-bendaharawan yang sebetulnya sudah masuk dalam definisi korupsi.
Tindakan koruptif itu dilakukan dengan cara memindahkan dana anggaran APBD ke
rekening pribadi para bendaharawan. Bisa saja mereka (para bendahawaran)
mengaku bahwa tindakan demikian adalah untuk menyiasati sistem
pertanggungjawaban anggaran yang tidak boleh melewati tanggal 18 Desember,
tetapi perbuatan seperti itu, apapun tujuannya tetap tidak bisa ditolerir,
karena pada saat seorang pejabat memindahkan uang negara ke kantong pribadinya,
maka tindakan tersebut sudah masuk dalam lingkup definisi korupsi. Modus ini
terjadi setiap tahun dan menyebar di seluruh daerah di Indonesia. Keadaan ini
tentu sangat memprihatinkan. Oleh karena itu, pengawasan dan pemantauan
penyerapan anggaran harus senantiasa dilakukan para pimpinan[21] instansi pemerintah dan
lembaga negara.
Selain penggerogotan keuangan negara melalui APBN/APBD oleh pejabat
publik, sektor lain yang juga menjadi sasaran empuk kriminal adalah hutan[22], pertambangan[23] dan kelautan[24], yang mengakibatkan
rusaknya ekosistem (lingkunga hidup) di Indonesia. Penebangan
hutan secara ilegal itu (illegal logging)
sangat berdampak buruk terhadap keadaan ekosistem di Indonesia. Penebangan
liar memberi dampak yang sangat merugikan masyarakat sekitar, bahkan masyarakat
dunia. Kerugian yang diakibatkan oleh kerusakan hutan tidak hanya kerusakan
secara nilai ekonomi, akan tetapi juga mengakibatkan hilangnya nyawa yang tidak
ternilai harganya. Dampak buruk illegal logging antara lain:
(1) pada saat musim hujan wilayah Indonesia sering dilanda banjir dan tanah
longsor, yang telah
memakan korban jiwa dan harta yang sangat besar; (2) berkurangnya
sumber mata air di daerah perhutanan; (3) semakin berkurangnya
lapisan tanah yang subur karena terbawa arus banjir; (4) musnahnya berbagai
fauna dan flora, erosi, konflik horizontal di kalangan masyarakat, devaluasi
harga kayu, hilangnya mata pencaharian, dan rendahnya pendapatan negara dan
daerah dari sektor kehutanan; dan (5) terjadinya global warming mengakibatkan seringnya terjadi
bencana alam di Indonesia.
Kegiatan penambangan apabila dilakukan di kawasan hutan dapat merusak
ekosistem hutan. Jika tidak dikelola dengan baik, maka penambangan dapat
menyebabkan kerusakan lingkungan secara keseluruhan dalam bentuk pencemaran
air, tanah dan udara. Sebagai
contoh, pada kegiatan usaha pertambangan emas skala kecil, pengolahan bijih
dilakukan dengan proses amalgamasi di mana merkuri (Hg) digunakan sebagai media
untuk mengikat emas. Mengingat sifat merkuri yang berbahaya, maka penyebaran Hg
yang tidak terkontrol dapat menimbulkan kematian penduduk sekitar yang
terkontaminasi. Sedangkan pertambangan skala besar, tailing yang dihasilkan lebih banyak lagi. Pelaku tambang selalu
mengincar bahan tambang yang tersimpan jauh di dalam perut bumi, karena
jumlahnya lebih banyak dan memiliki kualitas lebih baik. Limbah tailing
merupakan produk samping, reagen
sisa, serta hasil pengolahan pertambangan yang tidak diperlukan. Tailing hasil penambangan emas biasanya
mengandung mineral inert (tidak
aktif). Mineral tersebut antara lain: kwarsa, kalsit dan berbagai jenis
aluminosilikat. Tailing hasil penambangan emas mengandung salah satu atau lebih
bahan berbahaya beracun seperti Arsen (As), Kadmium (Cd), Timbal (Pb), Merkuri
(Hg), Sianida (CN) dan lainnya. Sebagian logam-logam yang berada dalam tailing adalah logam berat yang masuk
dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).[25]
Tindak
pidana lain yang menjadi perhatian serius PPATK, karena mengancam kehidupan
warga masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung, juga cukup banyak,
antara lain seperti kejahatan di bidang perbankan, perasuransian, pasar modal,
perpajakan, obatan-obatan terlarang, terorisme, bea dan cukai, perdangan orang
dan senjata gelap, penyelundungan tenaga kerja dan migran, pemalsuan uang,
perjudian dan prostitusi. Selain mengancam kehidupan warga masyarakat, berbagai
jenis tindak pidana tersebut juga menghasilkan harta kekayaan ilegal yang
relatif cukup besar sehingga berpengaruh negatif terhadap perekonomian dan
pembangunan nasional.
Untuk
Semester I Tahun 2013, PPATK melaksanakan Riset Analisis Strategis dan
Tipologi, terkait dengan Dana
Pemilu/Pemilukada dengan basis data (eksternal) para calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD, Kepala Daerah Tingkat
1, dan Kepala Daerah Tingkat 2 pada periode 2008 - 2012, didapatkan beberapa
kesimpulan sebagaimana tersebut dibawah
ini :[26]
1) Jumlah sebaran LTKM yang terkait dana
pemilu/pemilukada ada sebanyak 132 laporan dalam periode tahun 2008 sampai
dengan 2012 dan tersebar ke dalam 24 propinsi. Berdasarkan penyebaran
wilayah geografis wilayah
yang paling dominan terkait LTKM pemilu/pemilukada adalah wilayah Sumatera Utara sebanyak 20
laporan (15%) kemudian diikuti oleh Jawa Timur sejumlah 17 laporan (12,8%) dan
Jawa Tengah sejumlah 11 Transaksi (8,3%).
2) Dilihat berdasarkan trennya, terdapat
peningkatan jumlah LTKM selama periode pemilu/pemilukada, terutama pada tahun
2008-2009. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan pemilu/pemilukada rentan
terhadap penyimpangan transaksi keuangan.
3) Selama tahun 2008-2012, jumlah LTKM sangat
tergantung kepada intensitas pelaksanaan pemilu/pemilukada. Penerimaan
tertinggi LTKM terkait pemilu/pemilukada terjadi pada tahun 2008 dan 2009. Hal
ini terkait dengan pelaksanaan pemilu DPR/DPRD, DPD, dan presiden. Jumlah LTKM terkait pemilu/pemilukada yang
masih tinggi pada tahun 2010 terkait tingginya intensitas pelaksanaan
pemilukada yakni sebanyak 224 pemilukada Propinsi dan Kabupaten/Kota.
4) Bila dilihat menurut jenis
pemilihan, komposisi LTKM terkait pemilukada lebih dominan dibandingkan LTKM
terkait pemilu. Hal ini selain dikarenakan intensitas pemilukada yang lebih
tinggi dibandingkan dengan pemilu, juga diduga karena rendahnya kualitas
regulasi serta mekanisme pengawasan yang mampu dilakukan oleh Bawaslu/Panwaslu.
Lemahnya pengawasan ini tercermin dari masih terjadinya pelanggaran terkait
dana pemilu yang dilaporkan oleh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat, tim
sukses, dan peserta pemilukada itu sendiri.
5) Dari sisi transaksi keuangan tunai,
kegiatan pemilu/pemilukada secara umum berdampak terhadap meningkatnya jumlah
transaksi keuangan tunai yang dilakukan oleh para peserta. Setelah periode
pemilu/pemilukada, jumlah LTKT dari peserta pemilu/pemilukada masih cukup
tinggi, meskipun lebih rendah dibandingkan jumlah pada saat periode
pemilu/pemilukada. Namun bila dilihat lebih lanjut, transaksi keuangan tunai
terkait kegiatan pemilu DPR-RI tidak hanya meningkat pada saat kegiatan pemilu
DPR-RI saja, tetapi terus meningkat dalam periode setelah pemilu DPR-RI.
Kondisi ini menunjukkan indikasi tingginya potensi penyalahgunaan wewenang yang
dilakukan oleh anggota DPR-RI terpilih.
6) Profil umur peserta pemilu/pemilukada yang
menjadi terlapor transaksi keuangan tunai untuk setiap jenis pemilihan
cenderung berbeda. Sebagian besar peserta pemilu DPD terlapor LTKT berada pada
kelompok usia tua (kelompok umur diatas 50 tahun). Hal ini sejalan dengan
banyaknya peserta DPD yang berada pada kelompok umur tersebut. Lain halnya
dengan peserta pemilu DPD, sebaran peserta pemilu DPR-RI menurut kelompok umur
lebih banyak pada kelompok umur 40 sampai dengan 50 tahun. Selanjutnya identik
dengan DPD, pemilukada Tingkat 1 mayoritas peserta pemilukada Tingkat 1 sebagai
terlapor LTKT berada pada kelompok usia tua. Namun tidak ada terlapor yang
berada dibawah umur 40 tahun. Sementara itu, sebaran jumlah peserta pemilukada
Tingkat 2 yang menjadi terlapor LTKT merata pada kelompok umur antara 40 sampai
49 tahun dan umur 50 tahun keatas.
7) Berdasarkan laporan transaksi keuangan
mencurigakan yang diduga terkait pemilu/pemilukada, sebagian besar terlapor
adalah perorangan terutama laki-laki. Disisi lain profil pekerjaan terlapor
yang paling dominan adalah sebagai PNS (pensiunan).
8) Berkenaan dengan transaksi keuangan
mencurigakan terkait pemilu/pemilukada instrumen yang dominan digunakan adalah
transaksi keuangan tunai. Dan bila dilihat lebih lanjut menurut PJK pelapornya
dilakukan dengan transaksi perbankan. Namun, dibeberapa propinsi juga ditemukan
transaksi keuangan yang berkaitan dengan transaksi melalui perusahaan valas.
Selain itu, berdasarkan in depth study, intrumen yang sering digunakan adalah
transaksi dengan menggunakan uang tunai dan tidak menggunakan sarana lembaga
keuangan.
9) Berkenaan dengan modus yang terkait dana
Pemilu dan Pemilukada terdapat 6 (enam) modus, yaitu :
a) Dana Sumbangan Pemilukada Yang Berasal
Dari Pengusaha Yang Sering Mengerjakan
Proyek Pemerintah Daerah;
b) Dana Sumbangan Pemilukada Yang Bersumber
Dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
c) Dana Sumbangan Pemilu/Pemilukada Melalui
Pihak Ketiga;
d) Pola Memecah-mecah Transaksi (Structuring) Sumbangan Dana
Pemilu/Pemilukada Melalui Rekening Calon;
e) Dana Sumbangan Pemilukada Yang Berasal
Dari Pengusaha dan Berdampak Adanya Indikasi Tindak Pidana Korupsi Serta Tindak
Pidana Pencucian Uang;
f) Penampungan Dana Operasional
Pemilu/Pemilukada Yang Bersumber Dari APBN Ke Dalam Rekening Pribadi
Penyelenggara/Pengawas Pemilu/ Pemilukada.
Berdasarkan
hasil riset PPATK tersebut, diketahui bahwa dari modus terkait dana Pemilu dan
Pemilukada mempunyai indikasi yang cukup kuat terjadinya pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan dan tindak pidana asal serta TPPU.
Dalam acara Expert Group Meeting (EGM) yang
diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 17 hinggsa 19 September 2013 di
Jakarta, PPATK mempresentasikan hasil riset berupa ‘analisis strategis’ (strategic
analysis) terkait dengan dana kampanye pemilu/pemilukada.[27]
Tujuannya adalah untuk membandingkan
transaksi keuangan Pemilu sejak tahun 2005 hingga tahun 2012. Berdasarkan
kegiatan ‘analisis strategis’ tersebut diketahui bahwa laporan transaksi
keuangan oleh para calon legislatif (caleg) dan calon kepala daerah, khususnya incumbent, meningkat signifikan sebesar
125 persen. [28]
POLITIK
UANG DAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA
P
|
asal 23 C Bab VIII UUD 1945 mengamanatkan
bahwa ‘keuangan negara’ harus diatur dalam Undang-Undang sehubungan dengan
pengelolaan hak dan kewajiban negara. Amanat ini dituangkan dalam Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Di samping itu, dalam diktum
menimbang dari Undang-Undang ini juga disebutkan latar belakang penyelenggaraan
pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara yang menimbulkan hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Pengertian keuangan negara
dalam perspektif Undang-Undang ini
dituangkan dalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka (1) yaitu: ”Keuangan Negara adalah semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik
berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”. Dengan demikian pengertian
‘keuangan Negara’ di atas meliputi hal-hal sebagai berikut:
(1) hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan
uang, dan melakukan pinjaman;
(2) kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
(3) penerimaan negara;
(4) pengeluaran negara;
(5) penerimaan daerah;
(6) pengeluaran daerah;
(7) kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh
pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain
yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada
perusahaan negara/perusahaan negara;
(8) kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaran tugas pemerintahan dan atau kepentingan umum;
(9) kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas
yang diberikan oleh pemerintah.[29]
Pendekatan yang digunakan dalam
merumuskan ‘keuangan negara’ pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 ini adalah
dari sisi objek, subjek, proses dan tujuan.[30]
Dari sisi objek, yang dimaksud
dengan ‘keuangan Negara’ meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal,
moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu
baik berupa uang, maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subjek, yang dimaksud
dengan ‘keuangan Negara’ meliputi seluruh objek sebagaimana tersebut di atas
yang dimiliki negara, dan atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah
daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan
keuangan negara.
Dari sisi proses, ‘keuangan
Negara’ mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan
objek sebagaimana tersebut diatas mulai dari perumusan kebijakan dan
pengambilan keputusan sampai dengan pertanggung-jawaban. Dari sisi tujuan,
keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang
berkaitan dengan pemilikan dan atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di
atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Bidang pengelolaan
keuangan negara yang demikian luas dapat dikelompokan dalam sub bidang
pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter dan sub bidang pengelolaan
kekayaan negara yang dipisahkan.Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyeleng-garaan
negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional,
terbuka, dan bertanggungjawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan
dalam UUD 1945.
Sesuai dengan amanat Pasal 23 C
UUD 1945, Undang-Undang tentang Keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok
yang telah ditetapkan dalam UUD 1945 tersebut ke dalam asas-asas umum yang
meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan
negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas
spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best practises (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam
pengelolaan keuangan negara, antara lain: (a) akuntabilitas berorientasi hasil;
(b) profesionalitas; (c) proporsionalitas; (d) keterbukaan dalam pengelolaan
keuangan negara; dan (e) pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas
dan mandiri.
Asas-asas umum tersebut
diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip pemerintahaan
daerah sebagaimana telah dirumuskan dalam Bab VI Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam Undang-Undang tentang
keuangan negara, maka pelaksanaan Undang-Undang ini selain menjadi acuan dalam
reformasi manajemen keuangan negara, sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh
landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan
Republik Indonesia.[31]
Erman Rajagukguk mengatakan bahwa
‘kerugian keuangan negara’ adalah salah satu unsur yang mendasar dalam tindak
pidana korupsi.[32]
Dan berdasarkan hasil penelitian Muhammad Dahlan Moga, diperoleh kesimpulan
bahwa:
(1) Unsur ‘kerugian keuangan negara’ dalam tindak pidana korupsi
mempunyai arti yakni meruginya keuangan atau berkurangnya keuangan negara yang
diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum atau kelalain. Kata “dapat” sebelum
frasa merugikan keuangan negara yang dianggap sebagai delik formil yakni ‘kerugian
keuangan negara’, tidak harus sudah terjadi atau dapat sebagai kemungkinan (potential loss) dalam penerapannya
terjadi inkonsistensi. Seharusnya unsur kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara mutlak terjadi atau ada.
(2) Pembuktian dalam hal menentukan kerugian keuangan negara, aparat
penegak hukum sangat bergantung pada keterangan ahli yaitu BPK dan akuntan
publik yang bersifat independen.[33]
Pertanyaan yang sering muncul
sehubungan dengan persoalan ‘kerugian keuangan negara’ dalam tindak pidana
korupsi adalah pada saat kapan kerugian keuangan negara dalam tindak pidana
korupsi terjadi, apakah pada saat tempus
delicti atau saat yang lain?[34]
Sebagaimana diketahui bahwa yang
menilai dan/atau menetapkan adanya ‘kerugian keuangan negara’ adalah Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal ini sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) yang berbunyi: “BPK
menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh
perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh
bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan
lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”.
Kerugian Negara sendiri adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang,
yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik
sengaja maupun lalai [lihat Pasal 1 ayat (15) UU BPK]. Penilaian kerugian
tersebut dilakukan dengan keputusan BPK [lihat Pasal 10 ayat (2) UU BPK].
Selain BPK, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga berwenang
untuk menetapkan mengenai adanya kerugian negara. Ini terkait dengan fungsi
BPKP yaitu melaksanakan pengawasan terhadap keuangan dan pembangunan (lihat
pasal 52 Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non
Departemen).[35]
Dengan demikian jelas bahwa yang
menilai/menetapkan kerugian negara adalah BPK dan BPKP. Adapun perhitungan
kerugian negara sendiri bersifat kasuistis, atau dilihat per kasus. Dalam kasus
di mana pembayaran sudah terjadi 100% padahal pekerjaannya baru selesai 55%,
dan pencairan pembayaran dilakukan atas dasar dokumen fiktif, maka di sini
terjadi pencairan secara ‘melawan hokum’. Adapun yang dihitung menjadi kerugian
negara adalah besarnya pencairan yang terjadi secara melawan hukum tersebut,
yaitu 45%.[36]
Pada tahun 2010 lalu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
menjalin kerjasama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
(TPPU) dalam penyelenggaraan Pemilu (Pemilihan Umum). Bawaslu fokus pada ‘dana kampanye’ dan
‘politik uang’ agar ada pencegahan sehingga dalam pelaksanaan Pemilukada,
jangan sampai digunakan uang yang tidak jelas sumbernya, terutama dari hasil
pencucian uang.[37] Bawaslu memberikan hak
subsitusi kepada PPATK untuk menelusuri aliran ‘dana kampanye’ melalui ‘penyedia
jasa keuangan’ (PJK) yang mengindikasikan adanya TPPU terkait penyelenggaran
dalam perolehan atau penggunaan ‘dana kampanye’. Bawaslu dan PPATK dapat
melakukan penelitian atau riset, tetapi tidak terbatas pada modus TPPU dan
pelanggaran pemilu. Laporan PPATK tersebut selanjutnya ditindaklanjuti oleh
kepolisian atau kejaksaan. [38]
Terkait dengan pemilu legislatif, PPATK mencurigai 23 (dua puluh tiga)
aliran dana dengan besaran beberapa miliar. Tiga kasus sudah dilaporkan kepada
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pihak berwajib. Sementara terkait dengan adanya
aliran dana dari luar negeri, ada pengurus “partai menengah” yang membayar
konsultannya dari rekeningnya di luar negeri. Sebelumnya PPATK telah menemukan
belasan transaksi mencurigakan terkait kampanye yang besarnya sekitar Rp
10 miliar. Dua diantaranya telah dilaporkan ke pihak berwajib.[39]
Memang tidak dapat dipungkiri kenyataan, dan “harus
diakui, peran uang memang kian vital dalam demokrasi modern, antara lain
digunakan dalam pembiayaan iklan, proses seleksi kandidat, penyelenggaraan
survei, dan juga mobilisasi pemilih selama kampanye. Namun, peran uang juga
dianggap kian membahayakan proses demokrasi ketika setiap parpol dan kandidat
terus berlomba-lomba menumpuk uang dengan berbagai cara untuk membiayai proses
pemenangannya. Beragam sumber uang haram, praktik pencucian uang, dan politik
uang terus dijalankan oleh parpol dan kandidat dalam memenangi pemilu. Karena
itulah reformasi pengaturan atas peran uang atau donasi politik menjadi agenda
yang paling krusial dalam menyehatkan sistem demokrasi”.[40]
Sinyalemen yang pernah disampaikan oleh James Kerr Pollock (1932)
tampaknya benar, bahwa ada 4 (empat) hal penting yang perlu dicermati dalam
arena politik lokal di Indonesia, yaitu:[41]
Pertama, pemerintahan
daerah yang menganut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah tampak menunjukkan sejumlah kegagalan. Beberapa di antaranya, misalnya,
masifnya inefisiensi anggaran, perilaku korupsi APBD yang makin marak, dan
kinerja pemerintahan daerah yang terus terjun bebas.
Kedua, ketika kekuasaan identik dengan kewenangan atas
pengelolaan keuangan negara, sumber pendapatan, dan aset negara, uang menjadi
perusak pola hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintahan provinsi, dan
juga antara pemprov dan pemkab/prov dan pemkab/pemkot. Persoalan itu bersumber
dari interpretasi kewenangan yang berbeda, baik dari sudut pandang politik
maupun birokrasi.
Ketiga, pengelolaan dan akses terhadap
kekuasaan keuangan pemerintahan daerah jugalah yang harus diakui ikut merusak
hubungan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pasca pemilukada, banyak
kondisi pemerintah daerah kian memprihatinkan akibat konflik antara kepala daerah
dan wakilnya. Selama pemberlakuan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun
2004 tentang
Pemerintahan Daerah ini, dengan
mengacu kepada data Kemendagri (2010 dan 2011), 94% pasangan kepala daerah yang
kembali maju dalam pemilu kada pecah kongsi dan tidak sedikit yang saling
berhadap-hadapan berebut posisi kepala daerah. Pada 2010, dari 244 pemilu kada
yang digelar, hanya 19 pasangan kepala daerah yang harmonis maju kembali.
Kemudian pada 2011, dari 67 pemilu kada, hanya 6 pasangan yang harmonis hingga
akhir masa jabatan. Ada kecenderungan kuat, enam bulan setelah pasangan kepala
daerah dan wakil kepala daerah terpilih, banyak yang tidak harmonis dan saling
berebut kewenangan.
Keempat, masifnya politik uang serta perolehan
dan pengelolaan dana kampanye dalam pemilu kada kian menambah cermin buruk
pelaksanaan demokrasi lokal di Indonesia. Hampir dapat dipastikan, setiap pem
ilu kada berlangsung, politik uang, perolehan, dan pengelolaan dana kampanye
selalu terjadi.
Indonesia
menjadi contoh yang paling konkrit untuk menggambarkan betapa hubungan antara
uang dan politik justru mengubur cita-cita luhur sistem demokrasi. Terjadi
perselingkuhan antara politik dan uang yang dampaknya merugikan masyarakat
banyak. Semua cerita suram soal perselingkuhan uang dan politik sesungguhnya
bermula dari pemilihan umum (pemilu). Desain pemilu yang dibangun adalah desain
kelas atas, semua kontestan pemilu dipaksa menyediakan uang sebanyak-banyaknya
agar memiliki popularitas dan elektabilitas yang tinggi. Tidak jarang biaya politik
didapatkan dari sumber-sumber yang dilarang oleh undang-undang. Alhasil, pemilu
juga menjadi ‘ajang’ pencucian uang, karena didukung oleh sistem akuntabilitas
keuangan partai politik dan kampanye yang sangat lemah. Pada sisi yang lain,
ada fenomena hadirnya incumbent dalam
ajang pemilu berikutnya, di mana peluang untuk memanfaatkan jabatan yang saat
ini dipegang untuk kepentingan politiknya sangat terbuka lebar. Sebagian besar
dari mereka berkampanye secara ‘gratis’ melalui iklan-iklan yang dibiayai anggaran
negara/daerah. Lengkaplah sudah cerita soal kampanye dengan "uang
haram" (Saldi Isra). Ini sebetulnya mengkonfirmasi soal ketertutupan
partai politik dan kontestan pemilu mengenai sumber keuangannya. Setidaknya,
penolakan atas permintaan informasi keuangan partai politik yang pernah
dilakukan oleh masyarakat sipil menjadi bukti paling nyata.[42]
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD, menurut Reza
Syawawi, sama sekali tidak memberi batasan maksimal belanja kampanye
bagi peserta pemilu. Ini berarti partai politik dan calon diperbolehkan
menggunakan seluruh sumber daya untuk membiayai kegiatan kampanye. Maka,
kampanye akan menjadi ajang ‘pasar bebas’ dalam praktek demokrasi (free market democracy). Hukum ‘pasar bebas’ adalah memberikan
keuntungan bagi siapa pun yang memiliki modal capital (uang) kuat. Basisnya tidak lagi pada
kapasitas dan kapabilitas personal calon, melainkan seberapa kuat modal uang
yang dimiliki untuk memoles citranya di hadapan publik. Kampanye yang tak
terbatas inilah yang di kemudian hari akan menjadi bumerang dalam pelaksanaan
tugasnya sebagai pejabat publik. Fokusnya tidak lagi bagaimana bekerja untuk
publik, melainkan bagaimana mengembalikan biaya politik tersebut selama
menduduki jabatannya. Maka, tidak mengherankan ada begitu banyak pejabat publik
yang kemudian tersandera kasus korupsi.[43]
Adanya kelemahan undang-undang dalam membatasi belanja
kampanye harus disiasati melalui pembatasan aturan kampanye pada level teknis.
Ruang tersebut tentu hanya dimiliki oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai
satu-satunya lembaga yang dimandatkan untuk menyusun dan menetapkan pedoman
teknis untuk setiap tahapan pemilu (Pasal 8 ayat 1 huruf c Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2012). Dengan tidak mengabaikan undang-undang, peluang pembatasan
tersebut setidaknya dapat dilakukan melalui beberapa hal sebagai berikut:[44]
Pertama,
partai politik harus dipaksa menginisiasi kampanye gabungan di masing-masing
partai. Ini untuk menghindari adanya ‘perlombaan’ kampanye di lingkup internal
partai. Ini untuk menghindari agar calon yang memiliki sumber dana terbatas
memiliki kesempatan yang sama untuk berkampanye. Dalam hal ini peran partai
politik sangat dibutuhkan untuk menertibkan kebiasaan kampanye yang dilakukan
secara ‘jorjoran’. Penguatan partai pada sisi ini sejalan dengan mandat
konstitusi bahwa yang menjadi peserta pemilu anggota legislatif (kecuali DPD)
adalah partai politik. Undang-undang juga mengamanatkan bahwa partai politik
adalah penanggung jawab kampanye pemilu dan wajib mendanainya (Pasal 129 ayat 1
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012). Semangat ini sebetulnya sejalan dengan upaya
memperkuat akuntabilitas dana kampanye melalui pelaporan dana kampanye oleh
partai politik. Undang-undang secara jelas dan tegas mengamanatkan bahwa
pendanaan kampanye yang meliputi penerimaan dan pengeluaran dibuat dalam ‘pembukuan
khusus’ yang terpisah dari keuangan partai politik. Ini mengisyaratkan bahwa
pendanaan kampanye wajib dilakukan melalui satu pintu, yaitu partai politik
sebagai peserta pemilu. Maka, menjadi tidak relevan ketika partai seolah-olah
lepas tangan terhadap kegiatan kampanye yang dilakukan oleh calon.
Kedua,
hal yang bisa dilakukan adalah melalui penelusuran atas kebenaran sumber
pendanaan dan biaya faktual kampanye oleh partai politik. Dalam prakteknya,
tidak sedikit partai politik menerima sumbangan yang berasal dari sumber yang
dilarang oleh undang-undang. Sumber yang dilarang tersebut adalah yang berasal
dari pihak asing, sumber yang tidak jelas identitasnya, pemerintah, pemda,
BUMN, BUMD, pemerintah desa, dan badan usaha milik desa. Sesuai dengan
undang-undang, penerimaan atas sumbangan kampanye dari sumber yang dilarang
dapat dikenai pidana dan tindakan hukum lainnya oleh KPU.
Di sisi lain, laporan pengeluaran dana kampanye tidak
hanya didasarkan pada audit oleh akuntan publik. Penyelenggara pemilu
semestinya juga memiliki data pembanding mengenai pengeluaran aktual oleh
masing-masing partai. Sebab, faktanya, audit hanya dilakukan untuk memeriksa
kebenaran dokumen yang diserahkan, bukan pada sisi memastikan berapa sebetulnya
pengeluaran kampanye oleh partai politik.[45]
Pelacakan atas sumber pendanaan kampanye dan verifikasi
atas pengeluaran kampanye faktual menjadi bagian penting untuk membatasi
belanja kampanye. Kelemahan pada sisi ini sebetulnya menjadi ruang bagi
terjadinya praktek pencucian uang. Kelemahan akuntabilitas dana kampanye
menjadi ruang yang terbuka bagi pencucian hasil kejahatan, termasuk yang
berasal dari korupsi. KPU dalam konteks ini tidak hanya terpaku dalam konteks
rezim pemilu, tapi juga bersinergi dengan ketentuan undang-undang lain yang
mendukung terciptanya pemilu yang demokratis. Dalam demokrasi, fakta
menyebutkan bahwa politik biaya tinggi, apalagi politik yang dibiayai dari
sumber yang “haram”, justru akan menghasilkan pemerintahan dan lembaga
legislatif yang korup. Maka, pilihan untuk membatasi biaya politik, termasuk
belanja kampanye, adalah pilihan yang harus diambil oleh penyelenggara pemilu.
Dengan demikian politik biaya tinggi ini tidak lagi menjadi alat reproduksi
korupsi di masa depan.[46]
PENUTUP
T
|
antangan terbesar dan terberat yang dihadapi oleh
negara demokrasi adalah mengatasi praktik politik uang (money politics). Politik uang ini menciderai demokrasi dan pada
gilirannya akan mengubur cita-cita luhur demokrasi. Praktik politik uang yang semakin
meningkat akan membuat aspirasi rakyat yang didengar semakin sedikit, sehingga
menjadi salah satu ancaman yang sangat serius bagi negara demokrasi yang akan
melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan.
Dalam praktiknya politik uang dimaknai
warga masyarakat tidak hanya pada aspek transaksionalnya saja, tetapi juga terhadap
makna-makna fungsionalnya yaitu modal politik dan biaya politik, serta untuk mendapatkan
simpatisan. Terlebih-lebih di suatu negara berkembang yang rakyatnya mayoritas
miskin sangat mudah sekali membeli suara para pemilih hanya dengan memberi
sedikit uang dan/atau bahan pangan seperti yang ditengarai sering terjadi dalam
ajang pemilihan kandidat di berbagai pelosok tanah air kita.
Kemiskinan yang dapat membuat
kesengsaraan hidup manusia dan karenanya pendirian pemilih dapat berubah
(dibeli) dengan adanya praktik politik uang, bukanlah alasan pembenaran untuk
terus berlangsungnya keterpurukan demokrasi di negara kita. Dengan menerapkan peraturan perundang-undangan yang
ada, termasuk Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU TPK) dan Undang-Undang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PP TPPU), maka para pelaku
politik uang itu akan dapat dihukum.***
~o0o~
DAFTAR PUSTAKA
Adi
Baskoro, “Menyimak Peta Aliran Dana DKP dalam Kampanye Capres”, Mediakita, 23 Juli 2007, http://mediakita.com/Info/menyimak-peta-aliran-dana-dkp-dalam-kampanye-capres.html
[07-04-13].
Aji
Wihardandi, “29 Kasus Pelanggaran Izin Oleh 26 Pebisnis Tambang
Dilaporkan BPK ke Bareskrim Polri”, Mongabay-Indonesia,
27 February 2013.
Council of Europe, “Preventive Legal Measures Against Oorganized
Crime”, Organised crime - Best Practice Survey n°9, Strasbourg, 2003.
Ebin Danius, “Politik Uang dan Uang Rakyat”,
1999, http://www.uniera.ac.id/pub/1/1/Politik-Uang-dan-Uang-Rakyat [05-04-13].
Erman Rajagukguk, “Pengertian
Keuangan Negara dan Kerugian Negara”, http://www.pdp.or.id/
page.php?lang= id&menu=news_view&news_id=1559, [13-03-12].
FATF, The
Forty Recommendations, 2003). Dan pada Februari 2012 diterbitkan The FATF Recommendations: International
Standards on Combating Money Laundering and the Financing of Terroristm &
Proliferation. Lihat, http://www.fatf-gafi.org.
Harian Umum Nusa Bali, “Bagiada Divonis 2 Tahun”, 6 Maret
2013, http://www.nusabali.com/opendoc.
php?id=28951&page=&date=
[07-04-13].
Harry Azhar Aziz, “Mengawal Transparansi dan
Akuntabilitas Keuangan Negara”, http://hharryazharazis.com/detail/1531/.cnet, [14-02-13].
Hukum
Online, “Kerugian Keuangan Negara pada Tindak Pidana Korupsi”, http://www.hukumonline.
com/klinik/detail/cl3514/kerugian-keuangan-negara-pada-tindak-pidana-korupsi, diakses tang-ga; 12 Maret 2012.
ICW, “SBY: Politik Uang Rusak Demokrasi”, 9
April 2013, http://www.antikorupsi.org/new/
index.php?option=com_content&view=article&id=16687:sby:-politik-uang-rusak-demokrasi&
catid =42:rokstories&Itemid= 106&lang=id [05-04-13].
Jikalahari, “Pemberantasan Korupsi Sektor Kehutanan Belum
Tuntas!”, jikalahari,or.id, http://jikalahari.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=180%3Apemberantaskan-korupsi-sektor-kehutanan-belum-tuntas&catid=37%3Aforest-news&Itemid=132&lang=id [07-04-13].
Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor 151/Kpts-II/2003, dan Nomor 6652/Kpts-II/2002.
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
Marcin
Walecki, “Chapter published in
Challenging the Norms and Standards of Election Administration”, IFES, 2007.
______,
“Political Money and Corruption”, IFES, 2004.
Muhammad Dahlan Moga, Abstrak
dalam “Pembuktian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi”, Program Studi Ilmu Hukum Universitas
Airlangga, 2009.
OECD, http://www1.oecd.org/fatf/Ctry-orgpages/org-egmonten.htm (Countries
with operational Financial Intelligence Units).
_____, http://www1.oecd.org/fatf/pdf./Egstat-200106_en.pdf (“Statement of Purpose of the Egmont Group
of Financial Intelligence Units”, The
Hague, 13 June 2001).
Peraturan
Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan, Tanggal 8
Juni 2002.
Perludem, “Jurnal Pemilu dan Demokrasi 3rd Edition Dana
Kampanye: Pengaturan Tanpa Makna”, 14 Juni 2012, http://www.perludem.or.id/index.php?option=com_k2&view=item&id=536:jurnal-pemilu-dan-demokrasi-3rd-edition-dana
kampanye-pengaturan-tanpa-makna&Itemid=129 [-5-04-13].
Press Release Bawaslu, “Bawaslu dan PPATK
Jalin Kerjasama”, 7 Juli 2010, http://www.bawaslu.go.id/ berita/1/tahun/2010/bulan/07/tanggal/07/id/1425/ [05-04-13],
Republika
Online, “PPATK:
APBN dan APBD Paling Sering Dikorupsi”, 11 Desember 2012.
Reza Syawawi, “Korupsi dan Politik Biaya Tinggi”, TEMPO.CO,
29 Maret 2013, http://www. tempo.co/ read/kolom/2013/03/29/679/Korupsi-dan-Politik-Biaya-Tinggi [08-04-13].
_____, “Tahun Politik Uang”, rumahpemilu.org, 3 Januari 2013, http://www.rumahpemilu.org/ read/1039/Tahun-Politik-Uang-Oleh-Reza-Syawawi [09-04-13].
Umar
Syadat Hasibuan, “Pemilu Kada dan Hantu
Politik Uang”, Media Indonesia, 3 Mei
2012.
Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas (PT).
Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara (BUMN)/
Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Undang-Undang
RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang.
Vivalog, “PDIP Minta KPU Buktikan Pencucian
Uang”, http://log.viva.co.id/news/read/65618-pdip_
minta kpu_buktikan_pencucian_uang [05-04-13]
vivanews.com, “Vonis Al Amin Nasution”, 5 Januari 2009, http://foto.news.viva.co.id/read/251/17195-vonis_al_amin_nasution_1 [07-04-13].
Waspada
Online, “Korupsi APBN karena ada
peluang”, 27 Agustus 2012.
Endnote
[43]
Reza Syawawi, “Korupsi dan Politik Biaya Tinggi”, TEMPO.CO,
29 Maret 2013, http://www. tempo.co/
read/kolom/2013/03/29/679/Korupsi-dan-Politik-Biaya-Tinggi [08-04-13].
[1] Ebin Danius, “Politik Uang dan Uang Rakyat”,
1999, http://www.uniera.ac.id/pub/1/1/Politik-Uang-dan-Uang-Rakyat [05-04-13].
[2] Ibid.
[4] Lihat: “SBY Kaget Ketua MK Akil Mochtar
Ditangkap KPK”, TEMPO.CO,, 3 Oktober
2013.
[5] Lihat: “Penangkapan Akil Mochtar Dimuat
Diseluruh Dunia”, TEMPO.CO., 3
Oktober 2013.
[6] Lihat: “Seluruh Tersangka Kasus Suap Ketua
MK Telah Ditahan KPK”, Kompas.com, 4
Oktober 2013.
[7] Lihat: “Usul Pemberhentian Akil Mochtar dari
MK Segera Dikirim ke Presiden”, Kompas.com,
4 Oktober 2013.
[8] Marcin Walecki, “Chapter published in Challenging the Norms
and Standards of Election Administration”, (IFES, 2007), hlm. 75-93.
[9] ICW, “SBY: Politik Uang Rusak Demokrasi”, 9
April 2013, http://www.antikorupsi.org/new/index.php?
option=comcontent&view=article&id=16687:sby:-politik-uang-rusak-demokrasi&catid=42:rokstories&Itemid=106&
lang=id [05-04-13].
[10] Pemilihan umum atau pemilu apapun, menurut
Didik Supriyanto, bisa dilihat dari empat sisi: (1) sistem; (2) manajemen; (3)
aktor; dan (4) penegakan hukum. Lihat: Didik Supriyanto, “Penataan Kembali
Sistem Pemilihan Dalam Pemilu Kada”, makalah
dalam Prosiding Seminar Nasional Evaluasi
Pemilihan Umum Keppala Daerah, (Jakarta: Mehkamah Konstitusi, 2012), hlm.
259.
[11] Perludem, “Jurnal Pemilu dan
Demokrasi 3rd Edition Dana Kampanye: Pengaturan Tanpa Makna”, 14 Juni 2012, http://www.perludem.or.id/index.php?option=com_k2&view=item&id=536:jurnal-pemilu-dan-demokrasi-3rd-edition-dana
kampanye-pengaturan-tanpa-makna&Itemid=129 [-5-04-13].
[12] Ibid.
[13] Ibid.
Istilah ‘korupsi politik’ maksudnya praktik korupsi yang terjadi di bidang
politik. Menurut Budiman Soedjatmiko, ‘korupsi politik adalah sumber
seluruh persoalan korupsi di Indonesia. Kalau diibaratkan, bila korupsipolitik
adalah ibunya korupsi, maka rekrutmen politik adalah neneknya korupsi. Lihat:
“Korupsi Politik adalah Induk Korupsi”, Waspada
Online, 4 September 2013. Lingkaran setan korupsi politik yang melibatkan
partai politik, politisi, kroni bisnis, proyek korup, dan birokrasi masih
menjadi penyakit jalannya pemerintahan Indonesia. Temuan ICW melansir bahwa
selama 2012 sebanyak 52 kader parpol, 21 anggota dan mantan anggota DPR/D, 21
mantan dan kepala daerah menjabat, serta 2 pengurus partai, serta terakhir 1
menteri aktif terjerat kasus korupsi dengan kader Partai Golkar paling banyak
terjerat kasus (14 kader). Secara keseluruhan, kasus yang menjerat anggota
DPR/D merupakan kasus mafia anggaran dan bantuan sosial. Lihat: “Tahun
(Korupsi) Politik 2013”, http://www.beranijujur.net/id/content/tahun-korupsi-politik-2013 [12-10-13].
[14] Perludem, “Jurnal Pemilu dan
Demokrasi 3rd Edition Dana Kampanye: Pengaturan Tanpa Makna”, 14 Juni 2012,
[15] Ibid.
[16] Rekomendasi
ini ini merupakan standard yang dikeluarkan oleh FATF dan diharapkan dipakai
oleh masing-masing negara dan diterapkan secara internasional dengan konsisten.
Rekomendasi dikeluarkan pertama kali pada tahun 1990, kemudian direvisi tahun
1996 dan 2003 (Lihat FATF, The Forty Recommendations, 2003). Dan
pada Februari 2012 diterbitkan The FATF
Recommendations: International Standards on Combating Money Laundering and the
Financing of Terroristm & Proliferation. Lihat, http://www.fatf-gafi.org.
[17] Aspek pencegahan tidak kalah penting
daripada tindakan represi dalam pendekatan terpadu terhadap kejahatan
terorganisir, sejauh itu bertujuan mengurangi keadaan dimana kejahatan
terorganisir dapat beroperasi. Persatuan harus memiliki instrumen untuk
menghadapi kejahatan terorganisir pada setiap langkah kontinyu dari pencegahan
dan penindakan , serta penuntutan kejahatan terorganisir. Sebuah aspek tertentu
dari pencegahan kejahatan terorganisir difokuskan pada pengurangan kesempatan
yang ada atau yang akan datang bagi kelompok-kelompok penjahat terorganisasi
untuk berpartisipasi di pasar yang sah dengan hasil kejahatan, melalui
langkah-langkah legislatif, administratif atau tindakan lainnya. Tindakan dapat
diambil secara internal dan eksternal. Lihat, “Preventive Legal Measures
Against Oorganized Crime”, Organised crime - Best
Practice Survey No.9,
(Strasbourg: Council of Europe, 2003),
hlm. 3-4.
[18] Lihat, http://www1.oecd.org/fatf/Ctry-orgpages/org-egmonten.htm (Countries
with operational Financial Intelligence Units).
[19] Pada dasarnya pembentukan FIU di beberapa
negara berlandaskan dua hal pokok: (1) dalam rangka penegakan hukum; dan (2)
pengembangan metode dan teknik pendeteksian TPPU, mengingat sejumlah negara
telah menerapkan ketentuan rezim anti-pencucian uang yang sejalan dengan sistem
penegakan hukum di negaranya masing-masing. Lihat, http://www1.oecd.org/fatf/pdf./Egstat-200106_en.pdf (“Statement of Purpose of the Egmont Group
of Financial Intelligence Units”, The
Hague, 13 June 2001).
[20] Lihat, “PPATK: APBN dan APBD Paling Sering
Dikorupsi”, Republika Online, 11
Desember 2012.
[21] Lihat, “Korupsi APBN karena ada
peluang”, Waspada Online, 27 Agustus 2012. Bandingkan dengan Harry Azhar Aziz
yang menjelaskan, bahwa temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI terhadap
penggunaan anggaran, baik itu APBN maupun APBD di suatu instansi pemerintahan,
termasuk BUMN, tidak semua masuk kategori tindak pidana korupsi (Tipikor). Bisa
saja hanya masalah administrasi yang bisa diselesaikan dan dipulihkan secara
administrasi juga. Itulah salah satu inti dari sosialisasi bertajuk “Mengawal
Transparansi dan Akuntabilitas Keuangan Negara” di kantor perwakilan BPK RI
Kepulauan Riau, tanggal 26 Noveber 2012. Sosialisasi ini bertujuan memberikan
pemahaman tugas, fungsi dan kewenangan BPK RI dalam mendorong transparansi dan
akuntabilitas keuangan negara. Lihat, http://hharryazharazis.
com/detail/1531/.cnet, diakses tanggal 14 Februari 2013.
[22] Salah satu fokus sektor yang menjadi program
prioritas pemberantasan korupsi dari KPK pada tahun 2010 dan 2011 adalah sektor
korupsi kehutanan. Sektor ini dipilih karena pertimbangan strategis yaitu
besarnya nilai kerugian negara, dampaknya bagi masyarakat luas, dan aktor yang
diduga terlibat. Seperti di Propinsi Riau. berdasarkan data dari Dinas
Kehutanan Propinsi Riau 2004, Gubernur Riau pada tahun 2004 telah menerbitkan
10 Rencana Kerja Tahunan (RKT) dan Bagan Kerja (BK) Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) atau Hutan Tanaman Industri
(HTI). Padahal menurut Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 Tentang Tata
Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan
Penggunaan Kawasan Hutan, Tanggal 8 Juni 2002 dan dua Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 6652/Kpts-II/2002 dan Nomor 151/Kpts-II/2003 menyebutkan
kewenangan pengesahan dan penerbitan RKT merupakan kewenanangan Menteri
Kehutanan. Sehingga Gubernur Riau tidak memiliki kewenangan untuk menilai dan
mengesahkan RKT atau Bagan Kerja IUPHHK-HT. Keterlibatan Rusli Zainal juga
diperkuat dari beberapa kesaksian terdakwa dalam proses persidangan di
pengadilan tipikor. Misal Mantan Kadishut Riau Suhada Tasman menyatakan di
Pengadilan Tipikor Pekanbaru (Januari 2012) bahwa Rusli Zainal telah menyetujui
dan mengesahkan 6 RKT IUPHHK/HT di Riau. Lihat, “Pemberantasan Korupsi Sektor
Kehutanan Belum Tuntas!”, jikalahari,or.id,
http://jikalahari.
or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=180%3Apemberantaskan-korupsi-sektor-kehutanan-belum-tuntas&catid=37%3Aforest-news&Itemid=132&lang=id [07-04-13]. Selain melibatkan
eksekutif, kejahatan di bidang kehutanan (illegal
logging) ini juga melibatkan anggota legislatif, antara lain Al Amin
Nasution. Anggota Komisi IV DPR ini terlibat kasus korupsi alih fungsi hutan
lindung di Kabupaten Bintan. Akhirnya, Al Amin Nasution divonis 8 tahun
penjara, denda Rp250 juta, dan subsider 6 bulan penjara. Lihat, “Vonis Al Amin
Nasution”, vivanews.com, 5 Januari
2009, http://foto.news.viva.co.id/read/251/17195-vonis_al_amin_nasution_1 [07-04-13].
[23] Mantan
Bupati Buleleng Putu Bagiada divonis 2 tahun penjara dalam kasus korupsi upah
pungut Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor Perkebunan, Kehutanan, dan
Pertambangan senilai Rp 1,6 miliar. Vonis yang dijatuhkan majelis hakim dalam
sidang putusan di Pengadilan Tipikor Denpasar, lebih rendah dari tuntutan jaksa
yakni 4 tahun penjara. Selain vonis 2 tahun penjara, majelis hakim
Pengadilan Tipikor yang diketuai I Gusti Agung Bagus Komang Wijaya Adhi juga
mengganjar terdakwa mantan Bupati Bagiada denda Rp 150 juta dan wajib
mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 574.709.326. Dalam amar putusannya,
majelis hakim menyatakan terdakwa Putu Bagiada terbukti secara sah dan
meyakinkan memenuhi unsur-unsur dalam dakwaan subsider, pasal 3 jo pasal 18 UU
No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) KUHP jo pasal 64
ayat (1) KUHP, yakni menyalahgunakan kewenangan sehingga menguntungkan diri
sendiri dan orang lain atau suatu korporasi. Lihat, “Bagiada Divonis 2
Tahun”, Harian Umum Nusa Bali, 6
Maret 2013, http://www.nusabali.com/
opendoc.php?id=28951&page=&date=
[07-04-13].
[24] Sejak 30 November
2006, Rokhmin Dahuri ditahan di Mabes Polri karena tersangkut kasus dana
nonbujeter, selama menjabat sebagai menteri Kelautan dan Perikanan.
Pengakuan Amien Rais pada 15 Mei 2007, di Pusat Pengkajian Strategi dan
Kebijakan (PPSK) Jogjakarta bahwa ia menerima dana nonbujeter DKP kian
memperkuat bukti tersebut. Amien juga mengakui semua calon presiden lainnya
yang berlaga dalam Pemilu 2004 ikut mendapat dana haram dari DKP. Putusan
pengadilan menjatuhkan vonis tujuh tahun penjara untuk Rokhmin Dahuri. Mantan
Menteri Kelautan dan Perikanan ini pun sempat melayangkan surat terbuka untuk
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berisi bentuk kekecewaan soal peradilan
kasus dirinya. Lihat, Adi Baskoro, “Menyimak Peta Aliran Dana DKP dalam
Kampanye Capres”, Mediakita, 23 Juli
2007, http://mediakita.com/Info/menyimak-peta-aliran-dana-dkp-dalam-kampanye-capres.html
[07-04-13].
[25] Duapuluh enam perusahaan bisnis pertambangan
di Indonesia dilaporkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ke Bareskrim
Polri karena melanggar aturan eksplorasi pertambangan dan merugikan negara
hingga lebih dari 90 miliar rupiah. Laporan ini diserahkan oleh anggota BPK Ali
Maskur Musa kepada Kepala Bareskrim Polri, Komjen Sutarman di Gedung Bareskrim
tanggal 26 Februari 2013 kemarin. Laporan penyimpangan ini dilandasi oleh
berbagai temuan terkait penyimpangan yang dilakukan oleh 26 perusahaan
pertambangan tersebut, baik yang swasta maupun perusahaan pemerintah.
Setidaknya ada 29 pelanggaran dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. BPK
melaporkan berbagai pelanggaran atas izin tambang ini berdasarkan hasil audit
yang dilakukan terhadap puluhan perusahaan tambang di Indonesia di tahun
anggaran 2011. Empat poin utama yang dilakukan dalam audit BPK ini, adalah
terkait tata ruang atas penggunaan sumber daya alam, proses izin atas
penggunaan lahan termasuk analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), hak
negara atas konsesi yang diberikan kepada swasta maupun BUMN, dan poin terakhir
adalah pengelolaan pasca tambang. Lihat, Aji
Wihardandi, “29 Kasus Pelanggaran Izin Oleh 26 Pebisnis Tambang
Dilaporkan BPK ke Bareskrim Polri”, Mongabay-Indonesia,
27 February 2013.
[26] Lihat Laporan
Semester I Tahun 2013 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, hlm.
41-45.
[27] PPATK melakukan kegiatan ‘analisis strategis’ (strategic
analysis) dalam rangka mengemban salah satu fungsinya sebagai Financial Intelligence Unit (FIU) di
Indonesia.
[28] Lihat antara lain: “PPATK:
Transaksi Mencurigakan Naik 125 Persen Saat Pilkada dan Pemilu”, Republika Online, 18 September 2013; “PPATK:
Jelang Pemilu, Transaksi Mencurigakan Meningkat 125 Persen,” Kompas.com,
18 September 2013; PPATK;
“Teliti Transaksi Uang di Tiga Pemilu: Pemilu tahun 2004, 2009, dan jelang
2014”, Vivanews, 19 Sepember 2013;
“Jelang Pemilu, Potensi Politik Uang Meningkat Signifikan”, PNN.com, 18 September 2013; “Jelang
Pemilu, Potensi Politik Uang Meningkat Signifikan”, PNN.com, 18 September 2013; “PPATK :
Hati-Hati Politik Uang Di Pemilu 2014”, entitashukum.com, 18 Sep, 2013; “PPATK Siap Beberkan Aliran
Dana ke Parpol”, shnews.co, Selasa, 16 April 2013 - 13:22 WIB; dan “PPATK :
Hati-Hati Politik Uang Di Pemilu 2014”, entitashukum.com, 18 Sep, 2013.
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[32] Namun sebelum menentukan adanya “kerugian
keuangan negara”, terlebih dahulu diperlukan kejelasan dari pengertian
“keuangan negara” secara yuridis. Berbagai peraturan perundang-undangan yang
ada saat ini belum ada kesamaan tentang pengertian “keuangan negara”, yaitu
antara Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (PT), dan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Erman Rajagukguk, “Pengertian
Keuangan Negara dan Kerugian Negara”, http://www.pdp.or.id/
page.php?lang= id&menu=news_view&news_id=1559, diakses tanggal 13 Maret 2012.
[33] Muhammad Dahlan Moga, Abstrak
dalam “Pembuktian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi”, Program Studi Ilmu Hukum Universitas Airlangga,
2009.
[34] Misalnya dengan ilustrasi sebagai berikut:
(1) Kasus pengadaan barang/jasa. Misalnya, pekerjaan belum 100% (baru 55%),
tetapi pembayaran sudah 100%. Pertanyaan: apakah kerugian keuangan negara
dihitung dengan cara membandingkan antara nilai kontrak dengan nilai realisasi
atau apakah dimungkinkan kerugian dihitung berdasarkan uang negara yang keluar
yang tidak sah (dasar dokumen pencairan yang fiktif); dan (2) Kredit yang
diberikan oleh bank. Apakah side
streaming (penggunan kredit yang tidak sesuai peruntukkannya) dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, jika ya, bagaimana perhitungan
kerugian keuangan negaranya. Lihat: “Kerugian Keuangan Negara pada Tindak Pidana Korupsi”, http://www.hukumonline.com/klinik/
detail/cl3514/kerugian-keuangan-negara-pada-tindak-pidana-korupsi, diakses tangga; 12 Maret 2012.
[35] Ibid.
[37] Press Release Bawaslu, “Bawaslu dan PPATK
Jalin Kerjasama”, 7 Juli 2010, http://www.bawaslu.go.id/
berita/1/tahun/2010/bulan/07/tanggal/07/id/1425/ [05-04-13],
[38] Ibid.
[39] Vivalog, “PDIP Minta KPU Buktikan Pencucian
Uang”, http://log.viva.co.id/news/read/65618-pdip_
minta kpu_buktikan_pencucian_uang [05-04-13]
[41] Ibid.
[42] Reza Syawawi, “Tahun Politik Uang”, rumahpemilu.org, 3 Januari 2013, http://www.rumahpemilu.org/
read/1039/Tahun-Politik-Uang-Oleh-Reza-Syawawi [09-04-13].
[43]
Reza Syawawi, “Korupsi dan Politik Biaya Tinggi”, TEMPO.CO,
29 Maret 2013, http://www. tempo.co/
read/kolom/2013/03/29/679/Korupsi-dan-Politik-Biaya-Tinggi [08-04-13].
[45] Ibid.
[46] Ibid.