Kamis, 02 Oktober 2014

Gondang Porang



"GONDANG" DAN "PORANG"





KEBUDAYAAN, entah mengapa, sekarang ini tidak sedikit orang yang memandangnya hanya sebagai “seni” saja, istilahnya "seni budaya", kata mereka. Padahal menurut para ahlinya yaitu antropolog, kebudayaan itu menyangkut semua aspek kehidupan manusia (bahasa, kesenian, religi, sistem mata pencaharian hidup, ilmu pengetahuan, dan sebagainya), yang wujudnya bisa berupa gagasan (wujud ideal), aktivitas (tindakan), dan artepak (wujud kebudayaan fisik).
Unsur-unsur kebudayaan itu, satu-sama lain saling menyatu (terintegrasi) secara total. Hal itu dapat terjadi karena unsur-unsur kebudayaan itu sama-sama memiliki sesuatu bagian yang bersifat fungsional sehingga dapat terintegrasi secara utuh antara sesama unsur kebudayaan. Kalau di Mandailing, semua aspek kehidupan mereka dilandasi oleh adat “Dalian Na Tolu” (tiga tumpuan utama yaitu “mora”, “kahanggi”, dan “anak boru”), bukan MARGA, baik itu dalam kegiatan "markobar" (musyawarah), “marsaba-markobun” (pertanian), “margondang-marogung” (musik dan tari), “marbagas” (upacara adat pekawinan), “mambulungi” (upacara adat kematian), dan sebagainya.
Secara sederhana “kebudayaan” itu kira-kira mirip dengan “mobil” yang memiliki roda, bak, mesin, rem, persineling, sopir, dan sebagainya. Kalau misalnya rodanya atau sopirnya tidak ada, tentu saja “mobil” itu tidak bisa bergerak maju atau mundur. Kira-kira begitu pulalah “kebudayaan” itu, tidak berfungsi secara optimal kalau tidak ada unsur-unsur fungsionalnya itu.
Dalam perkembangan sebuah peradaban yang telah berlangsung beratus-ratus bahkan ada yang mencapai ribuan tahun, bisa saja suatu unsur budaya suku (bangsa) lain “masuk” ke dalam peradaban/kebudayaan mereka, dimana “budaya asing” yang masuk itu selanjutnya mengalami akulturasi dengan budaya yang telah ada sebelumnya.
Bisa saja terjadi “budaya asing” yang masuk itu sebenarnya tidak terintegrasi sepenuhnya dengan “budaya lama” karena berbagai faktor, namun suku/bangsa pendukung budaya itu dengan berbagai alasan tertentu, tetap mengakui dan memanfaatkan “budaya asing” itu sebagai budaya mereka. Mungkin, dalam jangka waktu yang relatif lama (proses panjang), mereka berharap “budaya asing” itu akhirnya akan menjadi budaya yang mapan, yang akan sama kualitasnya dengan budaya-budaya lama (asli) mereka, sehingga “benar-benar” sudah dipandang merupakan budaya mereka yang utuh (terintegrasi) sepenuhnya dengan yang lain-lainnya.
Bisa jadi “ya”, tapi bisa juga “tidak”. Karena bisa saja ada antropolog/sosiolog yang menemukan ”budaya asing” yang masuk itu ketika melihat tidak begitu terintegrasinya (menyatunya) dengan budaya-budaya mereka yang lain-lainnya.
Seperti halnya dengan alat musik pukul seperti “gendang” hampir dimiliki oleh semua suku/bangsa di dunia ini baik di Barat maupun di Timur, dimana dari segi bentuknya sangat bervariasi. Pertanyaannya adalah apakah ide dasar pembuatan “gendang” itu berasal dari Barat lalu menyebar ke Timur, atau sebaliknya dari Timur yang kemudian menyebar ke Barat, atau baik di Timur maupun di Barat telah sama-sama sudah ada “gendang”, namun suku-suku yang memanfaatkannya sebagai sebuah alat musik pukul cenderung merubah bentuk “gendang” dan pola-pola ritme memainkannya berdasarkan keunikan budaya mereka sendiri, atau mungkin juga menirunya dari suku/bangsa lain, adalah suatu “penelitian lapangan” yang cukup menarik dalam disiplin ilmu etnomusikologi (studi musik etnik).
Yang jelas, keberadaan “gendang” ini sekaligus membuktikan bahwa berbagai macam suku/bangsa sudah berhubungan satu sama lain sejak ribuan tahun lalu, baik secara individu maupun kelompok, seperti pada peristiwa penting misalnya "peperangan" dimana "gendang" dimainkan untuk memberi semangat laskar untuk berperang, makanya di Mandailing ada satu repertoire khusus bernama"GONDANG PORANG".



~o0o~