Jumat, 17 Mei 2013

Hata Mandailing


SARO MANDAILING
Oleh: Syamsir Alamsyah Batubara



PENDAHULUAN
K
elompok etnik atau suku-bangsa Mandailing yang mendiami pedalaman pesisir pantai barat daya Pulau Sumatera memiliki bahasanya sendiri, yaitu Hata Mandailing. Namun dalam kehidupan sehari-hari, anggota masyarakat Mandailing lebih sering menyebut bahasa etnik mereka itu dengan istilah Saro Mandailing. Dalam hal ini, perkataan “saro” secara harafiah artinya “cara” atau “ala”. Dengan demikian, dari satu sisi, pengertian “saro Mandailing” dapat berarti “cara atau ala Mandailing”. Sebagai contoh misalnya dalam hal pemuda dan pemudi Mandailing berpacaran di masa lalu adalah dengan cara “markusip” (berbisik-bisik) pada malam hari melalui lobang kecil yang ada di dinding rumah. Kebiasaan pemuda dan pemudi Mandailing dahulu kala memadu kasih seperti itu cukup unik dan spesifik, sehingga dapat dikatakan sebagai “saro Mandailing” (“ala Mandailing”) dalam hal anak-anak muda berpacaran di masa lalu, bila dibandingkan misalnya dengan tradisi berpacaran muda-mudi pada kelompok-kelompok etnik lain di Indonesia.

Dalam konteks lain, manakala para perantau orang Mandailing yang telah menetap di beberap wilayah tertentu di kota Medan misalnya, bila ditanyakan bahasa apa yang sesama mereka gunakan dalam percakapan sehari-hari, mereka umumnya menjawab: “Saro Mandailing”, seperti di kalangan orang-orang Mandailing yang cukup banyak menetap di wilayah Sei Mati (Medan Maimun), Marendal (Simpang Limun hingga Medan Amplas), Sei Agul (Medan Barat), Gelugur, dan wilayah Bandar Selamat atau disebut juga “Kobun Pisang” oleh orang-orang Mandailing.

Pembangunan jalan tol diwilayah Kobun Pisang atau Bandar Selamat ini telah menyebabkan wilayah tersebut menjadi lokasi perwakilan kendaraan antar kota, baik yang mengangkut barang maupun penumpang. Lokasi-lokasi perwakilan kendaraan antar kota diwilayah ini didominasi oleh usaha kendaraan yang berasal dari daerah Mandailing dan sekitarnya. Hal ini kemudian menyebabkan banyaknya masyarakat Mandailing yang mendiami wilayah ini, dan dalam perkembangannya terdapat pula organisasi keluarga Mandailing yang cukup terkenal di kota Medan, yaitu HIKMA. Organisasi kemasyarakatan ini setidaknya menaungi masyarakat Mandailing yang terdiri dari beberapa marga, dan tujuan organisasi ini adalah untuk merekatkan hubungan antar sesama orang Mandailing perantau di kota Medan.
Sebagaimana diketahui bahwa pendukung aktif kebudayaan dalam pengertian kesepakatan internasional mengandung beberapa konten persyaratan. Hal ini dapat dilihat dalam tujuh unsur yang dapat kita sebut sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan yang ada di dunia, yaitu: (1) Bahasa; (2) Sistem pengetahuan; (3) Organisasi sosial; (4) Sistem peralatan hidup dan teknologi; (5) Sistem mata pencaharian hidup; (6) Sistem religi; dan (7) Kesenian, sebagaimana dikutip oleh Koentjaraningrat dari C. Kluckhohn : Universal Categories of Culture(1953), di dalam Pengantar Antropologi (1980 : 203). Bahasa ditempatkan para ahli di urutan pertama, penting karena bahasa adalah alat transformasi kebudayaan. Makna yang terkandung dalam point 2-7 dapat diinterpretasikan dengan bahasa. Secara singkat kita sering bilang "bahasa menunjukkan bangsa", dalam skop yang lebih kecil adalah suku-bangsa. Dan semua unsur kebudayaan hanya bisa diterjemahkan dengan bahasa. [1]
Kenapa konklusinya sampai begitu? Karena "kosa kata" dan cara menyampaikan "kata" berkaitan langsung dengan tujuan berpikir dan pengalaman suatu bangsa atau suku-bangsa. Suatu "kata" ada karena "kata" itu dibutuhkan. Seperti suku-bangsa Eskimo di kutub Utara yang hidup di daerah bersalju punya kosa kata yang banyak untuk salju. Mereka mempunyai banyak sebutan untuk kata salju, misalnya, aput (salju yang sudah ada di tanah), gana (salju yang jatuh/turun), piqsirpoq (salju yang melayang), dan qimuqsuq (salju yang berembus) dan lain-lain yang menurut beberapa keterangan sampai 14 (empat belas) kosa kata untuk salju.[2] 
Suatu bangsa yang hidup di daerah hijau, seperti suku-bangsa Mandailing, memiliki kosa kata lebih banyak untuk sumber air seperti, simulmulan (mata air alami), sumbur (air sumur), rura (anak sungai), dan aek atau aek godang (sungai). Suku-bangsa yang tidak berperang mungkin tidak akan memiliki kata yang bisa dinisbahkan sebagai “senjata”. Beberapa keistimewaan bahasa yang dipakai suatu bangsa tertentu membatasi cara-cara berpikir dan pandangan bangsa yang bersangkutan terhadap fenomena tempat mereka hidup. Saya menganggap bahwa susunan bahasa dan keistimewaan lain yang dimiliknya merupakan faktor dasar bagaimana suatu masyarakat memandang hakikat alam dan tempat mereka berada. Dengan demikian, “bahasa Mandailing menunjukkan suku-bangsa Mandailing”.[3] 

HATA MANDAILING (BAHASA MANDAILING)
Terkait dengan eksistensi Hata Mandailing (Bahasa Mandailing) ini, Z Pangaduan Lubis ada mengemukakan, bahwa secara tradisional Bahasa Mandailing terdiri dari lima ragam: (1) Hata Somal, ialah ragam bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari; (2) Hata Andung, yaitu semacam ragam Bahasa Sastra, yang pada masa dahulu khusus digunakan pada waktu meratapi jenasah dalam upacara kematian (disebut: mambulungi) dan seorang gadis yang meratap di hadapan orang tuanya pada saat akan berangkat meninggalkan mereka untuk selanjutnya dibawa ke rumah keluarga calon suaminya; (3) Hata Teas Dohot Jampolak, adalah ragam bahasa caci-maki yang khusus digunakan ketika terjadi hal-hal yang tidak baik (pertengkaran atau perkelahian); (4) Hata Sibaso, ialah ragam bahasa yang khusus digunakan oleh tokoh Sibaso (medium perantara alam nyata dan alam gaib) ketika berada dalam keadaan trance (kesurupan) dan juga digunakan oleh Datu (penyembuh tradisional) pada waktu melakukan pengobatan; dan (5) Hata Parkapur, yaitu ragam Bahasa Sirkumlokusi yang dahulu digunakan oleh orang-orang Mandailing pencari kapur barus ketika berada di dalam hutan. [4]
Di samping kelima macam ragam Bahasa Mandailing tersebut, pada masa lalu orang Mandailing juga memiliki satu lagi ragam bahasa lain yang dinamakan Hata Bulung Bulung (Bahasa Daun-daunan[5]). Berbeda dari bahasa yang biasa, yang digunakan sebagai kata-kata dalam Hata Bulung Bulung ialah daun tumbuh-tumbuhan yang dalam Bahasa Mandailing disebut bulung-bulung. Dedaunan yang digunakan ialah daun-daunan yang namanya punya persamaan bunyi dengan kata-kata yang terdapat dalam Bahasa Mandailing. Misalnya ialah daun tumbuh-tumbuhan yang bernama hadungdung digunakan untuk menyampaikan perkatan dung(setelah); daun tumbuh-tumbuhan yang bernama  sitata  digunakan untuk menyampaikan perkataan hita (kita); daun tumbuh-tumbuhan yang bernama sitarak digunakan untuk menyampaikan kata marsarak (berpisah); daun tumbuh-tumbuhan yang bernama sitanggis (setanggi) digunakan untuk menyampaikan perkataan tangis (menangis); dan daun tumbuh-tumbuhan yang bernama pau (pakis) digunakan untuk menyampaikan kata diau (pada saya); daun tumbuh-tumbuhan yang bernama podom-podom digunakan untuk menyampaikan perkataan modom (tidur). Kalau misalnya kesemua daun tersebut dikirimkan oleh seorang pemuda kepada kekasihnya, maka sang kekasih akan mengerti bahwa sang pemuda mengatakan kepadanya: ”dung hita marsarak jolo tangis au anso modom”. Artinya ”setelah kita berpisah, menangis saya dahulu baru bisa tertidur”.[6] 
Di Mandailing, pengguna Hata Bulung Bulung ini umumnya adalah kaum muda-mudi (disebut Naposo Nauli Bulung), terutama pada waktu mereka berpacaran. Dahulu, kegiatan berpacaran (asmara) antara pemuda dan pemudi dalam masyarakat Mandailing sama sekali tidak boleh dilakukan secara terbuka. Hubungan dan kegiatan berpacaran harus dirahasiakan atau dilakukan secara rahasia. Oleh sebab itu, jika dua orang muda (muda-mudi) yang berpacaran hendak menyampaikan sesuatu di antara mereka, maka mereka menggunakan Hata Bulung Bulung. Dan jika seorang kekasih hendak menyampaikan daun-daunan sebagai “surat cinta” kepada kekasihnya, dia harus melakukannya secara rahasia. Misalnya dengan meletakkan daun-daunan tersebut di satu tempat tertentu yang sudah mereka sepakati dan tidak diketahui orang lain. Secara sembunyi-sembunyi mereka yang berpacaran itu akan mengunjungi tempat rahasia tersebut secara bergiliran, untuk melihat apakah di tempat itu terdapat “surat cinta” yang terdiri dari daun-daunan tertentu.[7] 
Pada masa sekarang, Hata Bulung Bulung dan penggunaannya sudah hilang sama sekali dari tradisi budaya masyarakat Mandailing. Demikian pula halnya dengan ragam-ragam bahasa tersebut di atas, kecuali Hata Somal yang masih terus mereka pergunakan dalam percakapan sehari-hari, dan hata somal inilah yang sering disebut orang Mandailing sekarang ini sebagai Saro Mandailing.

SURAT TULAK-TULAK
Selain memiliki bahasa sendiri (Hata Mandailing), orang Mandailing juga memiliki aksara etnis sendiri (tradisional) yang dinamakan Surat Tulak Tulak. Aksara ini di masa lalu tidak digunakan untuk mencatat atau menulis sejarah, melainkan untuk menuliskan  Tarombo (silsilah keluarga). Selain itu juga banyak digunakan untuk mencatat ilmu pengobatan tradisional dan ilmu peramalan dalam kitab tradisional yang disebut Pustaha.[8]

Dari segi fonologis, Bahasa Mandailing adalah bahasa yang bersistem silabis dan di masa lalu dituliskan dalam aksara tradisional yang disebut Surat Tulak Tulak (aksara Mandailing) yang terdiri atas 21 fonem:a, ha, na, ma, nga, la, pa, ga, ja, ba, ta, ra, sa, da, ka, ca, nya, wa, i, ya, u. Fonem-fonem tersebut dilambangkan dengan 21 Induk Ni Surat (“Huruf Induk”) dan 5 Anak Ni Surat (“Anak Huruf”) sebagai berikut:[9]
a
h
n
m
g
l
p
g
a
ha
na
ma
nga
la
pa
ga
j
b
t
r
s
d
k
c
ja
ba
ta
ra
sa
da
ka
ca
[
w
I
y
U




nya
wa
i
ya
u





sE
so
si
S
s^
(s)e
(s)o
(s)i
(s)u
sang


alk\ mn\dIli^  alak Mandailing 
mr\koUm\ sislo\kto\ markoum sisolkot
sopo siao rnc^ mgod^  sopo sio rancang magodang
sopo siao dlmo\ mgod^  sopo sio dalom magodang
gno\d^ tro\tro\  gondang tortor
mr\sialp\ ari Incogto\  marsialap ari incogot
mr\bbo sb bolk\ marbabo saba bolak
mr\bso  bso  marbaso-baso 
aro\j god^  orja godang  




KARAKTERITIK SARO MANDAILING
Apabila dikaji lebih mendalam, ada beberapa karakteristik Bahasa Mandailing yang cukup menonjol, antara lain: [10]
Pertama, fonem ”k” velar dan glotal di akhir kata dilambangkan dengan satu tanda, meskipun pada hakikatnya berbeda, seperti kata “tetek” bermakna “tetes” dan “buang air besar”; “sosak” bermakna “cepat” (buru-buru) dan “sesak” (nafas); “golak” bermakna “gelak” dan “ejek”; “etek” bermakna “bibi” (tante) dan “alat musik pukul dari bambu”.
Kedua, penggunaan bunyi (huruf) vokal yang sangat produktif dan variatif pula seperti contoh berikut: sa: sarsar, saksak; si: sirsir, siksik; su: sursur, suksuk; se: serser, seksek; so: sorsor, soksok. ta: taktak, tartar; ti: tiktik, tirtir; tu: tuktuk, tultul; te: tektek, terter; to: toktok, tortor. pa: pakpak, paspas; pi: pirpir, pispis; pu: purpur, puspus; pe: perper, pespes; po: porpor, potpot. 
Ketiga, terdapat kata yang terdiri atas gugus vokal seperti: aua, uai, ee, dan aa. Untuk jelasnya dapat dilihat pada kalimat: uai iaua ia au i (artinya: “wah akan diapakannyalah aku itu”) yang terdiri atas dua belas gugus vokal yang belum pernah ditemukan, bentuk seperti itu, di dalam Bahasa Ibu yang dimiliki kelompok etnis lain. Selain itu, satu vokal saja dapat berfungsi sebagai satu morfem seperti: ”a” pada kata bilangan adua (bermakna “keduanya”); ”i” dapat bermakna ”itu” (misalnya kata ima, yang bermakna ”itulah”) dan awalan ”di” (misalnya kata isadu, bermakna ”disana”), ”e” bermakna ”hai”, ”u” bermakna ”ku”, dan ‘o’ yang bermakna ”ya” atau ”kau”. 
Keempat, intonasi pada kata sangat memengaruhi arti. Pada kata dasar ”bagas” misalnya, tekanan tempo sangat berperan menentukan arti. Kata ba’gas berarti ”rumah”, sedangkan bag’as berarti ”dalam”. Contoh lain misalnya kata ”parmangan”. Dengan pengucapan yang berbeda dapat bermakna: (1) suka makan; (2) uang yang digunakan untuk membeli makanan; dan (3) cara makan. Begitu juga dengan bentuk-bentuk lain seperti da’bu berarti ”jatuhkan”, dandabu’ berarti ”dalam keadaan terjatuh”. 
Kelima, ”akar kata” sangat berperan dalam pembentukan kata dasar. Untuk jelasnya dapat dilihat pada contoh kata-kata berikut: (1) antuk, batuk, kurtuk, lantuk, maturutuk, potuk, retuk, sotuk, tuktuk, utuk; (2) apit, ubit, lompit, sipit, pitpit, jungkit, dalkit, gigit, ancit, singit, rongit, angit, arit, sirit, gorit, ririt; (3) andarohot, dapot, dohot, lolot, morot, korot, sorot, porot,, potpot, lampot, sangkot, sungkot, singkot, sohot ,ngot, tungkot, ingot, sirohot, salohot, moncot, to’pot, topo’t. Dari ketiga contoh di atas masing-masing kelompok memiliki relevansi makna. Untuk contoh nomor satu memiliki hubungan dengan bunyi, pada contoh kedua hubungan maknanya berhubungan dengan sesuatu yang minim, kecil, dan hampir, sedangkan contoh ketiga memiliki hubungan makna dengan tempat, proses menuju atau meninggalkan tempat. 
Keenam, pemakaian ”imbuhan” sangat produktif. Di samping jumlah imbuhan banyak, fungsi dan nosi yang muncul lebih variatif. Satu kata dasar dapat diimbuhi oleh lebih dari dua puluh imbuhan. Awalan ma + dabu dapat menjadi: (1)mada’bu (terjatuh); (2) ma’dabu  (sudah/dalam keadaan terjatuh; dan (3) mandabu (menjatuhkan). Alomorf atau variasi morfem tidak hanya terjadi pada awalan me- dan pe-, tetapi awalan sa-, misalnya dalam bentuk sambola,sandoksanggotap. Gabungan imbuhan dapat terjadi di akhir kata misalnya untuk kata dokon + on (dokonon), + kon(dokononkon), + on  (dokononkonon),  dorapkononkon. Selain itu, imbuhan juga dapat membentuk tingkat kata sifat, misalnya pada kata: godang, godangan, gumodang, mago’dang, ma’godang, magodangan, magodangtu, murgodang, murmagodang, murmurmagodang, targodang, tarumgodang, tartargodang, sagodang-godangna
Ketujuh, pemakaian ”partikel” sangat dominan. Partikel yang digunakan antara lain: ba, bo, da, do, ke, le, ma, pe, te, dan lain-lain. Dalam Bahasa Tutur (lisan), penggunaan partikel tersebut sering disingkat menjadi sebuah akronim, seperti: ro ma ho tu son menjadi rosonkehe ma ho tu si menjadi kesi, dan lain sebagainya. 
Memang, Hata Somal (saro Mandaling) ini sebagai Bahasa Ibu di Mandailing masih mampu bertahan hingga ke era globalisasi ini. Tetapi seiring dengan perkembangan dan kemajuan yang terjadi selama puluhan tahun terakhir ini pada berbagai aspek kehidupan masyarakat Mandailing, sehingga Hata Somal ini pun ternyata telah banyak mengalami perubahan. Hal ini ditandai dengan banyaknya kata-kata serapan yang berasal dari bahasa lain, terutama yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang digunakan oleh para pelajar dan kaum terpelajar orang Mandailing dalam berkomunikasi sehari-hari.[15] Tidak jarang, bahwa setelah kata-kata serapan tersebut menjadi Hata Somal bagi mereka, tetapi pengertiannya tidak sama lagi dengan pengertian asalnya. Contohnya seperti kata “angsa” yang semula adalah “merek dagang” dari sejenis barang (kuali) dengan logo gambar itik angsa, namun kemudian dalam Hata Somalartinya menjadi lain, yaitu “kuali besar”. Dengan demikian kata ”angsa” bermakna ganda yaitu hewan (itik) dan wajan besar yang terbuat dari besi (logam). Demikian juga untuk perkataan ”honda” yang bermakna merek dagang dan sepeda motor. Hal lain misalnya kalau orang Mandailing dahulu hendak mengukur panjang seutas tali dengan rentangan kedua tangan (disebut:  sangkolakduangkolak, dst.), namun kini mereka sudah lazim menggunakan ukuranmeter  dan centimeter. Ternyata, kalau kita cermati lebih jauh dan mendalam akan memperlihatkan betapa banyaknya kata-kata serapan yang sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan lagi dari Hata Somal yang mereka pergunakan sekarang. Sebaliknya, mungkin tidak sedikit pula dari perbendaharaan Hata Somal yang sudah hilang karena sudah sejak lama tidak lagi mereka pergunakan dalam kehidupan sehari-hari.[11] 
Ditambahkan Edi Nasution, “masih segar dalam ingatan saya semasa kecil di kampung halaman, ketika bermain bersama teman-teman sebaya seringkali salah seorang di antara kami, ada yang terluka pada kaki atau tangan karena terkena pecahan kaca misalnya. Untuk mengobati luka itu kami cepat-cepat mencari bulung balerang, yaitu daun tumbuhan sejenis rumput-rumputan berbau belerang, yang mudah ditemukan tumbuh begitu saja di sekitar perkampungan. Setelah bulung balerang itu ditemukan, tanpa perlu dicuci terlebih dahulu, tetapi langsung dikunyah-kunyah di dalam mulut. Setelah bulung balerang itu menjadi halus, barulah kemudian ditempelkan pada bagian yang luka tersebut agar darahnya tidak mengucur terus. Bedanya dengan keadaan sekarang, mungkin tidak ada lagi anak-anak Mandaling yang mengenalbulung balerang dan begitu juga khasiatnya karena untuk mengobati luka mereka sudah terbiasa dan lebih yakin menggunakan “ubat merah” (antiseptik) yang diproduksi pabrikan dan itu harus ditukar dengan uang (dibeli) di kedai”.[12] 
ada lagi sebuah kata yang tidak pernah lagi muncul dalam percakapan sehari-hari orang Mandailing, yaitu mandersa. Padahal, kata mandersa yang artinya “mesjid”, adalah tempat peribadatan bagi pemeluk agama Islam, yang sudah sejak lama mereka anut dan tergolong pemeluk yang taat. Sekarang mereka menamakan tempat peribadatan (sholat) itu dengan perkataan musojid, yang sudah pasti berasal dari kata “mesjid”. Sementara nama tempat peribadatan yang ukurannya lebih kecil dan sederhana yaitu suro, yang artinya “surau”, masih tetap bertahan sampai sekarang. Umumnya suro ini didirikan di tepi sungai, seperti di sepanjang Batang Gadis yang mengalir dari arah selatan ke utara melewati banyak perkampungan di Mandailing.[13] 
Dari sisi lain, bahwa adanya kecenderungan yang terjadi pada orang Mandailing sekarang, terutama mereka yang merantau dan kemudian menetap di kota-kota besar di Indonesia, meskipun ada sebagian dari mereka yang tampaknya tidak begitu respek terhadap eksistensi dan manfaat dari Bahasa Ibu ini dengan tidak lagi mengajari keturunannya menggunakan Bahasa Mandailing, namun tidak sedikit pula di antara sesama mereka yang masih tetap menggunakan Bahasa Ibu dalam berkomunikasi, seperti pada kegiatan ”pengajian rutin” (disebut parwiritan) yang diselenggarakan oleh perkumpulan para pemilik toko kelontong (parwarung) di Jakarta, sebanyak 3 atau 4 kali dalam setahun. Komunitas parwarung yang masih menggunakan Bahasa Ibu ini pun umumnya tidak memiliki kesadaran yang tinggi dan kemauan yang kuat agar keturunannya mampu menggunakan Bahasa Mandailing dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terjadi mungkin karena waktu dan perhatian mereka lebih banyak tersita untuk kegiatan bisnis, sebagaiparwarung, agar mereka tetap dapat hidup layak (survive) di kota-kota besar itu. Sementara di tanah leluhur (Mandailing) pun mungkin hanya segelintir orang saja yang benar-benar perduli akan seperti apa dan bagaimana kelak Bahasa Ibu mereka itu. Penyebabnya mungkin relatif sama dengan apa yang dialami oleh sebagian besar para perantau Mandailing yang bermukim di perkotaan, yaitu himpitan ekonomi. Mereka yang hidup di kampung halaman ini, yang sebagian besar adalah kaum petani yang masih bercocok tanam padi di sawah dan mengolah kebun di hutan secara tradisional dengan areal lahan yang terbatas pula, sehingga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan membiayai sekolah anak-anak mereka sudah cukup pusing memikirkannya.[14] 
Ada pengamat yang berpendapat bahwa anak didik yang menguasai Bahasa Ibu dengan baik, akan memiliki fondasi yang kuat untuk belajar bahasa asing, sehingga si anak didik nantinya mampu menguasainya dengan mudah. Di samping itu, si anak didik akan terhindar dari resiko mengalami kesulitan belajar atau masalah-masalah lainnya akibat ketidaksiapan belajar bahasa asing. Jika kita ingin mengajarkan bahasa asing sejak dini kepada anak didik, maka orangtua perlu merencanakan dan mempersiapkan diri sendiri pula. Artinya, orangtuanya juga harus menguasai bahasa asing tersebut dengan baik, sehingga bisa menyediakan lingkungan yang konsisten antara di rumah dan di sekolah. Kalau itu tidak dilakukan maka perkembangan kecerdasan linguistik (kecerdasan berbahasa) si anak didik justru dapat terhambat dan akan mempengaruhi aspek-aspek kehidupan lainnya. Cara yang baik untuk mengajar anak-anak berbahasa asing adalah dengan membiasakan berkomunikasi sehari-hari dengan mereka dalam dua bahasa (bilingual). Selain mudah, anak-anak juga tidak merasa terpaksa karena tidak harus les atau belajar secara formal. Cukup dengan membiasakan anak mendengar atau diajak bicara dengan bahasa asing tersebut, maka dengan mudah anak didik (siswa-siswi) dapat menguasai bahasa asing tersebut.[15]
Tri Budhi Sastri yang dalam makalahnya antara lain menuliskan bahwa Edith Lam, seorang guru matematika, yang membantu dua peneliti bahasa, Veronica Hsueh dan Tara Goldstein, yang mengamati dan merekam bagaimana Bahasa Ibu dapat membantu siswa menguasai bahasa asing, ternyata memperoleh kesimpulan yang cukup mengejutkan. Terbukti bahwa Bahasa Ibu tidak hanya membantu para siswa berkomunikasi antar sesama mereka tetapi juga membantu penguasaan bahasa asing lebih cepat.[16]

PENUTUP
Banyak ahli kebudayaan sependapat bahwa semua perilaku manusia dimulai dengan penggunaan lambing-lambang. Bahasa, kesenian, dan bahkan  sistem kepercayaan (agama) manusia pun melibatkan pemakaian lambang. Aspek simbolis yang terpenting dari kebudayaan adalah bahasa, sebagai pengganti objek dengan kata-kata (bahasa simbolis). Bahasa simbolis adalah fundamen tempat kebudayaan manusia terkonsep, dibangun dan dikembangkan. Dengan demikian pranata-pranata kebudayaan, seperti struktur politik, agama, kesenian, organisasi sosial dan ekonomi tidak mungkin ada tanpa lambang-lambang. Manusia menyampaikan gagasan, emosi, dan keinginan-keinginanya dengan menggunakan sistem lambang sehingga manusia dapat meneruskan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan kata lain, kebudayaan tersebut dipelajari dan diwariskan melalui sarana bahasa, bukan diwariskan secara biologis.
Bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak awal hidupnya melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya (bahasa ibu atau native language), diperoleh secara intuitif. Dalam memperoleh kebudayaan (etnik) setempat oleh seorang anak manusia yang menjadi anggota masyarakat di tempat itu berlangsung pula secara intuitif dan simultan tatkala mereka mempelajari bahasa ibunya melalui ungkapan-ungkapan yang sudah mapan, sistem gramatika dan leksikon yang tersedia dalam bahasa ibu tersebut. Dengan demikian, seorang anak manusia yang menjadi anggota masyarakat telah dibentuk cara pandang, dan nilai-nilai budaya setempat dimana ia dibesarkan.
Dalam konteks dunia pendidikan dasar, peran bahasa ibu ini jua sangat penting. Dengan tingkat usia yang masih subur dalam pemerolehan bahasa (termasuk bahasa ibu), maka sebaiknya penggunaan bahasa pengantar dalam pendidikan dasar ini seyogiyanya menggunakan bahasa ibu. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Freeman dan Freeman (1992), bahwa peserta didik yang belajar di sekolah-sekolah dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa kedua (bahasa Inggris) sering mengalami kesulitan dalam belajar mata pelajaran lain, seperti matematika, IPA, IPS dan sejenisnya. Namun sebaliknya, siswa yang belajar di sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar, cenderung tidak mengalami kesulitan dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar yang menggunakan bahasa pengantar bahasa kedua. Di samping itu, pemberian pelajaran dengan menggunakan bahasa ibu pada tingkat permulaan dapat menjadi sarana bagi pembentukan sikap percaya diri pada peserta didik. Dalam hal ini, mereka merasa dihargai, karena bahasa yang mereka gunakan yang sekaligus menjadi sarana sosialisasi budaya yang membentuk diri mereka digunakan sebagai sarana dalam penyampaian pengetahuan di sekolah tempat mereka menuntut ilmu. Dalam pada itu, secara psikologis mereka merasa aman berada di sekolah dan akan selalu siap untuk menerima pelajaran. 
Alasan lain pentinya penggunaan bahasa ibu ini sebagai bahasa pengantar pada tingkat permulaan di sekolah dasar adalah terkait dengan pembinaan dan pengembangan bahasa itu sendiri. Muadz Chalik (1998) menyebutkan bahwa dengan digunakannya bahasa ibu sebagai bahasa pengantar maka dimungkinkan bahasa etnik tersebut terhindar dari kepunahan. Berbagai kosa kata yang berhubungan dengan konsep-konsep dan terminologi dalam bahasa asing akan teradopsi ke dalam bahasa etnik dan sekaligus akan memperkaya kosa kata dalam bahasa etnik itu sendiri. Dan eksistensi bahasa-bahasa Ibu yang ada di seluruh penjuru tanah air secara yuridis-formal dijamin oleh konstitusi negara kita yaitu Undang-Undang Dasar 1945.

Medan, Mei 2013

~o0o~

DAFTAR PUSTAKA
Darwin Nasution, “Bahasa Mandailing Menunjukkan Suku-Bangsa Mandailing”, Mandailing-Sumatera-Indonesia page, see: http://www.facebook.com/ notes/ mandailing-sumatera-indonesia/bahasa-mandailing-menunjukkan-suku-bangsa-mandailing/278928428894166 [7 Mei 2013]
Edi Nasution, “Bahasa Ibu Kita Dulu, Kini, dan Esok”, http://gondang.blogspot. com/ 2010/07/bahasa-ibu-kita.html {2 April 2013].
Kushartanti, Untung Yuwono dan Multamia RMT Lauder (ed), Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Lingusitik, Jakarta: Gramedia, 2001.
Sumut Pos, "Mau Anak Bilingual, Kuasai Dulu Bahasa Ibu", Sumut Pos, 24 Oktober 2009.
Tri Budhi Sastrio, “Bahasa Ibu – Bagaimana Nasibmu Kini? Antara Perubahan, Kepunahan dan Kebertahanan”, http://fs.unitomo.ac.id/wp-content/uploads/2009/02/bahasa-ibu-bagaimana-nasibmu-kini-makalah-univ-udayana.doc. [4 April 2013].
Z. Pangaduan Lubis, ”Bahasa Mandailing”,  http://www.mandailing.org/ind/rencana 20.html, [2 April 2013].

Footnote


[1] Darwin Nasution, “Bahasa Mandailing Menunjukkan Suku-Bangsa Mandailing”, Mandailing-Sumatera-Indonesia page, see: http://www.facebook.com/notes/mandailing-sumatera-indonesia/bahasa-mandailing-menunjukkan-suku-bangsa-mandailing/278928428894166 [7 Mei 2013]
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Z. Pangaduan Lubis, ”Bahasa Mandailing”, http://www.mandailing.org/ind/rencana20.html, [2 April 2013]
[5] Mantan inspektur jenderal pendidikan pemerintah kolonial Belanda Ch. A. van Ophuijsen menamakan Hata Bulung Bulung sebagai Bladerentaal. Selain meneliti Bahasa Melayu, beliau juga pernah meneliti Bahasa Mandailing, termasuk Hata Bulung Bulung. Ibid. Ch. A. van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim menyusun ejaan baru pada tahun 1896. Pedoman tata bahasa yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Van Ophuijsen itu resmi diakui pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1901. Lihat Kushartanti, Untung Yuwono dan Multamia RMT Lauder (ed), Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Lingusitik, Jakarta: Gramedia, 2001.
[6] Z. Pangaduan Lubis, ”Bahasa Mandailing”, http://www.mandailing.org/ind/rencana20.html, [2 April 2013].
[7] Ibid.
[8] Oleh sebab itulah hingga sekarang tidak ditemukan catatan sejarah Mandailing yang dituliskan dengan Surat Tulak Tulak di dalam Pustaha. Hal-hal yang berkaitan dengan masa lalu Mandailing hanya terekam sebagai "sejarah lisan" berupa kisah-kisah Mandailing pada masa lalu yang kadang-kadang dituturkan oleh orang-orang yang masih mengingatnya dan sama sekali tidak pernah dituliskan dengan Surat Tulak Tulak. Z. Pangaduan Lubis, Ibid.
[9] Edi Nasution, “Bahasa Ibu Kita Dulu, Kini, dan Esok”, http://gondang.blogspot.com/2010/07/bahasa-ibu-kita.html {2 April 2013].
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Lihat "Mau Anak Bilingual, Kuasai Dulu Bahasa Ibu", Sumut Pos, 24 Oktober 2009.
[16] Lihat “Bahasa Ibu – Bagaimana Nasibmu Kini? Antara Perubahan, Kepunahan dan Kebertahanan”, http://fs.unitomo.ac.id/wp-content/uploads/2009/02/bahasa-ibu-bagaimana-nasibmu-kini-makalah-univ-udayana.doc. [4 April 2013].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar