Padahal, menurut Daniel Perret, penulis buku ini, Batak yang kita cerna dengan pandangan sebelah mata saat ini sejatinya adalah “Batak” sebagai ciri kultural yang ditemukan (invented), didefinisikan, dibentuk, dan dirawat oleh kaum kolonial. Sejak 1990-1993, di bawah bimbingan Indonesianis Denys Lombard, Perret terjun langsung ke kawasan Sumatra Timur Laut -kini Sumatra Utara- untuk membuktikan kebenaran tesisnya itu. Maka jangan heran jika semua kata “Batak” di buku ini tertulis dalam tanda kutip.
Identitas Kabur
Selain mengendus bau keringat kolonialisme di tubuh “Batak”, Perret juga menemukan fakta bahwa pada awalnya “Batak” dan “Melayu” itu tak terpisah. Sebagai kesatuan sosial, mereka terdiri dari beragam asal dan terbuka pada segala pusparupa budaya (kosmopolitan). Meskipun mereka terkelompokkan dalam topografi hulu-hilir/darat-pantai/pedalaman-pesisir, tapi makna hulu/darat/pedalaman tak mengacu pada tabiat kebiadaban atau keterbelakangan budaya. Faktanya, merekalah penonggak sistem perdagangan daerah, antar daerah, dan internasional sejak era prakolonial (hal. 78).
Melalui analisis ruang dan jejaring sosial-politik-ekonomi-kultural-religi di Sumatra Timur Laut era prakolonial (hal. 81-257), Perret samasekali tak menjumpai musabab penakdir identitas “Batak”. Istilah “Batak” sendiri sangat garib. Ia tak tertera dalam berbagai literatur tradisional pedalaman. Baik pustaha Toba maupun Simalungun, Syair Putri Hijau (1924), Pustaka Kembaren (1927), dan Pustaka Ginting (1930). Dalam Hikayat Deli, “Batak” hanya sekali digunakan tanpa didahului oleh kata “orang”. Sedangkan di stempel Sisingamangaraja, hanya ada kalimat “Ahu Raja Toba”, bukan “Ahu Raja Batak”. Dengan demikian, “Batak” adalah identitas kabur (evasive identity). Sebab orang Batak sendiri tak pernah menyebut diri mereka “Batak”.
“Batak” dan -otomatis- “Melayu” muncul sebagai buah silaturahmi ekonomi-politik-budaya-agama (Islam) antara pesisir Sumatra dengan semenanjung Melayu sejak abad ke-16. “Melayu” dibarut oleh para pedagang Malaka yang mengubah nama Deli menjadi Tanah Melayu untuk membahasakan narasi besar kebudayaan saat itu. Sementara “Batak” dieja oleh “ruang-ruang Melayu” secara sembarangan sebagai narasi pelengkap untuk memindai orang yang bukan Melayu, tak berpengetahuan, berperilaku kasar, dan kanibal (hal. 170-171).
Meski dipojokkan sebegitunya, tak sekutilpun ada gandalan dalam resiprokalitas antara pedalaman dan pesisir karena kesesatan pelabelan ini. Ketika krisis ekonomi menjangkit, kekacauan politik di kesultanan Aceh meriuh, dan permintaan lada pasar dunia meningkat di pangkal abad ke-19, elit-elit pesisir (para sultan) malah mengembangkan ruang budi-daya pertanian lada, kopi, gambir, dan kapas di pedalaman. Tentu raut intimitas pesisir dan pedalaman semakin sumringah karenanya. Bahkan para sultan pesisir pun mengambil istri dari kalangan warga pedalaman demi kelancaran pengolahan lahan mereka (hal. 121).
Etnitisasi
Jika “Batak” di era prakolonial cuma sekedar label, maka “Batak” sebagai identitas mulai terbentuk seturut ekspansi kolonial pekebun-pekebun Barat ke kawasan Sumatra Timur Laut pada tahun 1863. Bagi para kapitalis-kolonialis itu, orang pedalaman adalah hijab untuk memperoleh konsesi lahan perkebunan dari sultan-sultan pesisir. Maka mereka sengaja menunaikan misi etnitisasi untuk memutilasi buhul kemesraan pesisir-pedalaman sekaligus menyekat ruang sosial keduanya. Sejak itu, mereka mulai menyiagakan kontrolir yang bertugas untuk menata urusan masyarakat di setiap blok pedalaman.
Bersama aparatus kolonial lainnya seperti pejabat perkebunan, residen, asisten residen, hingga misionaris, para kontrolir tak hanya menyuntikkan perasaan kekomunitasan dan kesadaran “Batak” di tubuh sosial warga pedalaman, tapi juga menguatkan ruang sosio-geografis, menggali bahasa dan nilai-nilai adat-budaya, serta mendakwahkan agama (Kristen). Perlahan-lahan “Batak” pun ditemukan. Pada tahun 1910, dalam laporan akhir tugasnya, seorang kontrolir bernama Kok telah menginventarisasi daftar ciri-ciri budaya dan psikologi orang “Batak” untuk diwariskan kepada kontrolir penerusnya (hal. 298).
Satu lagi, jangan lupakan peran akbar ilmuwan kolonial dalam penemuan “Batak” ini. Terutama sejak berdirinya Bataksch Instituut di Leiden pada tahun 1908 dengan cabangnya di Medan, Bataksch Vereeniging (hal. 299-300), yang memusatkan kegiatannya untuk memfolder jibunan data tentang Bataklanden di semua bidang. Lembaga ini pun sempat menerbitkan sejumlah hasil penelitian ihwal “bangsa Batak” yang hingga kini masih diacu untuk mendefinisikan “Batak”. Mahabenar Edward W. Said dengan firman orientalismenya: bahwa Barat menyaring dan mengerangkeng Timur dalam teori maupun praktek yang sengaja diciptakannya hingga menjadi sebuah sistem ilmu (Orientalism: 1977: 14).
Eksplosif
Buntut etnitisasi ini amat eksplosif. Misalnya Perang Sunggal (1872-1895), perang saudara antara pesisir dan pedalaman yang disebut Belanda sebagai Batak Oorlog. Tak hanya itu, di bagian Selatan Tapanuli muncul sekelompok “bangsa Mandailing” (hal. 315-330). Mereka enggan disebut “Batak”. Sebab sejak lama mereka merasa telah beradab (civilized) dan beragama Islam seperti orang-orang Melayu.
Sayangnya, buku yang semula merupakan disertasi doktoral Perret di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Paris, ini alpa mencacah forma buntut termutakhir etnitisasi. Sehingga bobot kekiniannya agak berkurang. Ia akan lebih berbunyi jika saja Perret berkenan membicarakan tuntutan pembentukan Provinsi Tapanuli (Protap) yang menyeruak belakangan ini di Sumatera Utara. Setakat dengan itu, rasanya perang terselebung antara “Batak”, “Melayu”, dan “Mandailing” dalam “politik rekrutmen” punggawa birokrasi di Sumatera Utara pun perlu dibahas di sini.
Tapi kegigihan Perret untuk meruntuhkan “Batak” dan menggodam sakralitas konsep etnis justru membuka kemungkinan riset ilmiah yang lebih menantang. Apakah pembaca tergerak untuk menyoal satuan etnisitas di wilayah lain Nusantara yang memiliki struktur geo-etnis seperti Sumatra Timur Laut? Jika iya, maka keterpisahan etnis Jawa-Sunda di Jawa dan Melayu-Dayak di Kalimantan hanya tinggal menunggu jadwal pemakaman.
Dengan begitu, akan jelas bahwa “Batak” dan semua wajah etnisitas itu bukanlah takdir. Tapi cuma label budaya saja. Maknanya akan terus berubah di setiap era.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar