TERJADINYA proses evolusi sehubungan dengan seleksi alam yang menimpa makhluk hidup, kini mungkin terjadi pula pada bahasa manusia. Terlepas dari kontroversi teori evolusi yang dirumuskan oleh Charles Darwin (1809-1882) itu, lalu muncul kekhawatiran karena cukup fakta yang menunjukkan bahwa sejumlah Bahasa Ibu di dunia terancam punah. Kekhawatiran akan punahnya sejumlah Bahasa Ibu sudah timbul semenjak mulai berkurang bahkan hilangnya penutur Bahasa Ibu (Muhammad Kadapi, 2009). Sehubungan dengan itu, Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya (UNESCO) telah menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Pencanangan ini diwujudkan dalam bentuk ”Monumen Martir” (Shaheed Minar) di Kampus Universitas Dhaka sebagai bentuk apresiasi terhadap pengorbanan Bahasa Bangladesh pada tanggal 21 Februari 1952 (Ahmed Rafique, 2006). [1]
Sebagaimana tertulis dalam publikasi Summer Institute of Linguistic (SIL), ada 6.912 bahasa di 5 region (Asia, Pasifik, Aprika, Eropa dan Amerika).[2] Menurut ahli sosiolinguistik Gufran Ali Ibrahim (2008), bahwa kurang lebih dari jumlah itu, 330 bahasa memiliki penutur 1 juta orang atau lebih. Jumlah penutur yang besar ini berbanding terbalik dengan kira-kira 450 bahasa di dunia yang memiliki jumlah penutur sangat sedikit, yang telah berusia tua dan cenderung bergerak menuju kepunahan. Secara garis besar ada dua faktor yang dianggap sebagai penyebab utama kepunahan Bahasa Ibu. Pertama, para orang tua tidak lagi mengajarkan Bahasa Ibu kepada anak-anak mereka dan tidak lagi menggunakannya di rumah. Kedua, hal ini merupakan pilihan sebagian masyarakat untuk tidak menggunakan Bahasa Ibu dalam ranah komunikasi sehari-hari.
Gufran menambahkan bahwa kecenderungan punahnya bahasa terjadi di negara-negara berkembang dan miskin. Beberapa negara di antaranya memiliki populasi etnik yang tidak lebih dari 5.000 orang, meskipun beberapa di antaranya memiliki jumlah populasi etnik yang cukup besar, seperti Bahasa Lenca (36.858 orang) dan Bahasa Pipil (196.576 orang) di El Salvador. Namun demikian, penutur aktif kedua bahasa ini hanya sekitar 20 orang. Jadi, bahasa-bahasa ini sesungguhnya telah terancam punah di antara populasi totalnya yang relatif banyak. Sebagian besar dari bahasa-bahasa yang terancam punah itu merupakan bahasa etnik minoritas terisolasi atau minoritas yang berada dalam wilayah yang memiliki aneka ragam bahasa dan budaya. Sedangkan di Indonesia, Bahasa Ibu (penuturnya menyebut nama bahasa ini yaitu “Ibo” atau “Tuan Tanah”) di Maluku Utara, yang dalam catatan Voorhoeve dan Visser pada tahun 1987 berjumlah 35 penutur, tahun 2008 tinggal 5 penutur dan berusia di atas 50 tahun, berada di satu wilayah masyarakat multi-bahasa yang perbatasan kebahasaannya hanya antar desa (kampung) yang berjarak tidak lebih dari 5 kilometer. Padahal, pada 1951 berdasarkan pemetaan Esser, bahasa-bahasa di Indonesia diidentifikasi berjumlah 200 bahasa. Dari ratusan Bahasa Ibu di Indonesia, diketahui beberapa bahasa yang sudah mendekati kepunahan berdasarkan jumlah penutur yang tersisa, antara lain Bahasa Amahai (50 orang), Hoti (10), Hukumina (1), Ibu (35), Kamarian (10), Kayeli (3), Nusa Laut (10), Piru (10), Bonerif (4), Kanum Bädi (10), Mapia (1), Massep (25), Mor (20-30), Tandia (2), Lom (2), Budong-budong (70), Dampal (90), dan Lengilu (10).[3] Indikasi kepunahan sejumlah Bahasa Ibu itu dikhawatirkan akan berdampak pada kepunahan budaya yang mereka miliki, dan pada akhirnya dapat mengancam Kebudayaan Nasional.
Berbeda dengan keadaan Bahasa Ibu di Indonesia yang umumnya menghadapi ancaman kepunahan, justru sebaliknya beberapa bahasa asing malah mencapai popularitasnya. Di kawasan industri seperti Karawang, Bahasa Jepang muncul sebagai bahasa favorit baru di kalangan siswa sekolah menengah kejuruan. Dengan sasaran pasca-kelulusan siswa mereka bisa langsung bekerja di salah satu perusahaan di kawasan industri tersebut, sehingga sekolah menengah kejuruan di Karawang mencantumkan pelajaran Bahasa Jepang sebagai muatan lokal. Bahasa asing lain yang popularitasnya tidak perlu diragukan adalah Bahasa Inggris. Bahasa yang didaulat sebagai bahasa komunikasi internasional ini sedikitnya mulai menggeser peran atau posisi Bahasa Indonesia. Hal ini terbukti dengan penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar perkuliahan di beberapa jurusan di perguruan tinggi Indonesia. Oleh sebab itu, tampaknya teori evolusi sedang menimpa dunia kebahasaan : "siapa yang lebih kuat, dialah yang akan bertahan". Bahasa Ibu kita, mau tidak mau, kini harus tergerus oleh Bahasa Indonesia, dan bahasa persatuan kita ini pun tampaknya sudah mulai kalah bersaing dengan bahasa asing atau bahasa internasional.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (2007) mengatakan bahwa semakin hari Bahasa Ibu makin mengalami penurunan, baik jumlah maupun dalam penggunaanya. Penurunan penggunaan Bahasa Ibu ini karena terjadinya perkawinan antar suku yang berbeda. Dengan demikian keturunan atau anak-anak mereka kesulitan mempelajari salah satu Bahasa Ibu dari orang tuanya. Penyebab lain tidak lestarinya Bahasa Ibu ini juga karena kurikulum pendidikan di sekolah kurang mendukung.[4]
Lebih jauh Edi Sedyawati (1996) mengemukakan bahwa semua Bahasa Ibu kita merupakan kekayaan budaya bangsa yang perlu dilestarikan. Dengan menguasai dan menggunakan Bahasa Ibu, kita bisa lebih mudah berkomunikasi dengan nilai, tradisi, etika, rasa, dan batin orangtua dan nenek moyang yang dihasilkan dari pergulatan mereka dalam menghadapi berbagai macam persoalan hidup. Kita bisa belajar tentang prinsip-prinsip dan pedoman-pedoman hidup yang telah dipilih, dihayati, dan ditanamkan oleh para pendahulu kita. Tentu saja kita tidak menelan semuanya, tetapi menyeleksi yang masih bisa digunakan untuk menghadapi tuntutan dan tantangan zaman masa kini. Kemerosotan Bahasa Ibu disebabkan oleh kenyataan bahwa Bahasa Ibu bukan merupakan ”bahasa resmi” yang dipakai dalam kehidupan publik. Di sekolah, misalnya, digunakan Bahasa Nasional, yaitu Bahasa Indonesia. Akibatnya, Bahasa Ibu kurang terekspose dan menjadi bahasa tidak resmi dan informal hanya antarpenutur sedaerah. Bahasa Ibu tidak lagi menjadi syarat utama untuk keberhasilan seseorang dalam kehidupan publik. Selain itu, kita kini berada di era globalisasi, yang pada dasarnya digerakkan oleh kekuatan kapital yang mencari lahan untuk investasi dan ekspansi pasar. Proses ini menuntut pranata-pranata masyarakat untuk berfungsi memfasilitasi proses globalisasi. Pranata yang cocok dan memfasilitasi ekspansi kekuatan kapital itu akan bertahan dan berkembang. Sementara pranata yang tidak cocok dengan dan menghambat proses ekspansi kekuatan kapital itu akan tergusur. Karena tidak menjadi bahasa resmi, sementara ini Bahasa Ibu tampaknya dianggap tidak begitu memfasilitasi proses globalisasi itu. Karenanya, perbaikan kemasan pelajaran Bahasa Ibu di sekolah-sekolah belum tentu merupakan jawaban jitu bagi perkembangan Bahasa Ibu itu sendiri. Kalau penguasaan Bahasa Ibu itu merupakan syarat untuk sukses dalam hidup di tengah globalisasi kapital saat ini, tentu tidak disuruh pun para generasi muda akan mempelajari dan menggunakannya.[5]
Boleh dikatakan bahwa peliknya persoalan Bahasa Ibu di Nusantara bermula dari kolonialisme, exploitation de l’homme par l’homme, penjajahan dan penghisapan, serta penindasan negeri berikut manusianya demi sang penjajah belaka. Drama penguasaan yang menimbulkan malapetaka kesengsaraan itu demikian berurat-berakar di dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat pribumi, yang secara general ditotal selama 350 tahun. Pengendalian oleh penguasa (penjajah) diterapkan secara politik, ekonomi, kultural hingga linguistis. Sang penjajah yang mengidap suatu patologi purisme-linguistik ini bahkan tidak mau bahasanya (Bahasa Belanda) dipercakapkan – dan dengan begitu ”dicemari” – oleh penduduk jajahannya.[6]
Dengan berakhirnya masa penjajahan pemerintah kolonial Belanda, lalu kaum (elit) pribumi dilanda ”nasionalisme”, yaitu hasrat yang begitu menggebu-gebu untuk mendirikan satu negara-bangsa modern yang bersatu, berdaulat dan merdeka, dimana hasrat yang demikian itu datang sebagai ”nemesis”, yang dilahirkan kolonialisme Eropa melalui pergaulan sejumlah kecil elit yang beruntung sempat memperoleh privilese untuk mengenyam sekolah gaya Eropa yang modern. Sekolah Eropa dan bahasa Belanda telah menjadi ”weg tot het Western” (jalan ke Barat) yang menyodorkan arah kemana masa depan mesti dituju secara amat meyakinkan. Hasrat itu menggumpal, lalu terproyeksi begitu kuat hingga ”persatuan menjadi obsesi...sedemikian rupa sehingga semua yang lain, perempuan, bahasa, dan agama, adalah instrumental terhadap adanya kesatuan atau tepatnya cita-cita akan adanya kesatuan” suatu negara-bangsa baru di Nusantara.[7]
Tampaknya, semata-mata demi memenuhi hasrat negara-bangsa yang modern, bersatu, dan berdaulat itulah suatu bahasa baru diciptakan. Sebelumnya, Bahasa Melayu yang telah berabad-abad sukses memerankan diri sebagai lingua franca, bahasa perhubungan dan perdagangan penduduk di kepulauan Nusantara dalam peradaban maritim, telah dipilih menjadi sarana baru untuk suatu jenis perikehidupan yang baru kelak: Indonesia Merdeka. Memang, Bahasa Indonesia dilahirkan melalui perdebatan panjang yang cukup sengit dalam Kongres Pemuda Pertama (1926) dan Kedua (1928), tetapi ironisnya perdebatan demi perdebatan itu dilakukan seluruhnya dalam Bahasa Belanda. Harapan yang begitu tinggi ditimpakan pada bahasa baru tersebut untuk mewahanai perkihidupan yang baru kelak, di era pasca-kolonial, dan dengan demikian segala warisan kolonial yang pahit, pilu, dan muram itu ingin dibuang jauh-jauh untuk diganti dengan segala-gala yang baru dan serba menjanjikan kegemilangan. Namun segala yang diharapkan serba-baru tidaklah datang serta-merta. Di manapun hikayat negara-bangsa pasca-kolonial ”dalam struktur, konsep kebijaksanaan, dan ideologi merupakan fotokopi dari negara-negara kolonial, hanya saja para penguasanya berganti warna kulit”. Negara jenis ini begitu mendamba kesatuan organik, ketunggalan, dan keseragaman, atau sekurang-kurangnya situasi yang controllable – dalam semua lapangan kehidupan warganya. Segala yang tidak sejenis, keragaman yang dianggap terlalu merepotkan harus ditertibkan dan ditundukkan di bawah kesatuan-isme itu, termasuk dalam bidang kebahasaan dengan pengaturan Bahasa Indonesia di dalam konstitusi kita. Dengan itu pula, situasi kemajemukan bahasa di Nusantara disikapi sebagai ”kekayaan budaya bangsa yang adihukung”[8], adalah warisan leluhur yang sekarang kita pandang ”kolot”, ”kampungan” dan tidak lagi berfaedah karena sudah ketinggalam zaman.
Untuk efisiensi dan efektivitas komunikasi kita sekarang hanya membutuhkan satu Bahasa Nasional yang kompatibel. Dengan terpilihnya Bahasa Melayu sebagai Bahasa Nasional, maka untuk itu diperlukan pembinaan dan pengembangannya agar mampu menjadi wahana penghubung yang memadai. Dalam konteks inilah kita dapat memahami raison d’etre Pusat Bahasa yang dibentuk pemerintahan masa lalu, yang merupakan kelanjutan dari Comissie voor de Volkslectuur yang dibentuk Belanda pada tahun 1908. Di Pusat Bahasa itulah para linguis bekerja keras untuk membina dan mengembangkan Bahasa Indonesia menjadi sebuah bahasa untuk mendukung program-program Pembangunan Nasional. Dalam perkembangan selanjutnya Bahasa Indonesia menjadi steril, ilmiah, canggih, modern, baku, namun sekaligus dijauhkan dari rakyat penuturnya sebagai produsen aslinya. Dengan demikian, jika kecenderungan globalisasi di bidang ekonomi adalah liberalisasi, politik adalah demokrasi, dan budaya adalah universalisasi, maka dengan diterimanya Bahasa Inggris sebagai sarana perhubungan internasional secara merata di seluruh dunia sesungguhnya telah terjadi universalisasi bahasa. Dengan perkataan lain, kesemua kenyataan itu sedang menempatkan Barat sebagai lokomotif sekaligus model utama dalam proses pembentukan peradaban dunia, yang semestinya jadi rujukan. Cuma bahasa-bahasa mayor (Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia) berikut kesusastraannya dan budaya kesarjanaan Barat adalah internasional (global), yang modern dan hanya itu yang patut dijadikan kiblat. Itulah drama globalisasi yang semakin ganas mendesak berbagai macam Bahasa Ibu kita, sekaligus dengan unsur-unsur kebudayaan lainnya, ke pinggir tebing sehingga kalau sedikit saja disentuh, bakal terjatuh ke dalam jurang muram tempat masa lalu kita (tradisi) ditimbun.[9]
Dengan adanya tendensi yang demikian itu, apakah Bahasa Ibu kita masih dapat terus eksis di masa mendatang?
Orang (alak) Mandailing sebagai salah satu kelompok etnik di Indonesia, yang mendiami pedalaman pesisir pantai barat di Pulau Sumatra, juga memiliki Bahasa Ibu yaitu Hata Mandailing (Bahasa Mandailing). Menurut Z Pangaduan Lubis[10], secara tradisional Bahasa Mandailing terdiri dari lima ragam: (1) Hata Somal, ialah ragam bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari; (2) Hata Andung, yaitu semacam ragam Bahasa Sastra, yang pada masa dahulu khusus digunakan pada waktu meratapi jenasah dalam upacara kematian (disebut: mambulungi) dan seorang gadis yang meratap di hadapan orang tuanya pada saat akan berangkat meninggalkan mereka untuk selanjutnya dibawa ke rumah keluarga calon suaminya; (3) Hata Teas Dohot Jampolak, adalah ragam bahasa caci-maki yang khusus digunakan ketika terjadi hal-hal yang tidak baik (pertengkaran atau perkelahian); (4) Hata Sibaso, ialah ragam bahasa yang khusus digunakan oleh tokoh Sibaso (medium perantara alam nyata dan alam gaib) ketika berada dalam keadaan trance (kesurupan) dan juga digunakan oleh Datu (penyembuh tradisional) pada waktu melakukan pengobatan; dan (5) Hata Parkapur, yaitu ragam Bahasa Sirkumlokusi yang dahulu digunakan oleh orang-orang Mandailing pencari kapur barus ketika berada di dalam hutan.
Pangaduan Lubis menambahkan, bahwa di samping kelima macam ragam Bahasa Mandailing tersebut, pada masa lalu orang Mandailing juga memiliki satu lagi ragam bahasa lain yang dinamakan Hata Bulung Bulung (Bahasa Daun-daunan).[11] Berbeda dari bahasa yang biasa, yang digunakan sebagai kata-kata dalam Hata Bulung Bulung ialah daun tumbuh-tumbuhan yang dalam Bahasa Mandailing disebut bulung-bulung. Dedaunan yang digunakan ialah daun-daunan yang namanya punya persamaan bunyi dengan kata-kata yang terdapat dalam Bahasa Mandailing. Misalnya ialah daun tumbuh-tumbuhan yang bernama hadungdung digunakan untuk menyampaikan perkatan dung (setelah); daun tumbuh-tumbuhan yang bernama sitata digunakan untuk menyampaikan perkataan hita (kita); daun tumbuh-tumbuhan yang bernama sitarak digunakan untuk menyampaikan kata marsarak (berpisah); daun tumbuh-tumbuhan yang bernama sitanggis (setanggi) digunakan untuk menyampaikan perkataan tangis (menangis); dan daun tumbuh-tumbuhan yang bernama pau (pakis) digunakan untuk menyampaikan kata diau (pada saya); daun tumbuh-tumbuhan yang bernama podom-podom digunakan untuk menyampaikan perkataan modom (tidur). Kalau misalnya kesemua daun tersebut dikirimkan oleh seorang pemuda kepada kekasihnya, maka sang kekasih akan mengerti bahwa sang pemuda mengatakan kepadanya: ”dung hita marsarak jolo tangis au anso modom”. Artinya ”setelah kita berpisah, menangis saya dahulu baru bisa tertidur”.
Umumnya pengguna Hata Bulung Bulung ini adalah kaum muda-mudi (disebut Naposo Nauli Bulung), terutama pada waktu mereka berpacaran. Dahulu, kegiatan berpacaran (asmara) antara pemuda dan pemudi dalam masyarakat Mandailing sama sekali tidak boleh dilakukan secara terbuka. Hubungan dan kegiatan berpacaran harus dirahasiakan atau dilakukan secara rahasia.[12] Oleh karena itu, jika dua orang muda yang berpacaran hendak menyampaikan sesuatu di antara mereka, maka mereka menggunakan Hata Bulung Bulung. Dan jika seorang kekasih hendak menyampaikan daun-daunan sebagai “surat cinta” kepada kekasihnya, dia harus melakukannya secara rahasia. Misalnya dengan meletakkan daun-daunan tersebut di satu tempat tertentu yang sudah mereka sepakati dan tidak diketahui orang lain. Secara sembunyi-sembunyi mereka yang berpacaran itu akan mengunjungi tempat rahasia tersebut secara bergiliran, untuk melihat apakah di tempat itu terdapat “surat cinta” yang terdiri dari daun-daunan tertentu.
Pada masa sekarang, Hata Bulung Bulung dan penggunaannya sudah hilang sama sekali dari tradisi budaya masyarakat Mandailing. Demikian pula halnya dengan ragam-ragam bahasa tersebut di atas, kecuali Hata Somal yang masih terus mereka pergunakan dalam percakapan sehari-hari. Kepunahan ragam-ragam bahasa yang begitu kaya itu sangat merugikan warga masyarakat Mandailing sendiri, bahkan merugikan bangsa Indonesia karena ragam-ragam bahasa tersebut merupakan kekayaan budaya etnis (Mandailing), yang kalau sudah punah hampir mustahil untuk menghidupkannya kembali.
Di samping memiliki bahasa sendiri, orang Mandailing juga memiliki aksara etnis sendiri yang dinamakan Surat Tulak Tulak. Di masa yang lalu, aksara tersebut tidak digunakan untuk mencatat atau menulis sejarah, melainkan untuk menuliskan Tarombo (silsilah keluarga). Selain itu juga banyak digunakan untuk mencatat ilmu pengobatan tradisional dan ilmu peramalan dalam kitab tradisional yang disebut Pustaha.[13]
Dari segi fonologis, menurut Jasinaloan[14], Bahasa Mandailing adalah bahasa yang bersistem silabis dan di masa lalu dituliskan dalam aksara tradisional yang disebut Surat Tulak Tulak (aksara Mandailing) yang terdiri atas 21 fonem: a, ha, na, ma, nga, la, pa, ga, ja, ba, ta, ra, sa, da, ka, ca, nya, wa, i, ya, u. Fonem-fonem tersebut dilambangkan dengan 21 Induk Ni Surat (“Huruf Induk”) dan 5 Anak Ni Surat (“Anak Huruf”) sebagai berikut :
Sebagaimana tertulis dalam publikasi Summer Institute of Linguistic (SIL), ada 6.912 bahasa di 5 region (Asia, Pasifik, Aprika, Eropa dan Amerika).[2] Menurut ahli sosiolinguistik Gufran Ali Ibrahim (2008), bahwa kurang lebih dari jumlah itu, 330 bahasa memiliki penutur 1 juta orang atau lebih. Jumlah penutur yang besar ini berbanding terbalik dengan kira-kira 450 bahasa di dunia yang memiliki jumlah penutur sangat sedikit, yang telah berusia tua dan cenderung bergerak menuju kepunahan. Secara garis besar ada dua faktor yang dianggap sebagai penyebab utama kepunahan Bahasa Ibu. Pertama, para orang tua tidak lagi mengajarkan Bahasa Ibu kepada anak-anak mereka dan tidak lagi menggunakannya di rumah. Kedua, hal ini merupakan pilihan sebagian masyarakat untuk tidak menggunakan Bahasa Ibu dalam ranah komunikasi sehari-hari.
Gufran menambahkan bahwa kecenderungan punahnya bahasa terjadi di negara-negara berkembang dan miskin. Beberapa negara di antaranya memiliki populasi etnik yang tidak lebih dari 5.000 orang, meskipun beberapa di antaranya memiliki jumlah populasi etnik yang cukup besar, seperti Bahasa Lenca (36.858 orang) dan Bahasa Pipil (196.576 orang) di El Salvador. Namun demikian, penutur aktif kedua bahasa ini hanya sekitar 20 orang. Jadi, bahasa-bahasa ini sesungguhnya telah terancam punah di antara populasi totalnya yang relatif banyak. Sebagian besar dari bahasa-bahasa yang terancam punah itu merupakan bahasa etnik minoritas terisolasi atau minoritas yang berada dalam wilayah yang memiliki aneka ragam bahasa dan budaya. Sedangkan di Indonesia, Bahasa Ibu (penuturnya menyebut nama bahasa ini yaitu “Ibo” atau “Tuan Tanah”) di Maluku Utara, yang dalam catatan Voorhoeve dan Visser pada tahun 1987 berjumlah 35 penutur, tahun 2008 tinggal 5 penutur dan berusia di atas 50 tahun, berada di satu wilayah masyarakat multi-bahasa yang perbatasan kebahasaannya hanya antar desa (kampung) yang berjarak tidak lebih dari 5 kilometer. Padahal, pada 1951 berdasarkan pemetaan Esser, bahasa-bahasa di Indonesia diidentifikasi berjumlah 200 bahasa. Dari ratusan Bahasa Ibu di Indonesia, diketahui beberapa bahasa yang sudah mendekati kepunahan berdasarkan jumlah penutur yang tersisa, antara lain Bahasa Amahai (50 orang), Hoti (10), Hukumina (1), Ibu (35), Kamarian (10), Kayeli (3), Nusa Laut (10), Piru (10), Bonerif (4), Kanum Bädi (10), Mapia (1), Massep (25), Mor (20-30), Tandia (2), Lom (2), Budong-budong (70), Dampal (90), dan Lengilu (10).[3] Indikasi kepunahan sejumlah Bahasa Ibu itu dikhawatirkan akan berdampak pada kepunahan budaya yang mereka miliki, dan pada akhirnya dapat mengancam Kebudayaan Nasional.
Berbeda dengan keadaan Bahasa Ibu di Indonesia yang umumnya menghadapi ancaman kepunahan, justru sebaliknya beberapa bahasa asing malah mencapai popularitasnya. Di kawasan industri seperti Karawang, Bahasa Jepang muncul sebagai bahasa favorit baru di kalangan siswa sekolah menengah kejuruan. Dengan sasaran pasca-kelulusan siswa mereka bisa langsung bekerja di salah satu perusahaan di kawasan industri tersebut, sehingga sekolah menengah kejuruan di Karawang mencantumkan pelajaran Bahasa Jepang sebagai muatan lokal. Bahasa asing lain yang popularitasnya tidak perlu diragukan adalah Bahasa Inggris. Bahasa yang didaulat sebagai bahasa komunikasi internasional ini sedikitnya mulai menggeser peran atau posisi Bahasa Indonesia. Hal ini terbukti dengan penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar perkuliahan di beberapa jurusan di perguruan tinggi Indonesia. Oleh sebab itu, tampaknya teori evolusi sedang menimpa dunia kebahasaan : "siapa yang lebih kuat, dialah yang akan bertahan". Bahasa Ibu kita, mau tidak mau, kini harus tergerus oleh Bahasa Indonesia, dan bahasa persatuan kita ini pun tampaknya sudah mulai kalah bersaing dengan bahasa asing atau bahasa internasional.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (2007) mengatakan bahwa semakin hari Bahasa Ibu makin mengalami penurunan, baik jumlah maupun dalam penggunaanya. Penurunan penggunaan Bahasa Ibu ini karena terjadinya perkawinan antar suku yang berbeda. Dengan demikian keturunan atau anak-anak mereka kesulitan mempelajari salah satu Bahasa Ibu dari orang tuanya. Penyebab lain tidak lestarinya Bahasa Ibu ini juga karena kurikulum pendidikan di sekolah kurang mendukung.[4]
Lebih jauh Edi Sedyawati (1996) mengemukakan bahwa semua Bahasa Ibu kita merupakan kekayaan budaya bangsa yang perlu dilestarikan. Dengan menguasai dan menggunakan Bahasa Ibu, kita bisa lebih mudah berkomunikasi dengan nilai, tradisi, etika, rasa, dan batin orangtua dan nenek moyang yang dihasilkan dari pergulatan mereka dalam menghadapi berbagai macam persoalan hidup. Kita bisa belajar tentang prinsip-prinsip dan pedoman-pedoman hidup yang telah dipilih, dihayati, dan ditanamkan oleh para pendahulu kita. Tentu saja kita tidak menelan semuanya, tetapi menyeleksi yang masih bisa digunakan untuk menghadapi tuntutan dan tantangan zaman masa kini. Kemerosotan Bahasa Ibu disebabkan oleh kenyataan bahwa Bahasa Ibu bukan merupakan ”bahasa resmi” yang dipakai dalam kehidupan publik. Di sekolah, misalnya, digunakan Bahasa Nasional, yaitu Bahasa Indonesia. Akibatnya, Bahasa Ibu kurang terekspose dan menjadi bahasa tidak resmi dan informal hanya antarpenutur sedaerah. Bahasa Ibu tidak lagi menjadi syarat utama untuk keberhasilan seseorang dalam kehidupan publik. Selain itu, kita kini berada di era globalisasi, yang pada dasarnya digerakkan oleh kekuatan kapital yang mencari lahan untuk investasi dan ekspansi pasar. Proses ini menuntut pranata-pranata masyarakat untuk berfungsi memfasilitasi proses globalisasi. Pranata yang cocok dan memfasilitasi ekspansi kekuatan kapital itu akan bertahan dan berkembang. Sementara pranata yang tidak cocok dengan dan menghambat proses ekspansi kekuatan kapital itu akan tergusur. Karena tidak menjadi bahasa resmi, sementara ini Bahasa Ibu tampaknya dianggap tidak begitu memfasilitasi proses globalisasi itu. Karenanya, perbaikan kemasan pelajaran Bahasa Ibu di sekolah-sekolah belum tentu merupakan jawaban jitu bagi perkembangan Bahasa Ibu itu sendiri. Kalau penguasaan Bahasa Ibu itu merupakan syarat untuk sukses dalam hidup di tengah globalisasi kapital saat ini, tentu tidak disuruh pun para generasi muda akan mempelajari dan menggunakannya.[5]
Boleh dikatakan bahwa peliknya persoalan Bahasa Ibu di Nusantara bermula dari kolonialisme, exploitation de l’homme par l’homme, penjajahan dan penghisapan, serta penindasan negeri berikut manusianya demi sang penjajah belaka. Drama penguasaan yang menimbulkan malapetaka kesengsaraan itu demikian berurat-berakar di dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat pribumi, yang secara general ditotal selama 350 tahun. Pengendalian oleh penguasa (penjajah) diterapkan secara politik, ekonomi, kultural hingga linguistis. Sang penjajah yang mengidap suatu patologi purisme-linguistik ini bahkan tidak mau bahasanya (Bahasa Belanda) dipercakapkan – dan dengan begitu ”dicemari” – oleh penduduk jajahannya.[6]
Dengan berakhirnya masa penjajahan pemerintah kolonial Belanda, lalu kaum (elit) pribumi dilanda ”nasionalisme”, yaitu hasrat yang begitu menggebu-gebu untuk mendirikan satu negara-bangsa modern yang bersatu, berdaulat dan merdeka, dimana hasrat yang demikian itu datang sebagai ”nemesis”, yang dilahirkan kolonialisme Eropa melalui pergaulan sejumlah kecil elit yang beruntung sempat memperoleh privilese untuk mengenyam sekolah gaya Eropa yang modern. Sekolah Eropa dan bahasa Belanda telah menjadi ”weg tot het Western” (jalan ke Barat) yang menyodorkan arah kemana masa depan mesti dituju secara amat meyakinkan. Hasrat itu menggumpal, lalu terproyeksi begitu kuat hingga ”persatuan menjadi obsesi...sedemikian rupa sehingga semua yang lain, perempuan, bahasa, dan agama, adalah instrumental terhadap adanya kesatuan atau tepatnya cita-cita akan adanya kesatuan” suatu negara-bangsa baru di Nusantara.[7]
Tampaknya, semata-mata demi memenuhi hasrat negara-bangsa yang modern, bersatu, dan berdaulat itulah suatu bahasa baru diciptakan. Sebelumnya, Bahasa Melayu yang telah berabad-abad sukses memerankan diri sebagai lingua franca, bahasa perhubungan dan perdagangan penduduk di kepulauan Nusantara dalam peradaban maritim, telah dipilih menjadi sarana baru untuk suatu jenis perikehidupan yang baru kelak: Indonesia Merdeka. Memang, Bahasa Indonesia dilahirkan melalui perdebatan panjang yang cukup sengit dalam Kongres Pemuda Pertama (1926) dan Kedua (1928), tetapi ironisnya perdebatan demi perdebatan itu dilakukan seluruhnya dalam Bahasa Belanda. Harapan yang begitu tinggi ditimpakan pada bahasa baru tersebut untuk mewahanai perkihidupan yang baru kelak, di era pasca-kolonial, dan dengan demikian segala warisan kolonial yang pahit, pilu, dan muram itu ingin dibuang jauh-jauh untuk diganti dengan segala-gala yang baru dan serba menjanjikan kegemilangan. Namun segala yang diharapkan serba-baru tidaklah datang serta-merta. Di manapun hikayat negara-bangsa pasca-kolonial ”dalam struktur, konsep kebijaksanaan, dan ideologi merupakan fotokopi dari negara-negara kolonial, hanya saja para penguasanya berganti warna kulit”. Negara jenis ini begitu mendamba kesatuan organik, ketunggalan, dan keseragaman, atau sekurang-kurangnya situasi yang controllable – dalam semua lapangan kehidupan warganya. Segala yang tidak sejenis, keragaman yang dianggap terlalu merepotkan harus ditertibkan dan ditundukkan di bawah kesatuan-isme itu, termasuk dalam bidang kebahasaan dengan pengaturan Bahasa Indonesia di dalam konstitusi kita. Dengan itu pula, situasi kemajemukan bahasa di Nusantara disikapi sebagai ”kekayaan budaya bangsa yang adihukung”[8], adalah warisan leluhur yang sekarang kita pandang ”kolot”, ”kampungan” dan tidak lagi berfaedah karena sudah ketinggalam zaman.
Untuk efisiensi dan efektivitas komunikasi kita sekarang hanya membutuhkan satu Bahasa Nasional yang kompatibel. Dengan terpilihnya Bahasa Melayu sebagai Bahasa Nasional, maka untuk itu diperlukan pembinaan dan pengembangannya agar mampu menjadi wahana penghubung yang memadai. Dalam konteks inilah kita dapat memahami raison d’etre Pusat Bahasa yang dibentuk pemerintahan masa lalu, yang merupakan kelanjutan dari Comissie voor de Volkslectuur yang dibentuk Belanda pada tahun 1908. Di Pusat Bahasa itulah para linguis bekerja keras untuk membina dan mengembangkan Bahasa Indonesia menjadi sebuah bahasa untuk mendukung program-program Pembangunan Nasional. Dalam perkembangan selanjutnya Bahasa Indonesia menjadi steril, ilmiah, canggih, modern, baku, namun sekaligus dijauhkan dari rakyat penuturnya sebagai produsen aslinya. Dengan demikian, jika kecenderungan globalisasi di bidang ekonomi adalah liberalisasi, politik adalah demokrasi, dan budaya adalah universalisasi, maka dengan diterimanya Bahasa Inggris sebagai sarana perhubungan internasional secara merata di seluruh dunia sesungguhnya telah terjadi universalisasi bahasa. Dengan perkataan lain, kesemua kenyataan itu sedang menempatkan Barat sebagai lokomotif sekaligus model utama dalam proses pembentukan peradaban dunia, yang semestinya jadi rujukan. Cuma bahasa-bahasa mayor (Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia) berikut kesusastraannya dan budaya kesarjanaan Barat adalah internasional (global), yang modern dan hanya itu yang patut dijadikan kiblat. Itulah drama globalisasi yang semakin ganas mendesak berbagai macam Bahasa Ibu kita, sekaligus dengan unsur-unsur kebudayaan lainnya, ke pinggir tebing sehingga kalau sedikit saja disentuh, bakal terjatuh ke dalam jurang muram tempat masa lalu kita (tradisi) ditimbun.[9]
Dengan adanya tendensi yang demikian itu, apakah Bahasa Ibu kita masih dapat terus eksis di masa mendatang?
Orang (alak) Mandailing sebagai salah satu kelompok etnik di Indonesia, yang mendiami pedalaman pesisir pantai barat di Pulau Sumatra, juga memiliki Bahasa Ibu yaitu Hata Mandailing (Bahasa Mandailing). Menurut Z Pangaduan Lubis[10], secara tradisional Bahasa Mandailing terdiri dari lima ragam: (1) Hata Somal, ialah ragam bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari; (2) Hata Andung, yaitu semacam ragam Bahasa Sastra, yang pada masa dahulu khusus digunakan pada waktu meratapi jenasah dalam upacara kematian (disebut: mambulungi) dan seorang gadis yang meratap di hadapan orang tuanya pada saat akan berangkat meninggalkan mereka untuk selanjutnya dibawa ke rumah keluarga calon suaminya; (3) Hata Teas Dohot Jampolak, adalah ragam bahasa caci-maki yang khusus digunakan ketika terjadi hal-hal yang tidak baik (pertengkaran atau perkelahian); (4) Hata Sibaso, ialah ragam bahasa yang khusus digunakan oleh tokoh Sibaso (medium perantara alam nyata dan alam gaib) ketika berada dalam keadaan trance (kesurupan) dan juga digunakan oleh Datu (penyembuh tradisional) pada waktu melakukan pengobatan; dan (5) Hata Parkapur, yaitu ragam Bahasa Sirkumlokusi yang dahulu digunakan oleh orang-orang Mandailing pencari kapur barus ketika berada di dalam hutan.
Pangaduan Lubis menambahkan, bahwa di samping kelima macam ragam Bahasa Mandailing tersebut, pada masa lalu orang Mandailing juga memiliki satu lagi ragam bahasa lain yang dinamakan Hata Bulung Bulung (Bahasa Daun-daunan).[11] Berbeda dari bahasa yang biasa, yang digunakan sebagai kata-kata dalam Hata Bulung Bulung ialah daun tumbuh-tumbuhan yang dalam Bahasa Mandailing disebut bulung-bulung. Dedaunan yang digunakan ialah daun-daunan yang namanya punya persamaan bunyi dengan kata-kata yang terdapat dalam Bahasa Mandailing. Misalnya ialah daun tumbuh-tumbuhan yang bernama hadungdung digunakan untuk menyampaikan perkatan dung (setelah); daun tumbuh-tumbuhan yang bernama sitata digunakan untuk menyampaikan perkataan hita (kita); daun tumbuh-tumbuhan yang bernama sitarak digunakan untuk menyampaikan kata marsarak (berpisah); daun tumbuh-tumbuhan yang bernama sitanggis (setanggi) digunakan untuk menyampaikan perkataan tangis (menangis); dan daun tumbuh-tumbuhan yang bernama pau (pakis) digunakan untuk menyampaikan kata diau (pada saya); daun tumbuh-tumbuhan yang bernama podom-podom digunakan untuk menyampaikan perkataan modom (tidur). Kalau misalnya kesemua daun tersebut dikirimkan oleh seorang pemuda kepada kekasihnya, maka sang kekasih akan mengerti bahwa sang pemuda mengatakan kepadanya: ”dung hita marsarak jolo tangis au anso modom”. Artinya ”setelah kita berpisah, menangis saya dahulu baru bisa tertidur”.
Umumnya pengguna Hata Bulung Bulung ini adalah kaum muda-mudi (disebut Naposo Nauli Bulung), terutama pada waktu mereka berpacaran. Dahulu, kegiatan berpacaran (asmara) antara pemuda dan pemudi dalam masyarakat Mandailing sama sekali tidak boleh dilakukan secara terbuka. Hubungan dan kegiatan berpacaran harus dirahasiakan atau dilakukan secara rahasia.[12] Oleh karena itu, jika dua orang muda yang berpacaran hendak menyampaikan sesuatu di antara mereka, maka mereka menggunakan Hata Bulung Bulung. Dan jika seorang kekasih hendak menyampaikan daun-daunan sebagai “surat cinta” kepada kekasihnya, dia harus melakukannya secara rahasia. Misalnya dengan meletakkan daun-daunan tersebut di satu tempat tertentu yang sudah mereka sepakati dan tidak diketahui orang lain. Secara sembunyi-sembunyi mereka yang berpacaran itu akan mengunjungi tempat rahasia tersebut secara bergiliran, untuk melihat apakah di tempat itu terdapat “surat cinta” yang terdiri dari daun-daunan tertentu.
Pada masa sekarang, Hata Bulung Bulung dan penggunaannya sudah hilang sama sekali dari tradisi budaya masyarakat Mandailing. Demikian pula halnya dengan ragam-ragam bahasa tersebut di atas, kecuali Hata Somal yang masih terus mereka pergunakan dalam percakapan sehari-hari. Kepunahan ragam-ragam bahasa yang begitu kaya itu sangat merugikan warga masyarakat Mandailing sendiri, bahkan merugikan bangsa Indonesia karena ragam-ragam bahasa tersebut merupakan kekayaan budaya etnis (Mandailing), yang kalau sudah punah hampir mustahil untuk menghidupkannya kembali.
Di samping memiliki bahasa sendiri, orang Mandailing juga memiliki aksara etnis sendiri yang dinamakan Surat Tulak Tulak. Di masa yang lalu, aksara tersebut tidak digunakan untuk mencatat atau menulis sejarah, melainkan untuk menuliskan Tarombo (silsilah keluarga). Selain itu juga banyak digunakan untuk mencatat ilmu pengobatan tradisional dan ilmu peramalan dalam kitab tradisional yang disebut Pustaha.[13]
Dari segi fonologis, menurut Jasinaloan[14], Bahasa Mandailing adalah bahasa yang bersistem silabis dan di masa lalu dituliskan dalam aksara tradisional yang disebut Surat Tulak Tulak (aksara Mandailing) yang terdiri atas 21 fonem: a, ha, na, ma, nga, la, pa, ga, ja, ba, ta, ra, sa, da, ka, ca, nya, wa, i, ya, u. Fonem-fonem tersebut dilambangkan dengan 21 Induk Ni Surat (“Huruf Induk”) dan 5 Anak Ni Surat (“Anak Huruf”) sebagai berikut :
Apabila dikaji lebih mendalam, menurut Jasinaloan lagi, ada beberapa karakteristik Bahasa Mandailing yang cukup menonjol, antara lain :
Pertama, fonem ”k” velar dan glotal di akhir kata dilambangkan dengan satu tanda, meskipun pada hakikatnya berbeda, seperti kata “tetek” bermakna “tetes” dan “buang air besar”; “sosak” bermakna “cepat” (buru-buru) dan “sesak” (nafas); “golak” bermakna “gelak” dan “ejek”; “etek” bermakna “bibi” (tante) dan “alat musik pukul dari bambu”.
Kedua, penggunaan bunyi (huruf) vokal yang sangat produktif dan variatif pula seperti contoh berikut:
sa: sarsar, saksak; si: sirsir, siksik; su: sursur, suksuk; se: serser, seksek; so: sorsor, soksok.
ta: taktak, tartar; ti: tiktik, tirtir; tu: tuktuk, tultul; te: tektek, terter; to: toktok, tortor.
pa: pakpak, paspas; pi: pirpir, pispis; pu: purpur, puspus; pe: perper, pespes; po: porpor, potpot.
Ketiga, terdapat kata yang terdiri atas gugus vokal seperti: aua, uai, ee, dan aa. Untuk jelasnya dapat dilihat pada kalimat: uai iaua ia au i (artinya: “wah akan diapakannyalah aku itu”) yang terdiri atas dua belas gugus vokal yang belum pernah ditemukan, bentuk seperti itu, di dalam Bahasa Ibu yang dimiliki kelompok etnis lain. Selain itu, satu vokal saja dapat berfungsi sebagai satu morfem seperti: ”a” pada kata bilangan adua (bermakna “keduanya”); ”i” dapat bermakna ”itu” (misalnya kata ima, yang bermakna ”itulah”) dan awalan ”di” (misalnya kata isadu, bermakna ”disana”), ”e” bermakna ”hai”, ”u” bermakna ”ku”, dan ‘o’ yang bermakna ”ya” atau ”kau”.
Keempat, intonasi pada kata sangat memengaruhi arti. Pada kata dasar ”bagas” misalnya, tekanan tempo sangat berperan menentukan arti. Kata ba’gas berarti ”rumah”, sedangkan bag’as berarti ”dalam”. Contoh lain misalnya kata ”parmangan”. Dengan pengucapan yang berbeda dapat bermakna: (1) suka makan; (2) uang yang digunakan untuk membeli makanan; dan (3) cara makan. Begitu juga dengan bentuk-bentuk lain seperti da’bu berarti ”jatuhkan”, dan dabu’ berarti ”dalam keadaan terjatuh”.
Kelima, ”akar kata” sangat berperan dalam pembentukan kata dasar. Untuk jelasnya dapat dilihat pada contoh kata-kata berikut: (1) antuk, batuk, kurtuk, lantuk, maturutuk, potuk, retuk, sotuk, tuktuk, utuk; (2) apit, ubit, lompit, sipit, pitpit, jungkit, dalkit, gigit, ancit, singit, rongit, angit, arit, sirit, gorit, ririt; (3) andarohot, dapot, dohot, lolot, morot, korot, sorot, porot,, potpot, lampot, sangkot, sungkot, singkot, sohot ,ngot, tungkot, ingot, sirohot, salohot, moncot, to’pot, topo’t. Dari ketiga contoh di atas masing-masing kelompok memiliki relevansi makna. Untuk contoh nomor satu memiliki hubungan dengan bunyi, pada contoh kedua hubungan maknanya berhubungan dengan sesuatu yang minim, kecil, dan hampir, sedangkan contoh ketiga memiliki hubungan makna dengan tempat, proses menuju atau meninggalkan tempat.
Keenam, pemakaian ”imbuhan” sangat produktif. Di samping jumlah imbuhan banyak, fungsi dan nosi yang muncul lebih variatif. Satu kata dasar dapat diimbuhi oleh lebih dari dua puluh imbuhan. Awalan ma + dabu dapat menjadi: (1) mada’bu (terjatuh); (2) ma’dabu (sudah/dalam keadaan terjatuh; dan (3) mandabu (menjatuhkan). Alomorf atau variasi morfem tidak hanya terjadi pada awalan me- dan pe-, tetapi awalan sa-, misalnya dalam bentuk sambola, sandok, sanggotap. Gabungan imbuhan dapat terjadi di akhir kata misalnya untuk kata dokon + on (dokonon), + kon (dokononkon), + on (dokononkonon), dorapkononkon. Selain itu, imbuhan juga dapat membentuk tingkat kata sifat, misalnya pada kata: godang, godangan, gumodang, mago’dang, ma’godang, magodangan, magodangtu, murgodang, murmagodang, murmurmagodang, targodang, tarumgodang, tartargodang, sagodang-godangna.
Ketujuh, pemakaian ”partikel” sangat dominan. Partikel yang digunakan antara lain: ba, bo, da, do, ke, le, ma, pe, te, dan lain-lain. Dalam Bahasa Tutur (lisan), penggunaan partikel tersebut sering disingkat menjadi sebuah akronim, seperti: ro ma ho tu son menjadi roson, kehe ma ho tu si menjadi kesi, dan lain sebagainya.
Memang, Hata Somal sebagai Bahasa Ibu di Mandailing masih mampu bertahan hingga ke era globalisasi ini. Tetapi seiring dengan perkembangan dan kemajuan yang terjadi selama puluhan tahun terakhir ini pada berbagai aspek kehidupan masyarakat Mandailing, sehingga Hata Somal ini pun ternyata telah banyak mengalami perubahan. Hal ini ditandai dengan banyaknya kata-kata serapan yang berasal dari bahasa lain, terutama yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang digunakan oleh para pelajar dan kaum terpelajar orang Mandailing dalam berkomunikasi sehari-hari.[15] Tidak jarang, bahwa setelah kata-kata serapan tersebut menjadi Hata Somal bagi mereka, tetapi pengertiannya tidak sama lagi dengan pengertian asalnya. Contohnya seperti kata “angsa” yang semula adalah “merek dagang” dari sejenis barang (kuali) dengan logo gambar itik angsa, namun kemudian dalam Hata Somal artinya menjadi lain, yaitu “kuali besar”. Dengan demikian kata ”angsa” bermakna ganda yaitu hewan (itik) dan wajan besar yang terbuat dari besi (logam). Demikian juga untuk perkataan ”honda” yang bermakna merek dagang dan sepeda motor. Hal lain misalnya kalau orang Mandailing dahulu hendak mengukur panjang seutas tali dengan rentangan kedua tangan (disebut: sangkolak, duangkolak, dst.), namun kini mereka sudah lazim menggunakan ukuran meter dan centimeter. Ternyata, kalau kita cermati lebih jauh dan mendalam akan memperlihatkan betapa banyaknya kata-kata serapan yang sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan lagi dari Hata Somal yang mereka pergunakan sekarang. Sebaliknya, mungkin tidak sedikit pula dari perbendaharaan Hata Somal yang sudah hilang karena sudah sejak lama tidak lagi mereka pergunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Masih segar dalam ingatan saya semasa kecil di kampung halaman, ketika bermain bersama teman-teman sebaya seringkali salah seorang di antara kami, ada yang terluka pada kaki atau tangan karena terkena pecahan kaca misalnya. Untuk mengobati luka itu kami cepat-cepat mencari bulung balerang, yaitu daun tumbuhan sejenis rumput-rumputan berbau belerang, yang mudah ditemukan tumbuh begitu saja di sekitar perkampungan. Setelah bulung balerang itu ditemukan, tanpa perlu dicuci terlebih dahulu, tetapi langsung dikunyah-kunyah di dalam mulut. Setelah bulung balerang itu menjadi halus, barulah kemudian ditempelkan pada bagian yang luka tersebut agar darahnya tidak mengucur terus. Bedanya dengan keadaan sekarang, mungkin tidak ada lagi anak-anak Mandaling yang mengenal bulung balerang dan begitu juga khasiatnya karena untuk mengobati luka mereka sudah terbiasa dan lebih yakin menggunakan “ubat merah” (antiseptik) yang diproduksi pabrikan dan itu harus ditukar dengan uang (dibeli) di kedai.
Seingat saya ada lagi sebuah kata yang tidak pernah lagi muncul dalam percakapan sehari-hari orang Mandailing, yaitu mandersa. Padahal, kata mandersa yang artinya “mesjid”, adalah tempat peribadatan bagi pemeluk agama Islam, yang sudah sejak lama mereka anut dan tergolong pemeluk yang taat. Sekarang mereka menamakan tempat peribadatan (sholat) itu dengan perkataan musojid, yang sudah pasti berasal dari kata “mesjid”. Sementara nama tempat peribadatan yang ukurannya lebih kecil dan sederhana yaitu suro, yang artinya “surau”, masih tetap bertahan sampai sekarang. Umumnya suro ini didirikan di tepi sungai, seperti di sepanjang Batang Gadis yang mengalir dari arah selatan ke utara melewati banyak perkampungan di Mandailing.
Dari sisi lain, bahwa adanya kecenderungan yang terjadi pada orang Mandailing sekarang, terutama mereka yang merantau dan kemudian menetap di kota-kota besar di Indonesia, meskipun ada sebagian dari mereka yang tampaknya tidak begitu respek terhadap eksistensi dan manfaat dari Bahasa Ibu ini dengan tidak lagi mengajari keturunannya menggunakan Bahasa Mandailing[16], namun tidak sedikit pula di antara sesama mereka yang masih tetap menggunakan Bahasa Ibu dalam berkomunikasi, seperti pada kegiatan ”pengajian rutin” (disebut parwiritan) yang diselenggarakan oleh perkumpulan para pemilik toko kelontong (parwarung) di Jakarta, sebanyak 3 atau 4 kali dalam setahun. Komunitas parwarung yang masih menggunakan Bahasa Ibu ini pun umumnya tidak memiliki kesadaran yang tinggi dan kemauan yang kuat agar keturunannya mampu menggunakan Bahasa Mandailing dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terjadi mungkin karena waktu dan perhatian mereka lebih banyak tersita untuk kegiatan bisnis, sebagai parwarung, agar mereka tetap dapat hidup layak (survive) di kota-kota besar itu. Sementara di tanah leluhur (Mandailing) pun mungkin hanya segelintir orang saja yang benar-benar perduli akan seperti apa dan bagaimana kelak Bahasa Ibu mereka itu. Penyebabnya mungkin relatif sama dengan apa yang dialami oleh sebagian besar para perantau Mandailing yang bermukim di perkotaan, yaitu himpitan ekonomi. Mereka yang hidup di kampung halaman ini, yang sebagian besar adalah kaum petani yang masih bercocok tanam padi di sawah dan mengolah kebun di hutan secara tradisional dengan areal lahan yang terbatas pula, sehingga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan membiayai sekolah anak-anak mereka sudah cukup pusing memikirkannya.
Pendek kata, dengan kondisi sebagian besar masyarakat Mandailing yang demikian itu, seyogiyanyalah para pelajar dan kaum terpelajar (intelektual) orang Mandailing memiliki kesadaran yang tinggi dan perhatian yang besar terhadap eksistensi Hata Somal sebagai Bahasa Ibu mereka di masa depan.
Cileungsi, 05 Juli 2010
-----------
Catatan Kaki
[ ] Di Kabupaten Khagrachari Hill dari Chittagong Hill Tracts di bagian tenggara Bangladesh, sekitar setengah penduduknya berasal dari berbagai masyarakat minoritas etnis pribumi, sedangkan sisanya adalah Bengali. Anak-anak pribumi bisa ditolak dari sekolah karena mereka tidak berbicara Bahasa Bangla, yang digunakan sebagai bahasa pengajaran. Bukti dari seluruh dunia menunjukkan bahwa sangat penting memulai pendidikan dalam bahasa yang paling diketahui anak dengan baik, yaitu Bahasa Ibu. Di beberapa negara Asia (termasuk Bangladesh, India, China, Vietnam, Mongolia dan Myanmar), Save the Children mempromosikan pendidikan multi-bahasa. Pendekatan ini berarti bahwa anak-anak pertama mengembangkan fondasi kuat dengan Bahasa Ibu, baru kemudian melanjutkan dengan belajar Bahasa Nasional sambil terus belajar mata pelajaran lain dengan bahasanya sendiri. Metode ini memperkenankan anak-anak untuk berkembang dengan baik melalui sekolah, dengan tetap memegang teguh Bahasa Ibu dan identitasnya, serta memperoleh akses kepada bahasa perdagangan, bisnis dan pemerintahan. Lihat ”Pergeseran ke arah Pendidikan Bahasa Ibu untuk Anak-anak Pribumi di Bangladesh”, EENET asia Newsletters : Edisi Keempat - Juni 2007, 21 Februari 2007.
[2] SIL adalah sebuah lembaga non pemerintah yang berkedudukan di Texas, AS. SIL didirikan oleh William C. Towsend dan Kenneth L. Pike pada tahun 1934, yang semula merupakan suatu program kursus linguistika pada musim panas di sebuah perkebunan di Arkansas. Mulai sejak itu SIL berekspansi ke seluruh penjuru dunia, mengirimkan para penelitinya ke daerah-daerah pedalaman yang dihuni suku-suku yang kerap dianggap “terasing”. Para etno-linguis ini tinggal selama bertahun-tahun bahkan puluhan tahun di situ dan hidup bersama suku-suku tersebut. Sambil meneliti mereka merekonstruksi (merumuskan gramatika), mengodifikasi (menyusun kamus) bahasa suku setempat, dan hal-hal lainnya. Hasil survai sosiolinguistik itu dipublikasikan secara berkala menjadi buku katalog bahasa berjudul Ethnologue: Languages of the World. Buku katalog bahasa ini mengandung informasi (hasil survai) yang diakui cukup lengkap mengenai kemajemukan bahasa di seluruh penjuru dunia, yang dilaksanakan secara massif dan kontinyu oleh SIL. Lihat Hasan Bachtiar, “Permadani itu Koyak-Moyak: Multilinguitas Indonesia dalam Krisis”, Desantara, Edisi 14/V/2005, hal. 46 dan 50.
[3] Salah seorang ahli Bahasa Daerah yaitu R. Kunjana Rahardi (2009) mengatakan, bahwa dari 706 Bahasa Daerah di Indonesia, hanya 20 persen atau 141 bahasa yang berkembang dengan baik. Keberadaan Bahasa Daerah seharusnya bisa memperkuat perbendaharaan kata terhadap Bahasa Indonesia, namun yang terjadi malah sebaliknya. Orang menggunakan Bahasa Indonesia kadang dicampur-baur dengan bahasa asing, padahal kata-kata tersebut sebenarnya ada pada Bahasa Indonesia. Sebagai tambahan informasi bahwa daftar Bahasa Daerah di Indonesia, termasuk Bahasa Mandailing, yang diurutkan berdasarkan abjad dapat dilihat di http://organisasi.org/daftar_ bahasa_daerah_di_indonesia_diurutkan_ berdasarkan_abjad, dan pada tulisan ini pengertian Bahasa Daerah sama dengan Bahasa Ibu.
[4] Tjandra Dewi menuliskan bahwa begitu keluar dari dalam kandungan, tangisan bayi yang baru lahir telah menunjukkan ciri bahasa yang digunakan kedua orang tuanya. Sebuah studi memperlihatkan bayi Prancis cenderung menangis dengan pola melodi yang meninggi dalam titi nada yang perlahan-lahan meningkat dari awal sampai akhir. Tangisannya berbeda dengan bayi Jerman, yang tampaknya lebih suka pola melodi yang menurun. Kedua pola tangisan bayi tersebut konsisten dengan perbedaan antara bahasa Jerman dan Prancis. Ini menunjukkan bahwa anak-anak mulai mempelajari unsur bahasa sejak dalam kandungan, jauh sebelum ocehan pertama mereka. Kajian mengenai bahasa sebelum kelahiran telah lama diketahui mempengaruhi bayi. Riset sebelumnya, misalnya, memperlihatkan bayi baru lahir lebih menyukai suara ibunya daripada suara orang lain. Cara bayi-bayi itu meniru pola melodi hanya mengandalkan pada perintah yang tersimpan dalam "kotak suara" yang mereka miliki sebelum lahir, bukan pengendalian saluran vokal untuk membuat suara nasal yang memerlukan kemahiran tinggi. Menurut Kathleen Wermke, antropolog medis di University of Würzburg di Jerman, pada usia yang amat dini mulai meniru suara ibunya. Bayi yang baru lahir ada kemungkinan amat termotivasi untuk meniru perilaku ibunya untuk menarik perhatian sang ibu dan memperkuat ikatan keduanya. Lihat TEMPO Interaktif, Senin, 9 November 2009.
[5] Edi Sedyawati menambahkan, bahwa memang kita tentu tidak perlu berharap Bahasa Ibu menjadi bahasa publik apalagi bahasa resmi, karena kurang beralasan terutama dalam konteks pembangunan bangsa. Dalam masyarakat kita yang majemuk, Bahasa Indonesia telah menjadi salah satu pemersatu bangsa yang bisa diandalkan. Tetapi Bahasa Ibu sebagai bahasa lisan, privat, dan informal itu kiranya akan tetap hidup di tengah masyarakat. Betapapun, Bahasa Ibu tetap menjadi sarana ekspresi yang lebih efektif dan memuaskan batin bila seseorang berkomunikasi dengan petutur sedaerah. Fungsi Bahasa Ibu menjadi alternatif berkomunikasi yang ekspresif sesuai dengan naluri dan batin, sehingga bisa memenuhi kebutuhan kultural kita. Menggunakan Bahasa Daerah dengan orang sedaerah akan bisa mengendurkan saraf-saraf batin dari tekanan-tekanan hidup publik dan tuntutan globalisasi. Tanpa Bahasa Ibu, rasa-rasanya kita kekurangan tempat berteduh di tengah-tengah kehidupan publik yang seringkali melelahkan batin kita. Ibid.
[6] Hasan Bachtiar, Op.Cit., hal. 47.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid, hal. 48-49.
[10] Z. Pangaduan Lubis, ”Bahasa Mandailing”, http://www.mandailing.org/ind/rencana20.html, diakses 10 Februari 2010. Lihat Juga “Sekilas Budaya Mandailing”, http://gondang.blogspot.com/.
[11] Mantan inspektur jenderal pendidikan pemerintah kolonial Belanda Ch. A. van Ophuijsen menamakan Hata Bulung Bulung sebagai Bladerentaal. Selain meneliti Bahasa Melayu, beliau juga pernah meneliti Bahasa Mandailing, termasuk Hata Bulung Bulung. Ibid. Ch. A. van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim menyusun ejaan baru pada tahun 1896. Pedoman tata bahasa yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Van Ophuijsen itu resmi diakui pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1901. Lihat Kushartanti, Untung Yuwono dan Multamia RMT Lauder (ed), Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Lingusitik, Jakarta: Gramedia, 2001.
[12] Kaum muda-mudi Mandailing memiliki tradisi berkencan (pacaran) yang disebut markusip, yang berlansung pada waktu tengah malam hingga menjelang dini hari. Uraian selengkapnya mengenai tradisi markusip ini lihat Edi Nasution, Tulila: Muzik Bujukan Mandailing, (Penang-Malaysia: Areca Books, 2007).
[13] Oleh sebab itulah hingga sekarang tidak ditemukan catatan sejarah Mandailing yang dituliskan dengan Surat Tulak Tulak di dalam Pustaha. Hal-hal yang berkaitan dengan masa lalu Mandailing hanya terekam sebagai "sejarah lisan" berupa kisah-kisah Mandailing pada masa lalu yang kadang-kadang dituturkan oleh orang-orang yang masih mengingatnya dan sama sekali tidak pernah dituliskan dengan Surat Tulak Tulak. Z. Pangaduan Lubis, Op.Cit.
[14] Jasinaloan, “Hata Mandailing”, http://bakhsanparinduri85.wordpress.com/, diakses 12 Februari 2010.
[15] Bahasa Mandailing sebagai ‘gudang’ penyimpanan paling aman bagi kekayaan sebuah kebudayaan, juga sedang menuju kepunahan, termasuk di kampung halaman. Jika bahasa Mandailing kehilangan kosa kata aslinya, itu adalah pertanda akan musnahnya kebudayaan Mandailing. Coba kita amati kosa kata yang digunakan orang Mandailing di kampung halaman dalam percakapan sehari-hari, mungkin hampir separuhnya adalah unsur serapan dari bahasa lain. Zulkifli B. Lubis, “Meretas Jalan Kebersamaan, Bersatu Membangun Kembali Mandailing”, http://mandailing.org.
[16] Ada pengamat yang berpendapat bahwa anak didik yang menguasai Bahasa Ibu dengan baik, akan memiliki fondasi yang kuat untuk belajar bahasa asing, sehingga si anak didik nantinya mampu menguasainya dengan mudah. Di samping itu, si anak didik akan terhindar dari resiko mengalami kesulitan belajar atau masalah-masalah lainnya akibat ketidaksiapan belajar bahasa asing. Jika kita ingin mengajarkan bahasa asing sejak dini kepada anak didik, maka orangtua perlu merencanakan dan mempersiapkan diri sendiri pula. Artinya, orangtuanya juga harus menguasai bahasa asing tersebut dengan baik, sehingga bisa menyediakan lingkungan yang konsisten antara di rumah dan di sekolah. Kalau itu tidak dilakukan maka perkembangan kecerdasan linguistik (kecerdasan berbahasa) si anak didik justru dapat terhambat dan akan mempengaruhi aspek-aspek kehidupan lainnya. Cara yang baik untuk mengajar anak-anak berbahasa asing adalah dengan membiasakan berkomunikasi sehari-hari dengan mereka dalam dua bahasa (bilingual). Selain mudah, anak-anak juga tidak merasa terpaksa karena tidak harus les atau belajar secara formal. Cukup dengan membiasakan anak mendengar atau diajak bicara dengan bahasa asing tersebut, maka dengan mudah anak didik dapat menguasai bahasa asing tersebut. Lihat “Mau Anak Bilingual, Kuasai Dulu Bahasa Ibu”, Sumut Pos, 24 Oktober 2009. Lihat juga Tri Budhi Sastri yang dalam makalahnya antara lain menuliskan bahwa Edith Lam, seorang guru matematika, yang membantu dua peneliti bahasa, Veronica Hsueh dan Tara Goldstein, yang mengamati dan merekam bagaimana Bahasa Ibu dapat membantu siswa menguasai bahasa asing, ternyata memperoleh kesimpulan yang cukup mengejutkan. Terbukti bahwa Bahasa Ibu tidak hanya membantu para siswa berkomunikasi antar sesama mereka tetapi juga membantu penguasaan bahasa asing lebih cepat. Lihat “Bahasa Ibu – Bagaimana Nasibmu Kini? Antara Perubahan, Kepunahan dan Kebertahanan”, http://fs.unitomo.ac.id/wp-content/uploads/2009/02/bahasa-ibu-bagaimana-nasibmu-kini-makalah-univ-udayana.doc.