Oleh :
Irsan Rangkuti
A. PENDAHULUAN
Sungguh merupakan satu kebanggan tersendiri bagi penulis karena memperoleh kesempatan menyumbangkan tulisan dalam forum Seminar Nasional dengan tema Etika Pendidikan, meskipun yang melaksanakan seminar ini adalah organisasi profesi di bidang manajemen pendidikan, ISMaPI Sumut. Seminar kali ini bertujuan untuk: (1) menelaah etika pendidikan dari berbagai sudut pandang (akademik, birokrat, dan politik); dan (2) mendesiminasikan konsep-konsep baru pengelolaan pendidikan yang beretika berkaitan dengan profesionalisme manajer, supervisor, dan pemimpin pendidikan.
Belakangan ini, disadari atau tidak, sudah banyak praktik pendidikan kita yang dianggap bertentangan dengan etika, baik yang dilaksanakan oleh praktisi pendidikan maupun aparat birokrasi pendidikan. Kasus-kasus tentang ini tentu saja sudah banyak, mulai dari kasus kekerasan terhadap anak di sekolah, perlakuan tidak adil dan tidak fair dalam pelaksanaan Ujian Nasional, sampai kepada karya ilmiah asli tapi palsu (”aspal”). Pelaksanaan pendidikan yang tidak memiliki etika yang tidak diharapkan diyakini akan berdampak pada masa depan generasi muda. Penerapan etika dalam praktik pendidikan sangat tergantung pula pada kondisi lingkungan masyarakat. Jadi etika pendidikan bukan hanya persoalan internal sekolah semata.
Tulisan ini dimulai dengan pengertian etika, kemudian dilanjutkan dengan praktik etika pendidikan ditinjau dari aspek budaya atau adat istiadat yang ada pada kelompok masyarakat di Propinsi Sumatera Utara. Tinjauan ini penulis anggap sangat penting meskipun tujuan seminar ini tidak mencantumkan secara eksplisit tinjauan dari aspek budaya.
B. ETIKA DAN ETIKA PENDIDIKAN
Dalam bahasa Yunani, kata ’etika’ berasal dari ’ethos’ yang berarti sikap dasar atau keyakinan seseorang atau sekelompok orang dalam bidang tertentu (Dictionary of Sociology). Dalam hal ini, etika berkaitan dengan konsep yang dimiliki individu atau kelompok masyarakat untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang dikerjakannya salah atau benar, buruk atau baik. Etika merupakan refleksi dari apa yang disebut self control, karena segala sesuatu dibuat dan diterapkan dari dan untuk kelompok masyarakat tertentu.
Di sisi lain, etika juga merupakan filsafat yang merefleksikan ajaran moral dan berbicara tentang tindakan manusia. Etika juga merupakan ilmu tentang norma, nilai, dan ajaran moral. Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang terdapat di antara sekelompok manusia. Norma moral berkaitan dengan bagaimana manusia hidup supaya menjadi manusia yang baik. Dalam pandangan filsafat, etika tidak mempersoalkan keadaan manusianya, tetapi mempersoalkan bagaimana manusia harus berperilaku. Perilaku manusia ditentukan oleh norma, dan norma dapat berasal dari aturan perundangan, agama, maupun kehidupan sehari-hari kelompok masyarakat.
Etika pendidikan dapat dipahami sebagai nilai-nilai atau norma moral yang dijadikan pedoman perilaku dalam praktik pendidikan, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Nilai-nilai (values) atau sistem nilai (value system) adalah suatu keyakinan seseorang tentang penghargaan terhadap suatu standar atau pegangan yang mengarah pada sikap/perilaku seseorang. Sistem nilai dalam suatu organisasi adalah rentang nilai-nilai yang dianggap penting dan sering diartikan sebagai perilaku personal. Perilaku personal yang dianggap “menyimpang” sering menjadi sorotan masyarakat.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian cepat dalam segala bidang kehidupan, tuntutan kompetisi global, serta semakin meningkatnya pengetahuan masyarakat berpengaruh terhadap meningkatnya tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan pendidikan. Hal ini merupakan tantangan bagi profesi kependidikan dalam mengembangkan profesionalisme untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Kualitas pelayanan yang tinggi memerlukan landasan komitmen yang kuat dengan basis pada etika dan moral yang tinggi. Sikap profesional yang kokoh dari setiap tenaga kependidikan akan tercermin dalam setiap langkahnya, termasuk penampilan diri, dan keputusan yang diambil dalam merespon situasi yang muncul. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang etika dan moral serta penerapannya menjadi bagian yang sangat penting dan mendasar dalam memberikan pelayanan dimana hak dan kewajiban setiap orang selalu menjadi pertimbangan dan dihormati.
Menarik untuk memahami nilai-nilai esensial dalam kehidupan profesional sebagaimana yang telah dilakukan oleh Taylor, Lillies, dan Mone (1997), yaitu: (1) Aesthetics (keindahan), kualitas obyek suatu peristiwa atau kejadian, seseorang memberikan kepuasan termasuk penghargaan, kreatifitas, imajinasi, sensitifitas dan kepedulian; (2) Altruism (mengutamakan orang lain), kesediaan memperhatikan kesejahteraan orang lain termasuk arahan, kedermawanan atau kemurahan hati serta ketekunan; (3) Equality (kesetaraan), memiliki hak atau status yang sama termasuk penerimaan dengan sikap kejujuran, harga diri, dan toleransi; (4) Freedom (kebebasan), memiliki kapasitas untuk memilih kegiatan termasuk percaya diri, disiplin serta kebebasan dalam pengarahan diri sendiri; (5) Human dignity (martabat manusia), berhubungan dengan penghargaan yang lekat terhadap martabat manusia sebagai individu termasuk didalamnya kemanusiaan, kebaikan, pertimbangan dan penghargaan penuh terhadap kepercayaan; (6) Justice (keadilan), menjunjung tinggi moral dan prinsip-prinsip legal termasuk objektifitas, moralitas, integritas, dorongan dan keadilan serta kewajaran; dan (7) Truth (kebenaran), menerima kenyataan dan realita, termasuk akuntabilitas, kejujuran, dan reflektifitas yang rasional. Ketujuh nilai-nilai esensial tersebut memiliki kesesuaian dengan nilai-nilai yang ada dalam kelompok mayarakat tertentu.
C. ORGANISASI SEKOLAH DAN KETERAMPILAN HIDUP
Sejak kita lahir sampai suatu saat meninggal, kita selalu berurusan dengan organisasi. Melalui organisasi, manusia dapat mempertemukan kepentingannya dengan kepentingan orang lain; misalnya: kepentingan peserta didik, kepentingan guru, kepentingan orangtua (masyarakat), dan pemerintah. Dengan demikian, organisasi dapat dikatakan sebagai kesatuan sosial yang dikoordinasikan dan dikelola secara sadar dengan batasan yang jelas dan keterikatan bersama untuk mencapai tujuan.
Telah lama kita pahami bahwa para orangtua menyerahkan urusan pendidikan generasi muda kepada sekolah. Setiap tahun sekolah menerima dan meluluskan peserta didik, maka setiap tahun pula sekolah tersebut dihadapkan kepada peluang dan tantangan. Pada sisi lain, sekolah sebagai lembaga pendidikan didirikan untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan merupakan sesuatu yang diinginkan oleh seluruh anggota untuk dicapai di masa yang akan datang. Setiap orang bergabung dengan organisasi selalu didasarkan atas pencapaian tujuan tertentu. Dengan demikian, ada kemungkinan terdapat tujuan yang saling bertentangan di dalam sebuah organisasi. Untuk itu, tugas pemimpin adalah menyelaraskan (align) tujuan-tujuan yang saling bertentangan tersebut.
Jika ditinjau dari siklus kehidupan organisasi, maka sekolah juga memiliki daur hidup dan memiliki dinamika tersendiri. Sekolah didirikan, dipelihara, kemudian tumbuh dan berkembang dengan baik; atau sebaliknya penuh dengan masalah, mundur, dan kemudian mati atau dimerger. Ada sekolah yang kinerjanya baik sehingga banyak peminatnya, dan ada pula sekolah yang kinerjanya buruk sehingga kurang diminati masyarakat. Ada sekolah yang dapat bertahan lama dan melahirkan manusia-manusia kreatif, namun ada juga sekolah yang hanya terdengar selintas saja karena prestasi lulusannya tidak “diperhitungkan”. Ternyata sekolah seperti makhluk hidup juga. Oleh karena itu, pengelolaan sekolah juga memerlukan landasan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Masyarakat sekitar sekolah pun perlu turut serta memiliki dan bertanggungjawab terhadap perkembangan dan kemajuan sekolah.
Secara makro, sekolah sebagai sistem terbuka berinteraksi dengan lingkungan, apatah lagi situasi lingkungan global seperti sekarang ini tidak mungkin dihindari tetapi harus diantisipasi. Jika dianalisis dari level mikro, maka analisis mengarah kepada pribadi-pribadi anggota organisasi sekolah, meliputi sikap, perilaku, nilai-nilai, motivasi, kepemimpinan, kepribadian, dan lain-lain. Pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) menginginkan agar sekolah dapat bertahan hidup lama dan memberikan manfaat yang besar dalam mempersiapkan generasi muda untuk dapat hidup survive dalam kompetisi global. Berkaitan dengan hal ini, Tony Wagner (2008) mengemukakan 7 (tujuh) keterampilan yang perlu dimiliki peserta didik untuk dapat hidup survive dalam kompetisi global tersebut, yaitu: (1) keterampilan berpikir kreatif dan memecahkan masalah, (2) keterampilan bekerjasama melalui jaringan dan memimpin dengan pengaruh (bukan dengan kewenangan), (3) keinginan yang kuat dan kemampuan beradaptasi, (4) memiliki inisiatif dan jiwa kewirausahaan, (5) berkomunikasi lisan dan tulisan secara efektif, (6) mengakses dan menganalisa informasi, dan (7) memiliki rasa ingin tahu yang dan mampu berimajinasi.
Mempelajari sikap, perilaku, dan keterampilan manusia dalam organisasi dan/atau kelompok masyarakat dikategorikan dalam konsep perilaku organisasi (organizational behavior). Dari berbagai literatur dipahami bahwa perilaku organisasi merupakan studi yang sistematik tentang sikap dan perilaku manusia dalam organisasi (Robbins, 2003). Perilaku kewargaan organisasi seperti membantu sesama, bekerja extra time, membuat pernyataan positif tentang kelompok, dan menghindari konflik yang tidak perlu merupakan perilaku yang diinginkan karena memberikan dampak positif bagi organisasi. Perilaku organisasi juga merupakan upaya memahami, memprediksi, dan mengelola perilaku manusia dalam organisasi (Luthan, 2008). Pendekatan perilaku organisasi terhadap manajemen memerlukan disiplin ilmu lain seperti antropologi, sosiologi, dan psikologi, karena berbagai disiplin ilmu tersebut memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perilaku organisasi. Ketidakpastian, lingkungan yang cepat berubah, ide-ide baru yang drastis, merupakan tantangan bagi setiap organisasi yang mau belajar (learning organization). Nelson (2006) menyatakan bahwa perilaku organisasi merupakan perilaku individu dan dinamika kelompok dalam organisasi. Perubahan dan tantangan merupakan aspek yang paling penting dalam studi organisasi karena memahami pemikiran dan perasaan anggota organisasi sangat penting. Beliau juga menegaskan bahwa pemimpin dengan integritas perlu. Dari berbagai literatur dipahami bahwa perilaku organisasi merupakan studi yang sistematik tentang sikap dan perilaku manusia dalam organisasi (Robbins, 2003). Perilaku kewargaan organisasi seperti membantu sesama, bekerja ekstra time, membuat penrnyataan positif tentang kelompok, dan menghidari konflik yang tidak perlu memberikan fungsi positif bagi organisasi. Perilaku organisasi juga merupakan upaya memahami, memprediksi, dan mengelola perilaku manusia dalam organiaasi Luthan, 2008). Pendekatan perilaku organisasi terhadap manajemen memerlukan disiplin ilmu lain seperti antropologi, sosiologi, dan psikologi, karena berbagai disiplin ilmu tersebut memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perilaku organisasi. Ketidakpastian, lingkungan yang cepat berubah, ide-ide baru yang drastis, merupakan tantangan bagi organisasi. Nelson (2006) menyatakan bahwa perilaku organisasi merupakan perilaku individu dan dinamika kelompok dalam organisasi. Perubahan dan tantangan merupakan aspek yang paling penting dalam studi organisasi karena memahami pemikiran dan perasaan anggota organisasi sangat penting. Beliau juga menegaskan bahwa pemimpin dengan integritas peribadi tidaklah cukup mengingat keberagaman anggota organisasi baik dilihat dari kelompok etnis dan keyakinan mereka akan tradisi. Schermerhorn, Hunt and Orborn (2003) menekankan pentingnya etika dalam berorganisasi, karena seharusnya seluruh tindakan anggota organisasi dilakukan berdasarkan standar etika dan moral. Etika tidak hanya dicatat dalam peraturan organisasi tetapi harus dipraktekkan dalam organisasi, misalnya perlakuan yang adil.
D. KEARIFAN LOKAL MANDAILING
Setiap kelompok masyarakat memiliki apa yang kita kenal sebagai kearifan lokal (local indigenous) sebagai pedoman perilaku bermasyarakat yang bersumber dari kebudayaan masyarakat itu sendiri. Madaling sebagai salah satu kelompok etnis di Propinsi Sumataera Utara, memiliki budaya tersendiri dan dari segi-segi tertentu memiliki kesamaan dengan etnis lainnya. Jadi budaya mandailing tidak hanya dipahami oleh masyarakat sendiri, tetapi juga oleh kelompok etnis lain. Selain itu, kelompok etnis Mandailing, meskipun jauh dari ibukota propinsi Sumatara Utara, akan tetapi telah lama berinteraksi dengan kelompok etnis lainnya. Percampuran budaya antar kelompok etnis sudah terjadi dalam jangka waktu yang lama sehingga diasumsikan pengenalan terhadap budaya Mandailing bukan lah sesuatu yang sulit.
Oleh karena berbagai alasan, pemahaman dan pelaksanaan budaya Mandailing terus mengalami kemunduran karena pada saat ini lebih sering terlihat dalam upacara-upacara perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang Mandailing tertentu saja. Itu pun sudah cenderung dilakukan dengan tradisi baru atau menggunakan orang upahan misalnya dalam melaksanakan upacara adat. Sesungguhnya budaya atau adat istiadat Mandailing (demikian pula adat istiadat etnis lain di Sumatera Utara, seperti Batak, Simalungun, Karo, dan lain-lain) itu mencakup seluruh perilaku dan cara hidup (way of life) setiap warga Mandailing. Dikatakan mencakup seluruh perilaku dan cara hidup setiap warga Mandailing karena berisi nilai-nilai budaya (cultural values).
Nilai-nilai budaya Mandailing tersebut berupa norma-norma, kaidah-kaidah, dan aturan-aturan yang dianut dan dipatuhi setiap orang Mandailing dalam kehidupan sehari-hari dalam berinteraksi atau berperilaku. Meskipun isi dari sistem nilai budaya Mandailing sudah sering diabaikan, bahkan tidak dihayati dan diamalkan, tetapi masih dapat kita temukan misalnya dalam perumpamaan atau dalam nasehat seperti nasehat yang lima (Poda Na Lima), upacara perkawinan, dan lain-lain. Poda na lima sekarang sering dijadikan sebagai slogan yang tidak dihayati dan juga tidak banyak yang mengamalkannya.
Asal mula dari adat Mandailing adalah rasa kasih sayang (olong). Kasih sayang akan membawa keakraban (olong maroban domu). Kasih sayang (olong) yang dimaksud oleh nenek moyang orang Mandailing bukan hanya sebagai hiasan di bibir saja atau slogan saja, tetapi harus dilaksanakan dalam kehidupan warga masyarakat Mandailing. Untuk melaksanakan rasa kasih sayang (olong) sesama orang Mandailing itu tentu harus ada mekanismenya berupa satu sistem nilai sosial atau sistem yang digunakan oleh semua orang Mandailing untuk melaksanakan kasih sayang dalam kehidupan bermasyarakat. Sistem sosial tersebut didasarkan pada kelompok kekerabatan yang diikat oleh: (1) pertalian darah; dan (2) pertalian perkawinan. Kelompok kekerabatan dimaksud dikenal sebagai mora, kahanggi dan anak boru. Gambar berikut menggambarkan ketiga kelompok kekerabatan dalam adat Mandailing.
Ketiga bentuk kelompok kekerabatan inilah yang dijadikan sebagai landasan (dalian) sistem nilai sosial tersebut. Sistem sosial ini dinamakan oleh nenek moyang orang Mandailing sebagai Dalian Na Tolu, makna harfiahnya tiga landasan (Lubis, 2009). Namun harus dipahami bahwa Mandailing bukan satu-satunya etnis yang memiliki Dalian Na Tolu. Etnis Batak, Simalungun, Karo, Minang juga memiliki persamaan dengan Dalian Na Tolu yang dimiliki etnis Mandailing.
Sistem sosial Dalian Na Tolu difungsikan sebagai mekanisme untuk melaksanakan/mengamalkan rasa kasih sayang (olong) yang merupakan asal mula adat (bona ni adat). Hal ini berlaku dalam setiap urusan hidup dan kehidupan masyarakat Mandailing. Hakikat dari adat dalam kehidupan sehari-hari warga masyarakat Mandailing disebut sebagai adat Dalian Na Tolu. Selain dinamakan demikian ada pula orang yang menamakannya adat Markoum Marsisolkot karena orang Mandailing yang berada dalam ikatan Dalian Na Tolu adalah sekaligus orang yang markoum marsisolkot. Adat Mandailing bertujuan untuk melaksanakan/mengamalkan rasa kasih sayang secara nyata dalam kehidupan orang-orang Mandailing yang Markoum Marsisolkot (memiliki pertaian darah dan/atau pertalian perkawinan). Dalam hal ini, adat Dalian Na Tolu dapat difungsikan sebagai etika dalam urusan publik seperti pendidikan.
Sehubungan dengan adat Dalian Na Tolu maka di masyarakat Mandailing dikenal pula istilah partuturan. Partuturan merupakan sistem sapaan yang dipergunakan dalam berinteraski oleh orang-orang Mandailing. Pada dasarnya sistem sapaan atau tutur ini diciptakan berlandaskan hubungan kekerabatan, baik karena pertalian darah ataupun karena pertalian perkawinan (Lubis, 2009). Setiap tutur berisi dan sekaligus melekat hak dan kewajiban orang yang mengucapkan dan menerima tutur tersebut, karena tutur dalam masyarakat Mandailing adalah bagian yang penting dalam pelaksanaan adat atau pelaksanaan kasih sayang (olong) dalam kehidupan sehari-hari. Dalam setiap hidup bermasyarakat/berinteraski hampir semua orang setiap hari mengucapkan tutur. Kalau misalnya seseorang menyapa seseorang yang lain dengan mengatakan tulang, ini karena keduanya memiliki hubungan kerabat. Menurut adat Mandailing, orang yang mengatakan tulang itu tahu bahwa orang yang disapanya itu adalah saudara laki-laki dari ibunya atau mertuanya, maka kedudukannya dalam adat adalah mora. Dengan demikian, dia harus mengetahui pula hak dan kewajibannya terhadap orang yang merupakan moranya. Hak dan kewajibannya terhadap moranya itu harus dia laksanakan sesuai dengan adat Mandailing dalam hal kesopanan (hapantunon). Sebaliknya, orang yang disapa dengan sapaan tulang tersebut harus pula mengetahui bahwa yang menyapanya dengan tutur tersebut adalah anak dari saudara perempuannya atau mungkin menantunya; maka keududukannya adalah anak boru dari si tulang. Dengan mengetahui hal itu maka dia harus tahu pula hak dan kewajibannya terhadap orang tersebut yang merupakan bere atau baberenya. Pihak mora harus tahu bahwa dia berhak menyuruh orang tersebut melakukan sesuatu karena orang itu adalah anak borunya; pada saat yang sama dia juga harus tahu bahwa dia wajib memperlakukan orang tersebut dengan cara yang persuasif (mangelek). Menurut adat Mandailing si tulang wajib memperlakukan anak borunya dengan persuasif (elek maranak boru) dan sebaliknya si anak boru wajib menjunjung tinggi mora (sangap marmora). Tutur lainnya dalam adat Dalian Na Tolu adalah terhadap kahanggi, yaitu pihak-pihak yang setara, yang bersaudara karena pertalian darah. Kedudukan sebagai kahanggi menandakan adanya kesetaraan dalam adat Dalian Na Tolu.
E. PENERAPAN DALIAN NA TOLU DALAM PENDIDIKAN
Terminologi “think globally, act locally” sudah sering kita dengar dalam berbagai acara atau peristiwa. Meskipun kita hidup di abad 21 yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kompetesi global, namun perlu disadari bahwa suku bangsa yang memiliki “identitas” yang jelas adalah suku bangsa yang dapat bersaing di kancah kompetisi global. Identitas diri menjadi petunjuk tentang siapa kelompok itu sesungguhnya. Keadaan ini dapat diamati baik di pentas internasional maupun di pentas nasional. Indonesia memiliki beratus macam suku bangsa/etnis, akan tetapi yang “menonjol” tidak banyak (tanpa menyebut satu per satu). Oleh karena itu, jika ada sesuatu yang dapat ditonjolkan dari nilai-nilai budaya kelompok masyarakat tertentu, dan berlaku dalam segala urusan hidup dan kehidupan masyarakatnya, serta diyakini dapat diterapkan dalam urusan publik, seperti pendidikan di sekolah, maka sangat pantas untuk dipertimbangkan pelaksanaannya.
Agar sekolah dapat bertahan hidup lama, dan memberikan manfaat yang berharga bagi semua pihak, maka sekolah perlu dikelola dengan sungguh-sungguh berdasarkan nilai-nilai yang jelas sebagai landasan perilaku. Penerapan Dalihan Na Tolu sebagai landasan (dalian) dalam urusan pendidikan di sekolah juga harus diikuti pula dengan menghindari penyakit dalam kehidupan bermasyarakat. Landasan yang dimaksud merupakan nilai-nilai bersama (shared values) yang memiliki kaidah-kaidah, yaitu: (1) sangap marmora, (2) manat markahanggi, dan (3) elek maranakboru. Kaidah-kaidah ini dapat diterapkan sebagai etika atau adab dalam melaksanakan mengelola organisasi sekolah.
Pertama, sangap marmora, maksudnya menjunjung tinggi mora, karena kita sudah memiliki hubungan kekerabatan (markoum) dengan beliau. Jika adat Dalian Na Tolu dalam masyarakat Mandailing dianalogikan dengan warga sekolah: siapakah yang disebut mora dalam organisasi sekolah? Dalam hal ini adalah Kepala Sekolah. Kepala Sekolah diangkat oleh pemerintah atau pengurus Yayasan, bukan oleh guru. Jika Kepala Sekolah telah ditetapkan, maka seluruh warga sekolah dan stakeholders harus menghormatinya, karena wewenang, tanggungjawab, dan kepercayaan telah diberikan kepadanya untuk memimpin organisasi sekolah untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Kedua, manat-manat markahangi, maksudnya setiap warga sekolah harus lebih peduli dengan apa yang terjadi di antara sesama saudara (sisolkot). Siapakah kahanggi dalam organisasi sekolah? Anggota organisasi, yaitu peserta didik, orangtua peserta didik. Anggota mesti kompak karena tanpa anggota yang lain kita pun tak berarti apa-apa. Kebersamaan harus diterapkan di kalangan anggota. Seluruh anggota organisasi adalah bersaudara, jadi harus peduli atas segala kondisi yang berkaitan dengan anggota dan kemajuan sekolah. Misalnya, jika ada pertemuan/rapat, maka anggota harus menghadirinya kecuali ada alasan ”yang dapat diterima”. Jangan pula diciptakan alasan yang tidak logis. Jika ada tugas, maka tugas yang diberikan harus diselesaikan dengan seksama. Dalam suatu kampung ada istilah ”orang lama” dan ”orang baru”. Orang lama biasanya sudah tahu letak geografis kampung: rumah siapa saja yang berwarna hijau atau merah; anak gadis siapa yang sudah dewasa, dan sebagainya. Perilaku orang lama adalah selalu ”menunduk”, dalam arti mengayomi atau menuruti aturan organisasi. Perilaku orang baru bisanya ”longang” (tercengang), dan bertanya-tanya dalam hati: ”rumah siapa yang berwarna hijau itu?”, ”kenapa begitu?”, atau lebih parah lagi: ”anak gadis siapa yang berambut merah itu?”, dan sebagainya. Jika hal ini dipakai untuk sekolah, maka implikasinya adalah anggota setia organisasi sekolah dianalogikan sebagai ”orang lama”, yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap maju mundurnya sekolah, prestasi, dan kondisi lainya; sedangkan anggota yang kurang atau tidak setia pada organisasi dianalogikan dengan ”orang baru”, cenderung melanggar aturan sekolah. Misalnya jarang datang jika diundang rapat, telat membayar iuran, tidak serius melaksanakan tugas yang diberikan, berbuat sesuka hatinya, dll. ”Orang baru” dapat menjadi penghalang program sekolah, dan pada akhirnya dapat menghambat tercapainya tujuan sekolah.
Ketiga, elek maranakboru, maksudnya pandai-pandailah mengambil hati pihak yang memiliki tenaga, pikiran, kekuatan atau yang memberikan bantuan, baik bantuan tenaga atau yang yang lainnya. Anak boru dalam budaya Mandailing adalah pihak yang bekerja lebih banyak, biasanya mereka lebih sabar pula. Anak boru ini sering pula disebut tungkol ngon lombang, siourus nalobi sitamba naurang. Siapakah anakboru dalam organisasi sekolah? Pengurus dan anggota yang bekerja lebih banyak dapat disebut sebagai anak boru dalam organisasi sekolah, dalam hal ini pendidik dan staf sekolah. Sebagai anggota organisasi sekolah maka sudah sewajarnya jika pendidik dan staf memahami dan melaksanakan tugas mereka dengan sungguh-sungguh. Kepala sekolah harus pandai memperlakukan mereka secara persuasif (mangelek), jangan dibuat mereka mangkir melaksanakan tugas, atau melaksanakan tugas tidak serius (buncut), karena itu harus diciptakan suasana atau iklim organisasi saling marsihaholongan (saling menyayangi). Kalau para anak boru mangkir, maka dapat saja terjadi misalnya, peserta didik tidak memperoleh pelajaran/layanan terbaik dari pendidik dan staf sekolah, surat undangan tak dikirim ke tujuan, atau dibuang ke parit. Harus dijaga jangan sampai timbul perilaku destruktif dari pihak anak boru. Dalam hal ini kepala sekolah (mora) memiliki peran yang utama dalam memberdayakan anak boru dengan sebaik-baiknya.
Dalam adat Mandailing mora, kahanggi, dan anak boru dapat berubah posisinya sesuai dengan kepentingan adat istiadat. Jika saat ini misalnya si A menjadi mora, maka mungkin bulan depan posisinya sebagai anak boru di tempat lain. Di sekolah juga tidak selamanya kepala sekolah sebagai mora, karena ada rentang waktu menjabat sebagai kepala sekolah; ada pula tiba waktunya salah seorang pendidik menjadi kepala sekolah. Oleh karena itu, dalam menjalankan pengelolaan organisasi sekolah sebagai wujud pelayanan terhadap masyarakat perlu didasari dengan rasa kasih sayang (olong), karena kasih sayang akan membawa keakraban (olong maroban domu). Jika terjalin keakraban di antara seluruh warga masyarakat sekolah, maka dapat diasumsikan bahwa program sekolah, betapapun sulitnya, akan dapat dilaksanakan dengan baik.
Bagaimana melaksanakan kaidah adat Dalian Na Tolu dalam pendidikan di sekolah? Bukankah warga sekolah tidak memiliki hubungan pertalian darah atau pertalian perkawinan? Yang menjadi fokus kita adalah bagaimana menerapkan kaidah-kaidah (wujud kearifan lokal) Dalian Na Tolu dalam pengeloaan pendidikan. Anggota atau warga sekolah tidak mesti memiliki hubungan pertalian darah dan perkawinan (markoum marsisolkot), tetapi bagaimana membuat mereka seperti markoum marsisolkot. Selama ini kita sering mendengar istilah Keluarga Besar Sekolah ….., maka dalam hal ini seluruh stakeholder pendidikan merupakan sebuah Keluarga Besar yang memerlukan olong (kasing sayang), dikondisikan seperti markoum marsisolkot.
Sesungguhnya sama dengan penerapan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good corporate governance atau GCG). Hanya saja GCG berasal dari masyarakat global sedangkan Dalian Na Tolu adalah made in lokal. Jika ada kearifan lokal masyarakat di daerah ini yang dapat dijadikan pedoman perilaku dalam pendidikan, mengapa tidak kita coba. Jika sepakat maka langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk menerapkan kaidah-kaidah adat Dalian Na Tolu dalam pendidikan adalah sebagai berikut.
Langkah pertama: Pengenalan (marsitandaan) budaya Mandailing terhadap seluruh stakeholder pendidikan/sekolah. Hal ini didukung dengan literatur yang cukup dan nara sumber yang kompeten.
Langkah kedua: Musyawarah (marpokat) antar stakelholder untuk membuat kesepakatan bersama tentang penerapan kaidah-kaidah dan nila-nilai budaya Mandailing dalam pengelolaan sekolah. Dalam hal termasuk mempertegas posisi, nilai-nilai bersama yang menjadi standar etika, penegasan hak dan kewajiban masing-masing stakeholder.
Langkah ketiga: Menyusun rencana aksi (action plan) dalam rentang waktu tertentu, misalnya 6 bulan atau 12 bulan pertama. Penerapan kaidah-kaidah, nilai-nilai, norma-norma diintegrasikan dalam aktivitas sekolah. Kegiatan ini diikuti pula dengan monitoring dan evaluasi.
Langkah keempat: Menyusun program strategis sekolah dan menerapkan kaidah-kaidah Dalian Na Tolu dalam seluruh aktivitas sekolah secara menyeluruh. Kegiatan ini diikuti dengan evaluasi setiap tahun.
Dalam upacara adat biasanya ada yang disebut Panitia, misalnya Panitia Horja (Pesta), maka semua tugas kepanitian untuk kegiatan pesta dibagi sampai habis. Semua pihak (kahanggi, anakboru, mora) memperoleh tugasnya masing-masing. Dalam ilmplementasi di lapangan kira perlu dibuat pilot proyek oleh Pemerintah Daerah.
F. PENUTUP
Implementasi Dalian Na Tolu sebagai landasan/etika/adab dalam mengelola pendidikan, harus diikuti pula dengan menghindari empat jenis “penyakit” yang dapat menganggu. Keempat penyakit tersebut adalah: (1) buruk sangka (su’uzzhon) kepada orang lain, (2) terlalu bangga dengan suatu jabatan yang akhirnya menjadi sombong, (3) mengungkit-ungkit jasa atau sumbangan yang telah diberikan kepada organisasi, (4) sifat gut-gut.
Pengelolaan pendidikan baik pada tingkat satuan pendidikan, atau tingkat kabupaten/kota, memerlukan suatu mekanisme yang jelas. Kejelasan mekanisme tersebut harus dilandasi dengan nilai-nilai yang disepakati bersama (shared values). Selain itu, pertemuan/rapat dalam rangka membahas program sekolah, atau rencana strategis sekolah, memerlukan kesepakatan awal (initial agreement) di antara stakeholder penddikan mau dibawa kemana pendidikan sekolah tersebut (arah). Hal itu perlu dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman (misunderstanding). Sekolah masa di masa depan dapat bermimpi global tetapi tidak perlumalu dengan kearifan lokal, siapa tahu suatu saat justru kearifan lokal yang dimiliki masyarakat dapat menjadi transetter bagi masyarakat lainnya. Pemikiran ini tentu saja memiliki kelemahan, akan tetapi saat ini dan di masa depan, peluang dan tantangan yang dihadapi makin kompleks dalam mempersiapkan generasi muda untuk hidup survive dalam kompetisi global.***
Irsan Rangkuti adalah peneliti dan pengajar di Universitas Negeri Medan di Tano Doli.
Sumber: http://rangkuti-institute.freehostia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=16&Itemid=27