Minggu, 05 Oktober 2014

"alak koling"



HOLING DI JAWA DAN SUMATRA ?


Menurut sebuah sumber (http://lintasbacaplus.blogspot.com/2011/12/kerajaan-holing.html), pada abad  ke 7 di Jawa Tengah Utara sudah berdiri satu kerajaan bernama Holing, yang bercorak Budha yang diperintah seorang raja putri bernama Ratu Shima.

Berdasarkan sumber sejarah Cina, I-Tsing menyebutkan bahwa seorang temannya bernama Hui-Ning dengan pembantunya bernama Yunki pergi ke Holing pada tahun 664/665 M untuk mempelajari ajaran agama Budha. Ia juga menterjemahkan kitab suci agama Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. Dalam menerjemahkan kitab itu, ia dibantu oleh pendeta agama Budha dari Holing yang bernama Jnanabhadra. Menurut keterangan dari Dinasti Sung, kitab yang diterjemahkan oleh Hui-Ning adalah bagian terakhir kitab Parinirvana yang mengisahkan tentang pembukaan jenazah Sang Budha. Sedangkan cerita Cina pada zaman Dinasti Tang (618 M – 906 M) memberikan keterangan tentang Ho-ling sebagai berikut: (1) Ho-ling atau disebut Jawa terletak di Lautan Selatan. Di sebelah timurnya terletak Pulau Bali dan di sebelah barat terletak Pulau Sumatera; (2) Ibukota Ho-ling dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tonggak kayu; (3) Raja tinggal di suatu bangunan besar bertingkat, beratap daun palem, dan singgasananya terbuat dari gading; (4) Penduduk Kerajaan Ho-ling sudah pandai membuat minuman keras dari bunga kelapa; dan (5) Daerah Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak dan gading gajah.

Ada 2 (dua) penafsiran tentang awal terbentuknya kerajaan Holing, yaitu:

Pertama, hipotesis tentang Kerajaan Mandala Holing.Di Simangambat (Mandailing) terdapat reruntuhan Candi Siwa (Hindu) dari abad ke-8. Candi tersebut jauh lebih tua dari candi-candi di Portibi (Padang Lawas) yang menurut perkiraan para pakar dibangun pada abad ke-11. Dengan adanya candi ini bisa menimbulkan pertanyaan mengapa dan kapan ummat Hindu (orang Hindu) dari India datang ke Mandailing yang terletak di Sumatera yang mereka namakan Swarna Dwipa (Pulau Emas).


Besar kemungkinan orang Hindu datang ke Mandailing yang terletak di Swarna Dwipa adalah untuk mencari emas. Dalam sejarah India, terdapat keterangan yang menyebutkan bahwa sekitar abad pertama Masehi pasokan emas ke India yang didatangkan dari Asia Tengah terhenti. Karena di Asia Tengah terjadi berbagai peperangan. Oleh karena itu kerajaan-kerajaan yang terdapat di India berusaha mendapatkan emas dari tempat lain yaitu dari Sumatera/Swarna Dwipa. Dalam hubungan ini kita mengerti bahwa di wilayah Mandailing yang pada masa lalu hingga kini di dalamnya termasuk kawasan Pasaman terdapat banyak emas. Bukti-bukti mengenai hal ini banyak sekali. Jadi besar sekali kemungkinan bahwa tempat yang dituju oleh orang Hindu dari India untuk mencari emas di Swarna Dwipa adalah daerah Mandailing. Pada masa daerah ini belum bernama Mandailing. Entah apa namanya kita tidak mengetahuinya.


Orang Hindu yang datang ke wilayah Mandailing adalah yang berasal dari negeri atau Kerajaan Kalingga di India. Oleh karena itu mereka disebut orang Holing atau orang Koling (dalam Bahasa Mandailing disebut Alak Koling). Ada kemungkinan mereka masuk dari daerah Singkuang. Karena Singkuang yang merupakan tempat bermuaranya Sungai Batang Gadis cukup terkenal sebagai pelabuhan. Itulah sebabnya tempat tersebut dinamakan Singkuan oleh pedagang Cina yang berarti harapan baru. Karena melalui pelabuhan ini mereka biasa memperoleh berbagai barang dagangan yang penting yang berasal dari Sumatera seperti damar, gitan, gading dan sebagainya.

Menurut dugaan setelah orang Holing/Koling tiba di Singkuang, selanjutnya mereka menyusuri Sungai Batang Gadis ke arah hulunya. Dengan demikian maka akhirnya mereka sampai di satu dataran rendah yang subur yaitu di kawasan Mandailing Godang yang sekarang. Sejak zaman pra sejarah di kawasan tersebut dan di berbagai tempat di Mandailing sudah terdapat penduduk pribumi. Hal ini dibuktikan oleh adanya peninggalan dari zaman pra sejarah berupa lumpang-lumpang batu besar di tengah hutan di sekitar Desa Runding di seberang Sungai Batang Gadis dan bukti-bukti lainnya di berbagai tempat.

Pada waktu orang Holing/Koling sampai di kawasan Mandailing Godang (waktu itu kita tidak tahu nama kawasan ini), maka mereka bertemu dengan penduduk pribumi setempat. Penamaan orang Holing/Koling (alak Koling) digunakan untuk menyebutkan orang Hindu yang berasal dari Negeri Kalingga tersebut dibuat oleh penduduk pribumi. Setibanya di wilayah Mandailing, orang-orang Holing/Koling tersebut menemukan apa yang mereka cari yaitu emas. Kita mengetahui melalui sejarah bahwa emas tercatat sebagai salah satu modal utama dalam berdirinya kerajaan-kerajaan besar dan emas juga merupakan sumber kemakmuran. Setelah orang-orang Hindu menemukan banyak emas di kawasan Mandailing yang sekarang ini, mereka kemudian menetap di kawasan tersebut. Karena orang-orang Holing/Koling menetap di kawasan itu maka dinamakan Mandala Holing/Koling. Mandala artinya lingkungan atau kawasan. Mandala Holing/Koling berarti lingkungan atau kawasan tempat tinggal orang-orang Holing/Koling. Sampai sekarang kita sering mendengar disebut-sebut adanya Banua Holing/Koling. Tetapi orang-orang tidak mengetahui dimana tempat yang dinamakan Banua Holing/Koling itu.


Berdasarkan hipotesis ini kita dapat mengatakan bahwa yang disebut Banua Holing/Koling itu adalah wilayah Mandailing yang dahulu ditempati oleh orang-orang Holing/Koling. Dengan kata lain Banua Holing/Koling adalah Mandala Holing/Koling. Berabad-abad kemudian Mandalan Holing/Koling dikenal sebagai Kerajaan Holing. Dalam hubungan ini, Slamet Mulyana (1979:59) mengemukakan bahwa hubungan dagang dan diplomat antara Cina dan Jawa berlangsung mulai dari berdirinya Kerajaan Holing pada permulaan abad ke-7 sampai runtuhnya Kerajaan Majapahit pada permulaan abad ke-16. Sejalan dengan keterangan Slamer Mulyana ini, kita dapat melihat hubungan antara Kerajaan Holing dengan adanya Candi Siwa di Simangambat yang dibangunkan pada abad ke-8. Dalam hubungan ini dapat pula dikemukan bahwa dari berbagai catatan sejarah disebut-sebut adanya Kerajaan Kalingga dan Kerajaan Holing. Tetapi sampai sekarang para ahli sejarah belum menentukan dimana sebenarnya lokasinya yang pasti. Ada pakar sejarah yang menduga bahwa Kerajaan Kalingga terletak di Jawa Timur tetapi Kerajaan Holing yang disebut-sebut dalam catatan Cina tidak diketahui lokasinya yang pasti. Dan dapat pula dipertanyakan apakah Kerajaan Kalingga adalah yang disebut juga sebagai Kerajaan Holing.

Dengan argumentasi yang telah dikemukan di atas, kita mengajukan dugaan (hipotesis) bahwa yang disebut Kerajaan Holing itu dahulu terletak di wilayah Mandailing yang juga disebut sebagai Kerajaan Mandala Holing/Koling. Kiranya cukup beralasan untuk menduga bahwa nama Mandahiling (Mandailing) yang disebut oleh Mpu Prapanca dalam Kitan Negarakertagama pada abad ke-14 berasal dari nama Mandalaholing yang kemudian mengalami perubahan penyebutan menjadi Mandahiling dan akhirnya kini menjadi Mandailing. Untuk membuktikan kebenaran dugaan atau hipotesis ini tentu masih perlu dilakukan penelitian. Dan ini merupakan tantangan bagi orang Mandailing yang berkedudukan sebagai pakar sejarah.


Diperkiranya orang-orang Hindu menetap di Kerajaan Mandalaholing (Kerajaan Holing/Banua Holing) yang kaya dengan emas berabad-abad lamanya. Yaitu sejak mereka datang pertama kali pada abad-abad pertama Masehi. Sampai abad ke-13 orang-orang Hindu masih ada yang menetap di Mandailing yang sekarang ini. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya cukup banyak peninggalan Hindu/Buddha di wilayah Mandailing. Salah satu diantaranya adalah tiang batu di Gunung Sorik Merapi yang bertarikh abad ke-13, dan di kawasan Mandailing Godang (Pidoli) terdapat lokasi persawahan yang bernama Saba Biara. Yang disebut biara atau vihara adalah tempat orang-orang Hindu-Buddha melakukan kegiatan keagamaan. Pada waktu penulis berkunjung ke tempat yang bernama Saba Biara itu beberapa tahun yang lalu, pada jalan masuk ke lokasi tersebut terlihat di 5 (Lima) tempat adanya batu bata yang tersusun dalam lubang tanah yang dalamnya kurang lebih 2 (dua) meter.  Kemungkinan sekali batu bata yang tersusun itu adalah reruntuhan candi dari zaman dahulu.

Susunan batu bata tersebut ada yang terletak pada gundukan tanah. Ketika orang-orang yang pulang dari sawah penulis tanyakan apakan susunan batu bata seperti yang berada pada gundukan tanah itu ada terdapat di tengah persawahan, mereka mengatakan bahwa semua pulau-pulau (gundukan tanah) yang banyak terdapat di tengah persawahan adalah tumpukan atau susunan batu bata di bawahnya. Oleh karena itu besar sekali kemungkinan bahwa di lokasi yang bernama Saba Biara di Pidoli adalah reruntuhan puluhan candi peninggalan kerajaan Hindu/Buddha (Kerajaan Mandalaholing). Untuk membuktikannya perlu dilakukan eskavasi (penggalian).

Kedua, apabila melihat dari namanya, Kerajaan Kalingga kemungkinan didirikan oleh sekelompok orang India yang mengungsi dari sebelah timur India ke Nusantara. Dugaan ini didasarkan pada laporan tentang penghancuran daerah Kalingga di India Raja Harsja. Orang Kalingga yang tersisa melarikan diri ke luar negeri.

Berita Cina yang berasal dari Dinasti T'ang menyebutkan bahwa letak Kerajaan Holing berbatasan dengan Laut Sebelah Selatan, Ta-Hen-La (Kamboja) di sebelah utara, Po-Li (Bali) sebelah Timur dan To-Po-Teng di sebelah Barat. Nama lain dari Holing adalah Cho-Po (Jawa), sehingga berdasarkan berita tersebut dapat disimpulkan bahwa Kerajaan Holing terletak di Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah.

Sementara J.L. Moens dalam menentukan letak Kerajaan Holing meninjau dari segi perekonomian, yaitu pelayaran dan perdagangan. Menurutnya, Kerajaan Holing selayaknya terletak di tepi Selat Malaka, yaitu di Semenanjung Malaya. Alasannya, Selat Malaka merupakan selat yang sangat ramai dalam aktifitas pelayaran perdagangan saat itu. Pendapat J.L. Moens itu diperkuat dengan ditemukannya sebuah daerah di Semenajung Malaya yang bernama daerah Keling.


Kehidupan politik di Kerajaan Kalingga. "Beratus tahun yang lalu, bersinar terang emas, penuh kejayaan. kersimaharatulah, ratu Shima, nan ayu, anggun, perwira, ketegasannya semerbak wangi di antero nagari nusantara. Sungguh, meski jargon kesetaraan gender belum jadi wacana saat itu. Namun pamor ratu Shima memimpin merajaannya muar miasa, Amat dicintai jelata, wong cilik sampai lingkaran elit kekuasaan. Kebijakannya mewangi kesturi, kembuat gentar para perompak laut. Alkisah tak ada kerajaan yang berani berhadap muka dengan kerajaan Kalingga, Apalagi menantang ratu Shima nan nerkasa. bak Srikandi, sang ratu Panah. Konon, ratu Shima, justru amat resah dengan kepatuhan rakyat, kenapa wng cilik juga para pejabat Mahapatih, Patih, Mahamenteri, dan Menteri, Hulubalang, Jagabaya,Jagatirta, Ulu-Ulu, pun segenap pimpinan divisi kerajaan sampai tukang istal kuda, alias pengganti tapal kuda, kuda-kuda tunggang kesayangannya, tak ada yng Berani menentang sabda Pandita ratunya. Sekali waktu, ratu Shima menguji kesetiaan lingkaran elitnya dengan menukarkan posisi pejabat penting di lingkungan istana. Namun puluhan pejabat yang digantikan ditempat yang tak diharap, maupun yang dipensiunkan, tak tda yang mengeluh barang sepatah kata. Semua bersyukur, kebijakan ratu Shima sebetapapun memojokkannya, dianggap memberi barokah, titah titisan sang yang Maha Wenang." Demikian sedikit informasi tentang kehidupan masyarakat semasa kepemimpinan Ratu Shima.

Berita tentang Ratu Sima yang adil beserta negrinya yang makmur dan rakyatnya yang
jujur telah terdengar sampai ke negeri China dan sampai di telinga Raja Ta-che, sehingga Raja Ta-che penasaran kenapa kerajaan Holing begitu terkenal akan kejujurannya hingga sampai terdengar di China yangg terbilang sangat jauh dari Jawa. Akhirnya Raja Ta-che ingin membuktikan kebenaran dari kejujuran rakyat Holing. Ia pun mengirim utusann ke
Holing untuk membuktikan hal itu. Utusan Raja Ta-che diperintah untuk menaruh pundi- pundi emas secara diam-diam di tengah jalan dekat keramaian pasar. Berhari-hari, berbulan-bulan, hingga sampai tiga tahun, pundi-pundi itu berpindah dari tempatnya, tidak satupun orang yang menyentuh pundi-pundi itu.

Hingga sampailah pada suatu hari, Sang Putra Mahkota yaitu anak tertua dari Ratu Shima berjalan melewati pasar tersebut. Ketika ia berjalan, tak sengaja kakinya menyenggol pundi-pundi tersebut. Salah seorang warga melihat kejadian tersebut, akhirnya ia melaporkan kepada pemerintah kerajaan akan kejadian tersebut. Setelah laporan tersebut terdengar oleh Ratu Shima, Ratu Sima langsung memerintahkan kepada hakim untuk menghukum mati yang tidak lain adalah anaknya sendiri. Ratu Shima menganggap itu hal itu termasuk dalam kejahatan pencurian. Peraturan kerajaan-kerajaan bagi pencuri adalah hukuman mati. Karena Ratu Shima berpendapat bahwa mencuri itu berawal dari menyentuh barang tersebut hingga timbul keinginan untuk mencuri.


Beberapa Patih kerajaan tidak setuju dengan keputusan Ratu Sima. Mereka mengajukan pembelaan untuk Sang Putra Mahkota kepada Ratu Shima. Pembelaan mereka yaitu, Sang Putra Mahkota menyenggol pundi-pundi tersebut karena tidak sengaja dengan kakinya. maka lebih baik cukup kakinya saja yang dipotong, tidak perlu di hukum mati karena ada unsur ketidaksengajaan.

Setelah melalui perdebatan yang panjang, Ratu Shima akhirnya menyetujui pembelaan
dari Patih kerajaan. Sang Putra Mahkota pun akhirnya hanya di hukum potong kaki. Utusan Raja Ta-che kembali ke Cina setelah melihat kebenaran tentang aAdilnya Ratu Shima yang mau menghukum anaknya yang telah melakukan kesalahan dan kejujuran rakyat Holing yang benar-benar luar biasa.

Kerajaan Kalingga memiliki pertalian dengan Kerajaan Galuh. Putri dari Ratu Shima yang dikenal sebagai Putri Parwati menikah dengan putra mahkota Kerajaan Galuh yang dikenal sebagai Mandiminyak – kemudian menjadi raja kedua di Kerajaan Galuh. Daerah wilayah kekuasaan Kerajaan Kalingga meliputi 28 wilayah. Menurut Rouffaer, dalam menjalankan pemerintahannya raja dibantu oleh 32 orang menteri, empat orang duduk di pusat kerajaan dan 28 orang lainnya berada di daerah-daerah.

Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Holing sudah teratur rapi. Hal ini disebabkan karena sistem pemerintahan yang keras dari Ratu Sima. Di samping ini juga sangat adil dan bijaksana dalam memutuskan suatu masalah. Rakyat sangat menghormati dan mentaati segala keputusan Ratu Shima. Rakyat Holing menganut agama Budha. Hal itu dapat diketahui dari berita Cina yang ditulis I-Tshing, yang menjelaskan bahwa pada tahun 644 masehi Hwi-Ning seorang pendeta budha dari Cina datang ke Holing dan menetap selama 3 tahun. Hwi-Ning menterjemahkan salah satu kitab suci agama Budha Hinayana yang berbahasa Sanksekerta ke dalam bahasa Cina. Dalam usahanya Hwi-Ning dibantu oleh seorang pendeta kerajaan Holing yang bernama Jnanabhadra. Hidup rakyat Holing tenteram, karena tidak ada kejahatan dan kebohongan. Berkat kondisi itu rakyat Holing sangat memperhatikan pendidikan. Buktinya rakyat Holing sudah mengenal tulisan, selain tulisan masyarakat. Rakyat dari kerajaan tersebut hidupnya makmur dari hasil bercocok tanam serta mempunyai sumber air asin. Ilmu perbintangan sudah dikenal dan dimanfaat dalam bercocok tanam. Kronik Dinasti Tang memberitakan bahwa daerah yang disebut Holing menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan gading gajah. Penduduk membuat benteng-benteng dari kayu dan rumah mereka beratap daun kelapa. Mereka sudah pandai membuat minuman keras dari air bunga kelapa. Bila makan mereka tidak menggunakan sendok atau sumpit, melainkan menggunakan tangan.

Kehidupan perekonomian masyarakat Kerajaan Holing berkembang pesat. Masyarakat Kerajaan Holing telah mengenal hubungan perdagangan. Mereka menjalin hubungan perdagangan pada suatu tempat yang disebut dengan pasar. Pada pasar itu, mereka mengadakan hubungan perdagangan dengan teratur. kegiatan ekonomi masyarakat lainnya diantaranya bercocok tanam, menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak dan gading. di Holing ada sumber air asin yang dimanfaatkan untuk membuat garam. Hidup rakyat Holing tenteram, karena tidak ada kejahatan dan kebohongan. Namun sistem administrasi kerajaan ini belum diketahui secara pasti.

Prasasti peninggalan Kerajaan Holing adalah Prasasti Tukmas. Prasasti ini ditemukan di Desa Dakwu daerah Grobogan, Purwodadi di lereng Gunung Merbabu di Jawa Tengah. Prasasti bertuliskan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Prasasti menyebutkan tentang mata air yang bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan dengan Sungai Gangga di India. Pada prasasti itu ada gambar-gambar seperti trisula, kendi, kapak, kelasangka, cakra dan bunga teratai yang merupakan lambang keeratan hubungan manusia dengan dewa-dewa Hindu.


Menurut para sejarahwan candi dieng dibangun pada abad ke-7 Masehi. Perintah membangun candi diberikan oleh Ratu Sima dari Dinasti Sanjaya yang memerintah Kerajaan Kalingga. Tujuannya sebagai tempat pemujaan. Ratu Sima juga mendirikan beberapa candi lain di kawasan Dieng, seperti Candi Gatotkaca di bukit Pangonan, Candi Dwarawati di kaki Gunung Prahu, dan Candi Bima yang merupakan candi terbesar di Dieng. Candi-candi yang berada di luar kompleks tersebut pada umumnya terletak menyendiri dan dikelilingi pepohonan.

Hipotesis runtuhnya Kerajaan Holing. Sepertinya kerajaan ini tidaklah hancur/runtuh tetapi setelah Ratu Shima meninggal di tahun 732 M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram. Pada tahun 752, Kerajaan Holing menjadi wilayah taklukan Sriwijaya dikarenakan kerajaan ini menjadi bagian jaringan perdagangan Hindu.(*)


 ~o0o~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar