UPACARA ADAT (ORJA) DI MANDAILING:
SUATU PENGAMATAN AWAL
Oleh: Edi Nasution
PROLOG
Perkataan 'adat-istiadat' adalah bentuk jamak dari kata 'adat', sementara kata 'adat' itu sendiri diserap ke dalam Bahasa Indonesia dari Bahasa Arab. Pengertian dari 'adat-istiadat' (adat) adalah "segala aturan, ketentuan, tindakan, dan sebagainya yang sudah menjadi kebiasaan hidup secara turun temurun" (tradisi).1 Di tanah air kita (Indonesia), 'adat-isiadat' ini merupakan 'warisan leluhur' yang masih eksis di tengah-tengah masyarakat kita yang majemuk hingga sampai sekarang, karena ia ('adat istiadat') itu merupakan suatu tatanan yang mengatur kehidupan bermasyarakat secara tradisional, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di dalam 'adat-istiadat' (adat) itu terkandung 'sistem nilai budaya', 'pandangan hidup' dan 'ideologi' yang dianut oleh setiap 'kelompok etnik' (suku-bangsa).
'Upacara' adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat-istiadat, dan sistem kepercayaan (agama). Jenis upacara dalam kehidupan masyarakat antara lain upacara kematian, perkawinan, dan pengukuhan kepala suku, kelahiran anak, dan sebagainya. Dengan demikian ‘upacara adat’ adalah suatu upacara yang dilakukan secara turun-temurun yang berlaku di suatu daerah. Dalam hal ini, setiap daerah memiliki upacara adat sendiri-sendiri, dan biasanya erat kaitannya dengan unsur sejarah. Karena itu, upacara adat pada dasarnya merupakan bentuk perilaku masyarakat yang menunjukkan kesadaran terhadap masa lalunya. Masyarakat menjelaskan tentang masa lalunya melalui upacara. Melalui upacara, kita dapat melacak tentang asal usul baik itu tempat, tokoh, sesuatu benda, kejadian alam, dan sebagainya.
'Sistem nilai budaya' merupakan tingkatan yang paling tinggi dan abstrak di dalam setiap 'kebudayaan' (culture).2 Hal ini disebabkan oleh karena 'nilai-nilai budaya' merupakan "konsep mengenai apa yang hidup di alam pikiran sebagian besar masyarakat yang dianggap bernilai, berharga dan penting bagi hidup mereka", sehingga 'sistem nilai budaya' tersebut berfungsi sebagai pedoman untuk memberikan 'arah dan orientasi' pada kehidupan setiap kelompok etnik (suku-bangsa). Oleh karena 'konsep' dari suatu 'nilai budaya' biasanya bersifat umum, maka ia (nilai-nilai budaya) memiliki ruang lingkup yang sangat luas dan terkadang sulit dijelaskan secara rasional. Justru karena sifatnya yang umum, luas dan abstrak itulah sehingga 'nilai-nilai budaya' tersebut berada dalam emosional dari jiwa para individunya. Itulah sebabnya mengapa 'nilai-nilai budaya' pada suatu kebudayaan yang dimiliki oleh suatu kelompok etnik (suku-bangsa) tidak dapat digantikan begitu saja dengan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh kelompok etnik (suku-bangsa) lain.
Dalam kebudayaan kelompok etnik, baik yang kompleks maupun sederhana, terdapat sejumlah 'nilai-nilai budaya' yang saling berkaitan dan membentuk suatu sistem (sistem nilai budaya) yang merupakan pedoman dari konsep-konsep ideal dari 'kebudayaan' (culture)3 yang dimiliki oleh suatu kelompok etnik. Menurut seorang ahli antropologi terkenal yaitu C. Kluckhohn (1953), bahwa dalam 'sistem nilai budaya' terdapat 5 (lima) 'masalah dasar' dalam kehidupan manusia, yaitu sebagai berikut:
1. Mengenai hakekat hidup manusia (MH)
Terdapat kebudayaan yang memandang hidup manusia adalah suatu hal yang buruk dan menyedihkan, oleh karena itu harus dihindari. Namun ada juga kebudayaan lain yang memandang hidup manusia adalah suatu hal buruk, tetapi manusia dapat mengusahakan untuk menjadikannya hal yang baik dan menyenangkan.
2. Mengenai hakekat karya manusia (MK)
Kebudayaan yang memandang bahwa karya manusia adalah bertujuan untuk memungkinkan hidup dan memberikan suatu kedudukan dan kehormatan. Namun ada juga kebudayaan lain yang menganggap sebagai gerak hidup yang harus mengahsilkan karya lebih banyak lagi.
3. Mengenai hakekat kedudukan manusia di ruang dan waktu (MW)
Kebudayaan yang memandang penting kehidupan manusia di masa lampau dan mengambil pedoman sebagai tindakannya. Sebaliknya banyak juga kebudayaan dimana orang mempunyai satu pandangan waktu yang sempit. Ada juga kebudayaan lain yang berorientasi sejauh mungkin pada masa yang akan datang yang dianggap penting.
4. Mengenai hakekat hubungan manusia dengan alam (MA)
Kebudayaan yang memandang alam sebagai suatu yang dashyat dan manusia hanya menyerah saja tanpa berusaha banyak. Selain itu, ada kebudayaan yang memandang bahwa alam itu dapat dilawan oleh manusia untuk berusaha menaklukkan alam.
5. Mengenai hakekat hubungan manusia dengan sesama (MM)
Kebudayaan yang sangat mementingkan hubungan vertikal antara manusia dengan sesamanya. Sedangkan ada kebudayaan lain yang mementingkan hubungan horizontal manusia dengan sesamanya. Serta ada juga yang beranggapan bahwa hidup manusia tidak bergantung pada orang lain di hidupnya. Individualisme beranggapan tinggi jika manusia harus berdiri sendiri dalam hidupnya. Berambisi mendapat tujuannya dengan seminimal mungkin bantuan dari orang lain.
Di samping 'nilai-nilai budaya', hal penting lain yang perlu dipahami dalam setiap kebudayan 'kelompok etnik' adalah adalah 'wujud kebudayaan'. Dalam hal ini, pengertian 'wujud kebudayaan' adalah merujuk pada bahasa latin dari kata 'colere' yang artinya adalah mengerjakan, mengolah, dan memelihara tanah atau ladang (Soerjanto Poespowardojo, 1993). Namun ada pendapat lain mengatakan, bahwa kata 'budaya' adalah sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk 'budi-daya', yang berarti daya dan budi. Karena itu mereka membedakan antara 'budaya' dan 'kebudayaan'. Dalam hal ini, 'budaya' adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa; sementara 'kebudayaan' adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu.
Pengertian yang bersifat agraris ini kemudian mulai diterapkan pada hal-hal yang sifatnya ruhaniah (Langeveld, 1993). Pengertian 'budaya' dalam arti lain dinyatakan oleh Ashley Montagu dan Christopher Dawson (1993) yang mengartikan 'budaya' atau 'kebudayaan' sebagai way of life, yaitu terkait dengan suatu cara atau 'mode hidup' tertentu yang dianut oleh suatu bangsa yang di dalamnya terpancar 'identitas tertentu' dari bangsa tersebut. Sedangkan menurut The American Herritage Dictionary (dalam Kotter dan Heskett, 1992), 'kebudayaan' diartikan secara formal yaitu sebagai sebuah keseluruhan pola perilaku yang dicerminkan dalam kehidupan sosial, agama, seni, maupun kelembagaan, serta semua hasil dari pikiran dan kerja manusia pada suatu entitas manusia tertentu. Sementara itu, Koentjaraningrat (1981) memberikan pengertian 'budaya' secara sistemik yaitu keseluruhan gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar. Dalam hal ini, 'kebudayaan' memiliki 3 (tiga) wujud, yaitu:
1. Wujud kebudayaan sebagai kompleks dari ide-de, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.
Wujud pertama adalah wujud ideal kebudayaan. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba dan difoto. Letaknya dalam alam pikiran manusia. Sekarang kebudayaan ideal ini banyak tersimpan dalam arsip kartu komputer, pita komputer, dan sebagainya. Ide-ide dan gagasan manusia ini banyak yang hidup dalam masyarakat dan memberi jiwa kepada masyarakat. Gagasan-gagasan itu tidak terlepas satu sama lain melainkan saling berkaitan menjadi suatu sistem, disebut sistem budaya atau cultural, yang dalam bahasa Indonesia disebut adat istiadat.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
Wujud kedua adalah yang disebut sistem sosial atau sosial sistem, yaitu mengenai tindakan berpola manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi satu dengan lainnya dari waktu ke waktu, yang selalu menurut pola tertentu. Sistem sosial ini bersifat konkrit sehingga bisa diobservasi, difoto dan didokumentir.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud ketiga adalah yang disebut kebudayaan fisik, yaitu seluruh hasil fisik karya manusia dalam masyarakat. Sifatnya sangat konkrit berupa benda-benda yang bisa diraba, difoto dan dilihat. Ketiga wujud kebudayaan tersebut di atas dalam kehidupan ideal dan adat-istiadat mengatur dan mengarahkan tindakan manusia baik gagasan, tindakan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan secara fisik. Sebaliknya kebudayaan fisik membentuk lingkungan hidup tertentu yang makin menjauhkan mansia dari lingkungan alamnya sehingga bisa mempengaruhi pola berpikir dan berbuatnya.
Adat istiadat (adat), norma-norma4 dan hukum merupakan 'nilai-nilai budaya' yang berguna sebagai pedoman untuk mengarahkan dan berorientasi pada hidup yang sifatnya umum. Mengingat 'nilai-nilai budaya' termasuk nilai yang tertinggi di dalam masyarakat, yang bentuknya abstrak serta sifatnya umum, maka 'nilai-nilai budaya; itu tidak dapat dioperasikan secara mudah. 'Nilai-nilai budaya' itu masih harus dijabarkan dalam bentuk 'norma' yang sifatnya operasional. Namun apabila 'norma' itu terlampau umum dan luas, maka 'norma' tersebut, maka tidak dapat mengatur tindakan individu dan dapat pula membingungkan individu tersebut. 'Norma' ini dapat digolongkan dalam pranata ilmiah, pranata estetik, pranata keagamaan, dan lain-lain. Ada juga norma pendidikan, norma politik, norma peradilan, norma ekonomi, dan sebagainya. Dalam tiap pranata ada macam-macam kedudukan di tiap individu yang bertindak dalam peranan interaksi sosialnya. Suatu pranata dan sub-sub pranatanya sangat erat berkaitan merupakan sistem yang terintegrasi pula. Sistem-sistem yang jangkauan lebih luas dapat disebut 'unsur kebudayaan universal'. Dalam hubungan ini, di Mandailing ada 2 (dua) 'istilah lama' (ungkapan tradisional) yang cukup relevan dalam pembahasan topik ini, yaitu Adat Dohot Ugari (adat dan norma) dan Patik Dohot Uhum (peraturan dan hukum).
JENIS DAN BENTUK UPACARA ADAT (ORJA)
Sepanjang yang diketahui ada 3 (tiga) jenis upacara adat (orja) di Mandailing: (1) siriaon ('kegembiraaan'); (2) siluluton ('kesedihan'); dan (3) siulaon ('kekaryaan'). Sedangkan berdasarkan bentuk penyelenggaraannya terbagi atas 3 (tiga) tingkatan, yaitu: (1) orja godang, dimana ternak yang dipotong adalah kerbau (longit), dan pihak-pihak yang diundang cukup banyak yaitu kelompok kekerabatan dalian na tolu (mora, kanggi, dan anak boru), raja-raja torbing balok ('para pemimpin huta tetangga'), namora natoras, dan raja panusunan bulung; (2) orja manonga, dimana ternak yang dipotong adalah kambing, dan pihak-pihak yang diundang adalah kelompok kekerabatan dalian na tolu (mora, kahanggi, dan anak boru), namora natoras dan raja pamusuk di huta ('kampung') tempat pelaksanaan orja; dan (3) orja menek, dimana ternak yang dipotong adalah ayam, dan orang-orang yang diundang terbatas yaitu hanya koum-sisolkot (kaum-kerabat) yang terdekat saja.
Apabila seseorang (sebuah 'keluarga batih') hendak menyelenggarakan suatu upacara adat (orja), maka ia harus terlebih dahulu memusyawarhkannya dengan kelompok kekerabatan se-marga-nya, yaitu kahanggi, untuk mencapai domu ni tahi ('kesepakatan bersama') agar niat untuk melaksanakan upacara adat (orja) itu terwujud. Untuk itu, mereka biasanya terlebih dahulu melaksanakan 'pokat menek' ('musyawarah kecil') untuk mufakat melaksanakannya di tempat kediaman (rumah) dari saudara se-marga mereka (suhut) yang berkeinginan (berniat) untuk melaksanakannya upacara adat (orja) tersebur, dan dalam 'pokat menek' itulah mereka membicarakan berbagai hal penting tentang penyelenggaraannya untuk disepkati bersama. Dalam hal ini, ada ungkapan tradisional yang mengatakan: tampak do rantosna rim tahi do gogona. Maksudnya, "kesepakatan dan kebersamaan adalah sumber kekuatan". Sejalan dengan itu, ada pula ungkapan lain yaitu rukrek ni parau maroban tu rapotna. Maksudnya, "meskipun terjadi silang-pendapat dalam setiap musyawarah namun pada akhirnya akan dapat menciptakan kekompakan dan menghasilkan kesepakatan".
Setelah beberapa hal pokok mengenai pelaksanaan upacara adat (orja) tersebut disepakati bersama (sapokat), maka beberapa hari kemudian barulah dilaksanakan musyawarah lanjutannya yang lebih besar, yaitu 'pokat godang' dengan mengundang kehadiran kelompok-kelompok kekerabatan dalian na tolu (mora, kahanggi, dan anak boru), kelompok kekerabatn lain ( seperti mora ni mora, anak boru ni anak boru/pisang raut), serta raja panusunan bulung dan namora natoras.5
Kegiatan pokat godang ini biasanya diselenggarakan pada malam hari setelah selesai sholat Isya, dan acara marpokat dimulai dengan terlebih dahulu manyurdu burangir adat (napuran)6 oleh anak boru atau pisang raut secara bergiliran ke hadapan raja panusunan bulung, namora natoras, dan seterusnya kepada mora ni mora, mora, suhut, dan yang lain-lain. Setalah selesai manyurdu burangir adat, barulah mereka lakukan kegiatan markobar ('berpidato adat'), yang dimulai oleh kahanggi ni suhut sebagai 'pembuka' untuk menjelaskan niat mereka untuk menyelenggarakan upacara adat (orja) tersebut. Seterusnya yang markobar secara bergiliran adalah anak boru, pisang raut, mora ni mora, mora, dan diakhiri oleh hatobangon, yang kesemuanya menyatakan dukungan penyelenggaraan upacara adat (orja) tersebut, lalu kemudian acara marpokat itu ditutup dengan pembacaan do'a oleh seorang alim ulama.
Dalam acara 'pokat godang' ini telah disepakati dan ditetapkan pekerjaan (tugas) dari masing-masing kelompok kekerabatan dan pihak-pihak lain dalam rangka penyelengaraan upacara adat (orja) tersebut misalnya seperti naposo nauli bulung ('para muda-mudi') ditugaskan untuk pataonkon (mengundang para pemimpin masyarakat dan kaum-kerabat untuk menghadiri upacara adat tersebut, baik yang berdomisili di kampung tempat penyelenggaran upacara adat maupun ke kampung-kampung tetangga) dan mangoloi ('meladeni makan bersama para tamu undangan'), umak-umak ('kaum ibu') ditugaskan untuk mardahan ('menanak nasi') dan ama-ama ('kaum ayah') untuk marmasak ('memasak lauk-pauk').7
Koum-sisolkot (kaum-kerabat) yang berdomisili di kampung yang cukup jauh dari kampung tempat pelaksanaan upacara adat, yang telah ipataon (diundang) untuk datang menghadiri upacara adat (orja) tersebut, seringkali sudah datang lebih awal sebelum dilangsungkannya orja (upacara adat) tersebut. Untuk itu mereka menginap satu-dua malam di rumah saudara se-marga (kahanggi) mereka di kampung tersebut, dan ada kalanya mereka turut juga membantu persiapan pelaksanaan orja itu.
Pada hari 'H' pelaksanaan upacara adat (orja) yang biasanya berlangsung di pagi hari, penduduk kampung, kaum-kerabat, pemimpin dan tokoh masyarakat, serta para tamu undangan lainnya berdatangan secara beramai-ramai ke rumah tempat penyelenggaraan orja tersebut. Biasanya, umak-umak ('kaum ibu') datang dengan membawa satu 'muk' beras yang dimasukkan ke dalam wadah khusus untuk itu (baul-baul) sebagai tanda partisipasi untuk diberikan kepada 'tuan rumah' sebagai penyelenggara upacara adat (orja).
Orja Siriaon (upacara adat perkawinan) dalam masyarakat Mandailing hingga kini masih berlangsung secara tradisional. Dalam hal ini, orang Mandailing menganut adat perkawinan manjujur, yang bersifat exogamy patriarchat, dimana setelah upacara adat perkawinan dilaksanakan, maka 'pengantin wanita' meninggalkan klannya dan masuk ke klan (marga) suaminya dan suaminya menjadi kepala keluarga dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu akan mengikuti klan (marga) dari ayahnyanya. Idealnya perkawinan dalam masyarakat Mandailing secara adat-istiadat adalah antara anak namboru dengan boru tulang-nya.8 Penerapan adat manjujur dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan dari pihak keluarga wanita atas hilangnya seorang anggota keluarga mereka yang telah masuk menjadi anggota keluarga suami. Adapun 'materi' (benda) yang akan diberikan sebagai jujur adalah berupa sere sebagai 'mas kawin' (tuor) dan istilah menyerahkan jujur ini disebut manulak sere yang berarti untuk masa sekarang sebagai bantuan untuk melengkapi keperluan pihak gadis untuk barang bawaannya (seperti untuk membeli kasur, pakaian, dan lainnya) ataupun untuk tambahan biaya penyelenggaraan upacara adat perkawinan (orja). Dalam proses manulak sere ini pihak calon mempelai pria diwajibkan membawa batang boban (mahar) yang besarnya telah disepakati sebelumnya ke rumah calon mempelai wanita.
Bagan 1. Tutur ego (pemuda) berdasrkan hubungan perkawinan.9
Ketika duduk berdua di pelaminan, kedua mempelai (namora pule) mengenakan 'pakaian adat' seperti ampu sebagai 'topi' pengantin pria, serta bulang untuk pengantin wanita pada bagian kepala dan gajah meong dikalungkannya. Dalam perkawinan keturunan bangsawan (namora-mora), setelah kedua mempelai menjalani prosesi mangupa-upa dan manabalkan goar harajaon (khusus bagi pengantin pria), lalu keduanya manortor diiringi ensambel musik gondang dua (gondang topap).
Di samping itu, manortor pula raja panusunan bulung bersama namora natoras, raja-raja tording balok, mora (dan mora ni mora) yang di-ayapi (isembar) oleh anak boru (pisang raut), suhut berama kahanggi dan naposo nauli bulung; sementara itu ensambel musik gordang sambilan dibunyikan di sopo godang ('balai sidang adat') dengan memainkan sejumlah repertoar, dan 'bendera-bendera adat' pun berkibar-kibar di halaman bagas godang ('istana raja').
Kemuanya itu membuat semarak suasana upacara adat perkawinan (orja siriaon) tersebut, yang ada kalanya berlangsung meriah selama tujuh hari tujuh malam berturut-turut. Di siang hari setelah sholat zuhur, semua orang yang menghadiri upacara adat (orja) itu makan bersama di rumah-rumah penduduk huta yang diladeni oleh naposo nauli bulung.
Orja Siluluton (upacara adat kematian) dalam masyarakat Mandailng hingga kini juga masih berlangsung secara tradisional yang disebut mambulungi. Menurut adat Mandailing, seorang yang pada waktu perkawinannya dilaksanakan dengan upacara adat perkawinan (orja), maka pada saat meninggalnya juga harus dilakukan dengan upacara adat kematian, terutama bagi namora-mora (kaum bangsawan). Seorang anak keturunan raja di Mandailing, apabila ayahnya meninggal dunia maka diwajibkan untuk melaksanakan upacara adat mambulungi. Apabila upacara adat mambulungi tersebut belum terlaksana (disebut mandali), maka bagi turunan (keluarganya) akan tetap menjadi utang adat (kewajiban) selamanya. Sebagai konsekwensinya, apabila belum terlaksana juga, maka jika ada keturunannya yang akan menikah, tidak diperbolehkan mengadakan upacara adat perkawinanan (orja siriaon).
Orja Siulaon (upacara adat 'berkarya') adalah suatu upacara adat yang dilaksanakan untuk memulai suatu aktivitas (berkarya) secara bersama-sama dalam menyelesaikan suatu perkerjaan tertentu, seperti mendirikan rumah baru, mendirikan perkampungan baru (mamungka huta), membuka areal persawahan baru, dan sebagainya. Boleh dikatakan bahwa orja Siulaon ini merupakan 'kearifan-kearifan lokal' (local genius) yang membuat kebudayaan 'kelompok etnik' itu memiliki 'akar' (root) yang esensial dan karena itu setiap kebudayaan kelompok etnik tersebut seringkali berfungsi sebagai sumber atau acuan bagi kreativitas baru (inovasi). Kearifan lokal Mandailing yang dapat dilihat dengan mata (tangible) hingga kini antara lain seperti seni pertunjukan godang sambilan dan tortor, rumah adat bagas godang dan sopo godang, serta yang lain-lainnya.
EPILOG
Di tanah air kita (Indonesia) tercinta ini terdapat berbagai jenis dan bentuk upacara adat yang dilaksanakan oleh kelompok-kelompok etnik, termasuk masyarakat Mandailing yang hidup dan berkembang di provinsi Sumatera Utara. Dengan adanya berbagai jenis dan bentuk upacara adat tersebut sudah pasti semakin menambah aneka warna kebudayaan nasional (Indonesia). Apalagi yang namanya upacara adat perkawinan, pada setiap kelompok etnik tersebut memiliki cara yang berbeda antara yang satu dengan yang lainya. Seperti upacara adat perkawinan misalnya sebagai peristiwa penting dalam siklus kehidupan umat manusia, dirasa perlu disakralkan dan dikenang. Untuk itu, dibuatlah ritusnya. Pelaksanaan upacara tradisional suatu masyarakat umumnya sangat menarik, karena memiliki keunikan, kesakralan, serta nilai-nilai budaya dan moral yang terkandung di dalamnya, adalah juga merupakan kearifan-kearifan lokal (local geneus) milik kita yang dapat menjadi sumber ide untuk melakukan kerja kreatif dan inovatif di berbagai bidang seni.[EN]
Gandoang, 20 Desember 2013
==============================================================
FOOTNOTE
1 Lihat: http://www.organisasi.org/1970/01/arti-istilah-ungkapan-adat-istiadat-kamus-ungkapan-bahasa-indonesia.html, diakses tgl. 18 Desember 2013.
2 Pengertian 'budaya' menurut The American Herritage Dictionary (dalam Kotter dan Heskett, 1992), kebudayaan diartikan secara formal yaitu sebagai sebuah keseluruhan pola perilaku yang dicerminkan dalam kehidupan sosial, agama, seni, maupun kelembagaan, serta semua hasil dari pikiran dan kerja manusia pada suatu entitas manusia tertentu. Sementara itu, Koentjaraningrat memberikan pengertian budaya secara sistemik yaitu keseluruhan gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar. Menurut B. Malinowski. Kebudayaan didunia mempunyai tujuh unsure universal, yaitu : (1) Bahasa; (2) Religi; (3) Kesenian; (4) Organisasi Sosial; (5) Sistem Teknologi; (6) Sistem Pengetahuan; dan (7) Sistem Mata Pencarian.
3 Konsep 'kebudayaan' menurut ahli antropologi dan sosiologi "is coming to be regarded asthe foundation stone of the social sciences. This recent statement by Stuart Chase1 willnot be agreed to, at least not without reservation, by all social scientists,2 but fewintellectuals will challenge the statement that the idea of culture, in the technicalanthropological sense, is one of the key notions of contemporary American thought. Inexplanatory importance and in generality of application it is comparable to suchcategories as gravity in physics, disease in medicine, evolutiou in biology. Psychiatristsand psychologists, and, more recently, even some economists and lawyers, have cometo- tack on the qualifying phrase "in our culture" to their generalizitions, even thoughone suspects it is often done mechanically in the same way that mediaeval men added aprecautionary "God Willing" to their utterances. Philosophers are increasinglyconcerned with the cultural dimension to their studies of logic, values, and aesthetics,and indeed with the ontology and epistemology of the concept itself. The notion hasbecome part of the stock in trade of social workers and of all those occupied with thepractical problems of minority groups and dependent peoples. Important research inmedicine and in nutrition is oriented in cultural terms. Literary men are writing essaysand little books about culture. The broad underlying idea is not new, of course. The Bible, Homer, Hippocrates,Herodotus, Chinese scholars of the Han dynasty-to take only some of the more obviousexamples-showed an interest in the distinctive life-ways. Lihat A. L. Kroeber, Clyde Kluckhohn, & Wayne Untereiner, Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions, (New York: Vintage Books,1952), hlm. 3.
4 Norma ialah aturan-aturan tingkah laku yang dirumuskan secara jelas, terperinci, tegas dan tidak meragukan. Sedangkan 'tingkah laku' yang selalu berulang secara terpola dan terorganisir dinamakan 'kebiasaan'.
5 Dalam upacara-upacara adat sekarang di Mandailing, istilah Raja Panusunan Bulung dan Namora Natoras telag digantikan dengan istilah Hatobangon ('orang-orang yang dihormati/dituakan) dan alim-ulama (pemuka agama Islam).
6 Pada Napuran yang dipersembahkan oleh anak boru atau pisang raut tersebut adalah perlengkapan 'sirih adat' yang terdiri dari: (1) abit na so ra buruk ('kain adat'); (2) salipi yaitu sejenis wadah berupa anyaman pandan yang dihiasi dengan 'manik-manik' dan benang berwarna merah hitam, dan putih (salipi diletakkan di atas 'kain adat'); dan (3) burangir adat beserta kelengkapannya (daun sirih, buah pinang, tembakau, soda dan sontang) yang diletakkan di atas salipi yaitu buah pinang, tembakau, Menurut Raja Junjungan Lubis. Bahwa mengumpulkan kelima jenis kelengkapan sirih itu di atas lembaran daun sirih yang sifat, rasa, dan coraknya berlainan, serupa dengan mengumpulkan orang-orang yang berlainan pikiran dan pendapat untuk musyawarah untuk mufakat (marpokat). Kemudian mengunyah-ngunyah sirih itu sampai lumat yang berarti memadu dengan mempersatukan segala unsure itu sampai mencapai satu kesatuan pendapat (sapokat), seperti kata pepatah lama: "bulat air karena pembuluh bulat kata karena mufakat". Meleburnya segala jenis unsure-unsur yang berlainan dari kelengkapan sirih itu menjadi satu corak warna saja melambangkan "kebulatan tekad persatupaduan dan kegotongroyongan. Inti sari dari 'sirih adat' ialah melambangkan permusyawaratan, persatupaduan, dan kegotongroyongan. Dalam hubungan ini, budayawan Mandailing Z.Pangaduan Lubis mengatakan: "anggo inda tibal burangir inda dong dalian na tolu". Artinya, kalau tidak ada 'sirih adat', maka tidak ada pembicarakan adat, dan adat tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya Dalian Na Tolu. Lihat Edi Nasution, Tulila: Muzik Bujukan Mandailing, (Penang-Malaysia: Areca Books, 2007), hlm. 132.
7 Deskripsi mengenai proses dan tahap-tahapan kegiatan markobar ('berpidato adat') lihat H. Armeyn Nasution, Hata Bou: Mandok Ulang Agoan, (Medan: Yayasan Bindu Nusantar, 2013); dan juga M. Bakhsan Parinduri, Pedoman Markobar Dalam Budaya Mandailing, (Medan: CV. Deli Grafika, 2013).
8 Anak namboru dan boru tulang adalah tutur (nama sebutan berdasarkan hubungan kekerabatan) dalam masyarakat Mandailing. Anak namboru adalah tutur dari wanita kepada anak laki-laki dari namboru (bou) dari si wanita tersebut berdasarkan hubungan kekerabatan, dan sebaliknya si laki-laki memangggil si wanita (anak gadis dari adik/kakak perempuan dar ayahnya itu) dengan tutur boru tulang.
9 Edi Nasution, Tulila: Muzik Bujukan Mandailing… Op.Cit, hlm. 70.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar