Kamis, 12 Desember 2013

Kebudayaan & Peradaban Manusia


'KEBUDAYAAN' MELAHIRKAN 'PERADABAN'
Oleh: Syamsir Alamsyah Batubara


PENGANTAR


Kata 'kebudayaan' dan 'peradaban' sering kita baca di dalam buku dan juga kita dengar ketika diucapkan orang, tetapi sering kali keduanya dimaknai sama. Memang, kalau dilihat dari satu sisi, pengertian dari 'kebudayaan' dan 'peradaban' hampir mirip, namun sebenarnya memiliki makna yang berbeda. Banyak ahlinya yang sepakat bahwa 'peradaban' dilahirkan oleh kebudayaan, dimana tidak ada manusia yang tidak berbudaya karena tidak ada manusia yang hidup sendirian. Oleh sebab itulah, sekelompok manusia yang hidup bersama (masyarakat) pasti akan melahirkan sebuah kebudayaan, yang pada gilirannya dapat pula berkembang menjadi suatu 'peradaban'1.

Di Indonesia, kata 'kebudayaan' berasal dari bahasa Sansekerta yaitu 'buddayah', adalah bentuk jamak dari kata 'budhi' yang artinya 'budi' atau 'akal'. Dalam hal ini, 'kebudayaan' diartikan sebagai "hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal". Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah "keseluruhan dari kelakuan manusia dan hasil yang harus didapatkannya dengan belajar, dan semua itu tersusun dalam kehidupan masyarakat".2 Sebelumnya, Selo Soemardjan dan Soelaeman Soenardi (1964), merumuskan "kebudayaan sebagai semua hasil karya, cipta, dan rasa masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat digunakan untuk keperluan masyarakat".3

Sementara itu dalam bahasa Inggris, 'kebudayaan' disebut 'culture'. Sebuah istilah yang relatif baru karena istilah 'culture' sendiri dalam bahasa Inggris baru muncul pada pertengahan abad ke-19. Sebelum tahun 1843, para ahli antropologi memberi arti kebudayaan sebagai cara mengolah tanah, usaha bercocok tanam, sebagaimana tercermin dalam istilah 'agriculture' dan 'holticulture'. Hal ini dapat dimengerti karena istilah 'culture' berasal dari bahasa Latin, yaitu 'colere' yang berarti pemeliharaan, pengolahan tanah pertanian. Dalam arti kiasan kata 'colere' itu juga diberi arti "pembentukan dan pemurnian jiwa". Sekitar sepuluh tahun kemudian, E.B. Tylor (1871) membuat definisi kebudayaan sebagai "kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat".4 

Sedangkan istilah 'peradaban' dalam bahasa Inggris disebut 'civilization'. Istilah 'peradaban' ini sering dipakai untuk menunjukkan pendapat dan penilaian kita terhadap perkem-bangan kebudayaan. Sewaktu perkembangan kebudayaan mencapai puncaknya yang berwujud unsur-unsur kebudayaan yang halus, indah, tinggi, sopan, luhur, dan sebagainya, maka masyarakat pemilik kebudayaan tersebut dikatakan telah memiliki peradaban yang tinggi. Menurut Arnold Joseph Toynbee (1965)5, peradaban adalah "kebudayaan yang telah mencapai taraf perkembangan teknologi yang sudah lebih tinggi". Sementara Samuel P. Huntington (1993)6 mendefinisi peradaban adalah "sebuah identitas terluas dari budaya, yang teridentifikasi melalui unsur-unsur obyektif umum, seperti bahasa, sejarah, agama, kebiasaan, institusi, maupun melalui identifikasi diri yang subyektif".

Istilah 'peradaban' telah ditetapkan dan dipahami dengan berbagai cara dalam situasi dimana tidak ada definisi standar yang diterima secara luas. Kadang-kadang peradaban disamakan dengan kebudayaan. Peradaban juga dapat merujuk kepada masyarakat secara keseluruhan. Pada abad kesembilan belas antropolog Inggris E.B. Tylor mendefinisikan 'peradaban' adalah "the total social heredity of mankind". Dengan kata lain, peradaban adalah totalitas pengetahuan dan budaya manusia yang diwakili oleh masyarakat yang paling 'maju' pada waktu tertentu.7

Bertolak dari pengertian 'kebudayaan' dan 'peradaban' tersebut di atas tampak cukup jelas perbedaan diantara keduanya. Perbedaan antara 'kebudayaan' dan 'peradaban' ini lebih jelas lagi diungkapkan oleh Edward Spranger dan Paul John William Pigors  (1928) yang mengartikan 'kebudayaan' sebagai "segala bentuk atau ekspresi dari kehidupan batin masyarakat". Sedangkan 'peradaban' ialah "perwujudan kemajuan teknologi dan pola material kehidupannya". Dengan demikian, maka sebuah bangunan yang indah sebagai karya arsitektur mempunyai dua dimensi yang saling melengkapi, yaitu dimensi seni dan falsafah, yang berakar pada kebudayaan. Sedangkan kecanggihan penggunaan material dan pengolahannya merupakan hasil peradaban. Dengan kata lain, 'kebudayaan' ialah "apa yang kita dambakan", sedangkan 'peradaban' ialah "apa yang kita pergunakan". Kebudayaan tersebut tercermin dalam seni, bahasa, sastra, aliran pemikiran, falsafah, sistem kepercayaan dan moral yang dicita-citakan, dan sebagainya. Sementara 'peradaban' tercermin dalam politik praktis, ekonomi, teknologi, ilmu-ilmu terapan, sopan-santun pergaulan, penerapan hukum dan lain sebagainya.8

Kebudayaan (culture) adalah seluruh hasil 'budi-daya' manusia, baik 'material' seperti Bagas Godang (istana raja) dan Sopo Godang (balai sidang adat) maupun 'immaterial' seperti Tortor (tarian adat), Gordang Sambilan (musik adat), Markobar (berpidato adat), Marturi (cerita lisan), Partuturan (nama sapaan berdasarkan hubungan kekerabatan), Baso (etika), dan lain sebagainya - di dalam kebudayaan masyarakat Mandailing sebagai salah satu kelompok etnik di Indonersia. Sedangkan 'peradaban' (civilization) merupakan akumulasi dari seluruh budaya materil dan immaterial tersebut. Sebuah peradaban mulai berkembang di saat manusia mampu keluar dari ketakutan dan instabilitas yang melingkupi hidupnya, karena di saat manusia merasa bahwa dia berada dalam waktu dan tempat yang aman, maka seluruh potensi yang dimilikinya akan diarahkan pada usaha untuk memahami hidup dan berupaya untuk mengembangkannya guna meningkatkan kualitas hidupnya. 

Peradaban hanyalah milik manusia, karena makhluk selain manusia tidak memiliki kemampuan untuk membangun sebuah peradaban, setidaknya hinggai saat ini belum ada ditemukan suatu peradaban selain yang dimiliki oleh manusia. Hanya saja, peradaban yang dimiliki oleh suatu kelompok etnik tertentu berbeda - baik kualitas maupun kuantitasnya - jika dibandingkan dengan peradaban yang dimiliki oleh kelompok-etnik lainnya. Dalam perjalanannya, peradaban-peradaban besar yang dimiliki oleh ummat manusia mengalami timbul dan tenggelam (pasang-surut), berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu ummat ke ummat yang lain. Namun demikian hal ini tidak menutup kemungkinan adanya lebih dari satu peradaban besar yang hadir dalam satu masa. 


TUMBUH-KEMBANGNYA KEBUDAYAAN (PARADABAN)

Manusia adalah makhluk sosial yang berarti manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa adanya dorongan dan bantuan dari pihak luar. Begitu pula dengan kebudayaan, yang tidak akan berjalan kalau tidak ada yang melestarikan atau menggerakkannya, yaitu manusia. Dengan demikian jelas bahwa hubungan antara manusia dan kebudayaan sangat erat sekali. Dalam hal ini, kebudayaan ada karena diciptakan oleh manusia, dan manusia dapat hidup di dalam kebudayaan yang diciptakannya. Dan kebudayaan akan terus hidup dan berkembang jika ada manusia sebagai pendukungnya.

Kebudayaan yang dikembangkan oleh manusia akan berimplikasi terhadap lingkungan tempat kebudayaan itu berkembang. Setiap kebudayaan memancarkan suatu ciri khas dari masyarakat pendukungnya, yang tampak dari luar. Dengan mengkaji pengaruh kebudayaan terhadap lingkungan kita akan mengetahui mengapa suatu lingkungan tertentu berbeda dengan lingkungan lainnya, dan menghasilkan kebudayaan yang berbeda pula. Beberapa variable yang berhubungan dengan masalah lingkungan dan kebudayaan antara lain:9
1. Phisical environment, yaitu lingkungan fisik yang menunjuk kepada lingkungan natural seperti flora, fauna, iklim, dan sebagainya. 
2. Cultural social environment, meliputi aspek-aspek kebudayaan beserta proses sosialisasinya seperti norma-norma, adat-istiadat, nilai-nilai budaya, dan sebagainya.10
3. Environmental orientation and representation, mengacu pada persepsi dan kepercaayaan kognitif yang berbeda-beda pada setiap masyaraakat mengenai lingkungannya.
4. Environmental behavior and process, meliputi bagaimana masyarakat menggunakan lingkungan dalam hubungan sosial.
5. Out carries product, meliputi hasil tindakan manusia seperti membangun rumah, komunitas, dan sebagainya.

Meski tidak diakui secara umum, sebenarnya peran yang dimainkan oleh ekonomi dalam pembentukan kebudayaan sangat penting. Setiap manusia memiliki kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Untuk menyediakan kebutuhan tersebut adalah fungsi ekonomi karena kebutuhan ini dipenuhi melalui sistem produksi dan distribusi. Di luar kebutuhan itu, kebanyakan orang juga ingin - hal-hal yang mereka inginkan untuk membuat hidup mereka lebih nyaman dan menyenangkan. Sepanjang sejarah kebutuhan manusia tetap sama: di dunia kuno orang membutuhkan makanan, pakaian, dan tempat tinggal - dan mereka masih melakukannya hingga hari ini. Bahkan, sepanjang sejarah kebanyakan orang harus puas dengan memenuhi kebutuhan mereka, dan berkeinginan untuk sesuatu yang lebih yang belum terpenuhi. Hanya orang yang sangat kaya dan kuat yang mampu membayar ekstra untuk memiliki rumah bagus, makanan yang lebih baik, perawatan medis yang baik, kenikmatan seni, pakaian mahal dan perhiasan.11

Oleh karena kebudayaan adalah hasil cipta, karsa dan rasa manusia, maka kebudayaan mengalami perubahan dan juga perkembangan sejalan dengan perkembangan manusia itu sendiri. Kebudayaan yang dimiliki oleh suatu kelompok etnik tidak akan terhindar dari pengaruh kebudayaan kelompok etnik lain dengan adanya kontak-kontak antar kelompok etnik melului proses difusi, asimilasi dan akulturasi. 
Dalam alam yang baik, manusia akan berusaha untuk mendirikan suatu kebudayaan, seperti di Eropa, India, dan Cina. Di daerah yang terlalu dingin seolah-olah kegiatan manusia membeku (Eskimo) dan di daerah yang terlalu panas tidak dapat timbul suatu kebudayaan (Sahara, Kalahari, dan Gobi). Maka apabila tantangan alam itu baik, maka timbullah suatu kebudayaan.12 

Tumbuh dan berkembangnya sebuah peradaban sangat ditentukan oleh tersedia atau tidaknya faktor-faktor utama pembentuk peradaban itu sendiri. Apabila faktor-faktor ini tersedia dengan baik, maka sebuah peradaban akan dapat tumbuh dan berkembang. Sebaliknya, pertumbuhan suatu peradaban akan terhenti, bahkan bisa jadi punah, apabila faktor-faktor pembentuknya tidak lagi tersedia. Paling tidak ada 4 (empat) faktor utama pembentuk peradaban manusia, sebagai berikut:13

Pertama, dalam pertumbuhan peradaban manusia sangat ditentukan oleh kondisi geologis kulit bumi, baik bagian luar maupun bagian dalam. Misalnya pada Zaman Es (Ice Age), di saat permukaan bumi hanya menyisakan sedikit ruang bagi manusia untuk bergerak, peradaban manusia belum tumbuh. Dalam hal ini, 'kesuburan tanah' sangat menentukan tumbuh berkem-bangnya suatu peradaban. Demikian juga halnya dengan kekayaan yang dikandung oleh perut bagian bumi yang dihuni oleh suatu kelompok etnik, terutama setelah mereka memiliki cukup kemampuan untuk mengeksploitasi dan mengeksplorasi kekayaan tersebut. Pergeseran kulit bumi bagian dalam pun juga sangat menentukan hidup matinya sebuah peradaban, karena apabila pergeseran itu terjadi secara drastis maka dapat menjadi penyebab hancurnya sebuah peradaban. Intinya, perkembangan sebuah peradaban mensyaratkan adanya tanah yang subur untuk lahan pertanian dan/atau barang tambang yang dikandung oleh perut bumi, dan selain itu juga mensyaratkan amannya daerah tempat pertumbuhan peradaban tersebut dari bahaya gempa bumi yang sewaktu-waktu datang melanda.

Kedua, adalah faktor geologis, yaitu mencakup suhu udara, iklim, curah hujan, posisi suatu daerah dari jalur perdagangan dunia, dan lain sebagainya. Umumnya, suatu daerah dengan suhu udara yang terlalu panas, atau banyak ditumbuhi parasit, tidak kondusif bagi tumbuh-kembangnya suatu peradaban. Demikian juga daerah yang tersebar di dalamnya berbagai macam penyakit, karena pada saat itu seluruh kemampuan yang dimiliki oleh penduduknya diarahkan untuk sekedar bertahan hidup dan menjaga keturunan, tanpa tersisa sedikit pun energi untuk mengembangkan budaya immaterial seperti seni dan adat-istiadat misalnya.

Curah hujan yang cukup banyak turun di suatu daerah juga merupakan faktor yang sangat dominan, karena air adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam hidup, bahkan bisa jadi lebih penting dari cahaya matahari sekali pun. Perubahan suhu global yang melanda bumi, yang berimbas pada perubahan curah hujan, sangat berpengaruh bagi hidup-matinya sebuah peradaban. Sebuah peradaban yang dulu berkembang pesat bisa hancur dan punah disebabkan karena langit tak lagi meneteskan air, seperti yang dialami oleh peradaban Mesopotamia.

Di samping itu, posisi suatu daerah dari peta perdagangan dunia juga sangat berpengaruh bagi maju-mundurnya suatu peradaban. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan oleh laju pertukaran komoditi dari dalam daerah ke luar dan sebaliknya. Sebuah daerah yang terletak pada jalur perdagangan dunia lebih memiliki kesempatan untuk maju bila dibandingkan dengan daerah yang jauh dari jalur perdagangan tersebut. Inilah yang menyebabkan kenapa peradaban-peradaban lama yang kita kenal - seperti Yunani,  Mesir dan Cina  - selalu terletak di pesisir dengan pantai yang landai atau di lembah sungai yang memungkinkan berlabuhnya armada-armada dagang.

Ketiga, adalah faktor ekonomi, yang bagi pertumbuhan sebuah peradaban bisa dikatakan lebih penting jika dibandingkan dengan faktor geologis dan geografis. Sebuah kelompk etnik bisa jadi memiliki institusi sosial yang teratur, undang-undang moral yang tinggi, dan bahkan kesenian - seperti halnya suku Indian di Amerika - dimana semua itu cukup bagi mereka untuk mengembangkan peradabannya selama mereka masih bersandar dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dari berburu dan meramu. Contoh lain, suku Badui yang ada di jazirah Arab boleh jadi memiliki nilai-nilai moral yang mulia, seperti keberanian, kesetiaan, dan lain-lain. Namun, selama itu hanya digunakan untuk berburu dan berdagang, maka nilai-nilai tersebut tidak akan banyak membantu pertumbuhan peradaban yang mereka miliki.

Tumbuhnya sebuah peradaban mensyaratkan adanya sumber ekonomi yang mapan dan stabil. Oleh karena itulah perkembangan sebuah peradaban selalu diawali dengan berubahnya cara hidup sebuah kelompok etnik dari pola yang berpindah-pindah (nomaden) menuju cara hidup yang metetap, yaitu perpindahan dari cara hidup berburu menuju cara hidup bertani. Selama manusia masih hidup secara berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, mereka tidak akan memiliki banyak waktu untuk mengembangkan bidang pemikiran dan seni. Tetapi di saat mereka sudah hidup menetap di suatu tempat tertentu, menggantungkan hidupnya dari hasil bertani dan beternak, hal mana mereka juga dapat menyimpan sisa-sisa apa yang dihasilkannya untuk kebutuhan di masa mendatang, sehingga mereka tidak lagi terancam kelaparan, maka pada saat itulah sebagian dari energi yang dimilikinya akan diarahkan untuk memikirkan berbagai hal tentang hidupnya. Yang terakhir disebut inilah yang membuka jalan bagi manusia untuk belajar hidup secara teratur dan sistematis, sehingga dengan demikian potensi yang dimilikinya tidak hanya digunakan untuk sekedar bertahan hidup, tapi juga berusaha untuk mencapai kesempur-naan hidup.

Perpindahan cara hidup dari berburu menuju bertani inilah yang kemudian menghasilkan lahirnya 'budaya desa'. Pada proses selanjutnya budaya-budaya yang berasal dari desa-desa itu bertemu pada satu titik, yaitu 'kota', sehingga terjadilah akumulasi dari budaya-budaya yang melahirkan peradaban. Itulah kelebihan yang dimiliki oleh kota. Sebuah kota bisa diibaratkan seperti muara tempat bertemunya aliran air dari segala penjuru. Di kotalah seluruh hasil pertanian yang dikeluarkan oleh desa-desa dikumpulkan dan diperjual-belikan. Di kotalah para pedagang dari berbagai perjuru daerah bertemu, bukan hanya sekedar untuk melakukan transaksi dagang, tapi juga untuk berbagi pemikiran. Dari sini akal manusia mulai terasah, sehingga dia dapat mengembangkan 'kemampuan mencipta' untuk menghasilkan produk-produk budaya, baik yang berupa material maupun immaterial.

Tiga faktor tersebut di atas (geografis, geologis dan ekonomi) adalah faktor-faktor material pembentuk peradaban ummat manusia. Faktor-faktor material ini adalah syarat utama berdirinya sebuah peradaban. Begitu pun, faktor-faktor material tersebut tidak cukup dengan sendirinya untuk membangun sebuah peradaban, karena peradaban bukanlah sesuatu yang terlahir dari kekosongan. Oleh karena itu, lahir dan berkembangnya sebuah peradaban sangat ditentukan juga oleh tersedia atau tidaknya faktor-faktor immaterial.

Keempat, faktor immaterial. Kebangkitan sebuah peradaban mensyaratkan adanya peraturan-peraturan pemerintahan yang mengatur hubungan antara satu anggota masyarakat dengan lainnya, antara anggota masyarakat dengan negara, dan seterusnya. Peraturan-peraturan ini selalu kita temukan dalam peradaban-peradaban lama, meskipun dalam bentuk yang masih sangat sederhana dan dengan kekuatan yang sangat lemah, sehingga kehidupan masyarakat pada saat itu lebih dekat pada ketidakteraturan dari pada keteraturan, seperti keadaan peradaban Romawi pada masa kebangkitan.

Bahasa juga sangat penting bagi tumbuhnya satu peradaban sebagai alat perekat dan pemersatu. Bahasa adalah alat komunikasi langsung antara seseorang dengan yang lainnya. Lebih jauh lagi, bahasa sebenarnya tak lain adalah bentuk lahir dari 'kerja otak' (berpikir). Oleh karena itulah, bahasa yang dimiliki dan dipahami bersama sangat membantu terlaksananya pertukaran pemikiran dan trasformasi pengetahuan antara satu individu dengan yang lain.

Selain itu juga dibutuhkan nilai-nilai moral yang mengikat antara satu individu dengan individu yang lain, sehingga tercipta aturan-aturan hidup yang keberadaannya diakui bersama. Nilai-nilai moral inilah yang membuat perilaku masyarakat menjadi lebih teratur dan terarah pada satu tujuan yang sama. Dari sini dapat kita lihat pentingnya keyakinan terhadap hal-hal yang berada di balik materi (sistem kepercayaan), karena keyakinan ini sangat membantu terbentuknya nilai-nilai moral dalam kehidupan masyarakat.

Kemudian, untuk menjamin tetap eksis dan berkem-bangnya sebuah peradaban, dibutuhkan pula adanya pendidikan. Yang dimaksud dengan pendidikan di sini adalah sarana - meskipun dalam peradaban lama bentuknya masih sangat sederhana - yang digunakan untuk melakukan transfer  pengetahuan dari satu generasi ke generasi selanjutnya, sehingga apa-apa yang telah didapatkan oleh generasi terdahulu tidak hilang begitu saja, tetapi dapat terpelihara dan dikembangkan oleh generasi selanjutnya.

Dengan demikian, tidak tersedianya semua faktor di atas menyebabkan peradaban tidak dapat tumbuh. Bahkan hilangnya salah satu dari faktor di atas bisa jadi cukup untuk menjadi sebab mundurnya, bahkan hancurnya sebuah peradaban. 


KERUNTUHAN KEBUDAYAAN (PERADABAN)

A.J. Toynbee dalam bukunya A Study of History (1933) mengembangkan teori peradaban. Teori Toynbee didasarkan atas penelitian terhadap sekitar 30 (tiga puluh) kebudayaan. Menurut Toynbee terbentuknya suatu peradaban melalui beberapa tahapan: (1) genesis of civilizations, yaitu lahirnya kebudayaan; (2) growth of civilizations, yaitu perkembangan kebudayaan; dan (3) decline of civilizations, yaitu keruntuhan kebudayaan, yang terdiri dari beberapa tahapan pula, yaitu: 
(a) breakdown of civilizations (kemerosotan peradaban), terjadi karena kelompok minoritas kehilangan daya mencipta serta kehilangan kewibawaannya, maka kelompok mayoritas tidak lagi bersedia mengikuti minoritas. Peraturan dalam peradaban (antara minoritas dan mayoritas) itu pecah dan dengan sendirinya tunas-tunas hidupnya suatu peradaban akan lenyap.
(b) disintegration of civilizations (desintegrasi perada-ban), yang mulai tampak setelah tunas-tunas kehidupan itu mati dan pertumbuhan terhenti. Setelah pertumbuhan terhenti, maka seolah-olah daya hidup itu membeku dan terdapatlah suatu peradaban itu tanpa jiwa lagi. Toynbee menyebut masa ini sebagai petrification, maksudnya 'pembatuan' atau peradaban itu sudah menjadi batu, mati dan menjadi fosil.
(c) dissolution of civilization (lenyapnya peradaban), dimana hal ini terjadi apabila tubuh dari suatu kebudayaan yang sudah membatu itu hancur-lebur dan lenyap.

Toynbee (1933) juga mendeskripsikan sebab-sebab muncul, tumbuh, dan gulung tikarnya kebudayaan dari segi kesejarahan. Ia menekankan sisi "intelligible" - semacam penalaran studi sejarah - dimana peradaban muncul bila manusia menghadapi situasi sulit yang menantang hingga bertumbuhnya kegiatan-kegiatan kreatif untuk melakukan usaha-usaha yang tidak terduga dalam proses 'challenge and response'. Melalui tantangan ini munculah peradaban, dan bila terus kreatif akan menumbuhkan tanggapan yang makin canggih dengan kreativitas yang semakin optimal. Rangsangan-rangsangan kebudayaan terus diasah dan dipertajam yang secara lahiriah berupa penguasaan keadaan luar dan secara batiniah berupa artikulasi dari dalam 'self-determination' yang progresif. Terdapat proses 'etherialization' yaitu ikhtiar-ikhtiar untuk memusatkan energi kebudayaan pada optimalisasi tantangan-tantangan yang semakin halus atau spiritualisasi dari kebudayaan. Perdaban akan runtuh bila gagal memunculkan kretivitas dalam menghadapi tantangan. Puncak keruntuhan terjadi bila ada disintegrasi peradaban dimana kesatuan sosial pecah dan ketidakmampuan peradaban itu memberi tanggapan kreatif pada tantangan zaman.

Peradaban bagi Toynbee (1933) bermula ketika manusia mampu menjawab tantangan lingkungan fisik yang keras, dan kemudian berhasil juga dalam menjawab tantangan lingkungan sosial. Pertumbuhan terjadi tidak hanya ketika tantangan tertentu berhasil diatasi, tetapi juga karena mampu menjawab lagi tantangan berikutnya. Kriteria pertumbuhan itu tidak diukur dari kemampuan manusia mengendalikan lingkungan fisik (misalnya melalui teknologi), atau pengendalian lingkungan sosial (misalnya melalui penaklukan), melainkan diukur dari segi peningkatan kekuatan yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri, yakni semangat yang kuat (self determination) untuk mengatasi rintangan-rintangan eksternal. Dengan kata lain, kekuatan yang mendorong pertumbuhan itu bersifat internal dan spiritual. Mengapa peradaban bisa muncul? Pertanyaaan itulah yang mengawali pemikiran Toynbee tentang munculnya peradaban. Pada mulanya ia berpikiran bahwa faktor gen dalam ras dan kondisi lingkungan fisiklah yang menjadi landasan utama munculnya peradaban. Akan tetapi pada akhirnya pemikiran tesebut digugurkannya sendiri. Tidak ada ras yang superior dan tidak ada lingkungan fisik yang benar-benar menciptakan peradaban dengan sendirinya. Hal ini dikarenakan ras dan lingkungan fisik hanya bersifat membantu dalam perkembangan peradaban ummat manusia.

Peradaban muncul karena dua faktor yang saling berkaitan erat, yaitu adanya 'kelompok minoritas kreatif' dan 'kondisi lingkungan'. Antara keduanya tidak ada yang terlalu menguntungkan atau terlalu merugikan bagi pertumbuhan peradaban. Mekanisme kelahiran dan dinamika kelangsungan hidup peradaban dijelmakan dalam konsep tantangan dan tanggapan (challange and response). Lingkungan (mula-mula alamiah, kemudian juga sosial) terus menerus menantang masyarakat, dan masyarakat melalui kelompok minoritas kreatif menentukan cara menanggapi tantangan itu. Segera setelah itu, tantangan ditanggapi, lalu muncul pula tantangan baru, yang kemudian diikuti oleh tanggapan berikutnya. Namun demikian, tidak semua tantangan bisa dianggap sebagai sebuah rangsangan positif. Ada pula tantangan yang tidak menimbulkan peradaban.14

Peradaban muncul sebagai jawaban atas beberapa satuan tantangan dengan tingkat kesukaran yang cukup ekstrim, manakala 'kelompok minoritas kreatif' yang mengorientasikan kembali keseluruhan masyarakat. Kelompok minoritas kreatif ini adalah sekelompok manusia atau bahkan individu yang memiliki 'self-determining' (kemampuan untuk menentukan apa yang hendak dilakukan secara tepat dan memiliki semangat yang kuat). Dengan adanya kelompok minoritas kreatif tersebut, sekelompok besar manusia akan bisa keluar dari masyarakat primitif.15 

Suatu peradaban tercipta hanya karena mampu mengatasi tantangan dan rintangan, bukan karena menempuh jalan yang terbuka lebar dan mulus. Toynbee membahas lima perangsang yang berbeda bagi kemunculan peradaban, yakni kawasan yang: ganas, baru, diperebutkan, ditindas, dan tempat pembuangan. Kawasan ganas mengacu pada lingkungan fisik yang sukar ditaklukkan, seperti wilayah yang terbiasa untuk banjir bandang yang senantiasa mengancam seperti di sepanjang sungai Hoang Ho di Cina. Kawasan baru mengacu kepada daerah yang belum pernah diolah dan dihuni, sehingga masyarakat akan merasa asing dan melakukan upaya untuk adaptasi. Kawasan yang dipersengketakan, temasuk yang baru ditaklukkan dengan kekuatan militer. Kawasan tetindas menunjukkan suatu situasi ancaman dari luar yang berkepanjangan. Kawasan hukuman atau pembuangan mengacu pada kawasan tempat kelas dan ras yang secara historis telah menjadi sasaran penindasan, diskriminasi, dan eksploitasi.16 

Tantangan itu mungkin sedemikian hebatnya sehingga orang tidak dapat menciptakan tanggapan yang memadai. Oleh karena itu, tidak ada hubungan langsung antara tantangan dan tanggapan, tetapi hubungannya berbentuk kurva linear. Artinya, tingkat kesukaran yang sangat besar dapat membangkitkan tanggapan yang memadai, tetapi tantangan ekstrim dalam arti terlalu lemah dan terlalu keras, tidak mungkin membangkitkan tanggapan yang memadai.17

Toynbee dalam Lauer (2001) menyebut tahap pertumbuhan (growth) sebagai proses "penghalusan", yakni pergeseran penekanan dari alam kemanusiaan atau perilaku yang lebih rendah ke taraf yang lebih tinggi. Ini berarti menaklukkan rintangan awal sehingga dengan demikian energi dapat tersalurkan untuk menanggapi tantangan yang lebih bersifat internal dari pada yang bersifat eksternal, dan yang bersifat spiritual ketimbang material. Pertumbuhan demikian berarti peningkatan penentuan nasib sendiri, dan ini menimbulkkan deferensiasi secara terus-menerus di antara bagian-bagian yang ada dalam masyarakat. Diferensiasi ini tejadi karena sebagian masyarakat tertentu berhasil memberikan tanggapan memadai atas tantangan; sebagian yang lain berhasil dengan jalan meniru bagian yang berhasil itu. Namun, sebagian yang lain lagi gagal, baik dalam menciptakan atau meniru, dan oleh sebab itu akan mendekati kematian. Akibatnya adalah berkembangnya ciri khas tertentu di dalam setiap peradaban. Peradaban Yunani misalnya, memiliki keunggulan pandangan estetika mengenai kehidupan sebagai suatu keseluruhan (totalitas). Lain halnya dengan peradaban Hindu dan India cenderung menuju ke suatu pandangan hidup yang mengutamakan religi.18


PENUTUP

Hubungan antara manusia, masyarakat, dan kebudayaan sangat erat sekali dan ketiganya tidak terpisah satu sama lain. Masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan dengan kebudayaan. Mc Iver pakar sosiologi politik pernah mengatakan: "Manusia adalah makhluk yang dijerat oleh 'jaring-jaring' yang dirajutnya sendiri", seementara 'Jaring-jaring' itu adalah 'kebudayaan'. Dalam hal ini, Mc Iver ingin mengatakan bahwa 'kebudayaan' adalah sesuatu yang diciptakan oleh masyarakat tetapi pada gilirannya merupakan suatu kekuatan yang mengatur bahkan memaksa manusia untuk melakukan tindakan dengan "pola tertentu". Kebudayaan bahkan bukan hanya merupakan kekuatan dari luar diri manusia tetapi bisa tertanam dalam 'kepribadian individu'. Dengan demikian kebudayaan merupakan kekuatan pembentuk pola sikap dan perilaku manusia dari luar dan juga dari dalam. Unsur paling sentral dalam suatu kebudayaan adalah nilai-nilai yang merupakan suatu konsepsi tentang apa yang benar atau salah (nilai moral), baik atau buruk (nilai etika) serta indah atau jelek (nilai estetika). Dari 'sistem nilai' inilah kemudian tumbuh menjadi 'norma' yang merupakan patokan atau rambu-rambu yang mengatur perilaku manusia di dalam kehidupan bermasyarakat.

Kebudayaan sebagai akar peradaban suatu kelompok etnik (bangsa) terbukti memberikan kontribus yang sangat besar bagi perkembangan (kemajuan) kehidupan warganya. Dalam hal ini, perbedaan mendasar antara 'kebudayaan' dan 'peradaban' terletak pada prosesnya. Kalau 'kebudayaan' merupakan 'kasil cipta' (proses manusia menciptakan 'sesuatu' yang baik yang nyata maupun yang abstrak). Sementar 'peradaban' adalah bagimana proses mewujudkan 'kebudayaan' dalam suatu masyarakat. Untuk membangun suatu 'peradaban' sangat dibutuhkan 'jaringan sosial' atau 'inovasi sosial' yang berperan dalam mencipta pranata (institusi) sosial yang memungkinkannya menerima dan mengembangkan produk-produk peradaban lain dalam konteks kebudayaan itu sendiri. [sab]

Medan, 05 Desember 2013.

~o0o~


FOOTENOTE
1.  Peradaban itu tumbuh dan berkembang di lembah yang subaur di daerah aliran sungai besar seperi [eradaban Sumeria di aliran sungai Eufrat dan tigris di Mesopotamia, Mohenjodaro di aliaran sugai Indus di India, YangTse Kiang di Cina, Nil di Mesir, Rhein dan Donau di Erpa. Lihat Basyaral Hamidy Harahap, "Aksara Mandailing: Tinjauan Sosial Budaya", makalah diprasentasikan dalam Sarasehan Keduyaan Mandaili, Gedung Dewan Pers, Jakarta (2013).
2. Menurut J.J. Hoenigman dalam Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (1980), bahwa setiap kebudayaan memilki tiga wujud, yaitu: (1) Gagasan (wujud ideal), merupakan kebudayaan yang terbentuk berdasarkan ide, pemikiran dan gagasan yang sifatnya abstrak. Wujud kebudayaan ini terletak di alam pemikiran warga masyarakat. Apabila masyarakat menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi kebudayaan ideal itu berada dalamrulisan atau karangan hasil karya masyarakat tersebut; (2) Aktivitas (tindakan), merupakan wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan dari masyarakat itu yang disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas - aktivitas manusia yang bersifat konkret (nyata) yang artinya dapat diamati dan di dokumentasikan; dan (3) Artefak (karya), merupakan wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, kegiatan dan karya berupa benda - benda atau hal - hal yang bisa di raba, diamati dan di dokumentasikan.
3.  Selo Soemardjan & Soelaeman Soenardi, Setangkai Bunga Sosiologi, Jakarta: Yayasan Badan Penerbit FE UI, 1964.
4. E.B. Tylor, "Primitive Culture: Researches Into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Languages, Art and Customs", Vol. 1, London: John Murray, Albemarle Street, 1871.
5.   Arnold J. Toynbee, Hannibal's Legacy, the Hannibalic War's effects on Roman life, Vols. I and II. London : Oxford University Press, 1965.
6. Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations?, in "Foreign Affairs", vol. 72, no. 3, Summer 1993.
7. Lihat: "Civilization: Definitions and Recommendations", http://www.wmich. edu/iscsc/civilization.html, diakses 10-10-13.
8.  Edward Spranger dan Paul John William Pigors, Types of men: The psychology and ethics of personality, Halle: M. Niemeyer, 1928.
9. Elly Malilah, "Manusia dan Kebudayaan", http://file.upi.edu/Direktori/DUAL-MODES/PLSBT/Modul_4_PLSBT.pdf, diakses 10-10-13.
10.  Para ahli penganut paham cultural determinism meyakini bahwa sikap, pola perilaku manusia dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaannya. Lawrence E. Harrison dan Samuel P. Huntington menggambarkan bagaimana nilai-nilai budaya mempengaruhi kemajuan maupun kemunduran manusia. Samuel P. Huntington memberi contoh bahwa pada tahun 1960-an Ghana dan Korea Selatan memiliki kondisi ekonomi yang kurang lebih sama. Tiga puluh tahun kemudian Korea telah menjadi Negara maju, tetapi Ghana hampir tidak mengalami kemajuan apapun dan saat ini GNP perkapitanya hanya seperlimabelas Korea Selatan. Ini disebabkan  karena bangsa Korea (selatan) memiliki nilai-nilai budaya tertentu seperti hemat, kerja keras, disiplin dan sebagainya. Semua itu tidak dimiliki masyarakat Ghana. Lihat: Lawrence E. Harrison dan Samuel P. Huntington (ed),  Cultural Matters: How Values Shape Human Progress, New York: Basic Books, 2000.
11.   Robert Guisepi, "An Overview of Civilization", http://history-world.org/ civilization.htm, diakses 10-10-13.
12.   R. Moh. Ali dan LKis, Pengantar lmu Sejarah. Yogyakarta: LkiS, 2005, hlm. 93.
13. Mujahidin Muhayyan, "Faktor-faktor Pembentuk Peradaban", http:// mizansckairo.tripod.com/maqalatiid06.htm, diakses 10-10-13.
14.   Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada Media, 2004.
15.  Tsabit Azinar Ahmad, "Membedah Pemikiran Arnold J. Toynbee",  http://mas-tsabit.blogspot.com/2009/05/membedah-pemikiran-arnold-j-toynbee.html, diakses 11-10-13.
16.  Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan Sosial, Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
17.  Ibid. 
18.  Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar