"ANALISIS
PEMIKIRAN MEMBANGUN SDM
KABUPATEN MANDAILING NATAL MELALUI IMPLEMENTASI
KURIKULUM 2013 YANG BERBUDAYA KEBANGSAAN"
Oleh: ASRIDA NASUTION1
ABSTRACT
Today the
efforts to improve the quality of education continues to be done by competent
parties with different approaches. Such efforts are based on an awareness of
the importance of the role of education in ‘human resource development’ (HRD)
and the development of national character (‘Nation Building Character’) for the
betterment of society and the nation. In other words, the dignity of a nation
is determined by the quality of education . In the context of Indonesia, is a
target of improving the quality of education in the development of national
education and an integral part of efforts to improve the overall quality of
Indonesian human. Along with autonomy and democratic processes and principles
of decentralization, hence improving the quality of human resources requires
the participation and empowerment of all components of the education and application
of the concept of education as a system. Improving the quality of education
within the framework of regional autonomy and a paradigm change towards
education. If previously performed with pattern centralization towards
decentralization of education, where education decentralized implementation of
the model based on the new paradigm with the concept of ‘School Based
Management’ (SBM), which is expected to MBS is to improve the quality of
education in Indonesia. MBS - model of education provision, and with the
important role of each party in the MBS is a major material in order to meet
and prepare the birth of the "golden generation of Indonesia" by ‘Curriculum
2013’. After a long and winding journey, Curriculum 2013 finally received
approval from the various parties to implement. In connection with it, now is
the time to enter the era of curriculum implementation in 2013, with the hope presence
suggest improvements to minimize unnecessary things happen on the field. For it,
‘Electronic Curriculum Implementation Monitoring’ (EPIC) system was launched to
monitor the implementation of ‘Curriculum 2013’, which include: the
distribution of books, training implementation of the National Instructor, Head
of School, School Supervisor, Core Teacher to Teacher Target. EPIC provides the
features necessary for Teachers and Education Personnel to access further
training implementation.
Key words: School Based
Management (SBM), the decentralization of education, Curriculum Implementation Monitoring
Electronic systems (EPIC). School Supervisor, Core Teacher and Teacher Goals.
I. PENDAHULUAN
Dalam Pasal 2 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditetapkan
bahwa Pendidikan Nasional di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya dalam Pasal 3 Undang-Undang tersebut
ditetapkan pula bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sebagaimana
kita ketahui bersama bahwa sebelum bayi lahir ke dunia, banyak orang tua yang
sudah memperkenalkan bayinya dengan pendidikan, misalnya dengan memperdengarkan
musik dan memperdengarkan pembacaan cerita-cerita klasik oleh orang tua mereka.
Setelah bayi lahir, pendidikan dilanjutkan di dalam keluarga2, masyarakat3,
dan sekolah.4
Munculnya
kesadaran yang mendalam dari peserta didik (siswa) tentang perlunya akan dirinya
memperoleh pendidikan di segala hal serta perlunya perbaikan perilaku yang
awalnya belum baik agar menjadi baik, adalah sikap yang sepantasnya dimiliki
oleh peserta didik dalam bersosialisasi dengan masyarakat di sekolah.5
Namun terkadang ada perbedaan pandangan, sikap, dan perilaku peserta didik
ketika di rumah dengan pandangan, sikap, dan perilaku ketika di sekolah.
Perbedaan itu pun disikapi beragam oleh peserta didik. Ada yang berpandangan
bahwa sikapnya adalah yang paling benar, sehingga peraturan di sekolah itu
hanya membatasi ruang geraknya. Jika demikian adanya, maka tidak jarang peserta
didik tersebut cenderung membangkang dan melanggar tata tertib sekolah. Ada
pula sikap peserta didik yang membanding-bandingkan dan menguji-cobakan
perbedaan pandangan, sikap, dan perilaku ketika di rumah dengan di sekolah
dengan cara-cara mereka sendiri, sehingga muncul sikap yang ‘setengah-setengah’.
Peserta didik yang memiliki sikap seperti itu, biasanya tidak stabil dalam
berperilaku. Kadang dia amat patuh pada peraturan sekolah karena merasa sesuai
dengan peraturan yang ada di rumah, namun kadang dia ragu atau bahkan
membangkang terhadap peraturan sekolah karena sifatnya masih menguji-coba. Ada pula
sikap peserta didik yang amat patuh pada peraturan sekolah. Sikap peserta didik
ini sangat kooperatif pada peraturan sekolah. Mereka tidak pernah melanggar
peraturan, tidak pernah `bermasalah` di sekolah dan cenderung aktif dalam
belajar. Mereka berpendapat, berpandangan, sikap, dan perilaku yang diatur di
sekolah sesuai dengan pandangan, sikap, dan perilaku di rumahnya atau meskipun
berbeda mereka kemudian berpendapat bahwa peraturan sekolah lebih baik.6
Berbagai sikap
peserta didik (siswa) di sekolah mencerminkan beragamnya latar belakang kehidupan
mereka di rumah. Namun, perlu diketahui bersama bahwa peraturan yang diterapkan
di sekolah adalah bersifat mendidik untuk menjadi generasi yang berbudi pekerti
luhur, memiliki jiwa disiplin, berketuhanan, memiliki rasa hormat terhadap
sesama, dan bertanggung jawab pada diri sendiri maupun bangsanya. Semua itu demi
kemajuan peserta didik dan sekolahnya. Jika terdapat perbedaan terhadap
peraturan itu, peserta didik harusnya lebih mengutamakan peraturan sekolah
bukan sebaliknya memaksakan peraturannya sendiri untuk diterapkan di sekolah. Pelaksanaan
belajar dan mengajar di sekolah yang di dalamnya didukung dengan kerelaan
manaati peraturan sekolah oleh semua yang berkepentingan di sekolah akan
menciptakan suasana belajar dan mengajar yang ideal. Dengan suasana belajar dan
mengajar yang ideal, tujuan utama pembelajaran semakin mudah diraih.7
Dalam hal ini, diperlukan pula berbagai upaya untuk peningkatan mutu (kualitas)
pendidikan.
Menurut Oxford Dictonaries, kata ‘qualiy’ (plural qualities) adalah “the
standard of something as measured against other things of a similar kind; the
degree of excellence of something:an improvement in product quality”.8
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘mutu’
adalah baik buruk suatu benda; kadar; taraf atau derajat misalnya kepandaian,
kecerdasan dan sebagainya.9 Namun secara umum dapat dikatakan bahwa
‘kualitas’ atau ‘mutu’ adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang
atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang
diharapkan atau tersirat.10 Dalam pengertian kata ‘mutu’ ini terkandung
makna derajat (tingkat keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa
barang maupun jasa, baik yang tangible
atau intangible. Mutu yang tangible artinya dapat diamati dan
dilihat dalam bentuk kualitas suatu benda atau dalam bentuk kegiatan dan
perilaku. Misalnya televisi yang bermutu karena mempunyai daya tahan (tidak
cepat rusak), warna gambarnya jelas, suara terdengar bagus, dan suku cadangnya
mudah didapat, perilaku yang menarik, dan sebagainya. Sedangkan mutu yang intangible adalah suatu kualitas yang
tidak dapat secara langsung dilihat atau diamati, tetapi dapat dirasakan dan
dialami, misalnya suasana disiplin, keakraban, kebersihan dan sebagainya.11
Mutu pendidikan
dapat dilihat dalam dua hal, yakni: (1) mengacu pada proses pendidikan; dan (2)
hasil pendidikan. Proses pendidikan yang bermutu apabila seluruh ‘komponen
pendidikan’ terlibat dalam proses pendidikan itu sendiri. Faktor-faktor dalam
proses pendidikan adalah berbagai input,
seperti bahan ajar, metodologi, sarana sekolah, dukungan administrasi dan
sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang
kondusif. Sedangkan mutu pendidikan dalam konteks hasil pendidikan mengacu pada
prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu.
Prestasi yang
dicapai atau hasil pendidikan (student
achievement)12 dapat berupa hasil tes kemampuan akademis
(misalnya ulangan umum, Ebta dan Ebtanas). Dapat pula di bidang lain seperti
prestasi di suatu cabang olah-raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu
misalnya komputer, beragam jenis teknik, jasa dan sebagainya. Bahkan prestasi
sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana, disiplin, keakraban, saling
menghormati, kebersihan, dan sebagainya.13 Dalam hubungan ini, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) melihat pendidikan dari segi proses dengan merumuskan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”14
Pengertian
kualitas atau mutu jua dapat dilihat dari konsep secara absolut dan relatif.15
Dalam konsep absolut ‘sesuatu’ (barang) disebut berkualitas bila memenuhi
standar tertinggi dan sempurna. Artinya, ‘barang’ (sesuatu) itu sudah
tidak ada yang melebihinya. Bila diterapkan dalam dunia pendidikan, konsep kualitas
absolut ini bersifat elitis karena hanya sedikit lembaga pendidikan yang akan
mampu menawarkan kualitas tertinggi kepada peserta didik dan hanya sedikit
siswa yang akan mampu membayarnya.16 Sedangkan dalam konsep relatif,
kualitas berarti memenuhi spesifikasi yang ditetapkan. Oleh karena itu kualitas
bukanlah merupakan tujuan akhir, melainkan sebagai 'alat ukur' atas produk akhir
dari standar yang ditentukan. Produk yang berkualitas adalah sesuai dengan
tujuan (fit for their purpose).
Definisi kualitas dalam konsep relatif memiliki dua aspek, yaitu dilihat dari
sudut pandang produsen, maka kualitas adalah mengukur berdasarkan spesifikasi
yang ditetapkan, sedangkan dari sudut pandang pelanggan maka kualitas untuk memenuhi
tuntutan pelanggan.17
Dalam konteks
pendidikan, kualitas yang dimaksudkan adalah dalam konsep relatif, terutama
berhubungan erat dengan kepuasan pelanggan. Dalam hal ini, pelanggan pendidikan
ada dua aspek, yaitu pelanggan internal dan eksternal. Pelanggan internal
adalah kepala sekolah, guru dan staf kependidikan lainnya. Pelanggan eksternal
ada tiga kelompok, yaitu pelanggan eksternal primer, pelanggan sekunder, dan
pelanggan tersier. Pelangan eksternal primer adalah peserta didik. Pelanggan
eksternal sekunder adalah orang tua dan para pemimpin pemerintahan. Pelanggan
eksternal tersier adalah pasar kerja dan masyarakat luas.18
Berdasarkan
konsep relatif tentang kualitas, maka pendidikan yang berkualitas apabila:19
a) Pelanggan
internal berkembang baik fisik maupun psikis. Secara fisik antara
mendapatkan imbalan finansial. Sedangkan secara psikis adalah bila mereka
diberi kesempatan untuk terus belajar dan mengembangkan kemampuan, bakat dan
kreatifitasnya.
b) Pelanggan
eksternal:
1. Eksternal
primer (para siswa): menjadi pembelajar sepanjang hayat, komunikator
yang baik dalam bahasa nasional dan internasional, punya keterampilan teknologi
untuk lapangan kerja dan kehidupan sehari-hari, siap secara kognitif untuk
pekerjaan yang kompleks, pemecahan masalah dan penciptaan pengetahuan, dan
menjadi Warga Negara (Indonesia) yang bertanggung-jawab secara sosial, politik dan budaya.
Intinya para siswa menjadi manusia dewasa yang bertanggungjawab akan hidupnya.
2. Eksternal
sekunder (orang tua, para pemimpin pemerintahan dan perusahaan):
mendapatkan konstribusi dan sumbangan yang positif. Misalnya para lulusan dapat
memenuhi harapan orang tua dan pemerintah dan pemimpin perusahaan dalam hal
menjalankan tugas-tugas dan pekerjaan yang diberikan.
3. Eksternal
tersier (pasar kerja dan masyarakat luas): para lulusan memiliki
kompetensi dalam dunia kerja dan dalam pengembangan masyarakat sehingga
mempengaruhi pada pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan rakyat dan keadilan
sosial.
Upaya
perbaikan pada lembaga pendidikan memang tidak sederhana karena butuh perbaikan
yang berkelanjutan. Adapun langkah-langkah penting yang diperlukan dalam
meningkatkan mutu pendidikan sebagai berikut:20
(1) Memperkuat
Kurikulum:
Kurikulum adalah instrumen
pendidikan yang sangat penting dan strategis dalam menata pengalaman belajar
siswa, dalam meletakkan landasan-landasan pengetahuan, nilai, keterampilan,dan
keahlian, dan dalam membentuk atribut kapasitas yang diperlukan untuk
menghadapi perubahan-perubahan sosial yang terjadi. Saat ini, memang telah
dilakukan upaya-upaya untuk semakin meningkatkan relevansi kurikulum dengan
melakukan revisi dan uji coba kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Kurikulum
uji coba tersebut didasarkan pada pendekatan yaitu: (i) Pengasaan aspek
kognitif dalam bentuk kemampuan; (ii) penguasaan aspek afektif yang lebih
komprehensif; dan (iii) penguasaan aspek keterampilan dalam bentuk kapasitas
profesional. Kompetensi itu hendaknya dapat membentuk suatu kapasitas yang utuh
dan komprehensif sehingga tidak diredusir menjadi keterampilan siap pakai.
Michael (2002), dan juga Charles Quengly (2000) mengemukakan kompetensi yang berada
dalam suatu keutuhan dan komprehensif dengan kapasitas lainnya. Kompetensi
mensyaratkan tiga elemen dasar yaitu: (i) basic, knowledge; (ii) skill (intellectual
skill, participation skill); (iii) dan disposition. Melalui proses pembelajaran yang
efektif, maka dari tiga elemen dasar ini dapat dibentuk kompetensi dan komitmen
untuk setiap keputusan yang diambil. Kapasitas ini harus menjadi muatan utama
kurikulum dan menjadi landasan bagi pengembangan proses pembelajaran dalam
rangka pembentukan kompetensi.
(2) Memperkuat
Kapasitas Manajemen Sekolah:
Dewasa ini telah banyak digunakan
model-model dan prinsip-prinsip manajemen modern, terutama dalam dunia bisnis
untuk kemudian diadopsi dalam dunia pendidikan. Salah satu model yang diadopsi
dalam dunia pendidikan, adalah School Based
Management (MBS). Dalam rangka desentralisasi di bidang pendidikan, model (MBS) ini mulai
dikembangkan untuk diterapkan. Diproposisikan bahwa manajemen berbasis sekolah
(MBS): (i) akan memperkuat rujukan referensi nilai yang dianggap strategis
dalam arti memperkuat relevansi; (ii) memperkuat partisipasi masyarakat dalam
keseluruhan Kegiatan pendidikan; (iii) memperkuat preferensi nilai pada
kemandirian dan kreativitas baik individu maupun kelembagaan; dan (iv)
memperkuat dan mempertinggi kebermaknaan fungsi kelembagaan sekolah.
(3) Memperkuat Sumber Daya Tenaga
Kependidikan:
a) Memperkuat
Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan.
Dalam jangka panjang, agenda utama
upaya memperkuat sumber daya tenaga kependidikan ialah dengan memperkuat sistem
pendidikan dan tenaga kependidikan yang memiliki keahlian. Keahlian baru itu
adalah modal manusia (human investmen), dan memerlukan perubahan dalam sistem
pembelajarannya. Menurut Thurow (Sularso,2002), bahwa di abad ke-21 perolehan
keahlian itu memerlukan perubahan dalam sistem pembelajaran karena alasan: (i)
keahlian yang diperlukan untuk mencapai keberhasilan akan semakin tinggi dan
berubah sangat cepat; (ii) keahlian yang diperlukan sangat tergantung pada
teknologi dan inovasi baru, maka banyak dari keahlian itu harus dikembangkan dan
dilatih melalui pelatihan dalam pekerjaan; dan (iii) kebutuhan akan keahlian
itu didasarkan pada keahlian individu.
b) Memperkuat
Kepemimpinan.
Dalam fondasi berbagai karakteristik
pribadi, pimpinan lembaga pendidikan perlu menciptakan visi untuk mengarahkan
lembaga pendidikan dan karyawannya. Dalam konteks ini, penciptaan visi yang
jelas akan menumbuhkan komitmen karyawan terhadap kwalitas, memfokuskan semua
upaya lembaga pendidikan pada rumusan kebutuhan pengguna jasa pendidikan,
menumbuhkan sense of team work dalam pekerjaan, menumbuhkan standard of
excellence, dan menjembatani keadaan lembaga pendidikan sekarang dan masa yang
akan datang.
c) Meningkatkan
Mutu Mengajar Melalui Program Inovatif Berbasis Kompetensi.
Selama ini sekolah terutama guru
masih sangat terbatas dalam melakukan inovasi-inovasi pembelajaran. Di sisi
lain, upaya untuk memperkuat kemampuan mengajar telah diupayakan melalui
berbagai jenis penataran, pendidikan, ataupun pelatihan-pelatihan. Melalui
berbagai kegiatan tersebut dikenalkan pada inovasi-inovasi pembelajaran. Tetapi
dari pengalaman empirik tampaknya upaya-upaya itu belum secara signifikan
membawa perubahan dalam arti peningkatan mutu hasil belajar. Pengembangan bahan
ajar, pengembangan strategi dan metode pembelajaran, pengembangan sistem
evaluasi, dan pengembangan MBS. Kebutuhan akan inovasi itu dapat dilihat dalam
dua hal yaitu untuk kepentingan inventions dan untuk kepentingan perubahan
kultural sekolah, sehingga terbangun suatu kultur yang berorientasi inovasi,
menumbuhkan kebutuhan untuk terus maju dan meningkat, kebutuhan untuk
berprestasi, dan inovasi adalah sebagai suatu kebutuhan.
d) Mengoptimalkan
Fungsi-Fungsi Tenaga Kependidikan.
Di sekolah-sekolah selama ini yang
berperan utama adalah guru. Seorang guru melaksanakan berbagai fungsi baik
fungsi mengajar, konselor, teknisi, maupun pustakawan. Bahkan, dalam
kasus-kasus tertentu terdapat guru mengajar bukan berdasarkan keahliannya.
Kondisi ini jelas kurang menguntungkan bagi terselenggaranya suatu proses
pendidikan yang baik. Untuk itu diperlukan fungsi-fungsi kependidikan yang saling
mendukung, sehingga dapat dicapai suatu hasil yang maksimal.
4. Perbaikan yang berkesinambungan:
Perbaikan yang berkesinambungan
berkaitan dengan komitmen (Continuos
quality Improvement atau CQI) dan proses Continuous pross Improvement.
Komitmen terhadap kualitas dimulai dengan pernyataan dedikasi pada misi dan
visi bersama, serta pemberdayaan semua persiapan untuk secara inkrimental
mewujudkan visi tersebut (lihat: Lewis dan smith, 1994). Perbaikan yang
berkesinambungan tergantung kepada dua unsur. Pertama, mempelajari proses,
alat, dan keterampilan yang tepat. Kedua, menerapkan keterampilan baru small
achieveable project. Proses perbaikan berkesinambungan yang dapat dilakukan berdasarkan
siklus PDCA (Plan, Do, Check, Action0. Siklus ini merupakan siklus perbaikan yang
never ending, dan berlaku pada semua fase organisasi/lembaga.
5. Manajemen berdasarkan fakta:
Pengambilan keputusan harus
didasarkan pada fakta yang nyata tentang kualitas yang didapatkan dari berbagai
sumber di seluruh jajaran organisasi. Jadi, tidak semata-mata atas dasar
intuisi, praduga, atau organizational politik. Berbagai alat telah dirancang
dan dikembangkan untuk mendukung pengumpulan dan analisis data, serta pengambilan
keputusan berdasarkan fakta.
Sebenarnya
banyak sekali aspek yang turut menentukan mutu pendidikan di sekolah. Edward
Sallis (1993) mengemukakan bahwa yang menentuan mutu pendidikan mencakup
aspek-aspek berikut: (i) pembinaan yang berkelanjutan; (ii) guru yang profesional; (iii) nilai-nilai moral yang luhur; (iv) hasil ujian yang gemilang; (v) dukungan orang tua; (vi) komunitas bisnis dan komunitas lokal; (vii) kepemimpinan yang tangguh dan berarah
tujuan; (viii) kepedulian dan perhatian pada anak didik; (ix) kurikulum yang seimbang, atau
kombinasi dari faktor-faktor tersebut.21
Dari sejumlah
aspek yang dikemukakan di atas, satu hal yang paling menentukan adalah bagaimana
menjalankan 'manajemen mutu pendidikan' itu sendiri Menurut W. Edward Deming, bahwa 80% (delapan puluh persen) dari masalah mutu lebih disebabkan oleh manajemen, dan sisanya 20% oleh SDM.22
Hal ini berarti bahwa mutu yang kurang optimal berawal dari manajemen yang
tidak profesional dan manajemen yang tidak profesional. Artinya, mencerminkan
kepemimpinan dan kebijakan yang tidak profesional pula.23
Sejalan dengan
konsep itu, Dirjen Dikdasmen Depdiknas (1991) menetapkan bahwa ukuran mutu
pendidikan di sekolah mengacu pada derajad keunggulan setiap komponennya,
bersifat relatif, dan selalu ada dalam perbandingan. Ukuran sekolah yang baik
bukan semata-mata dilihat dari kesempurnaan komponen dan kekuatan yang di
milikinya, melainkan diukur dari kemampuan sekolah dalam mengantsipasi
perubahan, konfik, serta kekurangan atau kelemahan yang ada dalam sekolah
tersebut (dengan menggunakan analisis SWOT).24
II. PEMBAHASAN
A. KUALITAS PENDIDIKAN YANG DIRENCANAKAN
Untuk
mencapai pendidikan yang berkualitas tentunya dibutuhkan perencanaan program
pendidikan yang baik. Dalam perencanaan program pendidikan untuk mencapai
pendidikan yang berkualitas tersebut perlu memperhatikan kondisi-kondisi yang
mempengaruhi, strategi-strategi yang tepat, langkah-langkah perencanaan dan disamping
memiliki kriteria penilaian pula.25 Dalam hal ini, ada
beberapa definisi 'perencanaan pendidikan' yang pernah dikemukakan oleh para ahli, antara lain:26
~ Menurut
Guruge (1972), perencanaan pendidikan adalah proses mempersiapkan kegiatan
di masa depan dalam bidang pembangunan pendidikan adalah tugas dari perencanaan pendidikan.
~ Albert
Waterston mengemukakan (dalam Don Adams, 1975) bahwa perencanaan pendidikan
adalah investasi pendidikan yang dapat dijalankan dan kegiatan-kegiatan
pembangunan lain yang didasarkan atas pertimbangan ekonomi dan biaya serta
keuntungan sosial.
~ Menurut Coombs (1982),
perencanaan pendidikan adalah suatu penerapan yang rasional dari analisis
sistematis proses perkembangan pendidikan dengan tujuan agar pendidikan itu
lebih efektif dan efisien serta sesuai dengan kebutuhan dan tujuan para peserta
didik dan masyarakatnya.
Berangkat dari definisi-definisi tersebut di atas, maka dapat dipahami beberapa unsur penting yang
terkandung dalam ‘perencanaan pendidikan’
antara lain: penggunaan analisis
yang bersifat rasional dan sistematik dalam perencanaan pendidikan, dimana hal
ini menyangkut metodologi dalam perencanaan. Sedangkan pendekatan perencanaan
pendidikan antara lain dengan model pendekatan Social
Demand, Man Power, Cost Benefit, Strategic dan Comprehensive.
Untuk suksesnya
perencanaan program pendidikan tersebut diperlukan beberapa kondisi sebagai
berikut:27
(1) adanya
komitmen politik;
(2) perencana
pendidikan harus tahu betul apa yang menjadi hak, tugas dan tanggung-jawabnya;
(3) harus
ada perbedaan yang tegas, antara area politis, teknis, dan administratif;
(4) perhatian
lebih besar diberikan pada penyebaran kekuasaan untuk membuat keputusan politis;
(5) perhatian
lebih besar diberikan pada pengembangan kebijakan dan prioritas pendidikan yang
terarah;
(6) tugas
utama perencana pendidikan adalah pengembangan secara terarah dan memberikan
alternatif teknis sebagai sarana untuk mencapai tujuan politik pendidikan;
(7) harus
mengurangi politisasi pengetahuan;
(8) harus
berusaha lebih besar untuk mengetahui opini publik terhadap perkembangan masa
depan dan arah pendidikan;
(9) administrator
pendidikan harus lebih aktif mendorong perubahan-perubahan dalam perencanaan
pendidikan;
(10) ketika
pemerintah tidak menguasai lagi semua aspek pendidikan maka harus lebih
diupayakan kerja-sama yang saling menguntungkan antara
pemerintah-swasta-universitas yang memegang otoritas pendidikan.
Dalam
perencanaan pendidikan ada dua strategi penting, yaitu: (i) penetapan target
dan (ii) penetapan prioritas. Menyangkut strategi yang kedua terdapat enam area
kritis yang harus dipertimbangkan, yaitu: (i) pilihan antara tingkat pendidikan; (ii) pilihan antara kuantitas dan kualitas; (iii) pilihan antara ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan pengetahuan budaya; (iv) pilihan antara pendidikan formal dan
pelatihan non-formal; (v) pilihan tentang insentif; dan (vi) pilihan tentang tujuan
pendidikan.28
Langkah-langkah
dalam perencanaan pendidikan adalah kegiatan analisis keadaan sekarang,
perkiraan keadaan yang akan datang, perumusan tujuan yang akan dicapai,
analisis dan diagnosis, pengembangan alternatif, proses pengambilan keputusan,
penentuan kebijakan, penentuan program dan prioritas, perhitungan anggaran,
perumusan rencana, penyusunan rincian-rencana, evaluasi dan revisi
rencana.29
Dalam
perencanaan pendidikan, terdapat tujuh kriteria penilaian desain dan
implementasi kualitas program akademik, yaitu atraktif, bermanfaat, kongruen,
berciri khusus, efektif, fungsional dan pertumbuhan siswa. Program pendidikan
yang berkualitas apabila:30
a) Menarik
atau atraktif bagi pelanggan, dan responsif terhadap kebutuhan dan ketertarikan
populasi khusus saat itu atau calon siswa;
b) Memperhatikan
masalah, kebutuhan dan perhatian masyarakat serta bermanfaat bagi pelanggan;
c) Kongruen,
artinya terdapat kesesuaian antara yang ditawarkan dengan kenyataan;
d) Memiliki
cirri khusus atau berbeda dengan lembaga pendidikan yang lain (distinctive);
e) Efektif,
artinya hasil belajar yang dimaksud telah didefinisikan secara jelas dan
pencapaian belajar didokumentasikan serta dikomunikasikan secara persuasif.
Oleh karena itu perlu ada evaluasi untuk mengetahui hasil yang diharapkan sudah
tercapai atau belum;
f) Fungsional,
artinya memiliki kebebasan belajar dan menfokuskan pada pengalaman belajar yang
akan mempersiapkan dan membantu peserta didik untuk mengembangkan
intelektualitas, personal, pekerjaan atau keterampilan khusus, etika dan sikap
yang akan bermanfaat dalam kehidupan;
g) Memperhatikan
kebutuhan dan pertumbuhan peserta didik dalam segala aspeknya (kognitif,
afektif, moral, sosial, fisik, dan dimensi-dimensi intrapersonal).
B. STRATEGI MENINGKATKAN KUALITAS PENDIDIKAN
Kualitas
pendidikan dapat ditingkatkan melalui beberapa cara, antara lain yaitu:31
(1) meningkatkan
ukuran prestasi akademik melalui ujian nasional atau ujian daerah yang
menyangkut kompetensi dan pengetahuan, memperbaiki tes bakat (Scholastic Aptitude Test), sertifikasi kompetensi dan profil portofolio (portofolio profile);
(2) membentuk
kelompok sebaya untuk meningkatkan gairah pembelajaran melalui belajar secara
kooperatif (cooperative learning);
(3) menciptakan
kesempatan belajar baru di sekolah dengan mengubah jam sekolah menjadi pusat
belajar sepanjang hari dan tetap membuka sekolah pada jam-jam libur;
(4) meningkatkan
pemahaman dan penghargaan belajar melalui penguasaan materi (mastery learning) dan penghargaan atas
pencapaian prestasi akademik;
(5) membantu
siswa memperoleh pekerjaan dengan menawarkan kursus-kursus yang berkaitan
dengan keterampilan memperoleh pekerjaan, bertindak sebagai sumber kontak
informal tenaga kerja, membimbing siswa menilai pekerjaan-pekerjaan, membimbing
siswa membuat daftar riwayat hidupnya dan mengembangkan portofolio pencarian
pekerjaan.
Kualitas
pendidikan dapat pula ditempuh dengan cara menerapkan Total Quality Management (TQM). TQM pertama kali dikemukakan dan
dikembangkan oleh Edward Deming, Paine, dkk tahun 1982.32 TQM dalam
pendidikan adalah filosofi perbaikan secara terus-menerus, di mana lembaga pendidikan
menyediakan seperangkat sarana atau alat untuk memenuhi bahkan melampaui
kebutuhan, keinginan dan harapan pelanggan saat ini dan di masa mendatang. TQM
Merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan
daya saing organisasi melalui perbaikan terus-menerus atas produk, jasa,
manusia, proses dan lingkungan. Namun pendekatan TQM hanya dapat dicapai dengan
memperhatikan karakteristik utamanya, yaitu:33
(1) fokus
pada pelanggan baik internal maupun eksternal;
(2) memiliki
obsesi yang tinggi terhadap kualitas;
(3) menggunakan
pendekatan ilmiah dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah;
(4) memiliki
komitmen jangka panjang;
(5) membutuhkan
kerja-sama tim (team work);
(6) memperbaiki
proses secara berkesinambungan;
(7) menyelenggarakan
pendidikan dan latihan;
(8) memberikan
kebebasan yang terkendali;
(9) memiliki
kesatuan tujuan; dan
(10) adanya
keterlibatan dan pemberdayaan karyawan.
C. MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) SEBAGAI
ALTERNATIF PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN
Kalau dicermati dari
penguraian tentang peningkatan kualitas pendidikan tersebut di atas, maka nampak jelas pentingnya peranan sekolah sebagai pelaku dasar
utama yang otonom, dan peranan orang tua dan masyarakat dalam mengembangkan
pendidikan. Aktifitas dan dinamika pendidikan termasuk di dalamnya soal
kualitas pendidikan bukan pertama-tama ditentukan oleh pihak dari luar sekolah,
melainkan oleh sekolah yang bersangkutan dalam interkasinya dengan para
pelanggan. Sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal yang terdepan
dengan berbagai keragaman, kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk
mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan. Hal ini akan dapat
dilaksanakan jika sekolah dengan berbagai keragamannya itu, diberikan
kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi
lingkungan dan kebutuhan pelanggan. Sekolah sebagai institusi yang otonom
diberikan peluang untuk mengelolanya dalam proses koordinatif untuk mencapai
tujuan-tujuan pendidikan.34 Konsep pemikiran tersebut telah
mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu
pendidikan yang berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan
pendidikan. Pendekatan inilah yang dikenal dengan manajemen peningkatan mutu
pendidikan berbasis sekolah (school based
quality management/school based quality improvement).35
Konsep
peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah muncul dalam kerangka pendekatan
manajemen berbasis sekolah. Pada hakekatnya MBS akan membawa kemajuan dalam dua
area yang saling tergantung, yaitu: (1) kemajuan program pendidikan dan
pelayanan kepada siswa-orang tua, siswa-dan masyarakat; dan (2) kualitas
lingkungan kerja untuk semua anggota organisasi.36
Untuk
mendapatkan kualitas seperti apa yang diinginkan, maka MBS harus didesain secara
matang. Fullan dan Watson (1999) mengajukan dua pertanyaan yang ditujukan
kepada desainer MBS ketika mendesain kualitas sekolah, yang meliputi: (a) apa
yang ingin kita raih, yaitu apakah akhir dari penerapan MBS ini?, dan (b)
bagaimana cara mencapainya dan kondisi-kondisi apa yang berkaitan dengan
pencapaian tujuan yang lebih utama ? Melalui dua pertanyaan itu kemudian mereka
menyarankan bahwa MBS tidak berarti membiarkan desentralisasi sekolah dan
masyarakat menurut cara mereka sendiri. Wohlstetter dalam Watson (1999)
memberikan panduan yang komprehensif sebagai elemen kunci reformasi MBS yang
terdiri atas: (1) menetapkan secara jelas visi dan hasil yang diharapkan; (2)
menciptakan fokus tujuan nasional yang memerlukan perbaikan; (3) adanya panduan
kebijakan dari pusat yang berisi standar-standar kepada sekolah; (4) tingkat
kepemimpinan yang kuat dan dukungan politik dan dukungan kepemimpinan dari atas;
(5) pembangunan kelembagaan (capacity
building) melalui pelatihan dan dukungan kepada kepala sekolah, para guru,
dan anggota dewan sekolah; dan (6) adanya keadilan dalam pendanaan atau
pembiayaan pendidikan.37
D. MODEL-MODEL MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
(MBS)
Model-model
MBS yang dimaksudkan di sini adalah model-model MBS yang diterapkan di beberapa
Negara. Selanjutnya dari studi tentang model-model MBS di beberapa negara akan
diketengahkan tentang model MBS yang ideal. Model-model MBS yang diterapkan di
beberapa negara semuanya mengarah pada satu titik, yaitu meningkatkan mutu
sekolah dan pendidikan. Munculnya model MBS di tiap-tiap negara tidak terlepas
dari sejarah pendidikan negara tersebut. Mulanya terdapat kelemahan pada bidang
tertentu yang kemudian difokuskan untuk ditingkatkan kinerjanya.38
1. Model MBS di Hongkong
Di
Hong Kong MBS disebut The School Management Initiative (SMI) atau manajemen
sekolah inisiatif. Problem pendidikan di Hong Kong yang mendorong munculnya MBS
adalah struktur dan proses manajemen yang tidak memadai, peran dan
tanggung-jawab masing-masing pihak kurang dijabarkan secara jelas, tidak adanya
atau tidak memadainya pengukuran kinerja, penekanan lebih pada pengawasan yang
terinci daripada kerangka tanggung-jawab dan akuntabilitas, dan penekanan lebih
pada control pembiayaan daripada efektifitas pembiayaan. Prinsip utama sistem
MBS Hong Kong adalah telaah ulang (review)
terus-menerus terhadap dasar pembelajaran anggaran pemerintah, perlunya evaluasi
yang sistematis terhadap hasil, penegasan tanggung-jawab lebih baik, hubungan
yang erat antara tanggung-jawab sumber daya dan tanggung-jawab manajemen,
hubungan yang jelas antara pembuat kebijakan dengan agen-agen pelaksana.39
Model
MBS Hong Kong menekankan pentingnya inisiatif dari sumber daya di sekolah
sebagai pengganti inisiatif dari atas yang selama itu diterapkan. Inisiatif
yang diberikan kepada sekolah harus dibarengi dengan diterapkannya transparansi
dan akuntabilitas dalam pengelolaan pendidikan. Transparansi di sini juga
menuntut kejelasan tugas dan tanggung-jawab masing-masing pihak yang terkait
dengan pelaksanaan pendidikan di sekolah. Tansparansi dan akuntabilitas tidak
hanya dituntut dalam penggunaan anggaran belanja sekolah, tetapi juga dalam hal
penentuan hasil belajar siswa serta pengukuran hasilnya.40
2. Model MBS di Kanada
Sebelum
diterapkannya MBS di Kanada, kondisi awalnya adalah pengadaan pegawai sekolah
semuanya diangkat dari pusat, pengadaan peralatan pembelajaran semuanya dari
pusat, dan pelayanan pelanggan semuanya telah distandarkan dari pusat.
Model
MBS di Kanada disebut School-Site Decision Making (SSDM) atau pengambilan
keputusan diserahkan pada tingkat sekolah. MBS di Kanada sudah dimulai sejak
tahun 1970. Desentralisasi yang diberikan kepada sekolah adalah alokasi sumber
daya bagi staf pengajar dan administrasi, peralatan dan pelayanan. Menurut
Sungkowo (2002). Ciri-ciri MBS di Kanada sebagai berikut: penentuan alokasi
sumber daya ditentukan sekolah, anggaran pendidikan diberikan secara lumpsum,
alokasi anggaran pendidikan tersebut dimasukkan ke dalam anggaran sekolah,
adanya program efektivitas guru dan adanya program pengembangan profesionalisme
tenaga kerja (lihat: Nurkolis, 2003:89).
Untuk
menjamin akuntabilitas, proses monitoring diselenggarakan. Para siswa di kelas
3, 6, 9 dan 12 secara regular diuji untuk bidang pelajaran bahasa, ilmu-ilmu
sosial, matematika, dan ilmu alam. Setiap tahun survei pendapat dilakukan oleh
para siswa, guru, kepala sekolah, staf kantor wilayah dan orang tua yang
memungkinkan mereka merangking tingkat kepuasan mereka dalam kaitannya dengan
serangkaian isu-isu mengenai peran mereka yang berbeda. Kemudian diumumkan
secara terbuka. Data spesifik sekolah dan beberapa analisis perbandingan
mengenai kinerja beberapa sekolah di suatu wilayah tersedia bagi
sekolah-sekolah yang relevan dan atas permintaan, bagi para orang tua dan pihak
lainnya.41
3. Model MBS di Amerika Serikat
Sistem
pendidikan di AS, mula-mula secara konstitusional pemerintah pusat (state)
bertanggung-jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dan pemerintah daerah (district) hanya sebagai unit pembuatan
kebijakan dan administrasi. Pemerintah federal memiliki peran yang terbatas
bahkan semakin berkurang perannya, terutama hanya dibatasi terutama pada area
khusus, yaitu dukungan pendanaan. Penerapan MBS di Amerika Serikat terjadi
akibat adanya reformasi pendidikan yang terjadi dalam dua gelombang. Gelombang
pertama terjadi pada tahun 1970-an pada saat sekolah-sekolah di distrik
menerapkan Side-Based Management
(SBM). Gelombang pertama ditandai dengan adanya sentralisasi fungsi-fungsi
pendidikan pada tingkat pusat, mencakup kurikulum dan ujian nasional. Gelombang
kedua terjadi pada tahun 1980-an, dan MBS mulai diterapkan secara serius.
Gelombang kedua terjadi dengan pengurangan keterlibatan pemerintah pusat dan
pemerintah federal. Berbagai upaya baik individu dan organisasi mulai bergerak
untuk menerapkan dan mengembangkan MBS dengan keyakinan bahwa penyerahan
pengelolaan sumber daya ke tingkat sekolah akan membuat kemajuan. Hal ini
karena sekolah dapat mengembangkan diversifikasi pendekatan dan strategi untuk
mencapai tujuannya.42
Menurut
Wirt (1991),43 model MBS di
Amerika Serikat walaupun ada perbedaan di negara-negara federal, ada dua ciri
utama Reformasi pendidikan di Amerika Serikat sebagai implementasi dari MBS,
yakni:
a. Desentralisasi
administratif: kantor pusat Otoritas Pendidikan Lokal menunjuk tugas-tugas
tertentu yang dilaksanakan oleh kepala sekolah dan guru di lingkungan sekolah.
Kantor pusat menyerahkan kewenangan ke bawah, tetapi sekolah lokal masih
bertanggung-jawab ke atas.
b. Manajemen
berbasis setempat (lokal), suatu struktur yang memberi wewenang kepada para
orangtua, guru dan kepala sekolah di masing-masing sekolah untuk menentukan
prioritas, mengalokasikan anggaran, menentukan kurikulum, serta menggaji dan
memberhentikan staf. Di sini kewenangan pembuatan keputusan adalah lokal,
sedangkan tanggung-jawab tidak ditujukan ke atas, tetapi ke masyarakat yang
dilayani sekolah.
Di
samping dua ciri utama di atas, karakteristik MBS di Amerika Serikat nampak
pula dengan adanya sekolah-sekolah khusus (semacam sekolah kejuruan). Inti dari
sekolah khusus terdiri dari elemen-elemen berikut: (i) pilihan pendidikan bagi
para siswa, orang tua dan guru; (ii) sekolah khusus menganut serta mewujudkan proses
demokrasi di sekolah umum; (iii) desentralisasi; (iv) keseimbangan otonomi dan
akuntabilitas melalui sekolah khusus; dan (v) sistem lebih digerakkan oleh pasar.44
4. Model MBS di Inggris
Model
MBS di Inggris disebut Grant Mainted
School (GMS) atau Manajemen Dana Swakelola pada Tingkat Lokal. Ada enam
perubahan struktural guna memfasilitasi pelaksanaan MBS di Inggris, yakni:45
(1) kurikulum
nasional untuk mata pelajaran inti yang ditentukan oleh pemerintah (Whitehall);
(2) ada
ujian nasional bagi siswa kelas 7, 11,14 dan 16;
(3) MBS
dibentuk untuk mengembangkan otoritas pendidikan lokal agar dapat memperoleh
dana bantuan dari pemerintah;
(4) adanya
pembentukan sekolah lanjutan teknik kejuruan;
(5) kewenangan
Inner London Education dilimpahkan kepada tiga belas otoritas pemerintah;
(6) skema
manajemen sekolah lokal dibentuk dengan melibatkan beberapa pihak terkait,
seperti :
~ peran
serta secara terbuka pada masing-masing sekolah dalam otoritas pendidikan local;
~ alokasi
sumber daya dirumuskan oleh masing-masing sekolah;
~ ditentukan
prioritas oleh masing-masing sekolah dalam membiayai kegiatannya;
~ memberdayakan
badan pengelola pada masing-masing sekolah dalam menentukan dana untuk guru dan
staf; dan
~ memberikan
informasi kepada orang tua mengenai prestasi guru.
Di
Inggris penerapan MBS dilindungi dan dikondisikan dengan adanya komitmen
politik dengan adanya Undang-undang Pendidikan yang mengatur penetapan
kurikulum, pelaksanaan ujian nasional, dan pengelolaan pendidikan yang
melibatkan berbagai unsur masyarakat luas.46
5. Model MBS di Australia
Di
Australia lebih dari seratus tahun sampai awal tahun 1970-an pengelolaan
pendidikan di atur oleh pemerintah pusat (sistem sentralistik). Terjadi perubahan
pada awal tahun 1970-an dan berlanjut sampai tahun 1980-an, khususnya dalam hal
pengelolaan dana dan desentralisasi administratif. Karakteristik MBS di
Australia dapat dilihat dari aspek kewenangan sekolah yang meliputi: Pertama,
menyusun dan mengembangkan kurikulum dan proses pembelajaran untuk meningkatkan
hasil belajar siswa. Kedua, melakukan pengelolaan sekolah dapat dipilih di
antara tiga kemungkinan, yaitu Standard Flexibility Option (SO), Enhanced
Flexibility Option – 1 (EO 1), dan Enhanced Flexibility Option – 2 (EO 2).
Ketiga, membuat perencanaan, melaksanakan dan mempertanggungjawabkan. Keempat,
adanya akuntabilitas dalam pelaksanaan MBS. Kelima, menjamin dan mengusahakan
sumber daya manusia dan sumber daya keuangan. Keenam, adanya fleksibilitas
dalam penggunaan sumber daya sekolah.47
6. Model MBS di Prancis
Di
Prancis, sebelum terjadi reformasi dalam pendidikan, sistem pengelolaan
pendidikannya sangat sentralistik. Terjadi perubahan mendasar pada tahun
1982-1984, di mana otoritas lokal memiliki tanggung-jawab terhadap dukungan
finansial. Kekuasaan badan pengelola sekolah menengah atas diperluas ke
beberapa area. Masing-masing sekolah menerima anggaran secara lumpsum terhadap
jam mengajar guru. Kepala sekolah menentukan jenis staf yang dibutuhkan untuk
program-program khusus yang dilaksanakan sekolah.48
7. Model MBS di Nikaragua
Model
MBS di Nikaragua difokuskan pada mendesentralisaskan pengeloaan sekolah dan
anggaran sekolah yang keputusannya diserahkan kepada dewan sekolah (consenjos
directivos). Pelaksanaan MBS di Nikaragua didasarkan pada teori yang
berpendapat bahwa sekolah otonom (centros
autonomos) harus dikelola secara mandiri yang diarahkan/ditekankan pada
keterlibatan orang tua siswa. Selain itu, sekolah memiliki kemampuan untuk menarik
sumber daya dari masyarakat lokal melalui biaya pendidikan (tuition fee) dan
sumbangan tenaga. MBS sebagai bentuk desentralisasi pendidikan di Nikaragua
menyangkut empat tahapan penting, yaitu desentralisasi kebijakan, perubahan
organisasi sekolah, kondisi lokal dan sejarah organisasi, serta hasil yang
diharapkan.49
Dewan
sekolah memiliki otoritas legal yang luas untuk mengangkat dan memberhentikan
staf, pimpinan sekolah, penyesuaian gaji, memantapkan dan menarik sumbangan
pendidikan, pemilihan buku pelajaran dan melakukan evaluasi terhadap para guru.
Dewan sekolah juga memiliki kewenangan untuk mengalokasikan dana, mengelola
pendapatan sekolah, program pelatihan dan dalam hal kurikulum yang dianggap
sesuai.50
8. Model MBS di Selandia Baru
Di
Selandia Baru sejak tahun 1970-an, perhatian masyarakat terhadap sekolah mulai
berkembang. Pada tahun 1989 di setiap sekolah memiliki dewan sekolah yang
mayoritas anggotanya terdiri dari orang tua siswa yang keanggotannya disetujui
oleh menteri. Dewan sekolah inilah yang membuat kerangka kerja operasional
sekolah. Lebih dari 90 % pembiayaan sekolah akan didesentralisasikan ke
masing-masing sekolah yang kemudian disebut School-Based Budget (SBB). Staf
akan disleksi dan diangkat oleh sekolah itu sendiri. Pada tahun 1989
dikeluarkan UU Pendidikan (Education Act), dan pada tahun 1990 sistem
pendidikan dijalankan secara desentralistik. Di samping adanya dewan sekolah
(komite sekolah ada juga dewan pendidikan provinsi yang memiliki tanggung-jawab
untuk menentukan berbagai macam pekerjaan termasuk di antaranya pemilihan
guru-guru dan menentukan alokasi anggaran sekolah (grand). Kerangka kerja
kurikulum nasional masih akan berlaku, namun masing-masing sekolah mengembangkan
pendidikan khsusu kepada siswanya. Dukungan pendanaan di sekolah dijalankan
dengan sistem quasi-free market di mana sekolah akan membuat perencanaan dan
keleluasaan pengelolaan dana sekolah.51
8. Model MBS di El Salvador
Model
MBS di El Salvador disebut Community Mangred Schools Program (CMSP), kemudian
lebih dikenal dengan nama akronim Spanyol EDUCO (Education con Participacion de
la Comunidad). Maksud dari model ini untuk mendesentralisasikan pengelolaan
sekolah negeri dengan cara meningkatkan keterlibatan orang tua di dalam
tanggung-jawab menjalankan sekolah. Filosofi dari program EDUCO adalah pertama,
bahwa orang-orang lokal dapat menjalankan sekolah di dalam komunitas mereka
secara lebih efisien dan efektif daripada dijalankan oleh birokrasi yang
sentralistik. Kedua, perlunya para orang tua tua siswa terlibat secara langsung
di dalam pendidikan anak-anaknya. Faktor penggerak dari program ini adalah
sebuah grup yang anggotanya dipilih dari orang tua siswa yang memiliki
tanggung-jawab untuk peng-administrasian sekolah.52
9. Model MBS di Madagaskar
Model
MBS di Madagaskar difokuskan pada pelibatan masyarakat pada pengontrolan
pendidikan dasar (sekolah berbasis masyarakat) sejak tahun 1994. Implementasi
MBS diarahkan di dalam kerangka kerja dengan melibatkan masyarakat desa tidak
hanya untuk merehabilitasi,membangun dan memelihara sekolah-sekolah dasar,
tetapi juga dilibatkan dalam pengelolaan dan pensupervisian sekolah dasar.
Peran utama pemerintah adalah mengurangi ketidakadilan pendidikan,
mendefinisikan standar dan mengembangkan kerangka kerja kebijakan dan penilaian
pendidikan.53
10. Model MBS di Indonesia
Model
MBS di Indonesia disebut Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
MPMBS dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih
besar kepada sekolah, fleksibilitas kepada sekolah, dan mendorong partisipasi
secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah
berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan
yang berlaku.54 MPMBS merupakan bagian dari manajemen berbasis sekolah
(MBS). Jika MBS bertujuan untuk meningkatkan semua kinerja sekolah
(efektivitas, kualitas/mutu, efisiensi, inovasi, relevansi dan pemerataan serta
akses pendidikan), maka MPMBS lebih difokuskan pada peningkatan mutu.55
Otonomi
sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga
sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang
berlaku. Sedangkan pengambilan keputusan partisipatif adalah cara untuk
mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik
di mana warga sekolah didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses
pengambilan keputusan yang dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan
sekolah. Sehingga diharapkan sekolah akan menjadi mandiri dengan ciri-ciri
sebagai berikut: tingkat kemandirian tinggi, adaptif, antisipatif, dan
proaktif, memiliki jiwa kewirausahawan yang tinggi, bertanggung-jawab terhadap
kinerja sekolah, memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber
dayanya, memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja, komitmen yang
tinggi pada dirinya dan prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya.
Tujuan
MPMBS adalah memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian
kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih besar
kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi
warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan.56
11. Model MBS yang Dipandang Ideal
Menurut
Lawler (1986) keterlibatan tinggi dalam manajemen di sektor swasta menyangkut
empat hal, yaitu: informasi, penghargaan, pengetahuan dan kekuasaaan. Informasi
memungkinkan para individu berpartisipasi dan mempengaruhi pengambilan
keputusan dengan memahami lingkungan organisasi, strategi, sistem kerja,
persyaratan kerja dan tingkat kerja. Pengetahuan dan keterampilan diperlukan
untuk meningkatkan kinerja pekerjaan dan kontribusi efektif atas kesuksesan
organisasi. Penghargaan untuk menyatukan kepentingan pribadi karyawan dengan
keberhasilan organisasi. Secara tradisional empat hal tersebut. Kekuasaan
diperlukan untuk mempengaruhi proses kerja, prekatek keorganisasian, kebijakan
dan strategi. Dalam MBS menggambarkan pertukaran dua arah dalam empat hal
tersebut. Alur dua arah memberikan pengaruh yang saling menguntungkan secara
terus-menerus antara pemerintah daerah dengan sekolah dan sebaliknya (lihat: Nurkolis,
2003:110). Alur dua arah tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1. Mutual
Simbiosis antara Pemda dan Sekolah57
Gagasan
lain tentang MBS yang ideal adalah menerapkan pada keseluruhan aspek pendidikan
melalui pendekatan sistem. Konsep ini didasarkan pada pendekatan manajemen
sebagai suatu sistem (lihat: Daniel C. Kambey, 2003: 23; Made Pidarta, 2004: 23).
Seperti model ideal yang dikembangkan oleh Slamet P.H terdiri dari output,
proses dan input (lihat: Nurkolis, 2003: 111). Output sekolah diukur dengan kinerja
sekolah, yaitu pencapaian atau prestasi yang dihasilkan oleh proses sekolah.
Kinerja sekolah dapat diukur dari efektivitas, kualitas, produktivitas,
efisiensi, inovasi, moral kerja. Proses sekolah adalah proses pengambilan
keputusan, pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, dan belajar-mengajar.
Input sekolah antara lain visi, misi, tujuan, sasaran, struktur organisasi,
input manajemen, input sumber daya. Model MBS ideal tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:
Gambar 2. Model MBS yang
ideal58
E. PERAN MASING-MASING PIHAK DALAM MBS
Pihak-pihak
yang dimaksud dalam manajemen berbasis sekolah adalah kantor pendidikan pusat,
kantor pendidikan daerah kabupaten atau kota, dewan sekolah, pengawas sekolah,
kepala sekolah, orang tua siswa dan masyarakat luas.59
1. Peran Kantor Pendidikan Pusat dan Daerah
Di Indonesia oeran
dan fungsi Departemen Pendidikan dalam era otonomi daerah sesuai
dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 thn 2000 menyebutkan bahwa tugas
pemerintah pusat antara lain menetapkan standar kompetensi siswa dan warga,
peraturan kurikulum nasional dan sistem penilaian hasil belajar, penetapan
pedoman pelaksanaan pendidikan, penetapan pedoman pembiayaan pendidikan,
penetapan persyaratan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan
mahasiswa, menjaga kelangsungan proses pendidikan yang bermutu, menjaga
kesetaraan mutu antara daerah kabupaten/kota dan antara daerah provinsi agar
tidak terjadi kesenjangan yang mencolok, menjaga keberlangsungan pembentukan
budi pekerti, semangat kebangsaan dan jiwa nasionalisme melalui program
pendidikan.60
Peran
pemerintah daerah adalah menfasilitasi dan membantu staf sekolah atas
tindakannya yang akan dilakukan sekolah, mengembangkan kinerja staf sekolah dan
kinerja siswa dan seleksi karyawan. Dalam kaitannya dengan kurikulum,
menspesifikasi tujuan, sasaran, dan hasil yang diharapkan dan kemudian memberikan
kesempatan kepada sekolah menentukan metode untuk menghasilkan mutu
pembelajaran. Pemerintah kabupaten/kota menjalankan tugas dan fungsi:61
(1) memberikan
pelayanan pengelolaan atas seluruh satuan pendidikan negeri dan swasta;
(2) memberikan
pelayanan terhadap sekolah dalam mengelola seluruh aset atau sumber daya
pendidikan yang meliputi tenaga guru, prasarana dan sarana pendidikan, buku
pelajaran, dana pendidikan dan sebagainya;
(3) melaksanakan
pemberian tugas binaan dan pengurusan atas tenaga pendidik yang bertugas pada
satuan pendidikan.
Selain
itu dinas Kabupaen/Kota bertugas sebagai evaluator dan inovator, motivator,
standarisator, dan informan, delegator dan koordinator.
2. Peran Dewan Sekolah dan Pengawas Sekolah
Dewan
sekolah (komite sekolah) memiliki peran: menetapkan kebijakankebijakan yang
lebih luas, menyatukan dan memperjelas visi baik untuk pemerintah daerah dan
sekolah itu sendiri, menentukan kebijakan sekolah, visi dan misi sekolah dengan
mengacu kepada ketentuan nasional dan daerah, menganalisis kebijakan
pendidikan, melakukan komunikasi dengan pemerintah pusat, menyatukan seluruh
komponen sekola.62
Pengawas
sekolah berperan sebagai fasilitator antara kebijakan pemda kepada
masing-masing sekolah antara lain menjelaskan tujuan akademik dan anggarannya
serta memberikan bantuan teknis ketika sekolah menghadapi masalah dalam
menerjemahkan visi pemda. Mereka memberikan kesempatan untuk mengembangkan
profesionalisme staf sekolah, melakukan eksperimen metode pengajaran, bertindak
sebagai model dalam melaksanakan MBS dengan cara melakukannya sendiri dan
menciptakan jalur komunikasi antara sekolah dan staf pemda.63
3. Peran Kepala Sekolah
Pada
tingkat sekolah, peran kepala sekolah sangat sentral sebagai figur pengambil
kebijakan dan keputusan strategis dalam pengembangan sekolah. Untuk itu dalam
kerangka MBS integritas dan profesionalitas kepala sekolah sangat dibutuhkan.
Untuk itu peran kepala sekolah memiliki banyak fungsi antara lain: Pertama,
sebagai evaluator melakukan pengukuran seperti kehadiran, kerajinan dan pribadi
para guru, tenaga kependidikan, administrasi sekolah dan siswa. Kedua,
sebagai manajer memahami dan mampu mengaplikasikan fungsi-fungsi manajerial (planning, organizing, actuating,
dan controlling.64 Ketiga,
sebagai administrator bertugas, sebagai pengendali struktur organisasi
(pelaporan dan kinerja sekolah), melaksanakan administrasi substantif
(kurikulum, siswa, personalia, keuangan, sarana, humas dan administrasi umum). Keempat,
sebagai supervisor (memberikan pembinaan atau bimbingan kepada para guru dan
tenaga kependidikan). Kelima, sebagai leader (mampu
menggerakkan orang lain agar melakukan kewajibannya secara sadar dan sukarela).
Keenam,
sebagai inovator (cermat dan cerdas melakukan pembaharuanpembaharuan dan
inovasi-inovasi baru). Ketujuh, sebagai motivator
(memberikan semangat dan dorongan kepada para guru dan staf untuk bergairah
dalam pekerjaan).
Di
samping tujuh fungsi di atas Wohlstetter dan Mohrman mengatakan bahwa kepala
sekolah adalah sebagai designer, motivator, fasilitator dan liasion. Sebagai
designer membuat rencana dengan memberikan kesempatan untuk terciptanya
diskusi-diskusi (secara demokratis) menyangkut isu-isu dan permasalahan di
seputar sekolah dengan tim pengambil keputusan sekolah. Sebagai fasilitator
mendorong proses pengembangan kemampuan seluruh staf dan mampu menyediakan dan
mempergunakan semua sumber daya untuk pengembangan sekolah. Sebagai liasion
atau penghubung sekolah dengan dunia di luar sekolah, membawa ide-ide baru dan
hasil-hasil penelitian di sekolah dan mampu mengkomunikasikan kinerja dan hasil
sekolah kepada stakeholder di luar sekolah.65 Dari fungsi-fungsi di
atas, E. Mulyasa (2005) menambahkan satu fungsi lagi, yakni sebagai educator
(pendidik), yakni mampu memberikan pembinaan (mental, moral, fisik dan
artistik) kepada para guru dan staf serta para siswa.66
4. Peran Para Guru
Pedagogi
reflektif menunjuk tanggung-jawab pokok pembentukan moral maupun intelektual
dalam sekolah terletak pada para guru. Karena dengan dan melalui peran para
guru hubungan personal autentik untuk penanaman nilai-nilai bagi para siswa
berlangsung.67 Untuk itu guru yang profesional dalam kerangka
pengembangan MBS perlu memiliki kompetensi antara lain kompetensi kepribadian
(antara lain: integritas, moral, etika dan etos kerja), kompetensi akademik (antara lain: sertifikasi kependidikan, menguasai bidang tugasnya dan belajar belajar) dan
kompetensi kinerja (antara lain: terampil dalam pengelolaan pembelajaran).68
Pemberdayaan
dan akuntabilitas para guru adalah syarat penting dalam MBS. Menurut Cheng
(1996) peran para guru adalah sebagai rekan kerja, pengambil keputusan, dan
pengimplementasian program pengajaran.69
5. Peran Para Administrator
Cheng
(1996) juga mengemukakan bahwa peran administrator sekolah dalam MBS adalah
pengembang dan pemimpin dalam mencapai tujuan. Mereka mengembangkan
tujuan-tujuan baru untuk sekolah secara kontekstual dan memimpin warga sekolah
untuk mencapai tujuan dan berkolaborasi dan terlibat penuh dalam fungsi-fungsi
sekolah. Mereka memperbesar sumber-sumber daya untuk mempromosikan perkembangan
sekolah.70
6. Peran Orang Tua dan Masyarakat
Karakteristik
yang paling menonjol dalam konsep MBS adalah pemberdayaan partisipasi para
orang tua dan masyarakat. Peran orang tua dan masyarakat secara kelembagaan
adalah dalam dewan sekolah atau komite sekolah. Filosofi yang menjadi landasan
adalah bahwa pendidikan yang pertama dan utama adalah dalam keluarga (orang
tua) dan masyarakat adalah pelanggan pendidikan yang perkembangannya
dipengaruhi oleh kualitas para lulusan. Sekolah memiliki fungsi subsidier,
fungsi primer pendidikan ada pada orang tua (lihat: Piet Go, 2000: 46). Untuk
itu orang tua dan masyarakat perlu dilibatkan dalam pengelolaan dan
pengembangan sekolah.71
Menurut
Cheng (1989) ada dua bentuk pendekatan untuk mengajak orang tua dan masyarakat
berpartisipasi aktif dalam pendidikan. Pertama, pendekatan school-based dengan
cara mengajak orang tua siswa datang ke skolah melalui pertemuan-pertemuan,
konferensi, diskusi guru-orang tua dan mengunjungi anaknya yang sedang belajar di
sekolah. Kedua, pendekatan home-based, yaitu orang tua membantu anaknya belajar
di rumah bersama-sama dengan guru yang berkunjung ke rumah.72
Sedangkan
peran masyarakat bukan hanya dukungan finansial, tetapi juga dengan menjaga dan
menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan tertib serta menjalankan kontrol
sosial dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah. Peran tokoh-tokoh masyarakat
dengan jalan menjadi penggerak (menggerakkan masyarakat supaya berpartisipasi
dalam pendidikan), menjadi informan dan penghubung (menginformasikan harapan
dan kepentingan masyarakat kepada sekolah, dan menginformasikan sekolah kepada
masyarakat), koordinator (mengkoordinasikan kepentingan sekolah dengan
kebutuhan bisnis di lingkungan masyarakat, misalnya praktek, magang, dan sebagainya),
pengusul (mengusulkan kepada pemerintah daerah agar ada kebijakan, misalnya pajak
pendanaan pendidikan).73
F. PERAN PENTING ‘BAHASA IBU’ (‘MOTHER TONGUE’) DALAM PENDIDIKAN DASAR
Jusuf
Kalla (2007) pernah mengatakan bahwa Bahasa Ibu di Indonesia semakin mengalami
penurunan, baik dari segi jumlah maupun dalam penggunaanya. Penurunan
penggunaan Bahasa Ibu ini karena terjadinya perkawinan antar suku yang berbeda.
Dengan demikian keturunan atau anak-anak mereka kesulitan mempelajari salah
satu Bahasa Ibu dari orang tuanya. Penyebab lain tidak lestarinya Bahasa Ibu
ini juga karena kurikulum pendidikan di sekolah kurang mendukung.74
Lebih jauh Edi Sedyawati (1996) mengemukakan bahwa
semua Bahasa Ibu kita merupakan kekayaan budaya bangsa yang perlu dilestarikan.
Dengan menguasai dan menggunakan Bahasa Ibu, kita bisa lebih mudah
berkomunikasi dengan nilai, tradisi, etika, rasa, dan batin orangtua dan nenek
moyang yang dihasilkan dari pergulatan mereka dalam menghadapi berbagai macam
persoalan hidup. Kita bisa belajar tentang prinsip-prinsip dan pedoman-pedoman
hidup yang telah dipilih, dihayati, dan ditanamkan oleh para pendahulu kita.
Tentu saja kita tidak menelan semuanya, tetapi menyeleksi yang masih bisa
digunakan untuk menghadapi tuntutan dan tantangan zaman masa kini. Kemerosotan
Bahasa Ibu disebabkan oleh kenyataan bahwa Bahasa Ibu bukan merupakan ”bahasa
resmi” yang dipakai dalam kehidupan publik. Di sekolah, misalnya, digunakan
Bahasa Nasional, yaitu Bahasa Indonesia. Akibatnya, Bahasa Ibu kurang
terekspose dan menjadi bahasa tidak resmi dan informal hanya antarpenutur
se-daerah. Bahasa Ibu tidak lagi menjadi syarat utama untuk keberhasilan
seseorang dalam kehidupan publik. Selain itu, kita kini berada di era
globalisasi, yang pada dasarnya digerakkan oleh kekuatan kapital yang mencari
lahan untuk investasi dan ekspansi pasar. Proses ini menuntut pranata-pranata
masyarakat untuk berfungsi memfasilitasi proses globalisasi. Pranata yang cocok
dan memfasilitasi ekspansi kekuatan kapital itu akan bertahan dan berkembang.
Sementara pranata yang tidak cocok dengan dan menghambat proses ekspansi
kekuatan kapital itu akan tergusur. Karena tidak menjadi bahasa resmi,
sementara ini Bahasa Ibu tampaknya dianggap tidak begitu memfasilitasi proses
globalisasi itu. Karenanya, perbaikan kemasan pelajaran Bahasa Ibu di
sekolah-sekolah belum tentu merupakan jawaban jitu bagi perkembangan Bahasa Ibu
itu sendiri. Kalau penguasaan Bahasa Ibu itu merupakan syarat untuk sukses
dalam hidup di tengah globalisasi kapital saat ini, tentu tidak disuruh pun
para generasi muda akan mempelajari dan menggunakannya.75
Dalam hubungan ini, ada pengamat yang berpendapat bahwa anak didik
yang menguasai ‘Bahasa Ibu’ dengan baik, akan memiliki fondasi yang kuat untuk
belajar bahasa asing, sehingga si anak didik nantinya mampu menguasainya dengan
mudah. Di samping itu, si anak didik akan terhindar dari resiko mengalami
kesulitan belajar atau masalah-masalah lainnya akibat ketidaksiapan belajar
bahasa asing. Jika kita ingin mengajarkan bahasa asing sejak dini kepada anak
didik, maka orangtua perlu merencanakan dan mempersiapkan diri sendiri pula.
Artinya, orangtuanya juga harus menguasai bahasa asing tersebut dengan baik,
sehingga bisa menyediakan lingkungan yang konsisten antara di rumah dan di
sekolah. Kalau itu tidak dilakukan maka perkembangan kecerdasan linguistik
(kecerdasan berbahasa) si anak didik justru dapat terhambat dan akan
mempengaruhi aspek-aspek kehidupan lainnya. Cara yang baik untuk mengajar
anak-anak berbahasa asing adalah dengan membiasakan berkomunikasi sehari-hari
dengan mereka dalam dua bahasa (bilingual).
Selain mudah, anak-anak
juga tidak merasa terpaksa karena tidak harus les atau belajar secara formal.
Cukup dengan membiasakan anak mendengar atau diajak bicara dengan bahasa asing
tersebut, maka dengan mudah anak didik dapat menguasai bahasa asing tersebut.76
Lebih jauh, Tri Budhi Sastri yang dalam makalahnya antara lain menuliskan bahwa
Edith Lam, seorang guru matematika, yang membantu dua peneliti bahasa, Veronica
Hsueh dan Tara Goldstein, yang mengamati dan merekam bagaimana Bahasa Ibu dapat
membantu siswa menguasai bahasa asing, ternyata memperoleh kesimpulan yang
cukup mengejutkan. Terbukti bahwa Bahasa Ibu tidak hanya membantu para siswa
berkomunikasi antar sesama mereka tetapi juga membantu penguasaan bahasa asing
lebih cepat.77
Kabupaten Mandailing Natal di Provinsi Sumatera Utara, dimana mayoritas pendudukunya adalah suku-bangsa Mandailing, juga memiliki Bahasa Ibu
sendiri yaitu ‘Hata Somal’, yang
lebih sering mereka sebut ‘Saro Mandailing’.78
Berbeda dengan keadaan Bahasa Ibu di Indonesia yang umumnya menghadapi ancaman
kepunahan, justru sebaliknya beberapa ‘bahasa asing’ malah mencapai
popularitasnya. Di kawasan industri seperti Karawang, Bahasa Jepang muncul
sebagai bahasa favorit baru di kalangan siswa sekolah menengah kejuruan. Dengan
sasaran pasca-kelulusan siswa mereka bisa langsung bekerja di salah satu
perusahaan di kawasan industri tersebut, sehingga sekolah menengah kejuruan di
Karawang mencantumkan pelajaran Bahasa Jepang sebagai muatan lokal. Bahasa
asing lain yang popularitasnya tidak perlu diragukan adalah Bahasa Inggris.
Bahasa yang didaulat sebagai bahasa komunikasi internasional ini sedikitnya
mulai menggeser peran atau posisi Bahasa Indonesia. Hal ini terbukti dengan penggunaan
Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar perkuliahan di beberapa jurusan di
perguruan tinggi Indonesia. Oleh sebab itu, tampaknya teori evolusi sedang
menimpa ‘dunia kebahasaan’: "siapa yang lebih kuat, dialah yang akan
bertahan". Dengan demikian, Bahasa Ibu kita dan Bahasa Indonesia sebagai ‘bahasa
persatuan’ (nasional) kita
ini pun tampaknya sudah mulai kalah bersaing dengan ‘bahasa asing atau bahasa
internasional’.
III. PENUTUP
Dari uraian
tentang peningkatan mutu pendidikan, model-model MBS dan peran masing-masing
pihak dalam MBS, nampak jelas bahwa MBS sangat potensial untuk mendukung
paradigma baru manajemen pendidikan dalam konteks otonomi daerah dan
desentralisasi pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Untuk itu,
khususnya di Indonesia – tidak terkecuali di Kabupaten Mandailing Natal,
Propinsi Sumatera Utara – konsep MBS ini perlu mendapat tanggapan dan apresiasi
yang antusias dan bijak dari semua pihak untuk kemajuan dunia pendidikan kita.
Adapun simpulan
yang dapat ditarik dari uraian-uraian sebelumnya antara lain sebagai berikut:
Pertama, konsep ‘kualitas
pendidikan’ dapat dilihat dari beberapa sudut pandang: (1) mutu pendidikan
dapat dilihat dari segi proses dan hasil pendidikan. Proses pendidikan yang
bermutu apabila seluruh komponen pendidikan terlibat dalam proses pendidikan
itu sendiri. Sedangkan mutu pendidikan dari segi hasil pendidikan mengacu pada
tingkat keberhasilan yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu
dalam berbagai bidang (akademik, keterampilan dan suasana serta kondisi
sekolah); (2) mutu pendidikan juga dapat ditelaah dalam konsep relatif,
terutama berhubungan erat dengan kepuasan pelanggan, yaitu pelanggan internal (seperti kepala sekolah, guru dan staf
kependidikan) yang terus mengalami perkembangan baik secara fisik maupun
psikis. Sementara itu, pelanggan eksternal terbagi tiga, yaitu:
(i) eksternal primer (para siswa)
menjadi subjek yang mandiri, kreatif dan bertanggung-jawab akan hidupnya dan
perkembangan masyarakat; (ii) eksternal
sekunder (orang tua, para pemimpin pemerintahan dan perusahaan) mendapatkan
konstribusi dan sumbangan yang positif (outcomes)
dari output pendidikan; dan (iii) eksternal
tersier (pasar kerja dan masyarakat luas) memperoleh sumbangan dari output
pendidikan sehingga masyarakat dapat berkembang.
Kedua, untuk mencapai
pendidikan yang berkualitas tentunya dibutuhkan perencanaan ‘program pendidikan’
yang baik. Dalam perencanaan program pendidikan untuk mencapai pendidikan yang
berkualitas, maka perlu memperhatikan kondisi-kondisi yang mempengaruhi,
strategi-strategi yang tepat, langkah-langkah perencanaan dan juga harus memiliki
kriteria penilaian.
Ketiga, konsep yang
dapat dipergunakan sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan adalah Total Quality Management (TQM), yaitu
suatu pendekatan pengelolaan peningkatan mutu pendidikan secara menyeluruh
melalui upaya perbaikan terus-menerus dengan mempergunakan dan memberdayakan
berbagai sumber daya pendidikan yang tersedia.
Keempat, ‘School
Based Management’ (SBM) atau Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS) dapat menjadi alternatif peningkatan mutu pendidikan di Kabupaten
Mandailing Natal karena MBS menganut prinsip-prinsip pokok, yaitu: (i) ‘desentralisasi’,
yakni pelimpahan dan penyerahan wewenang kepada daerah dan sekolah untuk
mengelola pendidikannya secara otonom dalam kerangka pengembangan pendidikan
secara nasional; (ii) pemberdayaan semua sumber daya pendidikan (sekolah) dan
semua pihak (stakeholder) pendidikan,
terutama partisipasi orang tua dan masyarakat untuk mengembangkan pendidikan;
dan (iii) tujuan utama penerapan MBS adalah untuk peningkatan mutu pendidikan
sesuai dengan kebutuhan dan tujuan setiap negara.
Kelima, model MBS yang
ideal adalah MBS yang terintegrasi dalam suatu sistem, yakni adanya
pemberdayaan dan sinergi semua aspek pendidikan dan berbagai sumber daya
pendidikan pada tingkat sekolah, secara efektif dan efisien dalam satu kesatuan
yang utuh untuk mencapai produktifitas dan mutu pendidikan.
Keenam, anak didik yang menguasai ‘Bahasa Ibu’ dengan baik, akan
memiliki fondasi yang kuat untuk belajar ‘bahasa asing’, sehingga si anak didik
nantinya diharapkan mampu menguasainya dengan mudah untuk dapat bersaing dalam
‘dunia kerja’ di era globalisasi seperti sekarang ini.
- Kotanopan, 1 April 2014.
~o0o~
CATATAN
KAKI:
1. Asrida
Nasution (penulis) adalah Kepala Sekolah Dasar Negeri Nomor 236 Hutarimbaru,
Kecamatan Ulu Pungkut, Kabupaten Mandailing Natal, Propinsi Sumatera Utara.
2. Anggota
keluarga mempunyai peran pengajaran yang amat penting, sering kali lebih
penting dari yang mereka sadari walaupun sifatnya tidak resmi. Dalam hal ini,
peranan orang tua sangat dominan. Orang tua jika ingin anaknya memiliki
kepribadian yang baik, maka berkepribadian yang baiklah di dalam keluarga.
Pendidikan di keluarga dari persentase waktunya dalam sehari juga lebih banyak
dibanding tempat pendidikan lainnya. lihat: http://smawarga.com/
reaksi/2013/05/pentingnya-peningkatan-mutu-pendidikan/, diakses 30 Maret 2014.
4. Pendidikan
di sekolah adalah pendidikan formal biasanya dilakukan oleh lembaga. Lembaga
pendidikan sendiri berkaitan dengan fungsi yang nyata, yaitu mempersiapkan
anggota masyarakat untuk mencari nafkah. Pada lembaga yang disebut sekolah
inilah orang tua melimpahkan tugas dan wewenangnya dalam mendidik anak-anak
mereka. Sekolah memiliki potensi untuk menanamkan nilai pembangkangan di
masyarakat. Hal ini tercermin dengan adanya perbedaan pandangan antara sekolah
dan masyarakat tentang sesuatu hal, misalnya pendidikan dan sikap terbuka.
Orang tua menaruh harapan yang besar kepada lembaga pendidikan untuk memberikan
sosialisasi kepada anak-anaknya untuk menerima perbedaan, pengakuan, hak, dan
status yang ada dalam masyarakat, serta.memilih peranan sosial dalam
masyarakat. Ibid.
5. Salah
satu pertimbangan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah harus mampu menjamin pemerataan
kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen
pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan
kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan
pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Lihat:
http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/quality, diakses 30 Maret 2014.
9. Departemen
Pendidikan Nasional (Depdiknas), Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah Konsep Dasar, (Jakarta: Ditjend
Pendidikan Dasar dan Menengah, Ditjen SLTP, 2002).
10. Ibid,
hlm. 7.
11. Lihat: Suryosubroto B., Manajemen Pendidikan di Sekolah, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004).
12. Definisi ‘student achievement’ adalah “this section outlines the
requirements for reporting against the four-point National Standardscale
and gives generic descriptions of each of the four categories, with a focus on
looking ahead at the teaching and learning needs of the student in order to
meet or exceed the standards for following years. Guidance is given on making
OTJs for English language learners, and students with very significant learning
disabilities.” Lihat: http://assessment.tki.org.nz/Overall-teacher-judgment/Definitions-of-achievement, diakses 30 Maret 2014,
13. Ibid,
hlm. 210-211.
14. Tim Redaksi Fokusmedia, Undang-Undang RI No.
20 Tahun 2003 tentang SISDIKDAS (sistem Pendidikan Nasional), Bandung:
Fokusmedia, 2003.
15. Lihat: Edward & Sallis (1993), dalam
Nurkolis, Manajemen Berbasis Sekolah,
Teori, Model dan Aplikasi, (Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
2003), hlm. 67; juga Daniel C. Kambey, Landasan
Teori Administrasi/Manajemen (Sebuah Intisari), Manado: Yayasan Tri Ganesha
Nusantara, 2004, hlm.:10-12
16. Lastiko Runtuwene, S.Ag, M.Pd,
“Manajemen Berbasis Sekolah Sebagai Upaya Peningakatan Mutu Sekolah”, lihat: http://sulut.kemenag.go.id/file/file/Katolik/mgve1363205702.pdf, diakses 30 Marer 2014.
17. Edward Sallis (1993) dalam Nurkolis, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model dan
Aplikasi, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003, hlm. 68.
18. Kamisa (1997), dalam Nurkolis,Op.Cit., hlm. 110.
19. Lastiko Runtuwene, S.Ag, M.Pd, “Manajemen
Berbasis Sekolah Sebagai Upaya Peningakatan Mutu Sekolah”, lihat: http://sulut.kemenag.go.id/file/file/Katolik/mgve1363205702.pdf, diakses 30
Marer 2014.
20. Saisoku,
“Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan”, lihat
http://adisujai.wordpress.com/2010/10/09/
strategi-peningkatan-mutu-pendidikan/, diakses 30 maret 2014.
21. Edward Sallis, Total Quality Management in Education, First pubished 1993, Paperback). ISBN-10: 0749408189.
22. Lihat:
https://www.deming.org/, diakses 30 Maret 2014.
23. Saisoku,
“Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan”, lihat http://adisujai.wordpress.com/2010/10/09/
strategi-peningkatan-mutu-pendidikan/, diakses 30 maret 2014.
24. Departemen
Pendidikan Nasional, Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah Konsep Dasar, Jakarta: Ditjend Pendidikan
Dasar dan Menengah, Ditjen SLTP, 2002, hlm. 11.
25. Nurkolis,
Op.Cit., hlm. 74-78.
26. Lestari
Dewi, “Perencanaan Pendidikan”, lihat http://biologi-lestari.blogspot.com/2013/03/
perencanaan-pendidikan.html,
diakses 30 Maret 2014.
27. Lastiko
Runtuwene, S.Ag, M.Pd, “Manajemen Berbasis Sekolah Sebagai Upaya Peningakatan
Mutu Sekolah”, lihat: http://sulut.kemenag.go.id/file/file/Katolik/mgve1363205702.pdf, diakses 30 Marer 2014.
28. Ibid.
29. Ibid.
30.Ibid.
31. John
Bishop, dalam Nurkolis, Op.Cit. hlm.
78-79.
32.Daniel
Kambey, Landasan Teori
Administrasi/Manajemen (Sebuah
Intisari), Manado : Yayasan Tri Ganesha Nusantara, 2004, hlm. 34-45; lihat
juga Suryosubroto, Manajemen Pendidikan
di Sekolah, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004, hlm. 198.
33.Lastiko
Runtuwene, S.Ag, M.Pd, “Manajemen Berbasis Sekolah Sebagai Upaya Peningakatan
Mutu Sekolah”, lihat: http://sulut.kemenag.go.id/file/file/Katolik/mgve1363205702.pdf, diakses 30 Marer 2014.
34. Soebagio
Atmodiwirio, Pendidikan Indonesia,
Jakarta: Ardadizyajaya, 2000, hlm. 5-6.
35. Suryosubroto, Op.Cit., hlm. 204-205.
36. Nurkolis,
Op.Cit., hlm. 81.
37. Ibid, hlm. 81-82.
38. Ibid, hlm. 86-111.
39. Ibid, hlm. 87-88; lihat juga Abu-Duhou,
Ibtisam, School Based Management,
penerjemah Nuryamin Aini, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002, hlm. 30-31.
40. Nurkolis,
Op.Cit, hlm. 88.
41. Caldwell dan Spinks (1992), dalam Ibtisam
Abu-Duhou, Op.Cit., hlm. 29-30.
42. Lihat:
Nurkolis, Op.Cit, hlm. 91 dan ;
Ibtisam Abu-Duhou, Op.Cit, hlm.
40-49.
43. Wirt
(1991), dalam Ibtisam Abu-Duhou, Op.Cit.,
hlm. 41-42.
44. Muholland
(1993), dalam Ibtisam AbuDuhou, Op.Cit,
hlm. 48-49.
45. Sungkowo
(2002), dalam Nurkolis, Op.Cit., hlm.
92-93; juga dalam Ibtisam AbuDuhou, Op.Cit.,
hlm. 34-35.
46. Lastiko
Runtuwene, S.Ag, M.Pd, “Manajemen Berbasis Sekolah Sebagai Upaya Peningakatan
Mutu Sekolah”, lihat: http://sulut.kemenag.go.id/file/file/Katolik/mgve1363205702.pdf, diakses 30 Marer 2014.
47. Nurkolis, Op.Cit., hlm. 95.
48. Ibid, hlm. 96-97.
49. Lastiko
Runtuwene, S.Ag, M.Pd, “Manajemen Berbasis Sekolah Sebagai Upaya Peningakatan
Mutu Sekolah”, lihat: http://sulut.kemenag.go.id/file/file/Katolik/mgve1363205702.pdf, diakses 30 Marer 2014.
50. Ibid.
51, Nurkolis,
Op.Cit., hlm. 100-1002; lihat Juga
Ibtisam Abu-Duhou, Op.Cit., hlm.
37-40.
52, Nurkolis,
Op.Cit., hlm. 103-104.
53. Ibid. hlm. 105-107.
54. Nurkolis,
Op.Cit., hlm. 107; lihat juga
Depdiknas, Op.Cit., hlm. 3.
55. Ibid, hlm. 3-4.
56. Ibid. hlm. 4.
57. Lastiko
Runtuwene, S.Ag, M.Pd, “Manajemen Berbasis Sekolah Sebagai Upaya Peningakatan
Mutu Sekolah”, lihat: http://sulut.kemenag.go.id/file/file/Katolik/mgve1363205702.pdf, diakses 30 Marer 2014.
58. Ibid.
59. Uraian selengkapnya lihat Nurkolis, Op.Cit,
hlm. 115-128.
60. Lastiko
Runtuwene, S.Ag, M.Pd, “Manajemen Berbasis Sekolah Sebagai Upaya Peningakatan
Mutu Sekolah”, lihat: http://sulut.kemenag.go.id/file/file/Katolik/mgve1363205702.pdf, diakses 30 Marer 2014.
61. Ibid.
62. Lastiko
Runtuwene, S.Ag, M.Pd, “Manajemen Berbasis Sekolah Sebagai Upaya Peningakatan
Mutu Sekolah”, lihat: http://sulut.kemenag.go.id/file/file/Katolik/mgve1363205702.pdf, diakses 30 Marer 2014.
63. Ibid.
64. Lihat juga Ernie T. Sule dan Kurniawan
Saefullah, Pengantar Manajemen,
Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm.8.
65. Wohlstetter
dan Mohrman, dalam Nurkolis, Op.Cit,
hlm. 119-122.
66. Mulyasa E., Menjadi Kepala Sekolah Profesional, dalam Menyukseskan MBS dan KBK,
Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2003, hlm. 97.
67. Paul Suparno, dkk, Reformasi Pendidikan Sebuah Rekomendasi, Yogyakarta: Kanisius,
2002, hlm. 61-62.
68. Lastiko
Runtuwene, S.Ag, M.Pd, “Manajemen Berbasis Sekolah Sebagai Upaya Peningakatan
Mutu Sekolah”, lihat: http://sulut.kemenag.go.id/file/file/Katolik/mgve1363205702.pdf, diakses 30 Marer 2014.
69. Cheng
(1996), dalam Nurkolis, Op.Cit., hlm.
123.
70. Ibid, hlm. 23.
71. Lastiko
Runtuwene, S.Ag, M.Pd, “Manajemen Berbasis Sekolah Sebagai Upaya Peningakatan
Mutu Sekolah”, lihat: http://sulut.kemenag.go.id/file/file/Katolik/mgve1363205702.pdf, diakses 30 Marer 2014.
72. Nurkolis,
Op.Cit., hlm. 126.
73. Lastiko
Runtuwene, S.Ag, M.Pd, “Manajemen Berbasis Sekolah Sebagai Upaya Peningakatan
Mutu Sekolah”, lihat: http://sulut.kemenag.go.id/file/file/Katolik/mgve1363205702.pdf, diakses 30 Marer 2014.
74.Dalam
hubungan ini, Tjandra Dewi mengemukakan bahwa begitu keluar dari dalam
kandungan ibu, tangisan bayi yang baru lahir telah menunjukkan ciri bahasa yang
digunakan kedua orang tuanya. Sebuah studi memperlihatkan bayi Prancis
cenderung menangis dengan pola melodi yang meninggi dalam titi nada yang
perlahan-lahan meningkat dari awal sampai akhir. Tangisannya berbeda dengan
bayi Jerman, yang tampaknya lebih suka pola melodi yang menurun. Kedua pola
tangisan bayi tersebut konsisten dengan perbedaan antara bahasa Jerman dan
Prancis. Ini menunjukkan bahwa anak-anak mulai mempelajari unsur bahasa sejak
dalam kandungan, jauh sebelum ocehan pertama mereka. Kajian mengenai bahasa
sebelum kelahiran telah lama diketahui mempengaruhi bayi. Riset sebelumnya,
misalnya, memperlihatkan bayi baru lahir lebih menyukai suara ibunya daripada
suara orang lain. Cara bayi-bayi itu meniru pola melodi hanya mengandalkan pada
perintah yang tersimpan dalam "kotak suara" yang mereka miliki
sebelum lahir, bukan pengendalian saluran vokal untuk membuat suara nasal yang
memerlukan kemahiran tinggi. Menurut Kathleen Wermke, antropolog medis di
University of Würzburg di Jerman, pada usia yang amat dini mulai meniru suara
ibunya. Bayi yang baru lahir ada kemungkinan amat termotivasi untuk meniru
perilaku ibunya untuk menarik perhatian sang ibu dan memperkuat ikatan
keduanya. Lihat TEMPO Interaktif,
Senin, 9 November 2009.
75. Edi
Sedyawati menambahkan, bahwa memang kita tentu tidak perlu berharap Bahasa Ibu
menjadi bahasa publik apalagi bahasa resmi, karena kurang beralasan terutama
dalam konteks pembangunan bangsa. Dalam masyarakat kita yang majemuk, Bahasa
Indonesia telah menjadi salah satu pemersatu bangsa yang bisa diandalkan.
Tetapi Bahasa Ibu sebagai bahasa lisan, privat, dan informal itu kiranya akan
tetap hidup di tengah masyarakat. Betapapun, Bahasa Ibu tetap menjadi sarana
ekspresi yang lebih efektif dan memuaskan batin bila seseorang berkomunikasi
dengan penutur se-daerah. Fungsi Bahasa Ibu menjadi alternatif berkomunikasi
yang ekspresif sesuai dengan naluri dan batin, sehingga bisa memenuhi kebutuhan
kultural kita. Menggunakan Bahasa Daerah dengan orang sedaerah akan bisa
mengendurkan saraf-saraf batin dari tekanan-tekanan hidup publik dan tuntutan
globalisasi. Tanpa Bahasa Ibu, rasa-rasanya kita kekurangan tempat berteduh di
tengah-tengah kehidupan publik yang seringkali melelahkan batin kita. Ibid.
76. Lihat
“Mau Anak Bilingual, Kuasai Dulu Bahasa Ibu”, Sumut Pos, 24 Oktober 2009.
77. http://fs.unitomo.ac.id/wp-content/uploads/2009/02/bahasa-ibu-bagaimana-nasibmu-kini-makalah-univ-udayana.doc, diakses 30 Maret 2014.
78. Uraian yang lebih rinci mengenai
‘Saro Mandailing’ ini, lihat: http://edi-nasution.
blogspot.com/2014/03/mother-tongue-of-mandailing-people.html, diakses 30 Maret 2014.
~o0o~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar