PENGANTAR
Pada semua masyarakat manusia secara universal musik memang merupakan salah satu aspek yang sangat penting. Dalam kehidupan manusia musik tidak hanya sekadar kegiatan rekreasi atau hiburan semata, tetapi juga digunakan untuk berbagai alasan mulai dari kepentingan adat dan ritual seperti menyambut kelahiran seorang anak, merayakan pesta perkawinan anak, dan penghormatan atas kematian orang tua; meminta berkah dan ungkapan rasa syukur kepada penguasa alam semesta; hingga kepada persiapan untuk berperang dan merayu seorang gadis pada malam hari. Uniknya, setiap kelompok etnis di dunia pada umumnya memiliki konsep, peraturan dan prosedur tertentu dalam membuat dan menggunakan musik. Untuk apa dan bagaimana musik digunakan (dihasilkan) dalam konteks kebudayaan kelompok etnis bersangkutan, adalah sebagian pertanyaan yang cukup menarik untuk dijawab oleh kalangan yang bergelut dalam bidang studi etnomusikologi.[1]
Tidak sedikit orang yang mengatakan bahwa musik adalah ”bahasa universal” karena ”musik” dapat dipahami dan dinikmati oleh siapa pun yang hidup di atas permukaan bumi kita ini. Namun dalam konteks budaya musik tradisional yang dimiliki oleh setiap kelompok etnis di dunia, pandangan yang demikian itu tidak berlaku.[2] Sebab fungsi dan makna ”musik tradisional” yang dimiliki oleh suatu kelompok etnis hanya dapat dipahami seutuhnya oleh warga kelompok etnis bersangkutan. Untuk dapat mengapresiasi musik tradisional itu, paling tidak kita (outsider) harus memahami dua komponen utama dari setiap kebudayaan kelompok etnis yaitu bahasa dan tradisi musiknya.
Setiap kelompok etnis di dunia ini umumnya menggunakan bahasa dan musik sebagai alat komunikasi. Untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran manusia, bahasa memakai kata-kata sebagai medianya, sedangkan musik memakai kombinasi kata-kata (biasanya dalam bentuk puisi) dan komponen ritmis-melodis untuk berkomunikasi.[3] Bahkan adakalanya musik dapat dipakai untuk tingkatan-tingkatan komunikasi yang lebih mendalam, seperti untuk mengungkapkan hal-hal yang tidak dapat dikatakan secara langsung karena pertimbangan moral dan etika. Oleh sebab itulah peran dan fungsi musik (melalui puisi dan ritmis-melodis) menjadi sangat penting dalam menyampaikan ungkapan-ungkapan perasaan dan pikiran mereka tentang berbagai macam hal sehubungan dengan kehidupan di dunia dan akhirat.
Sekalipun benar bahwa (alat) musik yang dipandang paling tua adalah ”suara manusia” itu sendiri, namun makhluk manusia dari segala penjuru dunia dan dalam berbagai tahapan sejarah peradaban mereka, ternyata juga menciptakan musik dengan menggunakan berbagai macam material antara lain dari tulang-belulang, kulit dan rambut binatang, kayu, bambu, kerang dan bahan lain yang tersedia. Sementara di antara para ahli dan beberapa peminat yang mengagumi alat-alat musik kuno masih diperdebatkan tentang alat musik yang dianggap paling tua dalam sejarah peradaban manusia. Dalam hal ini, ada beberapa hal penting yang perlu diketahui sebelum kita terlalu jauh mendalami persolan sejarah alat-alat musik yang dianggap paling tua di dunia ini. Pertama, adanya kemiripan alat-alat musik modern dan kontemporer dengan beberapa artifak musik yang digambarkan dalam lukisan dan atau dokumen-dokumen kuno, sehingga membuat banyak orang percaya bahwa beberapa alat musik yang ada sekarang sudah digunakan pada ribuan tahun lalu. Namun masalahnya adalah bahwa dalam banyak kasus, tidak ada bukti historis atau arkeologis yang menunjukkan bahwa alat musik kuno dan modern (kontemporer) itu sama persis. Kedua, beberapa alat musik modern atau kontemporer dianggap sebagai ”keturunan” dari artefak musik kuno tersebut. Anggapan ini bisa diterima mengingat banyaknya alat musik berupa gendang dan suling. Beberapa alat musik yang ada saat ini secara terus menerus masih tetap eksis mulai dari ribuan tahun yang lalu, dimana para ahli musik tradisional, sejarah, dan arkeologi masih terus berupaya mengumpulkan bukti-bukti untuk mendukung klaim mereka ini. Ketiga, sehubungan dengan adanya temuan arkeologi atas alat-alat musik tradisi kuno yang pada suatu masa tertentu pernah digunakan namun tidak dapat bertahan menghadapi tantangan zaman[4] oleh karena pengaruh faktor-faktor internal dan eksternal.
PERPKUSI SEBAGAI ALAT MUSIK KUNO
Alat musik adalah suatu perangkat khusus yang digunakan oleh manusia untuk menciptakan musik.[5] Berdasarkan cacatan sejarah diketahui bahwa manusia telah membuat alat musik dari berbagai macam material, mulai dari yang sangat sederhana seperti penggunaan selembar daun tumbuh-tumbuhan[6] di masa-masa lalu hingga kepada pembuatan alat musik dengan konstruksi yang sangat kompleks dan canggih seperti syntisizer di era modern sekarang. Kendati belum ada ahli sejarah alat-alat musik kuno yang bisa memastikan secara tepat sejak kapan manusia mulai menyadari bahwa ”suara” atau ”bunyi” dapat diubah ke dalam bentuk musik, akan tetapi dengan ditemukannya beberapa artifak budaya musik kuno seperti di Mesir, Cina, India, Romawi dan Yunani, yang kemudian dipublikasikan secara luas sebagai hasil penelitian, ini menunjukkan dengan jelas kepada kita tentang keberadaan alat-alat musik ketika itu.
David Zed juga sependapat bahwa “suara manusia” adalah “alat musik” yang pertama sekali digunakan dalam sejarah peradaban kita. Kalaupun sejumlah ahli antropologi dan sejarah berpendapat bahwa alat musik yang pertama sekali adalah “perkusi”, itu sebenarnya mengandung spekulasi. Sebab perangkat perkusi seperti kaki, tangan, batu, tongkat dan kayu itu muncul pada evolusi musik yang kedua.[7] Ketika manusia mengembangkan peralatan untuk berburu dan pertanian, dengan memiliki pengetahuan di samping keterampilan, sehingga memungkinkan mereka untuk menciptakan alat musik yang lebih kompleks, seperti “slit drum” yang terbuat dari kayu yang berongga.[8] Di dunia ini, alat musik perkusi sudah ada selama ribuan tahun di setiap kebudayaan dan telah digunakan oleh ummat manusia dengan berbagai cara, seperti berkomunikasi dengan komunitas tetangga, untuk mengiringi tari-tarian, serta memfasilitasi upacara adat dan ritual.[9] Di samping suara manusia, alat musik pukul (perkusi) seperti gendang adalah salah satu artefak yang paling mendasar dan penting. Ada banyak contoh gendang di seluruh dunia yang digunakan untuk agama, hiburan atau sebagai sarana komunikasi. Misalnya di Afrika, dimana musik merupakan interpretasi atas kehidupan manusia, gendang mereka gunakan sebagai ”pidato”. Dalam hal ini, pola beat yang dimainkan dengan cara tertentu dapat mengkomunikasikan sejumlah besar informasi. Di bagian tertentu di Afrika, gendang sangat dihormati, serta juga diberikan entitas dan gender. Karena kesederhanaan desainnya sejak awal sehingga gendang tetap tidak berubah selama ribuan tahun, adalah instrumen tertua yang ada sampai sekarang. Gendang tertua di dunia ditemukan dari zaman Neolitik (6.000 SM).[10]
Di Mandailing ternyata tano (tanah) tidak hanya digunakan sebagai tempat untuk bercocok tanam di sawah dan ladang, melainkan juga dipakai sebagai komponen utama dari alat musik tertentu untuk menghasilkanya bunyi musikal, yaitu gordang tano. Untuk membuat gordang tano ini tanah keras digali dengan ukuran panjang 3 meter, lebar 25 sentimeter dan dengan kedalaman 40 sentimeter. Lubang galian ditutup rapat dengan papan tipis setebal 2 sentimeter, sehingga dengan demikian lubang galian tersebut berfungsi sebagai resonator untuk menghasilkan resonansi bunyi. Lalu pada kedua ujung lubang dibenamkan pasak kayu keras, dan rotan tua yang halus, yang digunakan sebagai dawai, melintasi kuda-kuda di atas lubang yang ditutup dengan papan itu. Dengan alat pemukul (stik) sebesar ibu jari yang panjangnya sekitar 30 sentimeter, sebanyak lima orang pemainnya menabuh dawai dengan teknik dan pola-pola ritmik tertentu. Dalam memainkan gordang tano ini, seseorang bertindak sebagai ”master” (”pemimpin”) yang bermain pada bagian bunyi paling besar, sedangkan keempat penabuh lainnya berada di depannya yang bertindak sebagai panduai (”pengikut”).[11]
Rizaldi Siagian, seorang etnomusikolog yang pernah memimpin Program Studi Etnomusikologi di Fakultas Sastra USU, secara kebetulan menemukan kembali gordang tano tersebut sewaktu menggarap Paket Budaya bersama TVRI Medan berjudul ”Gondang” yang akan menampilkan beberapa musik tradisional dari Tapanuli Selatan untuk siaran lokal. Seorang petani di Tamiang – Kotanopan (Mandailing Julu) yang akan direkam untuk memainkan alat musik tiup uyup-uyup dari daun kopi, tiba-tiba sakit maka harus dicari penggantinya. Secara kebetulan seorang warga Tamiang lain bernama P. Lubis bercerita tentang gordang (tano) yang pernah diceritakan oleh orangtuanya kepadanya, selain itu katanya ia juga pernah memainkan gordang (tano) untuk upacara ritual mangido udan (meminta hujan turun).[12]
Berdasarkan pengamatan Rizaldi Siagian, dawai-dawai (rotan) yang ditabuh oleh para pemainnya itu menciptakan bunyi yang paling komplet dan untaian iramanya persis suara bas berukuran rakrasa. Diperkirakan gordang tano tergolong alat musik yang usianya cukup tua kalau dipandang dari segi ciri-ciri dan karakter pola ritmisnya, serta pengulangan-pengulangan melodi dengan nada yang sangat terbatas. Hal ini sejalan dengan teori evolusi yang dikemukakan oleh Curt Sach dalam buku The History of Musical Instruments (W.W. Norton edition, 1940) sehubungan dengan ciri-ciri musik prasejarah, dimana musik di zaman itu masih dalam proses ransangan untuk menciptakan melodi.[13]
Salah seorang tokoh masyarakat Mandailing yang pernah menjabat Rektor USU, yaitu Prof. Dr. Adi Putra Parlindungan Lubis (berasal dari Pakantan), memperkirakan gordang telah berusia 300 tahun lebih. Gordang sudah dikenal lebih dari empat generasi di Mandailing, dimana gordang digunakan pada upacara ritual memanggil hujan dan berfungsi untuk membangkitkan semangat dalam pertempuran.[14]
GORDANG SEBAGAI MUSIK KUMUNITAS PETANI
Di Mandailing banyak ditemukan tempat pemukiman penduduk yang disebut huta. Nama-nama huta di kawasan Mandailing Julu antara lain Huta Dangka, Huta Pungkut, Huta Godang, dan Huta Padang, sedangkan Huta Namale, Huta Bargot, dan Huta Siantar terdapat di kawasan Mandailing Godang. Di suatu huta biasanya juga terdapat tempat-tempat pemukiman penduduk yang disebut banjar; lebih besar sedikit dari banjar dinamakan lumban, dan pagaran adalah tempat pemukiman yang lebih besar dari lumban. Di masa lalu setiap huta memiliki wilayah kekuasaan dan sistem pemerintahan sendiri yang otonom. Pemimpin adat (tradisional)pada setiap huta adalah Namora Natoras[15] yang dikepalai oleh seorang raja bernama Raja Pamusuk. Sedangkan gabungan dari beberapa huta, sebagai pengembangan (pecahan) dari satu ”huta induk” yang sama[16], yang disebut Janjian adalah merupakan suatu ”kerajaan kecil” yang dipimpin oleh Raja Panusunan Bulung. Seperti Kerajaan Tamiang[17] di Mandailing Julu dahulu dipimpin oleh Raja Panusunan Tamiang gelar Patoean Dolok III (1932-1946) meliputi 14 (empat belas) ”huta anak” yaitu Tobang, Botung Dolok, Botung Julu, Botung Lombang, Gudang Botung, Muara Botung, Husortolang, Patialo, Pagaran Dolok, Muara Tagor, Huta Dangka, Huta Pungku Jae, Huta Pungkut Tonga, dan Huta Pungkut Julu. Setiap kerajaan (kecil) di Mandailing memiliki balai sidang adat yang disebut Sopo Godang, yang letaknya berdekatan dengan Bagas Godang yang digunakan sebagai tempat tinggal sang raja.
Orang-orang yang hidup sebagai warga komunitas huta di Mandailing umumnya adalah petani. Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka menanam padi di sawah dan berkebun di ladang. Namun tidak semua warga memiliki sawah di sekitar tempat tinggal mereka karena keterbatasan areal persawahan di setiap huta. Karena itu mereka membuka areal persawahan di tempat-tempat lain meskipun agak jauh dari tempat pemukiman. Bahkan tidak sedikit warga huta yang menaman padi di daerah perbukitan yang disebut marhauma. Selain menanam padi di ladang itu, mereka juga menanam tanaman palawija seperti jagung, cabai, umbi-umbian, kacang-kacangan dan sayur-sayuran. Di antara mereka ada yang tinggal (menetap) di situ untuk menjaga tanam-tanamanya agar tidak dirusak atau dimakan habis oleh binatang liar seperti kera dan babi hutan.
Beberapa orang yang sudah cukup tua usianya pernah mengatakan bahwa leluhur mereka dahulu sebenarnya menetap di daerah perbukitan yang disebut tor. Namun dalam perkembangannya kemudian para leluhur mereka itu turun ke lembah-lembah perbukitan dan di dataran rendah itu leluhur mereka menanam padi dengan sistem irigasi persawahan yang airnya bersumber dari batang (sungai) atau aek (anak sungai). Selanjutnya mereka mendirikan rumah dan menetap serta beranak-pinak di situ, yang semakin lama semakin ramai, hingga akhirnya menjadi tempat pemukiman (kampung) yang baru. Keterangan dari orang-orang tua tersebut dapat diyakini kebenarannya mengingat banyaknya tempat-tempat pemukiman lama di Mandailing yang disebut lobu atau huta lobu. Di huta lobu ini dapat ditemukan kuburan-kuburan tua sebagai tempat pemakaman para leluhur mereka dahulu, seperti area tertentu bernama Mandala Sena di banua Maga terdapat huta lobu dari leluhur marga Rangkuti.
Dalam aktivitas bercocok tanam padi di ladang (marhauma) tersebut, dan juga untuk menanam tanaman palawija, diperlukan satu alat khusus semacam ”tugal”. Alat ini terbuat dari sepotong kayu, yang panjangnya satu meter lebih dan berdiameter sekitar tiga sampai empat sentimeter, dan pada salah satu ujungnya diruncingkan untuk melobangi tanah. Di Mandailing, alat ini dinamakan ordang, dan kegiatan menanam tanaman tersebut disebut mangordang. Dalam kaitannya dengan kegiatan mangordang ini ada satu ungkapan tradisional (disebut uling-kulingan) dalam bentuk tanya-jawab yang cukup populer di kalangan remaja sebagai berikut:
A: Uling-kulinganca, taksipatuktak tolu do indega, aha mai ?
B: Anca, alak na mangordang !
Perkataan taksipatutak tolu do indegena yang terdapat pada uling-kulingan tersebut menarik perhatian kita manakala dalam pengucapannya cenderung bersifat ritmis (musikal), terlebih-lebih mengingat tradisi musik orang Mandailing adalah tradisi oral, yang dalam teori dan praktek (pengajarannya) hanya disampaikan secara lisan, dari mulut ke mulut. Seperti kata Rizaldi Siagian: “Semua berlaku oral dan informal, ...Tidak seperti di Jawa dan India. Walaupun oral, guru musiknya mempunyai formalitas dalam proses pengajarannya. Jadi, saya harus merekonstruksi sesuatu yang abstrak, karena pola ritmenya tersimpan di benak penabuh”[18], itulah yang diungkapkan beliau ketika secara kebetulan menemukan kembali gordang tano sebagai salah satu alat musik prasejarah Mandailing di Tamiang. Dalam hal ini, perkataan taksipatuktak tolu do indegena tersebut dapat ditranskrisikan (secara subjektif) untuk mengetahui pola ritmis yang terkandung di dalamnya sebagai berikut:
Pola ritmik yang terkandung dalam perkataan taksipatuktak tolu do indegena tersebut tampaknya memang kelihatan sangat sederhana karena bersifat leitmotivic (motif-motif kecil) dengan empat buah not triplet.[19] Begitupun, bukankah suatu untaian ritmik (komposisi musik) yang panjang dan kompleks itu pada umumnya dibangun dengan menggunakan motif-motif yang relatif kecil dengan penggarapan yang bervariasi pula? Tidak perlu diragukan lagi karena cukup banyak fakta yang menunjukkan bahwa di dalam permainan alat musik perkusi dengan untaian (bunyi) ritmik yang panjang dan kompleks itu umumnya ditemukan motif-motif kecil yang mendasarinya. Justru itu, pengidentikasian motif-motif kecil tersebut sangat penting sehingga dapat dipahami bagaimana motif-motif kecil itu dirangkai dan dengan berbagai variasi pula maka terciptalah suatu struktur ritmik (musik) yang cukup kompleks. Namun kalau kita hanya dapat mengidentifikasi motif-motifnya saja, sekalipun enak didengar dan dirasakan serta dianggap unik, itu tidak akan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang musik itu sendiri, terlebih-lebih musik tradisional yang dimiliki oleh suatu kelompok etnis tidak hanya berfungsi sebagai hiburan semata. Menggunakan musik tradisional dalam konteks upacara ritual mangido udan misalnya, fungsinya bermacam-macam antara lain sebagai simbol, sarana pengungkapan emosial dan juga sebagai alat komunikasi.[20]
Dari segi bahasa, kata ordang dan gordang memang secara harafiah artinya tidak sama, namun keduanya adalah “alat” yang sama-sama terbuat dari sepotong kayu dan sangat berguna bagi orang Mandailing. Ordang adalah suatu alat yang digunakan (semacam “tugal”) untuk membuat “lobang kecil” pada permukaan tanah lalu ke dalamnya dimasukkan benih tanaman yang kemudian ditutup dengan tanah, sedangkan gordang adalah alat musik yang dipukul (perkusi) seperti gordang tano (kordofon) dan gordang sambilan (membranofon). Dari sisi lain, misalnya dari akar katanya mungkin dapat ditemukan hubungan erat antara kedua istilah tersebut. Akar kata “gordang” adalah “gor” dan “dang”, sedangkan akar kata “ordang” adalah “or” dan “dang”, dimana keduanya sama-sama memiliki akhiran ”dang”. Sejumlah kata yang memakai akhiran “dang”, yang ada kaitannya dengan kata “ordang” dan “gordang”, yaitu: ”godang” (besar), “padang” (ilalang), dan “lidang” (lurus). Dalam hal ini, gordang sambilan terdiri dari sembilan buah “gendang besar” (drum chime), dan salah satu repertoar gondang yang sering dimainkan dalam upacara adat adalah padang na mosok (irama ilalang yang terbakar) atau roba na mosok (semak belukar yang terbakar)[21], sedangkan “ordang” yang dipandang baik adalah yang terbuat dari kayu yang lurus. Untuk akar kata “gor” pada “gordang”, artinya “menyala”. Akar kata ”gor” ini juga terdapat pada sejumlah kata antara lain: ”gorgor” (menyala-nyala) dan ”tagor” yaitu sebuah patung keramat yang terdapat pada areal pemakaman kuno yang disebut lobu atau huta lobu, yang sewaktu-waktu akan berbunyi gemuruh (sebagai pertanda, seperti bunyi gordang ketika dimainkan) akan ada kaum bangsawan yang akan meninggal dunia. Sedangkan akar kata ”or” pada kata ”ordang”, juga terdapat pada kata lain seperti kata: ”por” (keinginan yang kuat, hujan yang deras), ”tapor” (pecah), ”matuporpor” (menggelepar-gelepar seperti aksi yang sering dipertunjukkan oleh tokoh shaman Sibaso dalam setiap upacara ritual), dan ”siapor” (belalang) yang sesekali melompat terbang kurang lebih seperti yang sesekali dipertunjukkan oleh “panjangati" yang memainkan dua atau tiga gordang yang paling besar bernama “jangat”. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka pengertian kata “gordang” adalah alat musik besar yang kalau dimainkan semakin lama bunyinya bergemuruh.
Orang-orang yang hidup sebagai warga komunitas huta di Mandailing berlandaskan adat Dalian Na Tolu atau disebut juga adat Markoum-sisolkot. Mereka mengelompokkan diri ke dalam tiga kelompok kekerabatan fungsional, yaitu mora (pemberi gadis), anak boru (penerima gadis) dan kahanggi (abang-adik yang ber-marga sama atau disebut juga sisolkot). Sesuai dengan kedudukan dan peran masing-masing kelompok kekerabatan tersebut dalam sistem sosial Dalian Na Tolu, mora diibaratkan sebagai ulu bondar (sumber air kehidupan), anak boru adalah sitamba naurang siorus nalobi (manambah yang kurang dan mengurangi yang lebih), dan kahanggi atau sisolkot adalah jait domu-domu yang mempertautkan atau sebagai kelompok penengah (perantara) antara kelompok kekerabatan mora dan anak boru. Dalam hal ini, setiap individu orang Mandailing pada suatu saat berkedudukan sebagai mora, namun di saat lain bisa pula berkedudukan sebagai anak boru karena adanya hubungan perkawinan di antara keduanya, dan pada kesempatan lain bisa pula berkedudukan sebagai kahanggi karena memiliki pertalian darah dengan orang yang ber-marga sama dengan dirinya. Orang-orang Mandailing yang ber-marga sama memiliki satu kakek bersama yang disebut saompu parsadaan seperti Sibaroar bagi marga Nasution dan Namora Pande Bosi bagi marga Lubis.
Gordang sambilan sebagai musik tradisional orang Mandailing, dahulu dimainkan pada berbagai upacara adat dan ritual. Seperti dalam penyelenggaraan adat perkawinan orja haroan boru (disebut juga orja Markaroan Boru), meskipun setiap orang tidak memiliki tingkat keterampilan yang sama tetapi orang-orang yang sudah dewasa boleh memainkannya, kecuali memainkan gordang terbesar yaitu jangat karena hanya alak namalo mangatak mangetong (“orang yang pandai mengatur-berhitung”) saja yang boleh dan mampu memainkannya, yaitu kalangan Namora Natoras, Raja Pamusuk dan Raja Panusunan Bulang, sebab hanya mereka inilah yang dipandang memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang adat-istiadat orang Mandailing. Di samping jangat, pada gordang sambilan juga ada gordang yang disebut udong-kudong, paniga dan panulus yang masing-masing dimainkan oleh satu orang pemain. Dalam membangun ritme bunyi (musik) pada permainan gordang sambilan, yang pertama sekali memukul gordang adalah pemain udong-kudong dengan menggenggam sebuah stik kayu pada tangan kanan dan sebuah stik kayu lagi pada tangan kirinya. Umumnya “pukulan pertama” yang dilakukan oleh pemain udong-kudong adalah dengan menggunakan tangan kanan dan tangan kiri digunakan untuk melakukan “pukulan kedua”. Setelah pemain udong-kudong memukul gordang secara terus-menerus dan konstan, barulah kemudian pemain panulus menyusul dengan mengambil “ketukan pertama” di antara “pukulan pertama” (tangan kanan) dan “pukulan kedua” (tangan kiri) dari pemain udong-kudong secara terus-menerus dan konstan pula. Selanjutnya, menyusul pula pemain paniga yang memukul gordang dengan mengambil ”pukulan pertama” di antara ”pukulan pertama” dari panulus dan ”pukulan kedua” dari udong kudong, sedangkan untuk ”pukulan kedua” dari paniga diambilnya antara ”pukulan kedua” dari panulus dan ”pukulan kedua” dari udong-kudong. Perpaduan dari pukulan dari ketiga pemain gordang (udong-kudong, panulus dan paniga) itu, yang dimainkan secara konstan dan terus-menerus untuk menghasilkan pola ritme tertentu, yang di dalamnya terkandung motif-motif kecil berbentuk triplet.[22] Untuk lebih jelasnya lihat gambar berikut ini:
Setelah ketiga orang pargordang (pemain gordang) itu dapat bermain dengan penuh kekompakan, serasi dan harmonis, yang dalam bahasa Mandailing disebut domu, barulah kemudian pemain gordang jangat (panjangati) memukul dua atau tiga buah gendangnya yang paling besar yaitu jangat. Sesuai dengan tradisi musik orang Mandailing yang bersifat oral (lisan), ada beberapa ”ungkapan” atau kata-kata ”kiasan” (metonymy)[23] yang cukup populer (namun terkesan jenaka) sehubungan dengan ”bunyi” gordang yang dimainkan oleh panjangati, antara lain: "godang godang baen korot korotan na i godang-godang baen korot korotan na i” (besar-besar buat sayatan dagingnya 2x), dalam konteks upacara adat perkawinan misalnya dengan pemotongan hewan korban seperti kerbau yang disebut longit. Ada pula kata-kata kiasan yang juga cukup populer sehubungan dengan bunyi musikal yang dihasilkan dari permainan tiga buah gong kecil berpencu (disebut momongan) yaitu ”gule torung gule torung gule torung” (gulai terung 3x). Selain itu ada kata-kata kiasan seperti ”saba jae saba julu saba jae saba julu” (sawah hilir sawah hulu 2x), "patujolo kecepati patujolo kecapi" (kedepankan kecap itu 2x) dan masih banyak lagi kata-kata kiasan lainnya.
Di Mandailing terdapat banyak huta, dan nama-nama gordang yang ada pada gordang sambilan, mulai dari yang paling kecil dan pendek hingga kepada yang besar dan panjang, tidak semuanya sama antara satu huta dengan huta yang lainnya[24], dan juga terdapat banyak sekali variasi pola-pola ritmik yang dibangun dalam permainan gordang sambilan, sebagaimana digambarkan oleh Jasinaloan (Ahmad Bakhsan Parinduri) dalam salah satu cerita pendeknya yang berjudul ”Si Oto Na Bisuk” (2008) sebagai berikut :"... Tai sindok i, gorarna mantong jolma manusia. Nangkon be jolo nidok alak na sabanjar na saluat, salang na saamang-sainang pe marbeso do pangalahona. Arambir na samayang i pe marnagodang do, suang muse songon tokok ni gordang sambilan i. Muda di Pakantan udor gorarna, di Manambin jogo-jogo ningna, ditaan boto pakutili de i idokon dongan. ..."
(Tetapi begitulah, namanya juga manusia. Jangankan orang yang sama-sama tinggal di satu banjar dan satu luat, sedangkan orang-orang yang seayah-seibu sekalipun berbeda kepribadian dan tingkah lakunya. Buah kelapa yang setandan itu pun tidak sama besarnya, begitu pula halnya dengan cara-cara memainkan gordang sambilan. Kalau di Pakantan dinamakan udor, di Manambin disebut jogo-jogo, di kampung kita --Tombang Bustak -- dinamakan patukili oleh kawan-kawan).
Sampai akhir abad ke-20, sisa religi kuno orang Mandailing yaitu pelebegu yang menggunakan ensambel musik gordang sambilan untuk upacara ritual, masih tampak bekasnya dalam kehidupan masyarakat Mandailing meskipun agama Islam telah merata menjadi anutan mereka. Di beberapa tempat misalnya masih dilakukan orang upacara pemanggilan roh (disebut pasusur begu atau marsibaso) yang sangat dikutuk oleh para ulama Islam. Sesuai dengan tradisi pelebegu upacara ritual tersebut dilakukan untuk meminta pertolongan roh leluhur guna mengatasi suatu keadaan yang sulit, misalnya ketika musim kemarau panjang terjadi sehingga merusak tanaman padi penduduk. Orang-orang yang menyaksikan upacara ritual mangido udan tersebut sulit membantah bahwa mereka memang melihat turunnya hujan lebat di tengah kemarau panjang setelah selesainya upacara ritual itu.[25]
Pada masa sekarang gordang sambilan selalu dimainkan seminggu sebelum dan sesudah Hari Lebaran (Idul Fitri) di bererapa huta[26], dan juga dipertunjukan dalam perayaan-perayaan nasional seperti peringatan Hari Proklamai Kemerdekaan Republik Indonesia setiap tanggal 17 Agustus dan Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei. Selain itu juga digunakan untuk penyambutan tamu-tamu pemerintah daerah Kabupaten Mandailing Natal (Madina), bahkan beberapa kali kesempatan gordang sambilan telah dipentaskan di beberapa negara (luar negeri)[27] sebagai “seni pertunjukan”.
PENUTUP
Orang-orang Mandailing yang mengetahui bahwa gordang adalah “uning-uningan ni ompunta na jumolo sunduti” (musik para leluhur yang diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya) maka dengan sendirinya mereka telah mengakui sejarah dan kebudayaannya. Pada momen-momen tertentu dan dengan tingkatan-tingkatan tertentu pula bisa jadi gordang menjadi lebih penting dan bermakna dalam mengaktualisasikan dirinya ketimbang menggunakan "bahasa ibu" (Hata Mandailing). Dengan kata lain, gordang tidak hanya merefleksikan siapa dirinya sesungguhnya, tetapi juga dapat merekonstruksi identitas kemandailingannya itu sendiri. Mungkin saat ini sudah terjadi bahwa ketika seseorang menyaksikan pertunjukan musik hard rock yang hingar-bingar, atau sewaktu dia membaca kata gordang pada sebuah buku, seketika itu juga dia teringat kepada kenalan, sahabat atau saudaranya yang bermukim nun jauh di sana ... Tano Sere (Mandailing) di pedalaman pesisir pantai barat Pulau Sumatra.***
Gandoang, Juli 2010
Catatan kaki:
[1] Alan P. Merriam (1964:7) seorang ahli antropologi mendefenisikan ethnomusicology sebagai “studi musik di dalam kebudayaan”. Data-data yang dikumpulkan antara lain dari berbagai kemungkinan adanya hubungan dengan aspek-aspek dari tingkah laku manusia, kemudian fakta-fakta tersebut dapat dipergunakan untuk menjelaskan mengapa musik seperti itu, dan mengapa pula dipergunakan seperti itu. Selain itu, musik itu sendiri dikumpulkan, ditranskripsikan dan dianalisis, tetapi ada penekanan di dalam peranan musik sebagai “tingkah laku mahluk sosial”. Seorang juru bicara dari ahli musikologi, yaitu George List (1969:195) mendefeniskan ethnomuscology sebagai suatu studi musik tradisional, contohnya musik yang berkembang secara oral (lisan), tanpa tulisan, dan selalu di dalam perubahan yang berlangsung secara terus-menerus (flux). Kerja lapangan dilakukan dengan penelitian dan data-data kontekstual yang dikumpulkan sebagaimana musik; tetapi itu tidaklah perlu sepenuhnya diterima bahwa musik harus dipelajari hanya sebagai tingkah laku manusia. Sementara Marcel Dubois (1965:39), seorang etnomusikolog Francis, melengkapinya dengan beberapa tujuan dasar ethnomusicology, dimana ethnomusicology sebenarnya sangat terbuka kepada ethnology, meskipun dalam kenyataannya itu adalah keistimewaan dari spesialisasi musikologi. Ethnomusicology mempelajari kehidupan musik; mempertimbangkan praktek musik di dalam lingkup mereka yang lebih luas; kriteria pertama tersebut menunjukkan adanya fenomena tradisi oral. Ethnomusicology mencoba menempatkan kembali fakta-fakta musik di dalam konteks sosio-kultural mereka, berdasarkan situasi di dalam pemikiran mereka, aksi dan struktur dari sekelompok manusia dan menentukan pengaruh timbal-balik antara yang satu dengan yang lainnya; dan membandingkan fakta-fakta itu dengan setiap persilangan beberapa kelompok lain dari analogi individual atau tingkatan kebudayaan yang tidak sama dan tata cara pergaulan dalam masyarakat. Lihat Stanley Sadit (ed), Grove Dictionary of Music and Musicians, (Macmillon, 1980). Lihat juga Bruno Nettle yang mengemukakan bahwa para ahli etnomusikologi telah menyumbangkan suatu induk disiplin ilmu pengetahuan, dan mereka bekerja berdasarkan sebagian besar dengan metode-metode yang dikembangkan dalam musikologi dan antropologi budaya. Meskipun secara relatif baru dikenal pentingnya data-data etnomusikologi pada sejarah musik, namun peranannya telah ada pada bidang musikologi dalam pengertian yang lebih luas, antara lain sumbangan utama yang melibatkan para ahli musikologi yang berhasrat untuk mengerti seluruh musik, seperti segala musik manusia dan bahkan (jika menyerupai benda) perwujudan musik dunia binatang. Bruno Nettl, Theory and Method in Ethnomusicology, (New York: The Free Press, 1964).
[2] Lihat juga Espie Estrella yang mengatakan bahwa “There are a lot of definitions for music and it will take a whole book to explore the subject of music. If there is one true definition of music it is this; music is universal and yet it is also relative and subjective. What may be music to one may not be so to another”. Espie Estrella, “Introduction to Music Education”, http://musiced.about.com/od/beginnersguide/a/intro.htm. [3] Dalam lapangan studi Etnomusikologi, sekitar tahun 1970 terjadi perkembangan dimana sejumlah ahlinya mencurahkan perhatian terhadap musik sebagai bentuk komunikasi atau sistem komunikasi yang dinamakan ”semiotics” atau ”semiologie musicale”. Di antara defenisi lapangan seperti yang disebutkan oleh Natties (1974), etnomusikologi adalah disiplin ilmu yang mencoba menggunakan model-model linguistik di dalam analisis musik, atau mempelajari musik sebagai suatu sistem dari tanda-tanda (simbolisme), dengan dua tipe penelitian yaitu ”sistem notasi” (semiografi) dan dan ”musical semantics” (lihat Boiles, 1967 dan 1973). Kepastian konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan dengan metode penelitian struktur linguistik yang dapat diaplikasikan pada musik telah menerbitkan minat dari ahli-ahli etnomusikologi (untuk contoh lihat Blacking, 1971; Field, 1974). Fenomena musik sebagai simbol ini juga diselidiki secara khusus oleh Marius Schneider dan Werner Danckert di dalam hubungannya dengan magic, ibadah dan upacara ritual. Ibid.
[4] CaribeM, “World's Oldest Musical Instruments”, http://hubpages.com/hub/Worlds-Oldest-Musical-Instruments.
[5] Salman Wafaa mengatakan bahwa perkataan ”music” berasal dari bahasa Yunani yaitu ”Mousiki” yang berarti ”ilmu tentang penyusunan melodi”. Namun sebelumnya ’Ilm al-musiqa adalah istilah yang disumbangkan oleh orang-orang Arab ke dalam teori musik Yunani untuk membedakannya dari ’ilm al-ghinaa yang merupakan teori musik praktis Arab. Orang Arab dan Persia telah memiliki teori musik sebelum abad ke-8 M. Lihat Wafaa Salman, “History of Music and Musical Instrument”, Al-Wafaa News, 1997, http://www.raqs.co.nz/me/instruments.html.
[6] Di Mandailing ada sejenis alat musik tiup yang disebut uyup-uyup terbuat dari selembar daun pohon kopi. Daun tersebut digulung membentuk kerucut, kemudian dimasukkan ke dalam rongga mulut untuk membunyikannya dengan cara dan teknik tertentu. Jenis uyup-uyup yang biasanya dimainkan oleh kaum wanita ini juga bisa dibuat dari selembar daun pohon sirzak (tarutung bolanda) dan sepotong daun pisang (bulung pisang). Lihat Edi Nasution, “Uyup-uyup Natarsimo Sian Mandailing”, Harian Waspada, 1991.
[7] Menurut Scott Mickey, alat musik perkusi adalah setiap objek yang membuat bunyi saat dipukul, termasuk tubuh manusia itu sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa ada tiga jenis alat musik perkusi yaitu membranofon (seperti gendang), idiofon (seperti gong) dan kordofon (seperti rebab). Walapun kordofon adalah alat musik yang umumnya menciptakan bunyi melalui dawai yang bergetar, namun karena dawai dari jenis alat musik ini ada yang tertimpa ”palu” untuk menghasilkan bunyi (seperti piano dan harpasichord), sehingga dikategorikan juga sebagai alat musik perkusi. Lihat Scott Mickey, “What Is the Definition of a Percussion Instrument?”, http://www.ehow.com/about_5035982_definition-percussion-instrument.html#ixzz0tRWMjgru.
[8] David Zed, “History of Percussion Instruments”, http://EzineArticles.com/?expert=David_Zed
[9] Lihat “Percussion Instruments from Around the World”, http://www.sbgmusic.com/html/teacher/reference/instrum.html.
[10] CaribeM, “World's Oldest Musical Instruments”, sumber: http://hubpages.com/hub/Worlds-Oldest-Musical-Instruments. Lihat juga Neeley dan Seidu yang antara lain menuliskan, bahwa “The Dagbamba drumming under study2 is used as a speech surrogate, that is, the tones and rhythms of speech are replicated through the tones and rhythms of different drums. Therefore, the two drums used can be referred to as "talking drums." The Dagbamba drums used in a market context are the hourglass-shaped variable tension drum known as lunga and the double-headed cylindrical drum with a snare called gungon. An ensemble is divided into a lead lunga and supporting drums, which include the gungon and any other lunga used. The Dagbamba people make use of a wide number of musical instruments which serve as speech surrogates, including other types of drums, chordophones, aerophones, and idiophones”. Paul Neeley and Abdullai Seidu, “Pressing patrons with proverbs: Talking drums at the Tamale markets”, http://www.sil.org/anthro/articles/proverbs/notes.htm.
[11] Lihat “Gordang”, Majalah TEMPO, Edisi: 16 Oktober 1987. Gordang sebagai instrumen dan musik unik dari Pakantan-Tamiang ini, bersama jenis musik tradisional lainnya dari Tapanuli Selatan pernah ditayangkan oleh TVRI Medan. Paket produksi TVRI Stasiun Medan ini kemudian menjadi juara pertama dan mendapat hadiah Gatra Kencana 1987 sebagai paket Program Kebudayaan antarstasiun TVRI se-Indonesia. Ibid. Dapat ditambahkan bahwa di Tamiang terdapat suatu daerah bernama Siluwak sebagai tempat pembuatan udon tano, yaitu periuk yang terbuat dari tanah liat. Sehubungan dengan udon tano ini ada satu ungkapan tradisional yang cukup populer di tengah masyarakat yaitu "Tamiang udong-kudong, alak Tamiang tukang udon". Adanya sentra pembuatan udon tano di Siluwak itu mungkin ada kaitannya dengan peradaban orang Mandailing yang sudah cukup relatif maju di masa lalu. Perhatikan juga kata udong-kudong (nama satu atau dua gordang pada ensambel gordang sambilan) pada ungkapan tradisional tersebut.
[12] Lihat “Gordang”, Op.Cit.[13] Alat musik sejenis gordang juga ditemukan di Afrika Timur, yaitu pada Bangsa Mukua yang menggunakannya dalam upacara inisiasi untuk mengajari wanita bersenggama. Ibid.[14] Ibid. Repertoar musik yang dimainkan pada upacara ritual meminta hujan adalah gondang mangido udan, sedangkan dalam konteks peperangan adalah gondang porang. Dalam hal ini, kata gondang memiliki beberapa arti yaitu repertoar musik, irama atau pola ritmik, jenis musik tertentu, alat musik dan musik itu sendiri. Secara umum pengertian "gondang" tidak sama dengan "gordang, dan gordang sambilan sebagai ensambel dinamakan saraban, begitu juga untuk ensambel godang dua (disebut juga gondang boru, gondang topap atau tunggu-tunggu dua. Lihat "Gondang", http://edinasution.wordpress.com/.
[15] Di dalam lembaga yang disebut Namora Natoras ini duduk Kepala-kepala Ripe, yaitu pimpina kelompok orang-orang dari suatu marga (clan), ataupun pimpinan komunitas-komunitas lain yang terdapat dalam suatu huta. Di samping itu juga ada tokoh-tokoh adat, kaum cerdik-pandai dan tokoh-tokoh yang dituakan dalam masyarakat. Tokoh-tokoh yang berkedudukan sebagai Namora Natoras merupakan perwakilan rakyat yang secara bersama-sama dengan Raja menyelenggarakan pemerintahan yang demokratis, termasuk di dalam melaksanakan pengadilan terhadap orang-orang yang berbuat kesalahan. Lihat Z. Pangaduan Lubis, dkk, Kumpulan Catatan Lepas Tentang Mandailing, (Medan: Pustaka Widiasarana, 2010), hal. 3-4.[16] Menurut kebiasaan, setiap raja yang berkuasa di satu tempat, selalu memberikan kesempatan kepada anggota keluarganya untuk pergi mamungka huta (membuka daerah baru) ke tempat lain. Biasanya anggota keluarga raja yang bertindak sebagai sipamungka huta (pembuka daerah baru) di satu tempat akan mendapat kedudukan sebagai pempmpin atau raja di daerah yang dibukanya. Ibid, hal. 5-6. Dan keterangan yang cukup rinci tentang marga (clan) lihat Z. Pangaduan Lubis, Asal Usul Marga-marga di Mandailing, (Medan: Pustaka Widiasarana, 2010).[17] Lihat Irwansyah Lubis gelar Raja Dolok Partomuan, Patuan Dolok Raja Panusunan Tamiang Pejuang Kemerdekaan & Pelestarian Adat Istiadat dan Budaya Mandailing, Revisi Ketujuh, (Jakarta, Januari 2010), hal. iii.[18] Lihat “Gordang”, Op.Cit. Keterangan tambahan tentang gordang, lihat Edi Nasution, "Gordang Sambilan: Music and Sosial Structure", dan "Lian ... Palu Gordang i", http://editorsiojo85.wordpress.com/ .
[19] Apabila bangunan ritme tersebut diperhatikan lebih teliti akan memperlihatkan strukturnya begitu kompleks dan bisa menimbulkan berbagai interpretasi. Salah satu struktur metrik yang muncul adalah hemiola, atau “meter tiga lawan empat” (dalam satu birama terdapat birama 3 dan birama 4). Di dalam tiga kelompok empat not seperenambelas terdapat empat kelompok tiga-not seperenambelasan (lihat Contoh 7). Hal ini disebabkan oleh pergeseran letak aksen yang terus-menerus “bergerak” dari pasangan hudong-kudong dan panduai di sepanjang tiga kelompok empat-not seperenambelas tersebut. Bila kedua pasangan gordang ini, secara ritmis, terlepas hubungannya dengan patulu, maka kesan metrik yang ditimbulkan adalah empat dengan susunan metris triplet (lihat Contoh 8). Patolu sendiri seolah-olah bergerak tidak perduli dengan meter empatnya (4/4), yaitu dengan mempertahankan aksen-aksen pada ketukan satu, dua dan tiga di dalam ritme duple dan mengalir terus (atau istirahat) dengan pukulan lemah pada ketukan keempat. Sehingga membuat siklus metrik antara patolu di satu pihak, serta hudong-kudong dan panduai di lain pihak, menjadi berbeda. Patolu mengalir dengan empat ketukan duple (dalam metrik 4/4, bentuk metrik dalam gondang ini), dengan melemahkan pukulan pada ketukan keempat, sedangkan hudong-kudong tiga ketukan dalam satu siklus (di dalam birama 4/4). Yang menarik di dalam “meter ¾” ini terdapat meter lain (4) yang terangkat dari gerakan aksen kedua pasang gordang ini. Dengan demikian, bagi hudong-kudong dan panduai, untuk kembali kepada siklus yang “tepat” (yaitu bersamaan dengan jatuhnya ketukan yang pertama dari patolu dan gong) harus melalui perjalanan waktu dua belas ketukan (dalam 3 birama 4/4). Lihat Rizalldi Siagian, “Gordang Sambilan: Ensambel Musik Adat Orang Mandailing di Tapanuli Selatan”, kertas kerja dibacakan dalam Temu Wicara Etnomusikologi II di ASRI Surakarta pada tanggal 7-9 April 1986, hal. 86-87. [20] Uraian lengkap mengenai fungsi-fungsi musik, lihat Alan P. Merriam, The Anthropology of Music, (Evasion III: Northwester University Press, 1964), hal. 221-222.
[21] Repertoar gondang lain yang dimainkan dengan gordang sambilan adalah udan potir (hujan petir), sampuara batu magulang (batu-batu yang menggelinding di bawah air terjun), dan moncak (pencak silat).
[22] Lihat kembali catatan kaki no. 19.
[23] Metonymy adalah kiasan dimana nama dari satu hal diganti dengan nama sesuatu yang erat terkait dengannya. Metonymy dalam bahasa Yunani secara harfiah berarti "perubahan nama" yang diambil dari kata ”meta” berarti perubahan dan ”onoma” yang berarti ”nama”. Metonymy cenderung bergaya ekspresif untuk menggambarkan sesuatu dengan cara yang tidak langsung biasanya dengan mengacu pada hal-hal yang terkait dengannya. Lihat “Metonymy Examples”, http://www.buzzle.com/articles/metonymy-examples.html, dan Richard Nordquist, “Metonymy”, http://grammar.about.com/od/mo/g/metonymy.htm.
[24] Lihat Edi Nasution, “Gordang Sambilan: Suatu Pengamatan Awal”, makalah dipresentasikan dalam "Dialog dan Pagelaran Seni Budaya Gordang Sambilan" di Taman Ismail Marzuki (TIM), 24 Agustus 2008.
[25] Lihat Z. Pangaduan Lubis (1990) dalam Edi Nasution, Tulila: Muzik Bujukan Mandailing, (Penang-Malaysia, 2007), hal. 25. Lihat juga Margaret J. Kartomi yang antara lain menuliskan: “During the period of animism, the Gordang Sambilan was employed to evoke the spirits of the Mandailing ancestors to come to the rescue of Mandailing society. The ceremony was called paturuan Sibaso (to call upon the spirits to put the Sibaso into trance). The purpose is to summon the ancestors to come to the assistance of the Mandailing people, when afflicted by a plague, for example. Gordang Sambilan was also employed to bring down the rain during drought and to stop the rain when bad weather caused hardship to people”. Margaret J. Kartomi, “The Music of the Mandailing People of North Sumatra”, http://www.mandailing.org/.
[26] Lihat “Ramadan – Gordang Sambilan”, 22 Desember 2000, http://www.pulseplanet.com/dailyprogram/dailies.php?POP=2300.
[27] Lihat Rizaldi Siagian, “Siapa Saya”, http://rizaldisiagian.wordpress.com/about/.
============================
Catatan:Artikel ini ditulis sebagai ungkapan terima kasih
kepada etnomusikolog Rizaldi Siagian, MA yang
banyak meneliti musik tradisional Mandailingyang sangat beliau sukai dan kagumi.
Mauliate godang Bang Rizaldi !!!
============================
Rizaldi Siagian
Pemusik etnik, lahir di Binjai, Sumatera Utara 25 April 1951. Tahun 1979, ketika usianya sudah mencapai 28 tahun Rizaldi mendaftarkan diri di Universitas Sumatera Utara, Fakultas Sastra Jurusan Etnomusikologi. Tahun 1982 dibiayai Ford Fondation, melanjutkan studi di Universitas San Diego. Selama itu, selain belajar, ia mengajarkan musik Mandailing, Gordang Sambilan kepada mahasiswa Amerika. Tahun 1985, menyelesaikan program master.
(http://www.jakarta.go.id/jakv1/encyclopedia/detail/2607)
============================