by Edi Nasution
”Leluhur kita menyadari betapa pentingnya sopan-santun
dalam hidup bermasyarakat, sehingga mereka telah menciptakan
tata cara pergaulan antar sesama individu yang khas yakni
”baso” dan ”sangko”. Itu kiranya dapat berguna untuk memelihara
harmoni kehidupan sosial-budaya orang Mandailing”.
=======================================
Barangkali anda merasa heran apabila dikemukakan bahwa ”bersiul” saja ”pantang” bagi orang Mandailing melakukannya di dalam rumah. Ketika anak-anak mereka bertanya: ”Aso (mengapa)?” Jawaban dari orang tuanya: ”ro naron ulok!” (nanti ular datang!). Selalu pula para remaja tanggung yang ketahuan bersiul-siul di muka umum mendapat ”ledekan” dari orang-orang dewasa: ”Amang, naposoma ilala ho, lian!” (Waduh, yang genitlah kau, lian!), sekalian diberi hadiah jitakan ”tuk” pada kepala si remaja, yang kemudian menghindar pergi sambil meringis kesakitan.
Seorang pemuda yang menyanyikan ende sitogol atau ungut-ungut, begitu pula memainkan alat musik tiup tulila misalnya di dalam huta (kampung) akan mendapat teguran. Bisa jadi sebuah ”tamparan keras” mendarat di wajahnya oleh orang-orang tertentu yang merasa tersinggung. Ditambah pula dengan cercaan: ”narumo” (banyak tingkah) atau ”naso marbaso” (tidak sopan), dan lebih ekstrim dengan dakwaan ”naso maradat” (tidak beradat atau tidak bermoral). Namun lain halnya dengan tradisi margondang, dimana memainkan ensembel musik gordang sambilan dan gondang boru dalam konteks upacara adat perkawinan (horja siriaon) misalnya selalu berlangsung meriah di dalam kampung.
Tentu saja, gambaran ringkas di atas menarik minat kita untuk mengetahui lebih jauh mengapa leluhur orang Mandailing membuat larangan-larangan yang demikian itu dalam konteks beberapa musik tradisionalnya.
Si (da) lian dan si ta (tar) ing
Perkataan taing adalah sebutan yang diberikan orang Mandailing kepada “anak perempuan”, sedangkan dalian atau lebih sering dipanggil dengan lian saja diperuntukkan bagi “anak laki-laki”. Semenjak kecil kepada mereka sudah mulai ditanamkan nilai-nilai budaya Mandailing. Meskipun terkadang “cara” yang dipakai oleh orang-orang tua mereka dalam menerapkan nilai-nilai budaya itu bagi kita (out sider) mungkin terasa agak aneh (ganjil). Seperti bila seorang anak bersiul-siul di dalam rumah selalu ditakut-takuti dengan ancaman: “nanti ular datang”.
Larangan bersiul-siul ini sangat ditekankan kepada anak-anak mereka, terlebih-lebih bagi anak perempuan. Setiap orang tua akan merasa malu apabila anak gadis mereka nantinya disejajarkan anggota masyarakat lainnya sebagai “anak gampang”, sebutan bagi anak yang lahir tanpa perkawinan yang sah yang dianggap hina oleh orang Mandailing. Mungkin tindakan bersiul-siul secara kognitif adalah suatu pengungkapan emosional yang mengarah kepada gejala awal perilaku seksual. Kenyataan bahwa masalah seks sangat “tabu” diungkapkan dan dibicarakan secara terbuka dalam masyarakat. Maka upaya untuk menakut-nakuti si anak sejak dini diharapkan bisa menghilangkan atau paling tidak meredam kelakuan buruk itu agar tidak membuahkan hahaila (malu) atau bala (malapetaka) kelak dikemudian hari.
Relevan dengan ungkapan “dari kecil teranja-anja, besar terbawa-bawa, sudah tua terobah tidak”, tentu orang Mandailing tidak menghendaki keturunannya terbiasa dengan perilaku-perilaku yang dipandang tidak etis. Termasuk, bersiul-siul di dalam rumah pada hakikatnya adalah suatu sikap yang tidak menghargai dan juga tidak menghormati para orang tua serta saudara-saudaranya. Sebaliknya apabila direnungkan lebih dalam diketahui bahwa larangan bersiul-siul di dalam rumah sebenarnya juga untuk memelihara dan menegakkan eksistensinya. Sebagai calon generasi penerus, maka tindak-tanduknya dalam hidup bermasyarakat kelak haruslah berpedoman kepada dan mencerminkan nilai-nilai budaza luhur, yang senantiasa mereka pelihara dan junjung tinggi.
Musik, Etika dan Sistem Sosial
Suku-bangsa Mandailing yang bermukim di Kabupaten Tapanuli Selatan memiliki sistem nilai budayanya sendiri yang biasa mereka sebut sebagai ”adat dohot ugari” (tradisi dan aturan adat). Sedangkan untuk mengoperasionalkan adat-istiadat itu sebagai penata aktifitas kehidupan masyarakatnya berdasarkan nilai-nilai luhur yang dipedomani yaitu "olong dohot domu", mereka menciptakan satu sistem sosial yang disebut Dalian Na Tolu ("Tumpuan yang Tiga"). Adat Mandailing ini disebut Dalian Na Tolu karena sistem itu memiliki mekanisme yang menumpukan kehidupannya kepada tiga unsur fungsional, yaitu tiga kelompok kekerabatan yang masing-masing dinamai mora (pemberi anak dara), kahanggi (saudara semarga) dan anakboru (penerima anak dara).
Terwujudnya tiga kelompok kekerabatan fungsional ini karena adanya hubungan perkawinan (affinal relation) dan hubungan darah (blood ties) di antara orang-orang Mandailing yang bernarga Pulungan, Lubis, Nasution, Daulae, Rangkuti, Parinduri, Matondang, Batubara dan sebagainya. Mereka mengatur sistem kekerabatannya melalui pengelompokan orang-orang yang mempunyai satu kakek bersama yang disebut marga (clan) dan didasarkan kepada garis keturunan ayah (patrilineal). Sedangkan tradisi perkawinan sesama mereka adalah ”eksogami marga”, artinya setiap orang harus kawin dengan orang yang diluar clan-nya dan cenderung mengambil ”boru tulang” sebagai isteri (cross cousin sepihak). Inisiatif peminangan datang dari pihak kaum kerabat laki-laki, dan setelah kawin kedua mempelai umumnya menetap di kampung pengantin pria (virilokal), oleh mereka tradisi ini disebut ”adat manjujur”.
Sebagai suatu sistem, adat Dalian Na Tolu mengandung paradigma keseimbangan untuk mempertahankan kesatuannya. Karena itu ia (Dalian Na Tolu) memiliki landasan normatif yang terdapat dalam ungkapan tradisional: sangap marmora, elek maranakboru, manat-manat markahanggi (menghormati dan memuliakan mora, menyayangi anakboru, bersikap hati-hati antar sesama kahanggi). Dengan adanya tradisi eksogami marga itu memungkinkan status dan peranan dari setiap orang Mandailing itu adakalanya sebagai mora, kahanggi dan anakboru. Sehingga apabila sistem kekerabatan itu diteliti pada semua huta di Mandailing akan memperlihatkan kepada kita bahwa sistem itu tidak ubahnya seperti jaring-jaring jala, yang semakin mengecil ke atas dan semakin melebar serta panjang ke bawah. Simbolik dari realitas ini terpatri dalam dekorasi tutup ari yang ada pada sopo godang (Balai Sidang Adat) dan bagas godang (Istana Raja), berupa ratusan bentuk ”segitiga sama sisi” yang tersusun rapih dan indah (disebut bindu) dengan komposisi warna: merah, putih, dan hitam yang bermakna dalam bagi masyarakat Mandailing.
Semua realitas dan aktifitas budaya masyarakat Mandailing kemungkinan bersumber dari dan ditata oleh sistem nilai budayanya yaitu adat Dalian Na Tolu atau adat Markoum Sisolkot (adat berkaum kerabat), sehingga tradisi musik Mandailing pun sebagai sub-unsur kebudayaannya tidak lepas dari dominasi adat-istiadat mereka itu. Maka dalam konteks penggalian nilai-nilai budaya tradisional dalam konteks kebudayaan musik orang Mandailing sekaligus juga merupakan upaya pelestariannya. Sebab nilai-nilai budayanya berguna untuk memberi arah dan orientasi di dalam kehidupan mereka.
Kehidupan sosial orang Mandailing diwarnai oleh tata krama pergaulan yang disebut baso dan sangko. Setiap individu harus menghormati dan menghargai orang lain demi tercapainya keharmonisan hidup sesama mereka. Dua anggota masyarakat yang dikenai etika sosial baso harus saling memperhatikan dan melaksanakan norma-norma adat yang berlaku. Misalnya kita (ego pria) tidak boleh bertatapan dan berbicara lama-lama dengan isteri dari adik laki-laki kita, dan berbicara hanya seperlunya. Untuk mengurangi kontak antara mertua pria (disebut amangboru) dengan menantu (disebut parumaen)nya diciptakan pula tradisi manjae atau mangasing, dimana sebulan setelah menikah kedua mempelai biasanya pindah ke rumah baru mereka di kampung yang sama, atau bisa juga masih dekat dengan rumah orang tua si laki-laki. Sejalan dengan ini, menantu pria (disebut babere) pun tidak akan mau berlama-lama di rumah mertua (disebut tulang atau mora)nya yang tiada lain karena menyangkut masalah sangko.
Jika etika sosial baso dilanggar bisa mendatangkan hahaila atau ila godang (malu) dan aib, yang dapat menurunkan harkat dan martabat seseorang dan kaum kerabatnya. Norma baso ini hanya berlaku untuk jenis kelamin yang berbeda (pria dan wanita) karena adanya hubungan perkawinan. Adapun parbasoan seseorang (ego) antara lain:
1. Ego (pria) terhadap adik/kakak dari isteri ego.
2. Ego (wanita) terhadap adik/abang dari suami ego.
3. Ego (pria) terhadap mertua wanita (nantulang).
4. Ego (wanita) terhadap mertua pria (amangboru).
5. Ego (pria/wanita) terhadap adik/abang/kakak masing-masing yang disebut mariboto.
Kata sangko dalam konteks etika sosial ini kurang lebih berarti “seseorang itu dianggap sebagai …”. Misalnya kita harus memiliki sangko terhadap ayah kita sendiri (amang), adik ayah (uda), abang ayah (amangtua), orang-orang yang sudah tua (tobang-tobang) karena mereka seharusnya dianggap sebagai orang tua kita juga; demikian juga kita harus memiliki sangko terhadap namora-mora (kaum bangsawan) dan natoras-toras (kaum cendekia pemimpin kelompok marga), dan lain sebagainya.
Diawal karangan ini sudah dipaparkan bahwa setiap orang dewasa terlarang menyanyikan ende sitogol ataupun ungut-ungut di dalam kampung di depan umum. Karena isi syair kedua jenis ende itu umumnya melukiskan harapan-harapan ataupun kegagalan-kegagalan tentang cinta dan penghidupan si parende itu sendiri. Kandungan syair ende itu adakalanya syairnya juga mengandung rayuan terhadap anak gadis. Begitu pula halnya dengan memainkan alat-alat musik tiup seperti tulila, sordam, salung, suling, atau pun membunyikan genggong (jaw’s harp). Karena di samping biasa dipakai untuk merayu kaum wanita, juga dapat digunakan untuk ”melepas” gundah-gulana (arsak ni roha) si peniupnya. Suatu ketika ia mungkin sedang dirundung ”cinta tak sampai” atau mengeluhkan penghidupannya yang kurang beruntung. Singkatnya, kepentingan pribadi tampaknya tidak boleh diungkapkan sembarangan di depan publik.
Meskipun beberapa alat musik di atas sering dipakai sebagai alat bantu di waktu markusip oleh seorang pemuda, namun dalam tradisi markusip (tradisi berkencan antara muda-mudi secara berbisik-bisik dengan dibatasi dinding rumah) yang berlangsung pada malam hari itu selalu dimulai lewat tengah malam dan mempunyai aturan permainan tersendiri.
Dalam tradisi markusip, pada waktu tengah malam biasanya warga desa telah tidur lelap dan alat musik (tulila atau gengong)) dibunyikan dengan volume sekecil mungkin. Dan keberadaan kegiatan markusip ini pun ternyata tidak boleh digembar-gemborkan kepada masyarakat luas, karena dianggap tidak etis oleh orang Mandailing.
Seorang dara yang memainkan uyup-uyup bulung tarutung pada waktu siang hari di dalam kampung, akan melakukannya apabila ia sudah merasa yakin bahwa semua warga desa (yang sudah dewasa) telah pergi bekerja ke sawah dan ladang masing-masing, sehingga tidak seorang pun mengetahui perbuatannya itu, bagi seorang dara sangatlah tabu mengungkapkan perasaan emosional di tengah-tengah warganya. Ia akan melakukannya seorang diri secara sembunyi-sembunyi pula.
Ide mengungkapkan perasaan cinta lewat nyanyian dan beberapa alat musik di atas tabu bagi orang Mandailing melakukannya di tengah-tengah masyarakat banyak. Karena masalah cinta dan seks menurut mereka tidak etis diungkapkan dan dibicarakan secara terbuka bagi umum. Di dalam komunitas desa itu terdapat orang-orang yang harus dihormati dan dihargai sehubungan dengan norma baso dan sangko setiap orang.
Apabila seorang pemuda sudah tiba masanya untuk berumah tangga, maka ia dapat mendiskusikan keinginannya itu kepada orang tertentu yang biasanya adalah amangboru. Lalu kedua orang tua dan kahanggi (suhut) serta anak borunya berembuk untuk meminang si gadis kepada orang tua dan pihak kaum kerabatnya. Upacara-upacara selanjutnya dilakukan secara formal yang telah diatur adat mereka hingga sampai kepada selesainya upacara adat perkawinan.
Dari sisi lain, kandungan teks ende sitogol dan ungut-ungut cenderung berkarakter sedih karena mengkeluh-kesahkan kemelaratan hidup. Menurut mereka alunan melodi yang dihasilkan lewat permainan salung pun misalnya dapat merefleksikan hal-hal yang sama. Sementara orang yang berstatus sosial sebagai menantu pria (disebut babere), sangatlah enggan untuk menyatakan keadaan hidupnya yang melarat kepada mertua atau tulang meskipun secara formal tanpa lewat nyanyian atau alat musik.
Lain halnya apabila si mertua sendiri yang berkenan mengulurkar tangan. Karena setiap babere umumnya sangat menjaga dan mempertahankan harga dirinya. Selain itu kedudukannya sebagai menantu haruslah marbaso dan juga sangko kepada mertuanya. Barangkali keadaan yang seperti ini pulalah yang membatasi keinginan setiap individu dalam masyarakat Mandailing untuk mengungkapkan kesengsaraan secara terbuka kepada orang banyak. Dan sesama orang Mandailing merasa berkewajiban untuk saling mengingatkan tentang baso dan sangko di dalam kehidupan sosial mereka.
Dalam hubungan ini, apabila seseorang ingin melepas segala sesuatu ganjalan hati (arsak ni roha) lewat "musik", maka ia akan pergi ke suatu tempat yang sunyi di dalam hutan, di sawah, di ladangnya atau ke pinggir sungai. Kita dapat mendengar kedua jenis ende tersebut dan atau tiupan alat musik dari tempat-tempat sepi itu, namun sosok dari orang yang melakukannya tidak pernah kelihatan. Ketika perbuatannya kepergok orang lain biasanya "musik" pun berhenti karena ada rasa malu.
Gondang, Resiprositas dan Olong
Ketika kita menyaksikan ensembel musik Gordang Sambilan dan Gondang Boru dibunyikan pada suatu upacara adat perkawinan misalnya di sebuah huta di Mandailing, maka tidaklah sulit untuk menebak bahwa orang yang menyelenggarakan haroan boru (pesta perkawinan) itu pastilah keturunan raja-raja. Misalnya pesta perkawinan anak ni raja yang bisa saja berlangsung selama tujuh hari tujuh malam dan gondang pun terus berbunyi. Ternyata gondang ini pulalah dahulu yang membedakan horja (pesta) antara keturunan raja-raja dan orang kebanyakan (alak najaji).
Begitupun, kekuasaan seorang raja di Mandailing tidaklah absolut. Karena yang berperan besar dalam menentukan segaIa sesuatu yang menyangkut kepentingan rakyat adalah Namora Natoras sebagai Kepemimpinan Tradisional Mandailing yang mewakili rakyat (DPR ?). Segala keputusan dan kebijaksanaan raja selalu bertolak dari hasil musyawarah dan mupakat dengan Namora Natoras di Sopo Godang yang tidak berdinding, agar rakyat secara langsung dapat mendengar dan melihat proses serta mengetahui hasilnya, jelas sangat terbuka dan demokratis.
Seorang raja diumpamakan sebagai ayu ara nagodang parsilaungan (pohon beringin tempat berlindung), partalaga naso hiang (berkecukupan dan ringan tangan), dan parsaba na bolak (pemilik areal sawah yang luas). Karena itulah rakyatnya dahulu selalu mendapat perlindungan raja, yang setiap saat bisa dimintai pertolongannya. Sedangkan areal sawah yang luas miliknya itu pada hakekatnya juga milik bersama karena dikerjakan secara bersama-sama oleh rakyat, yang kemudian hasil panen dikumpul pada lumbung padi (opuk) milik raja. Apabila rakyat kekurangan bahan makanan, maka seorang raja setiap saat siap membagikan isi lumbung padinya kepada rakyat, karena bagaimanapun ”ada raja karena diangkat oleh rakyat yang mengangkat raja” (marsomba di balian). Prilaku seorang raja dahulu selalu merakyat, melindungi dan mengayomi rakyat. Sebaliknya rakyat menyayangi, menghormati, memuliakan dan menjunjung tinggi harkat dan martabat raja mereka (nai pagodang sahalana nai jujung-jujung tondina). Sehingga dengan demikian upacara adat perkawinan seorang anak raja itu sekaligus dengan segala atributnya termasuk gondang adalah cerminan sikap kebersamaan mereka yang saling membantu dan membutuhkan, yang kesemuanya itu berorientasi kepada olong, arumbukan dohot domu (saling menyayangi, seia sekata dan bersatu-padu).
Penutup
Tidak sedikit orang berasumsi bahwa nilai-nilai budaya Mandailing sekarang banyak yang bersumber dari dan dipengaruhi agama Islam. Juga bagi etnomusikolog Fumi Tamura (Dosen jurusan Etnomusikologi pada Tokyo National University of Fine Arts & Music di Jepang) menjadi bahan pemikiran setelah beliau merekam dan mendata beberapa musik tradisional Mandailing di Tamiang dan Sayurmaincat, Kecamatan Kotanopan baru-baru ini.
Kita sering mendengar orang berujar: "membicarakan Mandailing akan menyangkut Islam”. Bertolak dari pemikiran karena mayoritas warganya pemeluk agama Islam yang taat. Kenyataan ini memang tidak dapat dipungkiri karena ajaran Islam telah mengakar kuat di seluruh aspek kehidupan mereka. Konsekuensinya berbagai aktivitas budaya tradisi sebagai warisan leluhur telah mereka tinggalkan sebab dipandang bertentangan dengan ajaran Islam; menghanyutkan sistem religi lama (si pelebegu) mereka yang menyembah roh-roh atau mahluk-mahluk halus. Begitu juga dengan tradisi ”eksogam marga” kian "melonggar" karenanya, sehingga sudah banyak terjadi "perkawinan semarga” di antara orang-orang Mandailing. Namun bukankah "kebudayaan" itu suatu "proses", "sistem pemikiran" dan bersifat "dinamis"?
Nilai-nilai budaya tradisional Mandailing sesungguhnya tidaklah semua berbenturan dengan Islam. Bahkan agama Islam itu lebih memperjelas kegunaan dan hakekat nilai-nilai tradisi itu sendiri. Misalnya, keberadaan etika sosial sangko dan baso itu, mungkin bukanlah berasal dari ajaran Islam. Karena apabila seseorang melanggar tatakrama itu tidaklah pernah kita dengar tuduhan ”naso martuhan" (tidak bertuhan) atau "naso mengingot tuhan" (tidak mengingat tuhan), tetapi selalu dengan dakwaan "naso marbaso" atau "naso maradat". Oleh karena banyaknya nilai-nilai budaya tradisional Mandailing yang seiring sejalan dengan ajaran agama Islam, maka tidaklah mengherankan apabila di tengah-tengah masyarakatnya kita menemukan ungkapan: "adat ombar dohot ugamo".
ooooo
Informan:
1. Budayawan Drs.Z.P. Lubis ~ Medan
2. Mangaraja lelo (Lubis) ~ Medan
3. Zulkifli Matondang ~ Medan
4. Lukman lubis, BA ~ Medan
5. Sutan Guru Panusunan (Lubis) ~ Tamiang
6. Burhanuddin lubis ~ Huta Pungkut
7. Supri lubis ~ Huta Pungkut
8. Mangaraja Lobi (lubis) ~ Huta Padang
9. Sutan Singasoro (lubis) ~ Huta Godang
10. Sutan Baringin (lubis) ~ Habincaran
11. Drs. Chairul S. Nasution ~ Panyabungan
12. Ir.M. Hafiz Nasution ~ Panyabungan
13. Mangaraja B. Pandapotan (Nst) ~ Maga
14. Jatumaya (lubisl ~ Maga
15. Bayosege (Parinduri) ~ Sayurmaincat
16. Duski Tanjung ~ Pasar Kotanopan
Dimuat dalam Harian Waspada Medan, 1991.
Terima kasih kerana menulis perihal gondang mandailing ini.
BalasHapusMasih benyak perkara berkenaan dengan adat dan kebudayaan Mandailing perlu ditulis untuk pengetahuan generasi muda, terutamanya anak-anak mandailing yang telah berhijrah. Kami di Semenanjung sangat menghargai tulisan sebegini.
Mohd Tahir Harahap,
Kementerian Sumber Manusia Malaysia,
Block D3, Kompleks D,
Putrajaya, Malaysia
Terima kasih atas atensi Bapak, informasi lain tentang seni-budaya Mandailing dapat dibaca pada buku kami TULILA: MUZIK BUJUKAN MANDAILING yang diterbitkan oleh Areca Books, Penang Malaysia.
BalasHapus