Selasa, 23 September 2014

Pembangunan Ekonomi Mandailing


APA BASIS EKONOMI MADINA ?






Saya, dan juga beberapa teman lain. mungkin nggak penah membaca sekilas pun tentang rencana pembangunan Kabupaten Madina, sehingga kita tidak tahu apa saja yang menjadi prioritas utamanya. Sejalan dengan trend pembangunan yang terjadi di era sekarang ini, tentu saja ada pembangunan di bidang ekonomi. Jadi, kira-kira apa saja ya yang "cocok" dan "serasi" sebagai basis ekonomi yang akan dibangun dan dikembangkan di Madina? Tentu saja secara detil kita tidak tahu, dan itu semua  (mungkin) sudah dijelaskan secara komprehensif dalam rencana pembangunan yang dibuat oleh Pemda Madina. Namun, mungkin saja masih ada rakyat Madina yang masih berpikir terus, kira-kira apa yang "cocok" dan "serasi untuk menjadi basis ekonomi yang akan dibangun dan dikembangkan di Madina? 

Ada kemungkinan bahwa setiap orang akan mengemukakan pendapatnya yang berbeda, dan mungkin juga saling bertolak belakang tentang hal itu, sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya. Seperti saya pribadi, yang jarang sekali pulang kampung yang hanya mendapat informasi pembangunan ekonomi yang dilakukan sekarang dari beberapa orang teman sekampung dan ruang lingkupnya pun sangat terbatas sekali, namun karena pernah hidup semasa kecil hingga dewasa di kampung hamalan (khususnya Kotanopan-Mandailing Julu), sehingga cukup "terkenang-kenang" dan "terinspirasi" juga sehubungan dengan itu, yah ... intinya tentu saja karena Mandailing adalah kampung halaman yang sama-sama kita cintai.

Semasa hidup di kampung dahulu, ada tiga hal spesifik yang masih kuingat sampai sekarang terkait dengan ekonomi di perkampungan kita sana.


PERTAMA: GULO BARGOT

Ketika masih kecil, pada hari libur sekolah yaitu pada hari Minggu, aku sering jalan-jalan bersama orangtua ke rumah kakekku. Pada hari libur sekolah itu, ia sering membawaku ke "hutan kecil" di dekat perkampungannya untuk mengambil "air nira" (ngiro) yang disimpan dalam “tabung-tabung khusus” yang terbuat dari bambo (disebut "bulu"). Ngiro, yang berada di dalam bambu itu dibawa pulang ke rumah kakekku untuk dimasak menjadi gula aren yang namanya “gulo bargot”. Dan kemudian ngiro itu dimasak di sebuah “ruangan kecil” di samping kanan rumah kakekku. Kalau “ngiro” yang dimasak itu banyaknya sekitar satu kuali besar, maka waktu memasaknya bisa satu hari satu malam untuk menghasilkan gula aren sekitar 10 kilogram. Aku sudah lupa berapa harga 1 kilogram "gulo bargot" ketika itu, tapi gula bargot dari Mandailing ini sangat disukai oleh banyak orang di kota Medan, dan harganya pun cukup bagus, sehingga kakekku selalu merasa senang karena mendapatkan uang yang cukup dari penjualan "gulo bargot" hasil produksinya sendiri pada hari Sabtu di Pasar Kotanopan.


Puluhan tahun kemudian, aku hidup di sebuah kota besar, karena ada acara-acara penting, saya sering berkunjung ke hotel-hotel besar. Salah satu yang cukup kusukai di situ adalah minum kopi yang gulanya bukan gula putih tetapi gula aren. Namun pada masa itu masih gula aren yang terbuat dari pohon tebu, bukan dari pohon enau. Tapi tidak lama kemudian sudah ada pula gula aren yang terbuat dari pohon enau, namun harganya lebih mahal.

Ketika minum kopi itulah, juga kulakukan di tempat-tempat yang sangat jauh sekali (luar negeri), maka aku sering teringat pada kakekku yang membuat “gula bargot” dari pohon enau di rumahnya. Kalau ia sempat menikmati minum kopi yang bergula aren (gulo bargot) sepertiku sekarang (dulu ia seing minum kopi dengan "gulo bargot" sebagai pemanisnya), mungkin ia akan merasa senang. Bukan karena kopinya bergula aren, tapi karena tempat minum kopi itu adalah hotel berbintang lima, yang belum pernah dikunjunginya.


Menurut informasi yang kuperoleh dari teman-teman sekampung, pohon enau (disebut "bargot") yang disadap untuk mengambil airnya (ngiro) untuk kemudian dimasak menjadi “gulo bargot” sudah semakin banyak yang mati dan jarang dilakukan penanaman dan pemeliharaan pohon enau yang baru. Karena sebelumnya pun, pohon-pohon enau itu tumbuh sendiri di daerah perbukitan dan cenderung tidak dipelihara dengan baik, kecuali airnya (ngiro) dikuras terus hingga berpuluh-puluh tahun sampai mati. Pada akhirnya, pohon enau sudah semakin jarang kelihatan di Mandailing, tidak seperti duhulu lagi.

Mengingat dari segi manfaat “gulo bargot” ini sebagai gulanya kopi seperti zaman sekarang yang bernilai ekonomis yang cukup tinggi, tentu sangat perlu usaha untuk pengembangan dan pembinaan (pembudidayaan) tanaman pohon enau ("bargot") itu.


KEDUA: UNTE MANIS MAGA

Unte manis Maga adalah jeruk keprok yang tumbuh dengan baik dan subur di suatu tempat pemukiman penduduk bernama Maga. Tetapi sebenarnya jeruk yang cukup manis dan harum ini tumbuh subur di tempat-tempat pemukian penduduk lain yang letaknya tidak jauh dari Maga, seperti Desa Sibanggor Jae, Sibanggor Tonga, Sibanggor Julu, Hutanamale, dll, di lembah Gunung Sorik Marapi.

Jeruk keprok Maga merupakan salah satu komoditi buah buahan andalan Sumatera Utara, karena mempunyai keunggulan komperatif dan kompetitif dengan kultivar atau varietas jeruk lainnya, yaitu penampilannya yang cukup menarik dan rasanya yang manis dan aroma yang kuat serta daerah pemasarannya yang luas, selain Sumatera Utara juga daerah Sumatera Barat, Riau, Jakarta bahkan diekspor ke Singapura.


Jeruk keprok Maga sampai saat ini masih merupakan tanaman pekarangan di daerah asalnya di Kecamatan Puncak Sorik Marapi Kabupaten Mandailing. Sejarahnya menurut petani setempat bahwa bibit jeruk keprok Maga ini pada awalnya dibawa seorang santri dari kota Padang Panjang (Sumatera Barat) pada zaman penjajahan Belanda. Jeruk Keprok Maga ini dapat menghasilkan buah 200 – 300 kg/pohon pada umur 20 tahun s/d 100 tahun secara seedling, berbuah dua kali dalam setahun dengan musim panennya pada bulan April - Mei (panen kecil) dan September - Nopember (panen besar).

Sampai saat ini, jeruk keprok Maga pada umumnya sangat disukai konsumen, selain karena rasanya yang manis juga karena memiliki aroma yang sangat khas, dan lebih kuat mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, dimana harganya untuk tingkat pengecer berkisar antara Rp 13.000/Kg – Rp 18.000/ Kg. Pengembangan tanaman jeruk keprok Maga secara komersial cukup memberikan peluang pasar yang besar karena potensi harganya relatif menguntungkan.


Produktifitas jeruk keprok Maga di Kabupaten Mandailing Natal sangat jauh mengalami penurunan, bahkan untuk pasar tradisional di daerah setempat tidak mampu memenuhi permintaan konsumen. Kenyatannya sulit menemukan keberadaan jeruk keprok Maga, bagi konsumen yang berniat mengkonsumsi jauh-jauh hari sudah harus memesan terlebih dahulu kepada pemilik pohon. Kemunduran hasil tersebut akibat dari gangguan penyakit terutama CVPD yang menyebabkan kerugian besar dan kematian sejumlah besar tanaman di daerah sentra produksi tanaman jJeruk keprok Maga. Apabila tidak ada perhatian yang khusus bisa dipastikan tanaman jeruk ini bisa punah. Untuk mempertahankan dan menyelamatkan jeruk keprok Maga ini harus segera dilakukan segera upaya penyelamatan yang serius, jika tidak maka dalam waktu tidak lama lagi varietas ini akan benar benar punah.

Saat ini, jeruk keprok Maga sudah punah, dan karena itu perlu dilakukan penelitian yang sangat mendalam untuk menghidupkan dan melestarikannya. Masih kuingat, kalau aku ikut ke pekan Maga dengan nenek atau ibuku, aku tidak pernah lupa membawa jeruk keprok Maga sebagai "hadiah istimewa" bagi tiga orang adikku perempuan yang masih kecil-kecil, yang ternyata mereka senang sekali mengkonsumsinya dan selalu memesan jeruk itu harus dibeli bila aku pergi ke pekan Maga.


TIGA: KANTANG TANAGODANG

Ada satu tempat pemukiman penduduk di Ulu Pungkut yang dikenal sebagai penghasil tanaman kentang dengan kualitas yang sangat baik yaitu Huta Godang atau lebih sering disebut Tanagodang, adalah tempat kelahiran salah seorang Gubernur Sumatera Utara yang  bernama Raja Junjungan LubisKantang Tanagodang adalah sayuran yang cukup tersohor dari Huta Godang - Ulu Pungkut, bahkan karena rasanya yang mempunyai ciri khas menjadikan kentang dari desa ini (sebagaimana disebut di "pasaran")  sebagai "Aikon Tanagodang".


Mungkin pernah terlintas di pikiran kita mengapa "kentang goreng" yang sering kita makan di restoran atau kafe sangat berbeda rasanya dengan "kentang goreng" yang kita goreng sendiri di rumah. Kentang yang kita makan di restoran biasanya garing, renyah, lembut dan tidak lembek. Apakah karena restoran menggunakan kentang yang berbeda? Ya, karena kentang yang digoreng di restoran atau di kafe itu memiliki kualitas yang bagus seperi Kantang Tanagodamg.

Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kalau "Kantang Tanagodang" ini misalnya yang menjadi kentang yang digunakan/dimasak oleh restoran besar (internasional) seperti KENTUCKY misalnya akan semakin enak dan pasti menguntungkan pengusahanya.


Aku cukup tahu sedikit banyaknya mengenai "Kantang Tanagodang" ini. Sewaktu melakukan penelitian di Ulu Pungkut sekitar tahun 1900-an selama tiga bulan, aku menumpang tinggal di rumah seorang Raja di sebuah desa di dekat Huta Na Godang, yaitu Habincaran. Dalam seminggu, hampir 4 kali sampai 5 kali memakan kentang. Suatu hari digoreng, dan lain hari digulai bersama ayam atau ikan, sedangkan dibakar saja pun sudah cukup enak sekali dimakan.

Ketiga jenis makanan (Gulo Bargot, Unte Manis Maga, dan Kantang Tanagodang) inilah yang menurutku yang paling cocok dan serasi dikembangkan menjadi basis ekonomi Madina. Namun perlu diperhatikan bahwa pengelolanya adalah koperasi, dimana seluruh penduduk desa-desa terkait harus terlibat aktif di dalamnya, sementara pemerinatah hanya bertindak sebagai manajemennya, bukan sebagai pelaku usaha. Dengan melakukan studi yang lebih komprehensif lagi akan semakin jelas manfaat ketiga produk ini sebagai "basis perekonomian Madina".

~o0o~