Kamis, 12 Desember 2013

Kebudayaan & Peradaban Manusia


'KEBUDAYAAN' MELAHIRKAN 'PERADABAN'
Oleh: Syamsir Alamsyah Batubara


PENGANTAR


Kata 'kebudayaan' dan 'peradaban' sering kita baca di dalam buku dan juga kita dengar ketika diucapkan orang, tetapi sering kali keduanya dimaknai sama. Memang, kalau dilihat dari satu sisi, pengertian dari 'kebudayaan' dan 'peradaban' hampir mirip, namun sebenarnya memiliki makna yang berbeda. Banyak ahlinya yang sepakat bahwa 'peradaban' dilahirkan oleh kebudayaan, dimana tidak ada manusia yang tidak berbudaya karena tidak ada manusia yang hidup sendirian. Oleh sebab itulah, sekelompok manusia yang hidup bersama (masyarakat) pasti akan melahirkan sebuah kebudayaan, yang pada gilirannya dapat pula berkembang menjadi suatu 'peradaban'1.

Di Indonesia, kata 'kebudayaan' berasal dari bahasa Sansekerta yaitu 'buddayah', adalah bentuk jamak dari kata 'budhi' yang artinya 'budi' atau 'akal'. Dalam hal ini, 'kebudayaan' diartikan sebagai "hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal". Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah "keseluruhan dari kelakuan manusia dan hasil yang harus didapatkannya dengan belajar, dan semua itu tersusun dalam kehidupan masyarakat".2 Sebelumnya, Selo Soemardjan dan Soelaeman Soenardi (1964), merumuskan "kebudayaan sebagai semua hasil karya, cipta, dan rasa masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat digunakan untuk keperluan masyarakat".3

Sementara itu dalam bahasa Inggris, 'kebudayaan' disebut 'culture'. Sebuah istilah yang relatif baru karena istilah 'culture' sendiri dalam bahasa Inggris baru muncul pada pertengahan abad ke-19. Sebelum tahun 1843, para ahli antropologi memberi arti kebudayaan sebagai cara mengolah tanah, usaha bercocok tanam, sebagaimana tercermin dalam istilah 'agriculture' dan 'holticulture'. Hal ini dapat dimengerti karena istilah 'culture' berasal dari bahasa Latin, yaitu 'colere' yang berarti pemeliharaan, pengolahan tanah pertanian. Dalam arti kiasan kata 'colere' itu juga diberi arti "pembentukan dan pemurnian jiwa". Sekitar sepuluh tahun kemudian, E.B. Tylor (1871) membuat definisi kebudayaan sebagai "kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat".4 

Sedangkan istilah 'peradaban' dalam bahasa Inggris disebut 'civilization'. Istilah 'peradaban' ini sering dipakai untuk menunjukkan pendapat dan penilaian kita terhadap perkem-bangan kebudayaan. Sewaktu perkembangan kebudayaan mencapai puncaknya yang berwujud unsur-unsur kebudayaan yang halus, indah, tinggi, sopan, luhur, dan sebagainya, maka masyarakat pemilik kebudayaan tersebut dikatakan telah memiliki peradaban yang tinggi. Menurut Arnold Joseph Toynbee (1965)5, peradaban adalah "kebudayaan yang telah mencapai taraf perkembangan teknologi yang sudah lebih tinggi". Sementara Samuel P. Huntington (1993)6 mendefinisi peradaban adalah "sebuah identitas terluas dari budaya, yang teridentifikasi melalui unsur-unsur obyektif umum, seperti bahasa, sejarah, agama, kebiasaan, institusi, maupun melalui identifikasi diri yang subyektif".

Istilah 'peradaban' telah ditetapkan dan dipahami dengan berbagai cara dalam situasi dimana tidak ada definisi standar yang diterima secara luas. Kadang-kadang peradaban disamakan dengan kebudayaan. Peradaban juga dapat merujuk kepada masyarakat secara keseluruhan. Pada abad kesembilan belas antropolog Inggris E.B. Tylor mendefinisikan 'peradaban' adalah "the total social heredity of mankind". Dengan kata lain, peradaban adalah totalitas pengetahuan dan budaya manusia yang diwakili oleh masyarakat yang paling 'maju' pada waktu tertentu.7

Bertolak dari pengertian 'kebudayaan' dan 'peradaban' tersebut di atas tampak cukup jelas perbedaan diantara keduanya. Perbedaan antara 'kebudayaan' dan 'peradaban' ini lebih jelas lagi diungkapkan oleh Edward Spranger dan Paul John William Pigors  (1928) yang mengartikan 'kebudayaan' sebagai "segala bentuk atau ekspresi dari kehidupan batin masyarakat". Sedangkan 'peradaban' ialah "perwujudan kemajuan teknologi dan pola material kehidupannya". Dengan demikian, maka sebuah bangunan yang indah sebagai karya arsitektur mempunyai dua dimensi yang saling melengkapi, yaitu dimensi seni dan falsafah, yang berakar pada kebudayaan. Sedangkan kecanggihan penggunaan material dan pengolahannya merupakan hasil peradaban. Dengan kata lain, 'kebudayaan' ialah "apa yang kita dambakan", sedangkan 'peradaban' ialah "apa yang kita pergunakan". Kebudayaan tersebut tercermin dalam seni, bahasa, sastra, aliran pemikiran, falsafah, sistem kepercayaan dan moral yang dicita-citakan, dan sebagainya. Sementara 'peradaban' tercermin dalam politik praktis, ekonomi, teknologi, ilmu-ilmu terapan, sopan-santun pergaulan, penerapan hukum dan lain sebagainya.8

Kebudayaan (culture) adalah seluruh hasil 'budi-daya' manusia, baik 'material' seperti Bagas Godang (istana raja) dan Sopo Godang (balai sidang adat) maupun 'immaterial' seperti Tortor (tarian adat), Gordang Sambilan (musik adat), Markobar (berpidato adat), Marturi (cerita lisan), Partuturan (nama sapaan berdasarkan hubungan kekerabatan), Baso (etika), dan lain sebagainya - di dalam kebudayaan masyarakat Mandailing sebagai salah satu kelompok etnik di Indonersia. Sedangkan 'peradaban' (civilization) merupakan akumulasi dari seluruh budaya materil dan immaterial tersebut. Sebuah peradaban mulai berkembang di saat manusia mampu keluar dari ketakutan dan instabilitas yang melingkupi hidupnya, karena di saat manusia merasa bahwa dia berada dalam waktu dan tempat yang aman, maka seluruh potensi yang dimilikinya akan diarahkan pada usaha untuk memahami hidup dan berupaya untuk mengembangkannya guna meningkatkan kualitas hidupnya. 

Peradaban hanyalah milik manusia, karena makhluk selain manusia tidak memiliki kemampuan untuk membangun sebuah peradaban, setidaknya hinggai saat ini belum ada ditemukan suatu peradaban selain yang dimiliki oleh manusia. Hanya saja, peradaban yang dimiliki oleh suatu kelompok etnik tertentu berbeda - baik kualitas maupun kuantitasnya - jika dibandingkan dengan peradaban yang dimiliki oleh kelompok-etnik lainnya. Dalam perjalanannya, peradaban-peradaban besar yang dimiliki oleh ummat manusia mengalami timbul dan tenggelam (pasang-surut), berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu ummat ke ummat yang lain. Namun demikian hal ini tidak menutup kemungkinan adanya lebih dari satu peradaban besar yang hadir dalam satu masa. 


TUMBUH-KEMBANGNYA KEBUDAYAAN (PARADABAN)

Manusia adalah makhluk sosial yang berarti manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa adanya dorongan dan bantuan dari pihak luar. Begitu pula dengan kebudayaan, yang tidak akan berjalan kalau tidak ada yang melestarikan atau menggerakkannya, yaitu manusia. Dengan demikian jelas bahwa hubungan antara manusia dan kebudayaan sangat erat sekali. Dalam hal ini, kebudayaan ada karena diciptakan oleh manusia, dan manusia dapat hidup di dalam kebudayaan yang diciptakannya. Dan kebudayaan akan terus hidup dan berkembang jika ada manusia sebagai pendukungnya.

Kebudayaan yang dikembangkan oleh manusia akan berimplikasi terhadap lingkungan tempat kebudayaan itu berkembang. Setiap kebudayaan memancarkan suatu ciri khas dari masyarakat pendukungnya, yang tampak dari luar. Dengan mengkaji pengaruh kebudayaan terhadap lingkungan kita akan mengetahui mengapa suatu lingkungan tertentu berbeda dengan lingkungan lainnya, dan menghasilkan kebudayaan yang berbeda pula. Beberapa variable yang berhubungan dengan masalah lingkungan dan kebudayaan antara lain:9
1. Phisical environment, yaitu lingkungan fisik yang menunjuk kepada lingkungan natural seperti flora, fauna, iklim, dan sebagainya. 
2. Cultural social environment, meliputi aspek-aspek kebudayaan beserta proses sosialisasinya seperti norma-norma, adat-istiadat, nilai-nilai budaya, dan sebagainya.10
3. Environmental orientation and representation, mengacu pada persepsi dan kepercaayaan kognitif yang berbeda-beda pada setiap masyaraakat mengenai lingkungannya.
4. Environmental behavior and process, meliputi bagaimana masyarakat menggunakan lingkungan dalam hubungan sosial.
5. Out carries product, meliputi hasil tindakan manusia seperti membangun rumah, komunitas, dan sebagainya.

Meski tidak diakui secara umum, sebenarnya peran yang dimainkan oleh ekonomi dalam pembentukan kebudayaan sangat penting. Setiap manusia memiliki kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Untuk menyediakan kebutuhan tersebut adalah fungsi ekonomi karena kebutuhan ini dipenuhi melalui sistem produksi dan distribusi. Di luar kebutuhan itu, kebanyakan orang juga ingin - hal-hal yang mereka inginkan untuk membuat hidup mereka lebih nyaman dan menyenangkan. Sepanjang sejarah kebutuhan manusia tetap sama: di dunia kuno orang membutuhkan makanan, pakaian, dan tempat tinggal - dan mereka masih melakukannya hingga hari ini. Bahkan, sepanjang sejarah kebanyakan orang harus puas dengan memenuhi kebutuhan mereka, dan berkeinginan untuk sesuatu yang lebih yang belum terpenuhi. Hanya orang yang sangat kaya dan kuat yang mampu membayar ekstra untuk memiliki rumah bagus, makanan yang lebih baik, perawatan medis yang baik, kenikmatan seni, pakaian mahal dan perhiasan.11

Oleh karena kebudayaan adalah hasil cipta, karsa dan rasa manusia, maka kebudayaan mengalami perubahan dan juga perkembangan sejalan dengan perkembangan manusia itu sendiri. Kebudayaan yang dimiliki oleh suatu kelompok etnik tidak akan terhindar dari pengaruh kebudayaan kelompok etnik lain dengan adanya kontak-kontak antar kelompok etnik melului proses difusi, asimilasi dan akulturasi. 
Dalam alam yang baik, manusia akan berusaha untuk mendirikan suatu kebudayaan, seperti di Eropa, India, dan Cina. Di daerah yang terlalu dingin seolah-olah kegiatan manusia membeku (Eskimo) dan di daerah yang terlalu panas tidak dapat timbul suatu kebudayaan (Sahara, Kalahari, dan Gobi). Maka apabila tantangan alam itu baik, maka timbullah suatu kebudayaan.12 

Tumbuh dan berkembangnya sebuah peradaban sangat ditentukan oleh tersedia atau tidaknya faktor-faktor utama pembentuk peradaban itu sendiri. Apabila faktor-faktor ini tersedia dengan baik, maka sebuah peradaban akan dapat tumbuh dan berkembang. Sebaliknya, pertumbuhan suatu peradaban akan terhenti, bahkan bisa jadi punah, apabila faktor-faktor pembentuknya tidak lagi tersedia. Paling tidak ada 4 (empat) faktor utama pembentuk peradaban manusia, sebagai berikut:13

Pertama, dalam pertumbuhan peradaban manusia sangat ditentukan oleh kondisi geologis kulit bumi, baik bagian luar maupun bagian dalam. Misalnya pada Zaman Es (Ice Age), di saat permukaan bumi hanya menyisakan sedikit ruang bagi manusia untuk bergerak, peradaban manusia belum tumbuh. Dalam hal ini, 'kesuburan tanah' sangat menentukan tumbuh berkem-bangnya suatu peradaban. Demikian juga halnya dengan kekayaan yang dikandung oleh perut bagian bumi yang dihuni oleh suatu kelompok etnik, terutama setelah mereka memiliki cukup kemampuan untuk mengeksploitasi dan mengeksplorasi kekayaan tersebut. Pergeseran kulit bumi bagian dalam pun juga sangat menentukan hidup matinya sebuah peradaban, karena apabila pergeseran itu terjadi secara drastis maka dapat menjadi penyebab hancurnya sebuah peradaban. Intinya, perkembangan sebuah peradaban mensyaratkan adanya tanah yang subur untuk lahan pertanian dan/atau barang tambang yang dikandung oleh perut bumi, dan selain itu juga mensyaratkan amannya daerah tempat pertumbuhan peradaban tersebut dari bahaya gempa bumi yang sewaktu-waktu datang melanda.

Kedua, adalah faktor geologis, yaitu mencakup suhu udara, iklim, curah hujan, posisi suatu daerah dari jalur perdagangan dunia, dan lain sebagainya. Umumnya, suatu daerah dengan suhu udara yang terlalu panas, atau banyak ditumbuhi parasit, tidak kondusif bagi tumbuh-kembangnya suatu peradaban. Demikian juga daerah yang tersebar di dalamnya berbagai macam penyakit, karena pada saat itu seluruh kemampuan yang dimiliki oleh penduduknya diarahkan untuk sekedar bertahan hidup dan menjaga keturunan, tanpa tersisa sedikit pun energi untuk mengembangkan budaya immaterial seperti seni dan adat-istiadat misalnya.

Curah hujan yang cukup banyak turun di suatu daerah juga merupakan faktor yang sangat dominan, karena air adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam hidup, bahkan bisa jadi lebih penting dari cahaya matahari sekali pun. Perubahan suhu global yang melanda bumi, yang berimbas pada perubahan curah hujan, sangat berpengaruh bagi hidup-matinya sebuah peradaban. Sebuah peradaban yang dulu berkembang pesat bisa hancur dan punah disebabkan karena langit tak lagi meneteskan air, seperti yang dialami oleh peradaban Mesopotamia.

Di samping itu, posisi suatu daerah dari peta perdagangan dunia juga sangat berpengaruh bagi maju-mundurnya suatu peradaban. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan oleh laju pertukaran komoditi dari dalam daerah ke luar dan sebaliknya. Sebuah daerah yang terletak pada jalur perdagangan dunia lebih memiliki kesempatan untuk maju bila dibandingkan dengan daerah yang jauh dari jalur perdagangan tersebut. Inilah yang menyebabkan kenapa peradaban-peradaban lama yang kita kenal - seperti Yunani,  Mesir dan Cina  - selalu terletak di pesisir dengan pantai yang landai atau di lembah sungai yang memungkinkan berlabuhnya armada-armada dagang.

Ketiga, adalah faktor ekonomi, yang bagi pertumbuhan sebuah peradaban bisa dikatakan lebih penting jika dibandingkan dengan faktor geologis dan geografis. Sebuah kelompk etnik bisa jadi memiliki institusi sosial yang teratur, undang-undang moral yang tinggi, dan bahkan kesenian - seperti halnya suku Indian di Amerika - dimana semua itu cukup bagi mereka untuk mengembangkan peradabannya selama mereka masih bersandar dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dari berburu dan meramu. Contoh lain, suku Badui yang ada di jazirah Arab boleh jadi memiliki nilai-nilai moral yang mulia, seperti keberanian, kesetiaan, dan lain-lain. Namun, selama itu hanya digunakan untuk berburu dan berdagang, maka nilai-nilai tersebut tidak akan banyak membantu pertumbuhan peradaban yang mereka miliki.

Tumbuhnya sebuah peradaban mensyaratkan adanya sumber ekonomi yang mapan dan stabil. Oleh karena itulah perkembangan sebuah peradaban selalu diawali dengan berubahnya cara hidup sebuah kelompok etnik dari pola yang berpindah-pindah (nomaden) menuju cara hidup yang metetap, yaitu perpindahan dari cara hidup berburu menuju cara hidup bertani. Selama manusia masih hidup secara berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, mereka tidak akan memiliki banyak waktu untuk mengembangkan bidang pemikiran dan seni. Tetapi di saat mereka sudah hidup menetap di suatu tempat tertentu, menggantungkan hidupnya dari hasil bertani dan beternak, hal mana mereka juga dapat menyimpan sisa-sisa apa yang dihasilkannya untuk kebutuhan di masa mendatang, sehingga mereka tidak lagi terancam kelaparan, maka pada saat itulah sebagian dari energi yang dimilikinya akan diarahkan untuk memikirkan berbagai hal tentang hidupnya. Yang terakhir disebut inilah yang membuka jalan bagi manusia untuk belajar hidup secara teratur dan sistematis, sehingga dengan demikian potensi yang dimilikinya tidak hanya digunakan untuk sekedar bertahan hidup, tapi juga berusaha untuk mencapai kesempur-naan hidup.

Perpindahan cara hidup dari berburu menuju bertani inilah yang kemudian menghasilkan lahirnya 'budaya desa'. Pada proses selanjutnya budaya-budaya yang berasal dari desa-desa itu bertemu pada satu titik, yaitu 'kota', sehingga terjadilah akumulasi dari budaya-budaya yang melahirkan peradaban. Itulah kelebihan yang dimiliki oleh kota. Sebuah kota bisa diibaratkan seperti muara tempat bertemunya aliran air dari segala penjuru. Di kotalah seluruh hasil pertanian yang dikeluarkan oleh desa-desa dikumpulkan dan diperjual-belikan. Di kotalah para pedagang dari berbagai perjuru daerah bertemu, bukan hanya sekedar untuk melakukan transaksi dagang, tapi juga untuk berbagi pemikiran. Dari sini akal manusia mulai terasah, sehingga dia dapat mengembangkan 'kemampuan mencipta' untuk menghasilkan produk-produk budaya, baik yang berupa material maupun immaterial.

Tiga faktor tersebut di atas (geografis, geologis dan ekonomi) adalah faktor-faktor material pembentuk peradaban ummat manusia. Faktor-faktor material ini adalah syarat utama berdirinya sebuah peradaban. Begitu pun, faktor-faktor material tersebut tidak cukup dengan sendirinya untuk membangun sebuah peradaban, karena peradaban bukanlah sesuatu yang terlahir dari kekosongan. Oleh karena itu, lahir dan berkembangnya sebuah peradaban sangat ditentukan juga oleh tersedia atau tidaknya faktor-faktor immaterial.

Keempat, faktor immaterial. Kebangkitan sebuah peradaban mensyaratkan adanya peraturan-peraturan pemerintahan yang mengatur hubungan antara satu anggota masyarakat dengan lainnya, antara anggota masyarakat dengan negara, dan seterusnya. Peraturan-peraturan ini selalu kita temukan dalam peradaban-peradaban lama, meskipun dalam bentuk yang masih sangat sederhana dan dengan kekuatan yang sangat lemah, sehingga kehidupan masyarakat pada saat itu lebih dekat pada ketidakteraturan dari pada keteraturan, seperti keadaan peradaban Romawi pada masa kebangkitan.

Bahasa juga sangat penting bagi tumbuhnya satu peradaban sebagai alat perekat dan pemersatu. Bahasa adalah alat komunikasi langsung antara seseorang dengan yang lainnya. Lebih jauh lagi, bahasa sebenarnya tak lain adalah bentuk lahir dari 'kerja otak' (berpikir). Oleh karena itulah, bahasa yang dimiliki dan dipahami bersama sangat membantu terlaksananya pertukaran pemikiran dan trasformasi pengetahuan antara satu individu dengan yang lain.

Selain itu juga dibutuhkan nilai-nilai moral yang mengikat antara satu individu dengan individu yang lain, sehingga tercipta aturan-aturan hidup yang keberadaannya diakui bersama. Nilai-nilai moral inilah yang membuat perilaku masyarakat menjadi lebih teratur dan terarah pada satu tujuan yang sama. Dari sini dapat kita lihat pentingnya keyakinan terhadap hal-hal yang berada di balik materi (sistem kepercayaan), karena keyakinan ini sangat membantu terbentuknya nilai-nilai moral dalam kehidupan masyarakat.

Kemudian, untuk menjamin tetap eksis dan berkem-bangnya sebuah peradaban, dibutuhkan pula adanya pendidikan. Yang dimaksud dengan pendidikan di sini adalah sarana - meskipun dalam peradaban lama bentuknya masih sangat sederhana - yang digunakan untuk melakukan transfer  pengetahuan dari satu generasi ke generasi selanjutnya, sehingga apa-apa yang telah didapatkan oleh generasi terdahulu tidak hilang begitu saja, tetapi dapat terpelihara dan dikembangkan oleh generasi selanjutnya.

Dengan demikian, tidak tersedianya semua faktor di atas menyebabkan peradaban tidak dapat tumbuh. Bahkan hilangnya salah satu dari faktor di atas bisa jadi cukup untuk menjadi sebab mundurnya, bahkan hancurnya sebuah peradaban. 


KERUNTUHAN KEBUDAYAAN (PERADABAN)

A.J. Toynbee dalam bukunya A Study of History (1933) mengembangkan teori peradaban. Teori Toynbee didasarkan atas penelitian terhadap sekitar 30 (tiga puluh) kebudayaan. Menurut Toynbee terbentuknya suatu peradaban melalui beberapa tahapan: (1) genesis of civilizations, yaitu lahirnya kebudayaan; (2) growth of civilizations, yaitu perkembangan kebudayaan; dan (3) decline of civilizations, yaitu keruntuhan kebudayaan, yang terdiri dari beberapa tahapan pula, yaitu: 
(a) breakdown of civilizations (kemerosotan peradaban), terjadi karena kelompok minoritas kehilangan daya mencipta serta kehilangan kewibawaannya, maka kelompok mayoritas tidak lagi bersedia mengikuti minoritas. Peraturan dalam peradaban (antara minoritas dan mayoritas) itu pecah dan dengan sendirinya tunas-tunas hidupnya suatu peradaban akan lenyap.
(b) disintegration of civilizations (desintegrasi perada-ban), yang mulai tampak setelah tunas-tunas kehidupan itu mati dan pertumbuhan terhenti. Setelah pertumbuhan terhenti, maka seolah-olah daya hidup itu membeku dan terdapatlah suatu peradaban itu tanpa jiwa lagi. Toynbee menyebut masa ini sebagai petrification, maksudnya 'pembatuan' atau peradaban itu sudah menjadi batu, mati dan menjadi fosil.
(c) dissolution of civilization (lenyapnya peradaban), dimana hal ini terjadi apabila tubuh dari suatu kebudayaan yang sudah membatu itu hancur-lebur dan lenyap.

Toynbee (1933) juga mendeskripsikan sebab-sebab muncul, tumbuh, dan gulung tikarnya kebudayaan dari segi kesejarahan. Ia menekankan sisi "intelligible" - semacam penalaran studi sejarah - dimana peradaban muncul bila manusia menghadapi situasi sulit yang menantang hingga bertumbuhnya kegiatan-kegiatan kreatif untuk melakukan usaha-usaha yang tidak terduga dalam proses 'challenge and response'. Melalui tantangan ini munculah peradaban, dan bila terus kreatif akan menumbuhkan tanggapan yang makin canggih dengan kreativitas yang semakin optimal. Rangsangan-rangsangan kebudayaan terus diasah dan dipertajam yang secara lahiriah berupa penguasaan keadaan luar dan secara batiniah berupa artikulasi dari dalam 'self-determination' yang progresif. Terdapat proses 'etherialization' yaitu ikhtiar-ikhtiar untuk memusatkan energi kebudayaan pada optimalisasi tantangan-tantangan yang semakin halus atau spiritualisasi dari kebudayaan. Perdaban akan runtuh bila gagal memunculkan kretivitas dalam menghadapi tantangan. Puncak keruntuhan terjadi bila ada disintegrasi peradaban dimana kesatuan sosial pecah dan ketidakmampuan peradaban itu memberi tanggapan kreatif pada tantangan zaman.

Peradaban bagi Toynbee (1933) bermula ketika manusia mampu menjawab tantangan lingkungan fisik yang keras, dan kemudian berhasil juga dalam menjawab tantangan lingkungan sosial. Pertumbuhan terjadi tidak hanya ketika tantangan tertentu berhasil diatasi, tetapi juga karena mampu menjawab lagi tantangan berikutnya. Kriteria pertumbuhan itu tidak diukur dari kemampuan manusia mengendalikan lingkungan fisik (misalnya melalui teknologi), atau pengendalian lingkungan sosial (misalnya melalui penaklukan), melainkan diukur dari segi peningkatan kekuatan yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri, yakni semangat yang kuat (self determination) untuk mengatasi rintangan-rintangan eksternal. Dengan kata lain, kekuatan yang mendorong pertumbuhan itu bersifat internal dan spiritual. Mengapa peradaban bisa muncul? Pertanyaaan itulah yang mengawali pemikiran Toynbee tentang munculnya peradaban. Pada mulanya ia berpikiran bahwa faktor gen dalam ras dan kondisi lingkungan fisiklah yang menjadi landasan utama munculnya peradaban. Akan tetapi pada akhirnya pemikiran tesebut digugurkannya sendiri. Tidak ada ras yang superior dan tidak ada lingkungan fisik yang benar-benar menciptakan peradaban dengan sendirinya. Hal ini dikarenakan ras dan lingkungan fisik hanya bersifat membantu dalam perkembangan peradaban ummat manusia.

Peradaban muncul karena dua faktor yang saling berkaitan erat, yaitu adanya 'kelompok minoritas kreatif' dan 'kondisi lingkungan'. Antara keduanya tidak ada yang terlalu menguntungkan atau terlalu merugikan bagi pertumbuhan peradaban. Mekanisme kelahiran dan dinamika kelangsungan hidup peradaban dijelmakan dalam konsep tantangan dan tanggapan (challange and response). Lingkungan (mula-mula alamiah, kemudian juga sosial) terus menerus menantang masyarakat, dan masyarakat melalui kelompok minoritas kreatif menentukan cara menanggapi tantangan itu. Segera setelah itu, tantangan ditanggapi, lalu muncul pula tantangan baru, yang kemudian diikuti oleh tanggapan berikutnya. Namun demikian, tidak semua tantangan bisa dianggap sebagai sebuah rangsangan positif. Ada pula tantangan yang tidak menimbulkan peradaban.14

Peradaban muncul sebagai jawaban atas beberapa satuan tantangan dengan tingkat kesukaran yang cukup ekstrim, manakala 'kelompok minoritas kreatif' yang mengorientasikan kembali keseluruhan masyarakat. Kelompok minoritas kreatif ini adalah sekelompok manusia atau bahkan individu yang memiliki 'self-determining' (kemampuan untuk menentukan apa yang hendak dilakukan secara tepat dan memiliki semangat yang kuat). Dengan adanya kelompok minoritas kreatif tersebut, sekelompok besar manusia akan bisa keluar dari masyarakat primitif.15 

Suatu peradaban tercipta hanya karena mampu mengatasi tantangan dan rintangan, bukan karena menempuh jalan yang terbuka lebar dan mulus. Toynbee membahas lima perangsang yang berbeda bagi kemunculan peradaban, yakni kawasan yang: ganas, baru, diperebutkan, ditindas, dan tempat pembuangan. Kawasan ganas mengacu pada lingkungan fisik yang sukar ditaklukkan, seperti wilayah yang terbiasa untuk banjir bandang yang senantiasa mengancam seperti di sepanjang sungai Hoang Ho di Cina. Kawasan baru mengacu kepada daerah yang belum pernah diolah dan dihuni, sehingga masyarakat akan merasa asing dan melakukan upaya untuk adaptasi. Kawasan yang dipersengketakan, temasuk yang baru ditaklukkan dengan kekuatan militer. Kawasan tetindas menunjukkan suatu situasi ancaman dari luar yang berkepanjangan. Kawasan hukuman atau pembuangan mengacu pada kawasan tempat kelas dan ras yang secara historis telah menjadi sasaran penindasan, diskriminasi, dan eksploitasi.16 

Tantangan itu mungkin sedemikian hebatnya sehingga orang tidak dapat menciptakan tanggapan yang memadai. Oleh karena itu, tidak ada hubungan langsung antara tantangan dan tanggapan, tetapi hubungannya berbentuk kurva linear. Artinya, tingkat kesukaran yang sangat besar dapat membangkitkan tanggapan yang memadai, tetapi tantangan ekstrim dalam arti terlalu lemah dan terlalu keras, tidak mungkin membangkitkan tanggapan yang memadai.17

Toynbee dalam Lauer (2001) menyebut tahap pertumbuhan (growth) sebagai proses "penghalusan", yakni pergeseran penekanan dari alam kemanusiaan atau perilaku yang lebih rendah ke taraf yang lebih tinggi. Ini berarti menaklukkan rintangan awal sehingga dengan demikian energi dapat tersalurkan untuk menanggapi tantangan yang lebih bersifat internal dari pada yang bersifat eksternal, dan yang bersifat spiritual ketimbang material. Pertumbuhan demikian berarti peningkatan penentuan nasib sendiri, dan ini menimbulkkan deferensiasi secara terus-menerus di antara bagian-bagian yang ada dalam masyarakat. Diferensiasi ini tejadi karena sebagian masyarakat tertentu berhasil memberikan tanggapan memadai atas tantangan; sebagian yang lain berhasil dengan jalan meniru bagian yang berhasil itu. Namun, sebagian yang lain lagi gagal, baik dalam menciptakan atau meniru, dan oleh sebab itu akan mendekati kematian. Akibatnya adalah berkembangnya ciri khas tertentu di dalam setiap peradaban. Peradaban Yunani misalnya, memiliki keunggulan pandangan estetika mengenai kehidupan sebagai suatu keseluruhan (totalitas). Lain halnya dengan peradaban Hindu dan India cenderung menuju ke suatu pandangan hidup yang mengutamakan religi.18


PENUTUP

Hubungan antara manusia, masyarakat, dan kebudayaan sangat erat sekali dan ketiganya tidak terpisah satu sama lain. Masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan dengan kebudayaan. Mc Iver pakar sosiologi politik pernah mengatakan: "Manusia adalah makhluk yang dijerat oleh 'jaring-jaring' yang dirajutnya sendiri", seementara 'Jaring-jaring' itu adalah 'kebudayaan'. Dalam hal ini, Mc Iver ingin mengatakan bahwa 'kebudayaan' adalah sesuatu yang diciptakan oleh masyarakat tetapi pada gilirannya merupakan suatu kekuatan yang mengatur bahkan memaksa manusia untuk melakukan tindakan dengan "pola tertentu". Kebudayaan bahkan bukan hanya merupakan kekuatan dari luar diri manusia tetapi bisa tertanam dalam 'kepribadian individu'. Dengan demikian kebudayaan merupakan kekuatan pembentuk pola sikap dan perilaku manusia dari luar dan juga dari dalam. Unsur paling sentral dalam suatu kebudayaan adalah nilai-nilai yang merupakan suatu konsepsi tentang apa yang benar atau salah (nilai moral), baik atau buruk (nilai etika) serta indah atau jelek (nilai estetika). Dari 'sistem nilai' inilah kemudian tumbuh menjadi 'norma' yang merupakan patokan atau rambu-rambu yang mengatur perilaku manusia di dalam kehidupan bermasyarakat.

Kebudayaan sebagai akar peradaban suatu kelompok etnik (bangsa) terbukti memberikan kontribus yang sangat besar bagi perkembangan (kemajuan) kehidupan warganya. Dalam hal ini, perbedaan mendasar antara 'kebudayaan' dan 'peradaban' terletak pada prosesnya. Kalau 'kebudayaan' merupakan 'kasil cipta' (proses manusia menciptakan 'sesuatu' yang baik yang nyata maupun yang abstrak). Sementar 'peradaban' adalah bagimana proses mewujudkan 'kebudayaan' dalam suatu masyarakat. Untuk membangun suatu 'peradaban' sangat dibutuhkan 'jaringan sosial' atau 'inovasi sosial' yang berperan dalam mencipta pranata (institusi) sosial yang memungkinkannya menerima dan mengembangkan produk-produk peradaban lain dalam konteks kebudayaan itu sendiri. [sab]

Medan, 05 Desember 2013.

~o0o~


FOOTENOTE
1.  Peradaban itu tumbuh dan berkembang di lembah yang subaur di daerah aliran sungai besar seperi [eradaban Sumeria di aliran sungai Eufrat dan tigris di Mesopotamia, Mohenjodaro di aliaran sugai Indus di India, YangTse Kiang di Cina, Nil di Mesir, Rhein dan Donau di Erpa. Lihat Basyaral Hamidy Harahap, "Aksara Mandailing: Tinjauan Sosial Budaya", makalah diprasentasikan dalam Sarasehan Keduyaan Mandaili, Gedung Dewan Pers, Jakarta (2013).
2. Menurut J.J. Hoenigman dalam Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (1980), bahwa setiap kebudayaan memilki tiga wujud, yaitu: (1) Gagasan (wujud ideal), merupakan kebudayaan yang terbentuk berdasarkan ide, pemikiran dan gagasan yang sifatnya abstrak. Wujud kebudayaan ini terletak di alam pemikiran warga masyarakat. Apabila masyarakat menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi kebudayaan ideal itu berada dalamrulisan atau karangan hasil karya masyarakat tersebut; (2) Aktivitas (tindakan), merupakan wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan dari masyarakat itu yang disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas - aktivitas manusia yang bersifat konkret (nyata) yang artinya dapat diamati dan di dokumentasikan; dan (3) Artefak (karya), merupakan wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, kegiatan dan karya berupa benda - benda atau hal - hal yang bisa di raba, diamati dan di dokumentasikan.
3.  Selo Soemardjan & Soelaeman Soenardi, Setangkai Bunga Sosiologi, Jakarta: Yayasan Badan Penerbit FE UI, 1964.
4. E.B. Tylor, "Primitive Culture: Researches Into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Languages, Art and Customs", Vol. 1, London: John Murray, Albemarle Street, 1871.
5.   Arnold J. Toynbee, Hannibal's Legacy, the Hannibalic War's effects on Roman life, Vols. I and II. London : Oxford University Press, 1965.
6. Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations?, in "Foreign Affairs", vol. 72, no. 3, Summer 1993.
7. Lihat: "Civilization: Definitions and Recommendations", http://www.wmich. edu/iscsc/civilization.html, diakses 10-10-13.
8.  Edward Spranger dan Paul John William Pigors, Types of men: The psychology and ethics of personality, Halle: M. Niemeyer, 1928.
9. Elly Malilah, "Manusia dan Kebudayaan", http://file.upi.edu/Direktori/DUAL-MODES/PLSBT/Modul_4_PLSBT.pdf, diakses 10-10-13.
10.  Para ahli penganut paham cultural determinism meyakini bahwa sikap, pola perilaku manusia dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaannya. Lawrence E. Harrison dan Samuel P. Huntington menggambarkan bagaimana nilai-nilai budaya mempengaruhi kemajuan maupun kemunduran manusia. Samuel P. Huntington memberi contoh bahwa pada tahun 1960-an Ghana dan Korea Selatan memiliki kondisi ekonomi yang kurang lebih sama. Tiga puluh tahun kemudian Korea telah menjadi Negara maju, tetapi Ghana hampir tidak mengalami kemajuan apapun dan saat ini GNP perkapitanya hanya seperlimabelas Korea Selatan. Ini disebabkan  karena bangsa Korea (selatan) memiliki nilai-nilai budaya tertentu seperti hemat, kerja keras, disiplin dan sebagainya. Semua itu tidak dimiliki masyarakat Ghana. Lihat: Lawrence E. Harrison dan Samuel P. Huntington (ed),  Cultural Matters: How Values Shape Human Progress, New York: Basic Books, 2000.
11.   Robert Guisepi, "An Overview of Civilization", http://history-world.org/ civilization.htm, diakses 10-10-13.
12.   R. Moh. Ali dan LKis, Pengantar lmu Sejarah. Yogyakarta: LkiS, 2005, hlm. 93.
13. Mujahidin Muhayyan, "Faktor-faktor Pembentuk Peradaban", http:// mizansckairo.tripod.com/maqalatiid06.htm, diakses 10-10-13.
14.   Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada Media, 2004.
15.  Tsabit Azinar Ahmad, "Membedah Pemikiran Arnold J. Toynbee",  http://mas-tsabit.blogspot.com/2009/05/membedah-pemikiran-arnold-j-toynbee.html, diakses 11-10-13.
16.  Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan Sosial, Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
17.  Ibid. 
18.  Ibid.

Mandailing movement to Malaysia


By Abdur0Razzaq Lubis*


THE Straits of Malacca has never posed a barrier to human movement from Sumatra to Malaysia and vice versa. The Mandailings have been arriving in Pai Kolang, as they call Klang in Selangor, for centuries to seek their fortune and mine tin before heading back to their ancestral villages. The Mandailings in Sumatra still remember their Ompu Kolang, forefathers from Klang, today.

In fact, the mass migration of Mandailings to Klang and other parts of Peninsular Malaysia preceded any substantial migration of Mandailings to the east coast of their own island. The latter movement only occurred in the 19th century during and after the ''Padri War''.In 1820, the Minangkabau Padris (from the Portuguese word ''padre'' meaning father) invaded the Mandailing homeland. The socio-economic, political, ecological, environmental and spiritual disruption caused by the Padri War (1816-1833) triggered movements of people within and around Mandailing.

The Padri episode was one in a series of historical incursions by the Minangkabau people into the Mandailing homeland; it was during this time that many Mandailings came to Islam at the point of the sword. As it turned out the interpretation and application of Islam in Mandailing is very different from that of the Minangkabau. While the Minangs are matrilineal and adopt a position of custom based on Islamic law, the Mandailings are patrilineal and adopt a position of adat (tradition and customary law) co-existing equally with Islamic law. The latter understanding is closer to the Madinan than to the Shafi'e madhhab (school of thought) dominant today on the peninsula and the Indonesian archipelago.

When Padri War hostilities ceased, the Dutch, who had fought with the Mandailings against the Padris, took over the administration and economic development of the Mandailings. The Dutch began the process of colonisation by setting up administrative posts and collecting houses for local products as well as demanding corvee (unpaid) labour and more intensive production of cash crops. They built a road from the island's interior to Natal on the west coast of Sumatra in an effort to contain the Mandailings economically, by making them turn their backs on their trading partners across the Straits of Malacca. But it was too late. The Mandailing homeland was ravaged by war and could no longer support the remaining population, thereby forcing a mass migration.


The Mandailing are people of the west coast of North Sumatra, Indonesia.

One of the most vivid accounts of the exodus is found in Perpin-dahan Orang Mandailing (Shift of the Mandailings) by Pande Maradjar, published in 1923 in a newspaper entitled Mandailing.

The exodus route taken was from ''Kota Nopan Rao'' on the frontier of Mandailing-Minangkabau country and across the Barisan mountains to Siak Indrapura, or Bengkalis, on the east coast of Sumatra. There the travellers boarded a schooner to Malacca before proceeding to Pahang to mine gold, or to Sungai Ujong (Seremban today) and Klang to mine tin. Apparently, the Mandailings migrated together with the people of Rao (they are called Rawa in Malaysia) and the Talu people, a clan of the Minangkabau, who were also effected by the turmoil of the Padri War. Over time, the Mandailings found a shorter route to the peninsula via the port of Penang.

The journey from Rao to Bengkalis took between six and seven months. On the way, the Mandailings would stop at Romba or Tamoese (Tambusai) on the east coast of Sumatra to cultivate padi in order to raise the necessary funds to continue with their journey to Malaysia. Some of the Mandailings, after spending a year or two on the peninsula, would return to their homeland bearing gifts - such as the famed Pattani shawl. They brought tales of a better life on the peninsula, motivating other Mandailings to join the movement.

Pande Maradjar thought that the Mandailings who left during and after the Padri War actually pindah negeri (emigrated) while those who went to the peninsula during his time, the early 20th century, did so as merautau (sojourners) seeking their fortune outside the homeland.

Whatever their reasons for coming, the Mandailings were a recognisable social group in the peninsula by the 1860s, engaging in mining, trading, mercenary activities, and economic and political mediation.

What is most striking about the Mandailing migration in the 19th century as opposed to earlier movements is that it was largely led by the Namora Natora (the nobles and elders) who fled their troubled homeland. Many of the Mandai-lings in Malaysia today - including this writer - are descended from these immigrants.

In keeping with the tradition in Sumatra, the Namora Natoras moved whole clans at the same time under a united command, leading a band of followers to a new site. Unlike the Chinese arrivals who consisted mainly of single male immigrants, many Mandai-ling immigrants brought their relatives with them, including womenfolk and children.

The Namora Natoras and their clans practised the Mandailing form of governance in their new land, making collective decisions through traditional modes of consultation. They perpetuated their genealogical knowledge based on the clan. Their social structure and customary law tied the new settlements symbolically, politically and by kinship to the old. Due to these strong connections, many ''Malaysian'' Mandailings retain the memory of their ancestral villages in Sumatra, and are known to make cultural pilgrimages to Sumatra from the 19th century to this day. These visits were only interrupted by World War II and Malaysia's Confrontation with Indonesia in the 1960s.

The arrival of large groups of Mandailings caused shock waves and changed the political and socio-economic landscape of the peninsula in the 19th century, the effects of which can still be felt today.

When they arrived, the Mandailings became embroiled in several civil wars on the peninsula: the Rawa War of 1848; the Pahang War (1857-1863); the Selangor War (1867-1873) - better known to the Mandailings as Porang Kolang, or War of Klang - and the Perak War (1875-1876). As a result, the Mandailings on the peninsula were feared and viewed with suspicion. They gained a notorious reputation as trouble-makers, rebels and insurgents, a stigma that afflicts them to this day. Many went ''underground'', concealing their identities by changing their names and dropping clan names to avoid detection by the victors of those 19th century wars.

The Eurasian J.C. Pasqual, who wrote about the Rawa War based on an account from Raja Allang Raja Brayun, stated that: ''At this time Raja Brayun, a Mendeleng from Sumatra, invaded Sungai Ujong and attacked Datoh Klana Sendeng, because a friend of Raja Brayun was murdered and Datoh Klana Sendeng refused to pay the blood money of $400....''
The Hikayat Pahang text implicates the Mandailings in the Pahang War. It reported that the ''Mendeheleng Rawa'' in Raub were out to create ''a big fight in Pahang...''. The civil war spilled over into Selangor where the warring parties took sides in the Selangor War. The Mandailing-Rawa elements who were booted out of Pahang then launched lightning raids from across the border. Wan Ahmad of Pahang was convinced that there would be no peace in his country until these freebooters were crushed. He gained British permission to attack them in Selangor, then under the pro-British ''Viceroy'', Tengku Kudin. Wan Ahmad sent thousands of troops, by land and sea, to flush out the Mandailings and Rawas in Selangor, who were only a few hundred strong.

The Mandailing had been involved in Selangor politics from the late 18th century. They played an instrumental role in helping Raja Abdus-Samad gain the Selangor throne. According to Pasqual, ''When Sultan Mahomad was dying, Abdus-Samad, Raja Brayun and Tuanku Panglima Raja, also known as Raja Berkhat Rio, went to his bedside and Raja Brayun and Raja Berkhat Rio drank the ayer sumpah (water of fealty) and appointed Abdus-Samad Sultan of Selangor''. It was during the reign of Sultan Abdus-Samad that the Selangor War broke out. Raja Asal, Raja Brayun and many other Mandailing leaders were active players in the war.

But thereafter, the Mandailings became such a threat to the political stability and economic life of Selangor during the war that they earned the condemnation of Sultan Abdus-Samad, who declared them a menace and ordered their removal from Selangor.

''... We (Sultan Abdus-Samad) have granted our son, Tengku Kudin, this letter under our seal, and he has undertaken to vanquish the Mandilings and their allies. Now, therefore, the above (chiefs of Selangor) will obey our son who is also appointed leader of all foreigners, and whosoever does not obey his orders will be treated as a rebel according to the law. All Chinese and Malays engaged in commerce in the interior shall assist Tengku Kudin and his adherents with gunpower and weapons. No towkay (businessman) shall assist the Mandiling people and if, by Allah's grace, the disturbances are settled, the possessions of the Mandilings shall be divided among such the aforesaid as assist Tengku Kudin.''

A British governor, Sir Frank Swettenham, described Raja Asal, the warlord of the Mandailings in the Selangor War, as a great disturber of the peace - so much so that his removal from Selangor was celebrated. The Resident of Selangor at the time, J.G. Davidson, reported that, ''But for him (Raja Asal) the last disturbances in this country would have been easily put down'' and ''that the Mandaling men were the strongest party in opposing the Viceroy (Tengku Kudin) during these disturbances''. In Davidson's estimation, ''Raja Asal has the greatest influence among the Mandaling men, and is a very clever and very energetic old man''. Davidson wrote to J.W.W. Birch, the first British Resident to Perak, asking the latter to arrest ''Raja Asal at once'', adding that ''you know how powerful and how dangerous a man he is''.

The Selangor War dislodged the Mandailings from their stronghold in Kuala Lumpur, Ulu Klang and Ampang. They fled to Perak, Malacca, Batu Pahat in Johor, and Asahan on the east coast of Sumatra. The Chinese Hakka clan (Kah Yeng Chews), the Mandai- lings' partners in business and in war, followed in the footsteps of the Mandailing warlords when they fled Selangor for Perak.

Having undergone a century of war, the Mandailings chose peace in Perak, but had to make many compromises. Among them was the decision to accept British sovereignty in Malaya as well as Dutch sovereignty in Indonesia. Consequently, they had to go along with colonial social engineering and the colonial definition of the political-economic functions of the various ethnic migrant groups.
The `Gopeng Continget`, comprising Mandailing troops led by Imam Perang Jabarumum, was summoned by the British Colonial Government to put down the Pahang uprising in 1892


At this point in time, the Mandailings were probably thinking of their safety and their existence as a people. A life of warfare, from the Padri War in Sumatra to all the wars on the peninsula, was not the way to bring up a family and guarantee their survival. Although in Pahang and Selangor the Mandailings found themselves fighting against the proxies of the British, in Perak, the Mandailings made a strategic decision to change sides and become British allies. They served as the storm troopers and bounty hunters of the British in the Perak War and were rewarded with mines, lands and positions as tax collectors. In contrast to their previous unsettled existence, they now buka negeri (founded settlements) and became rubber and coffee cultivators.

The Mandailings have not quite been forgiven by the Perak Malays for this turnaround, and accusations of treachery still ring out to this day.

By the 1940s, Mandailing immigrants to British Malaya were political refugees seeking asylum from Dutch intelligence working against Indonesian nationalism. Notable among them was Kamaluddin Nasution, who was involved with the Sumpah Pemuda (Youth Oath) movement that initiated the struggle for Indonesian independence. Like many Mandailings before him, Kamaluddin changed his name to avoid detection, and was known as Abdul Rahman Abdul Rahim.

Mandailing immigrants still make their way to Peninsular Malaysia to this day, some sponsored by their Malaysian relatives. They settle in traditional Mandailing immigrant states such as Perak and Selangor. They earn a living as jamu (traditional herbal preparations) sellers, textile traders, butchers and petty traders. Unlike the earlier wave of immigration, many of today's Mandailings come as individual economic immigrants instead of in large clans. These latter-day travellers do not form communities with allegiance to their raja (king) and ''mother-village''. Some marry local women and their descendants have never lived within the adat; as a result, many members of the new generation born here do not even know what it means to be a Mandailing.

In the name of ''administrative convenience'', the Mandailings have been labelled ''Malays'' or ''Malay-Mandailing'' in Malaysia and as ''Bataks'' or ''Batak-Mandailing'' in Indonesia. On both sides of the Straits of Malacca, this racial fiction has been reinforced by the population census in the service of communal politics. After independence, Malaya followed a deliberate policy of ''Malay-isation'' of the Nusantaran people (the different South-East Asian peoples labelled as ''Malay'') in Malaysia through the instruments of nation-building, such as national education and cultural policies. The outcome of this is that the younger generation of Mandailings is losing its cultural identity and succumbing to globalised mass culture like everyone else. The Mandailing identity is being erased and this crime has largely gone unnoticed.

The Mandailings now face an identity crisis in both Malaysia and Indonesia. Due to the strong genealogical tradition, many Mandailings in both countries can still trace their origins. Not recognised as a people, they now have a choice of recovering their cultural identity and patrimony following the revival of ethnic groups all over the world in the face of globalisation, and of contributing to the recovery of endangered human diversity.


=======================
* Abdur-Razzaq Lubis is the Malaysian representative of the Sumatra Heritage Trust and the Mandailing Cultural Studies Foundation (Yapebuma) as well as the project leader of a Toyota Foundation research grant on Mandailing history, governance and cultural heritage. He is also the creator of the Mandailing website, Horas Mandailing, at www. mandailing.org.Millennium Markers is a weekly series that looks at events and happenings that shaped Malaysia and the surrounding region over the last 1,000 years; it is coordinated by Dr Loh Wei Leng, Universiti Malaya.

Notes: STF -: For centuries the Mandailings, an ethnic group from the island of Sumatra, have travelled across the Straits of Malacca to seek their fortune in Malaysia. Millennium Markers continues its focus on minorities this week with ABDUR-RAZZAQ LUBIS's article tracing the Mandailing movement and the huge impact these people have had on Malaysia.

Source:]http://www.malaysiahistory.net/index.php?option=com_content&view=article&id=129:mandailing-movement-to-malaysia&catid=43:immigration&Itemid=117