Kamis, 10 April 2014

Politik Uang


"PERSELINGKUHAN ANTARA POLITIK DAN UANG (MONEY POLITICS) MENCIDERAI SISTEM DEMOKRASI"



PENDAHULUAN


P
olitik dan uang merupakan dua hal yang berbeda, namun tidak dapat dipisahkan. Untuk berpolitik orang membutuhkan uang dan dengan uang orang dapat berpolitik. Istilah ‘politik uang’ (dalam bahasa Inggris: ‘money politics’) mungkin termasuk salah satu istilah yang sudah sangat sering didengar. Istilah ini menunjuk pada penggunaan uang untuk mempengaruhi keputusan tertentu, entah itu dalam Pemilu ataupun dalam hal lain yang berhubungan dengan keputusan-keputusan penting. Dalam pengertian seperti ini, ‘uang’ merupakan ‘alat’ untuk mempengaruhi seseorang dalam menentukan keputusan. Tentu saja dengan kondisi ini maka dapat dipastikan bahwa keputusan yang diambil tidak lagi berdasarkan baik tidaknya keputusan tersebut bagi orang lain, tetapi keuntungan yang didapat dari keputusan tersebut.[1] 
Selain pengertian tersebut di atas, istilah ‘politik uang’ juga dapat dipakai untuk menunjuk pada pemanfaatan keputusan politik tertentu untuk mendapatkan uang. Artinya ialah kalangan tertentu yang memiliki akses pada ‘keputusan politik’ dapat memanfaatkan keputusan tersebut untuk mendapatkan uang. Kondisi ini disebutkan oleh Adi Sasono sebagai ‘Kapitalisme dalam tenda Oksigen’, dan dijelaskan sebagai sebuah kondisi dimana pemerintah (penguasa) ikut ‘bermain’ dalam seluruh tindakan ekonomi masyarakat dengan melakukan sebuah sistem ekonomi tertutup dan protektif. Keterlibatan pihak pengambil kebijakan dalam sistem ekonomi seperti ini menghasilkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) yang tidak menguntungkan rakyat ketika sekelompok orang tertentu melindungi kepentingan pribadi dan kelompok mereka dengan mengendalikan arus suplai barang kebutuhan masyarakat.[2] 
Relasi kuat antara ‘politik dan uang’ (money politics) dipengaruhi oleh, dan mempengaruhi, hubungan antara pihak politisi, keanggotaan partai dan para pemilih. Timbulnya masalah uang bagi demokrasi karena banyaknya kegiatan politik demokratis yang tidak bisa dilaksanakan tanpa uang. Dalam hal ini, ‘politik uang’ cenderung diartikan secara sempit karena hanya berfokus pada dana kampanye dan partai politik. Padahal, banyak pihak pelaku luar yang terlibat dalam persaingan politik dengan tujuan membentuk agenda ‘kebijakan publik’, mempengaruhi undang-undang atau debat pemilu dan keberhasilannya. Sebuah contoh misalnya kasus Fujimori-Montesinos di Peru. Pada pertengahan September 2000, rekaman video yang dirilis menunjukkan Vladimiro Montesinos, kepala Dinas Intelijen Nasional Peru, ternyata terlibat dalam pembelian suara dengan menyerahkan sekitar US $ 15.000 kepada pihak oposisi Kongres Luis Alberto Kouri untuk beralih posisi sehingga membuat pemerintah menjadi mayoritas dalam parlemen. Skandal ini menyebabkan pengunduran diri Alberto Fujimori sebagai Presiden Peru.[3]
Conton lain, baru-baru ini masyarakat Indonesia cukup terkejut dengan pemberitaan media massa tentang penangkapan Ketua Mahkamah Konsitusi (Akil Mochtar) oleh Komisi Pembertansan Korupsi (KPK), tidak terkecuali Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono yang mengatakan: “Saya juga merasakan kemarahan dan keterkejutan rakyat Indonesia mengetahui apa yang terjadi tadi malam”. Dan juru bicara KPK (Johan Budi SP) mengatakan bahwa penangkapan tersebut terkait dengan sengketa pemilihan kepala daerah Gunung Mas di Kalimantan Tengah, dan ‘barang bukti’ yang ikut dibawa dari penangkapan itu adalah uang senilai Rp 2-3 miliar.[4] Berita penangkapan Akil Mochtar ini sudah meluas hingga menjadi pemberitaan internasional, seperti Aljazeera, Financial Times, Fox News, BBC, ABC Online, dan Straits Times. Surat kabar terkemuka di Amerika Serikat, Financial Times, menulis berita penangkapan Akil dengan ‘judul besar’ dan sebagian isinya menyebutkan bahwa kasus penangkapan petinggi negara ini sudah ketiga kalinya terjadi di Indonesia dalam setahun.[5]
Terkait dengan kasus suap Ketua MK Akil Mochtar tersebut, KPK juga menahan Chairun Nisa (anggota Komisi II DPR), Hambit Bintih (Bupati Gunung Mas), Cornelis (pengusaha di Kalimantan Tengah), dan Tubagus Chaeri Wardana (adik dari Gubernur Banten dan sekaligus suami dari Walikota Tangerang Selatan).[6] KPK telah menetapkan status tersangka kepada Akil Mochtar atas dugaan suap sengketa pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan pilkada Kabupaten Lebak, Banten. Karena itu, Mahkamah Konstitusi (MK) memastikan akan melayangkan surat pemberhentian sementara Akil Mochtar sebagai Ketua MK kepada Presiden SBY. Surat tersebut dikirim karena Akil Mochtar sudah berstatus tersangka. Dengan pemberhentian sementara, Akil Mochtar otomatis tidak aktif sebagai Ketua MK. Tugas Akil Mochtar sementara akan digantikan oleh Wakil Ketua MK Zoelva. [7]
James Kerr Pollock (1932) menyatakan bahwa relasi antara uang dan politik akan terus menjadi persoalan besar dalam demokrasi dan pemerintahan. Menurutnya, kehidupan politik yang sehat mustahil diwujudkan, selagi uang secara tanpa batas terus berbicara dalam kehidupan politik.[8] Harus diakui, bahwa peran uang memang semakin vital dalam ‘demokrasi modern’, antara lain digunakan dalam pembiayaan iklan, proses seleksi kandidat, penyelenggaraan survei, dan juga mobilisasi pemilih selama kampanye. Namun, peran uang juga dikhawatirkan kian membahayakan proses demokrasi ketika setiap parpol dan kandidat terus berlomba-lomba menumpuk uang dengan berbagai cara untuk membiayai proses pemenangannya. Dengan beragamnya sumber ‘uang haram’ (dirty money), sehingga praktik ‘pencucian uang’ (money laundering), dan ‘politik uang’ (money politic) memungkinkan dilakukan oleh parpol dan kandidat dalam memenangkan pemilu. Dengan kata lain, Terjadinya “perselingkuhan antara politik dan uan” sangat merugikan masyarakat banyak, dan telah mengubur cita-cita luhur sistem demokrasi. Karena itulah reformasi pengaturan atas peran uang atau donasi politik menjadi ‘agenda penting’ dalam upaya menyelamatkan sistem demokrasi.
Indonesia adalah salah satu negara demokrasi di kawasan Asia Tenggara yang juga dapat digunakan sebagai referensi untuk memahami tentang betapa eratnya hubungan antara politik dan uang. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengingatkan bahwa ‘politik uang’ merupakan tantangan terbesar dalam perkembangan demokrasi di tanah air. Saat ini, Indonesia dihadapkan pada situasi bagaimana mengurangi dan menghilangkan ‘politik uang’. Sebab ‘politik uang’ telah merusak demokrasi serta membuat para pemimpin yang terpilih mengabdi kepada penyedia uang, sehingga menghasilkan demokrasi buatan yang membayang-bayangi kehidupan politik. Dan hal seperti ini mengkhianati ‘kepercayaan publik’ sekaligus menghancurkan demokrasi yang ideal dan konsisten. Demokrasi yang baik, juga ditunjukkan dengan fokus pada sistem, bukan pada perseorangan. Dalam pada itu, ‘pengambilan keputusan’ dalam demokrasi harus dilakukan dengan transparan dan akuntabel.[9]
Dalam suatu event pemilu legislatif ataupun pilkada,[10] apabila ada dugaan telah terjadi praktik ‘politik uang’ maka hal yang sulit dilakukan ialah membuktikan sumber atau penyebab terjadinya praktik ‘politik uang’ tersebut. Demikian sulitnya dibuktikan sehingga tidak jarang dialami suatu kondisi dimana penanganan dugaan kasus ‘politik uang’ menjadi terkatung-katung. Padahal, kecepatan proses pembuktiannya merupakan dasar bagi proses penanganan berikutnya, yaitu melihatnya dari sisi ketentuan perundang-undangan yang berlaku, seperti Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD (Undang-Undang Pemilu), Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Undang-Undang Pilkada), Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PP TPPU), dan Undang-Undang lainnya.
Dengan mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang sudah diatur dalam Undang-undang RI Nomor 8 Tahuun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PP TPPU), setidaknya ada dua hal mendasar yang menimbulkan kesulitan dalam menentukan kualifikasi ‘perbuatan melawan hukum’ (onrechmatigedaad) terkait dengan praktik ‘politik uang’, yaitu: (1) apabila uang yang digunakan berasal dari sumber yang sah (legal), namun digunakan untuk keperluan ‘politik uang’ (ilegal); dan (2) apabila uang berasal dari sumber yang tidak sah, namun digunakan untuk keperluan kampanye dengan tidak melanggar peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Dalam hubungan ini, sebagaimana diketahui bahwa UU PP TPPU menetapkan 12 (dua belas) jenis ‘tindak pidana asal’ (predicate crime) yang menghasilkan Harta Kekayaan yang tidak sah (proceeds of crime), namun di dalamnya tidak termasuk ‘tindak pidana pemilu legislatif dan eksekutif’. Dan meskipun dalam Pasal 2 huruf z UU PP TPPU ditetapkan bahwa proceeds of crime itu bisa juga diperoleh dari ‘tindak pidana lain’ (yang diancam dengan pidana penjara empat tahun atau lebih), tetapi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemilu/Pilkada, bahwa sanksi hukum atas pelanggaran terhadap ketentuan dana kampanye pemilu tidak ada yang mencapai 4 (empat) tahun.
Keterpilihan seseorang dalam ‘jabatan publik’ dengan cara-cara yang melanggar hukum (ketentuan peraturan perundangan-undangan) yang berlaku, tentu saja berimplikasi buruk pada saat ia menjalankan kekuasaannya. Di situlah nantinya terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang akan melahirkan bibit-bibit korupsi dan jika itu dibiarkan terus berlangsung akan menimbulkan kerugian keuangan negara yang sangat besar.

‘POLITIK UANG’ DALAM PERSPEKTIF AML REGIME


U
ndang-Undang Pemilu telah melalui revisi dan mengalami pergantian peraturan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD. Setelah melalui masa sidang yang panjang serta perdebatan yang berbelit-belit, akhirnya DPR berhasil menyepakati empat isu krusial yang menjadi inti dari perbedaan pendapat antar fraksi yaitu sistem, ambang batas, formula penghitungan suara, dan alokasi suara. Seyogiyanya, revisi undang-undang tersebut bertujuan untuk melakukan perbaikan dan membawa perubahan yang signifikan. Namun, pembahasan undang-undang dengan perdebatan yang panjang itu ternyata tidak menghasilkan perubahan peraturan yang cukup signifikan.[11]
Adapun sejumlah perubahan yang cukup ‘menonjol dan maju’ dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 (Undang-Undang Pemilu) ini terlihat dalam ketentuan dari sejumlah pasal yang mengatur tentang ‘politik uang’. Selain itu, kemajuan juga terlihat dengan adanya pasal-pasal yang mengatur tentang sanksi ketentuan pidana, sengketa, dan pelanggaran yang lebih tertib dan selaras. Namun, sangat disayangkan perubahan Undang-Undang Pemilu ini kurang membawa perubahan yang berarti dalam isu penting yang lainnya. Dalam peraturan tentang dana kampanye misalnya, terlihat tidak ada perubahan yang signifikan dan  yang ada justru perubahan jumlah sumbangan maksimal yang diperbolehkan dari badan usaha/perusahaan/kelompok kepada partai politik. Minimnya pengaturan dana kampanye karena tidak ada revisi yang cukup membawa pengaruh untuk perbaikan memperlihatkan ketidakseriusan DPR untuk membahas isu dana kampanye.[12]
Sementara itu, bila kita mau belajar dan berkaca dari praktek Pemilu 2009 sebenarnya dapat dipetik sejumlah pelajaran yang sangat berharga sebagai pedoman perubahan Undang-Undang Pemilu.  Adnan Topan Husodo yang menulis dalam “Pengaturan Dana Kampanye dan Implikasinya terhadap Praktek Korupsi Pemilu” mengungkapkan bahwa ternyata banyak terjadi berbagai praktek korupsi dalam proses pemilu. Korupsi politik tersebut merupakan dampak dari peraturan yang ada dalam undang-undang maupun peraturan lainnya sangat minim dan tidak tegas. Sehingga melahirkan kesempatan bagi seseorang untuk melakukan ‘korupsi politik’ seperti jual- beli suara, manipulasi suara, politik uang dan sebagainya.[13]
Padahal, ‘dana kampanye’ adalah isu yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan pemilu. Setiap kegiatan kampanye pemilu akan berkaitan erat dengan dana kampanye. Oleh karena itu, diperlukan perhatian khusus dalam mengatur tentang dana kampanye. Namun, di Indonesia isu dana kampanye kurang menjadi ketentuan yang diatur dengan jelas dan tegas. Lia Wulandari dalam tulisan “Dana Kampanye Pemilu di Indonesia: Isu Krusial yang Cenderung Terabaikan” ada memaparkan bahwa dari tiga model pemilu di Indonesia yaitu pemilu legislatif, pemilu presiden, maupun pemilu kepala daerah belum ada ketentuan undang-undang mengatur secara komprehensif mengenai dana kampanye. Semestinya, dana kampanye mendapatkan sorotan dalam pembahasan undang-undang pemilu. Apalagi di Indonesia, ketentuan yang ada kurang bisa menjamin transparansi dan akuntabilitas dana kampanye peserta pemilu. Pemilu yang berintegritas harus dapat menjamin adanya keterbukaan informasi terutama dalam hal dana kampanye dari peserta pemilu. Oleh sebab itu, diperlukan sistem yang dapat menciptakan transparansi dan akuntabilitas dana kampanye pemilu.[14]
Sistem proporsional dengan ‘suara terbuka’ yang diterapkan saat ini pada akhirnya akan menimbulkan dampak terjadinya ‘pasar bebas’ dalam pemilu. Pengalaman Pemilu 2009 yang lalu memperlihatkan bagaimana setiap kandidat pemilu legislatif saling bersaing dan menghabiskan dana yang fantastis untuk kampanye. Untuk menjamin fairness dan equality dalam pemilu, maka diperlukan sejumlah ‘aturan main’. Salah satu gagasan yang telah diterapkan oleh sejumlah negara adalah dengan pemberlakuan pembatasan dana kampanye (limitation/campaign cap).[15]
Salah satu hal yang perlu diatur dalam dana kampanye pemilu adalah terkait dengan praktik ‘politik uang’ dan ‘pencucian uang’. Pengaturan dalam undang-undang yang ada sebenarnya sudah mampu menaungi aparat penegak hukum untuk dapat menjerat para pelaku kejahatan tersebut. Namun, dalam upaya penegakkan hukum terhadap mereka diperlukan koordinasi yang solid dari penyelenggara pemilu (KPU), pengawas pemilu (Bawaslu), aparat penegak hukum (Polri, Kejaksaan, dan Hakim), KPK, dan PPATK.
Untuk mengantisipasi terjadinya ‘perbuatan melawan hukum‘ dalam rangka penyelenggaraan pemilu dan pilkada ini, PPATK memiliki peran penting dan strategis sebagai national focal point dalam pencegahan dan pemberantasan TPPU. Dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 UU PP TPPU dirumuskan delik TPPU sebagai berikut:
Pasal 3
Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 4
Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 5
(1) Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2)  Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Dalam hal TPPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, maka pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personil Pengendali Korporasi [Pasal 6 ayat (1)]. Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila TPPU: a) dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi; b) dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi; c)   dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan d) dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi [Pasal 6 ayat (1)].
Pelaku ‘politik uang’ sudah pasti mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dalam menjalankan praktiknya, sehingga menjadi pertanyaan bagi kita: kalau dana yang digunakan dalam kampanye ternyata melebihi (jauh lebih besar) dari dana yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, maka dari mana ’dana besar’ itu diperoleh? Dan, bagaimana asal-usul uang yang diperoleh itu: apakah berasal dari kegiatan yang sah? Atau, kalaupun uang itu berasal dari kegiatan yang sah, apakah sudah digunakan sesuai dengan ketentuan yang ada? Karena, jika sumber (asal-usul) dari ’dana besar’ berasal dari kegiatan yang melanggar hukum, maka berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku harus diusut. Tabir dari beberapa pertanyaan tersebut dapat kita ketahui, lewat pembelajaran dari pengungkapan ada atau tidak adanya indikasi TPPU, antara lain dari upaya yang ditempuh untuk menyembunyikan atau menyamarkan sumber dan kepemilikan dana. Dalam hal ini, para pihak yang terlibat menyadari bahwa apa yang mereka lakukan berindikasi ’tindak pidana’ dan melakukan ’permupakatan jahat’. 
Para ‘penerima dana’ dalam berbagai pemilihan, termasuk pemilihan ketua organisasi maupun ketua umum partai politik misalnya, bisa dikenakan pasal tindak pidana pencucian uang (money laundering). Sedangkan praktik suap dan korupsi dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Kalau misalnya para kader partai diberi uang oleh seorang kandidat dalam jumlah tertentu, maka si penerima harus menanyakan darimana ‘sumber uang’ itu, dan bagaimana si pemberi bisa memiliki uang sebesar itu. Jadi, tidak ada alasan bagi si penerima uang untuk mengatakan ‘tidak tahu’ dananya dari mana sumbernya. Dalam hal ini, UU PP TPPU menghendaki agar ‘uang pemberian’ tersebut harus jelas sumbernya. Maka harus ditanyakan dari mana dia mendapatkan atau asal-usul uang tersebut. Jika dalam suatu kongres misalnya ada yang memberi uang namun sumbernya tidak bisa dijelaskan, maka si penerima harus menolaknya jika tidak mau dikenakan pasal TPPU. Hal ini berlaku umum untuk setiap pemilihan. Kalau seseorang menerima uang yang sumbernya adalah hasil tindak pidana, sebagai konsekwensinya kepada orang tersebut dapat diterapkan pasal TPPU, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU TPPU (pelaku pasif), sedangkan untuk si pemberi dapat dikenakan Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang yang sama (pelaku aktif).
Dalam praktik internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan TPPU, lembaga semacam PPATK disebut dengan nama generik financial intelligence unit (FIU). Keberadaan FIU ini pertama kali diatur secara implisit oleh FATF dalam Forty Reccomendations.[16] Dalam rekomendasi 16 (keenambelas) FATF disebutkan, bahwa ”if Financial Institutions suspect that funds stem from a criminal activity, they should be permitted or required to report promptly their suspision to the competent authorities”. FIU adalah lembaga permanen yang secara khusus menangani TPPU, sekaligus merupakan salah satu infrastruktur terpenting di setiap negara dalam upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU. Keberadaan lembaga khusus ini mutlak diperlukan ada mengingat peranan FIU yang sangat penting dan strategis dalam penanganan TPPU (dan juga terhadap serious crime lainnya--pen). Terlebih-lebih pada masa sekarang praktik pencucian uang (money llaundering) merupakan persoalan yang cukup rumit karena melibatkan organized crime (kejahatan terorganisir) yang memahami dan menggunakan berbagai metode dan teknik pencucian uang yang canggih, sehingga penanganan kejahatan pencucian uang menjadi semakin bertambah berat pula karena praktik pencucian uang pada umumnya telah dilakukan melewati batas-batas negara (cross-border).[17]
Mengingat bahwa kejahatan pencucian uang berdampak sangat buruk terhadap perekonomian nasional dan internasional, maka untuk itu perlu segera diambil langkah dan tindakan kongkrit untuk dapat mencegah dan memberantasnya. Namun disadari sepenuhnya bahwa untuk mencegah dan memberantas praktik pencucian uang tidak semata-mata hanya memerlukan pengetahuan tentang hukum dan peraturan, cara-cara melakukan penyidikan serta menganalisisnya, tetapi juga membutuhkan pengetahuan yang luas dan mendalam di bidang keuangan, perbankan, akunting, dan keterkaitannya dengan kegiatan bisnis-bisnis lain. Dengan kata lain, kejahatan pencucian uang hanya dapat ditangani oleh FIU yang di dalam struktur organisasinya terdapat tenaga ahli dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan (multi-disipliner).
Beberapa negara yang membentuk FIU di awal tahun 1990-an sebenarnya tidak lebih hanya merupakan suatu kebutuhan khusus bagi pemerintahnya sendiri. Namun sejak tahun 1995 sejumlah FIU mulai melakukan kerjasama yang pada mulanya hanya sebagai kegiatan organisasi yang tidak resmi, dan pertemuan pertama kali diadakan di Istana Arenberg-Brusel, Belgia dengan maksud untuk menyediakan forum, media atau kesempatan bagi sesama FIU untuk dapat meningkatkan peran dan dukungannya terhadap upaya dan program masing-masing negara dalam memerangi praktik pencucian uang. Dukungan tersebut meliputi peningkatan, perluasan dan melakukan kerjasama dalam pertukaran informasi secara sistematis, meningkatkan program pelatihan, keahlian dan kemampuan sumber daya manusia, serta mendorong terciptanya komunikasi yang lebih baik antar sesama FIU dengan menggunakan teknologi mutakhir. Dengan demikian FIU dapat menjadi lembaga sentral (focal point) di negara masing-masing yang bertindak sebagai penyedia data, informasi dan melakukan proses investigasi atas laporan-laporan transaksi keuangan yang diterimanya.[18]
Tujuan pembentukan FIU menurut Egmont Group adalah menciptakan jaringan FIU secara global guna memfasilitasi kerjasama internasional untuk memerangi TPPU dan pendanaan terorisme. Selain itu juga bertujuan untuk melakukan penyempurnaan ketentuan anti pencucian uang dan pendanaan terorisme. Dalam pertemuan bulan Oktober 2001 lalu, Egmont Group mendukung upaya penegakan hukum dan dilakukannya investigasi terhadap Tragedi WTC 11 September 2001, dan menyetujui untuk: (1) melakukan review terhadap undang-undang nasional yang ada untuk mengidentifikasi serta untuk meng-hindarkan adanya hambatan dalam melakukan pertukaran informasi antar sesama anggota FIU, khususnya informasi mengenai terorisme; (2) mendorong pemerintah masing-masing untuk menetapkan bahwa pendanaan terorisme sebagai tindak pidana, dan lembaga-lembaga keuangan yang diduga terkait perlu diawasi lebih ketat; (3) meneruskan permintaan informasi dari badan-badan pemerintah lain, namun informasi yang ada kaitannya dengan FIU diperlakukan secara khusus dan tersendiri; (4) memberikan peranan yang lebih besar dalam penyeleksian permintaan informasi; dan (5) memusatkan sumber informasi terkait dan relevan pada Egmont Group agar secara bersama-sama dapat dilakukan studi strategis mengenai sistem dan cara-cara pengiriman atau tipologi pencucian uang.[19]
Idealnya PPATK sebagai FIU Indonesia dan mitra kerja penegak hukum dalam upaya penegakan hukum (law enforcement) yang berkeadilan dan konsisten, juga memiliki andil besar dalam mengawal demokrasi di Indonesia, misalnya dalam rangka mencegah dan memberantas terjadinya praktik TPPU dan ‘politik uang’ yang sumbernya berasal dari berbagai jenis tindak pidana serius (serious crime), yang salah satunya adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari hasil praktik korupsi dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). 
APBN/APBD adalah sumber penerimaan dan belanja negara yang paling sering dikorupsi di Indonesia. Pada 2012, hampir semua transaksi keuangan mencurigakan (TKM) yang tindak pidana asalnya korupsi berasal dari APBN dan APBD. Korupsi APBN dan APBD menempati urutan teratas dari Laporan Hasil Analisis (LHA) yang disampaikan oleh PPATK kepada penegak hukum. Berdasarkan  LHA PPATK tersebut, korupsi merupakan tidak pidana asal (TPA) dari TPPU yang tertinggi dengan angka 70 persen. Modus klasik masih dilakukan, dimana banyak oknum yang identitasnya ada pada LHA ‘memainkan’ anggaran penerimaan negara, sehingga penerimaan negara tidak sesuai dengan yang seharusnya diperoleh. Hal ini biasanya dilakukan dengan cara penyalahgunaan kewenangan, sehingga misalnya negara seharusnya terima 100 jadi cuma terima 40, yang 60 masuk kantong pribadi. Sebaliknya, belanja atau pengeluaran juga seringkali mengalami kemahalan. Sehingga, misalnya saja negara seharusnya hanya bayar 40, malah harus membayar 100. Oleh karena itu perlu sekali penegak hukum sebaiknya fokus untuk mengawal APBN dan APBD dari modus mark down dan mark up.[20]
Praktik korupsi terkait anggaran terjadi karena adanya peluang, yaitu menumpuknya realisasi anggaran di akhir tahun anggaran. Hal ini menyebabkan banyak proyek tidak bisa dipertanggungjawabkan tepat waktu Akibatnya, timbul tindakan-tindakan dari para bendaharawan-bendaharawan yang sebetulnya sudah masuk dalam definisi korupsi. Tindakan koruptif itu dilakukan dengan cara memindahkan dana anggaran APBD ke rekening pribadi para bendaharawan. Bisa saja mereka (para bendahawaran) mengaku bahwa tindakan demikian adalah untuk menyiasati sistem pertanggungjawaban anggaran yang tidak boleh melewati tanggal 18 Desember, tetapi perbuatan seperti itu, apapun tujuannya tetap tidak bisa ditolerir, karena pada saat seorang pejabat memindahkan uang negara ke kantong pribadinya, maka tindakan tersebut sudah masuk dalam lingkup definisi korupsi. Modus ini terjadi setiap tahun dan menyebar di seluruh daerah di Indonesia. Keadaan ini tentu sangat memprihatinkan. Oleh karena itu, pengawasan dan pemantauan penyerapan anggaran harus senantiasa dilakukan para pimpinan[21] instansi pemerintah dan lembaga negara.
Selain penggerogotan keuangan negara melalui APBN/APBD oleh pejabat publik, sektor lain yang juga menjadi sasaran empuk kriminal adalah hutan[22], pertambangan[23] dan kelautan[24], yang mengakibatkan rusaknya ekosistem (lingkunga hidup) di Indonesia. Penebangan hutan secara ilegal itu (illegal logging) sangat berdampak buruk terhadap keadaan ekosistem di Indonesia. Penebangan liar memberi dampak yang sangat merugikan masyarakat sekitar, bahkan masyarakat dunia. Kerugian yang diakibatkan oleh kerusakan hutan tidak hanya kerusakan secara nilai ekonomi, akan tetapi juga mengakibatkan hilangnya nyawa yang tidak ternilai harganya. Dampak buruk illegal logging antara lain: (1) pada saat musim hujan wilayah Indonesia sering dilanda banjir dan tanah longsor, yang telah memakan korban jiwa dan harta yang sangat besar; (2) berkurangnya sumber mata air di daerah perhutanan; (3) semakin berkurangnya lapisan tanah yang subur karena terbawa arus banjir; (4) musnahnya berbagai fauna dan flora, erosi, konflik horizontal di kalangan masyarakat, devaluasi harga kayu, hilangnya mata pencaharian, dan rendahnya pendapatan negara dan daerah dari sektor kehutanan; dan (5) terjadinya global warming mengakibatkan seringnya terjadi bencana alam di Indonesia.
Kegiatan penambangan apabila dilakukan di kawasan hutan dapat merusak ekosistem hutan. Jika tidak dikelola dengan baik, maka penambangan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan secara keseluruhan dalam bentuk pencemaran air, tanah dan udara. Sebagai contoh, pada kegiatan usaha pertambangan emas skala kecil, pengolahan bijih dilakukan dengan proses amalgamasi di mana merkuri (Hg) digunakan sebagai media untuk mengikat emas. Mengingat sifat merkuri yang berbahaya, maka penyebaran Hg yang tidak terkontrol dapat menimbulkan kematian penduduk sekitar yang terkontaminasi. Sedangkan pertambangan skala besar, tailing yang dihasilkan lebih banyak lagi. Pelaku tambang selalu mengincar bahan tambang yang tersimpan jauh di dalam perut bumi, karena jumlahnya lebih banyak dan memiliki kualitas lebih baik. Limbah tailing merupakan produk samping, reagen sisa, serta hasil pengolahan pertambangan yang tidak diperlukan. Tailing hasil penambangan emas biasanya mengandung mineral inert (tidak aktif). Mineral tersebut antara lain: kwarsa, kalsit dan berbagai jenis aluminosilikat. Tailing hasil penambangan emas mengandung salah satu atau lebih bahan berbahaya beracun seperti Arsen (As), Kadmium (Cd), Timbal (Pb), Merkuri (Hg), Sianida (CN) dan lainnya. Sebagian logam-logam yang berada dalam tailing adalah logam berat yang masuk dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).[25]
Tindak pidana lain yang menjadi perhatian serius PPATK, karena mengancam kehidupan warga masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung, juga cukup banyak, antara lain seperti kejahatan di bidang perbankan, perasuransian, pasar modal, perpajakan, obatan-obatan terlarang, terorisme, bea dan cukai, perdangan orang dan senjata gelap, penyelundungan tenaga kerja dan migran, pemalsuan uang, perjudian dan prostitusi. Selain mengancam kehidupan warga masyarakat, berbagai jenis tindak pidana tersebut juga menghasilkan harta kekayaan ilegal yang relatif cukup besar sehingga berpengaruh negatif terhadap perekonomian dan pembangunan nasional.
Untuk Semester I Tahun 2013, PPATK melaksanakan Riset Analisis Strategis dan Tipologi, terkait dengan Dana Pemilu/Pemilukada dengan basis data (eksternal) para calon terpilih  anggota DPR, DPD, DPRD, Kepala Daerah Tingkat 1, dan Kepala Daerah Tingkat 2 pada periode 2008 - 2012, didapatkan beberapa kesimpulan sebagaimana tersebut dibawah  ini :[26]
1)     Jumlah sebaran LTKM yang terkait dana pemilu/pemilukada ada sebanyak 132 laporan dalam periode tahun 2008 sampai dengan 2012 dan tersebar ke dalam 24 propinsi. Berdasarkan penyebaran wilayah geografis wilayah yang paling dominan terkait LTKM pemilu/pemilukada adalah wilayah Sumatera Utara sebanyak 20 laporan (15%) kemudian diikuti oleh Jawa Timur sejumlah 17 laporan (12,8%) dan Jawa Tengah sejumlah 11 Transaksi (8,3%).
2)   Dilihat berdasarkan trennya, terdapat peningkatan jumlah LTKM selama periode pemilu/pemilukada, terutama pada tahun 2008-2009. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan pemilu/pemilukada rentan terhadap penyimpangan transaksi keuangan.
3)  Selama tahun 2008-2012, jumlah LTKM sangat tergantung kepada intensitas pelaksanaan pemilu/pemilukada. Penerimaan tertinggi LTKM terkait pemilu/pemilukada terjadi pada tahun 2008 dan 2009. Hal ini terkait dengan pelaksanaan pemilu DPR/DPRD, DPD, dan presiden.  Jumlah LTKM terkait pemilu/pemilukada yang masih tinggi pada tahun 2010 terkait tingginya intensitas pelaksanaan pemilukada yakni sebanyak 224 pemilukada Propinsi dan Kabupaten/Kota.
4)  Bila dilihat menurut jenis pemilihan, komposisi LTKM terkait pemilukada lebih dominan dibandingkan LTKM terkait pemilu. Hal ini selain dikarenakan intensitas pemilukada yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemilu, juga diduga karena rendahnya kualitas regulasi serta mekanisme pengawasan yang mampu dilakukan oleh Bawaslu/Panwaslu. Lemahnya pengawasan ini tercermin dari masih terjadinya pelanggaran terkait dana pemilu yang dilaporkan oleh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat, tim sukses, dan peserta pemilukada itu sendiri.
5)  Dari sisi transaksi keuangan tunai, kegiatan pemilu/pemilukada secara umum berdampak terhadap meningkatnya jumlah transaksi keuangan tunai yang dilakukan oleh para peserta. Setelah periode pemilu/pemilukada, jumlah LTKT dari peserta pemilu/pemilukada masih cukup tinggi, meskipun lebih rendah dibandingkan jumlah pada saat periode pemilu/pemilukada. Namun bila dilihat lebih lanjut, transaksi keuangan tunai terkait kegiatan pemilu DPR-RI tidak hanya meningkat pada saat kegiatan pemilu DPR-RI saja, tetapi terus meningkat dalam periode setelah pemilu DPR-RI. Kondisi ini menunjukkan indikasi tingginya potensi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota DPR-RI terpilih.
6)   Profil umur peserta pemilu/pemilukada yang menjadi terlapor transaksi keuangan tunai untuk setiap jenis pemilihan cenderung berbeda. Sebagian besar peserta pemilu DPD terlapor LTKT berada pada kelompok usia tua (kelompok umur diatas 50 tahun). Hal ini sejalan dengan banyaknya peserta DPD yang berada pada kelompok umur tersebut. Lain halnya dengan peserta pemilu DPD, sebaran peserta pemilu DPR-RI menurut kelompok umur lebih banyak pada kelompok umur 40 sampai dengan 50 tahun. Selanjutnya identik dengan DPD, pemilukada Tingkat 1 mayoritas peserta pemilukada Tingkat 1 sebagai terlapor LTKT berada pada kelompok usia tua. Namun tidak ada terlapor yang berada dibawah umur 40 tahun. Sementara itu, sebaran jumlah peserta pemilukada Tingkat 2 yang menjadi terlapor LTKT merata pada kelompok umur antara 40 sampai 49 tahun dan umur 50 tahun keatas.
7)  Berdasarkan laporan transaksi keuangan mencurigakan yang diduga terkait pemilu/pemilukada, sebagian besar terlapor adalah perorangan terutama laki-laki. Disisi lain profil pekerjaan terlapor yang paling dominan adalah sebagai PNS (pensiunan).
8)   Berkenaan dengan transaksi keuangan mencurigakan terkait pemilu/pemilukada instrumen yang dominan digunakan adalah transaksi keuangan tunai. Dan bila dilihat lebih lanjut menurut PJK pelapornya dilakukan dengan transaksi perbankan. Namun, dibeberapa propinsi juga ditemukan transaksi keuangan yang berkaitan dengan transaksi melalui perusahaan valas. Selain itu, berdasarkan in depth study, intrumen yang sering digunakan adalah transaksi dengan menggunakan uang tunai dan tidak menggunakan sarana lembaga keuangan.
9)   Berkenaan dengan modus yang terkait dana Pemilu dan Pemilukada terdapat 6 (enam) modus, yaitu :
a)   Dana Sumbangan Pemilukada Yang Berasal Dari Pengusaha Yang  Sering Mengerjakan Proyek Pemerintah Daerah;
b)     Dana Sumbangan Pemilukada Yang Bersumber Dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
c)      Dana Sumbangan Pemilu/Pemilukada Melalui Pihak Ketiga;
d) Pola Memecah-mecah Transaksi (Structuring) Sumbangan Dana Pemilu/Pemilukada Melalui Rekening Calon;
e)    Dana Sumbangan Pemilukada Yang Berasal Dari Pengusaha dan Berdampak Adanya Indikasi Tindak Pidana Korupsi Serta Tindak Pidana Pencucian Uang;
f)   Penampungan Dana Operasional Pemilu/Pemilukada Yang Bersumber Dari APBN Ke Dalam Rekening Pribadi Penyelenggara/Pengawas Pemilu/ Pemilukada.
Berdasarkan hasil riset PPATK tersebut, diketahui bahwa dari modus terkait dana Pemilu dan Pemilukada mempunyai indikasi yang cukup kuat terjadinya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan tindak pidana asal serta TPPU.
Dalam acara Expert Group Meeting (EGM) yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 17 hinggsa 19 September 2013 di Jakarta, PPATK mempresentasikan hasil riset berupa ‘analisis strategis’ (strategic analysis) terkait dengan dana kampanye pemilu/pemilukada.[27] Tujuannya adalah untuk membandingkan transaksi keuangan Pemilu sejak tahun 2005 hingga tahun 2012. Berdasarkan kegiatan ‘analisis strategis’ tersebut diketahui bahwa laporan transaksi keuangan oleh para calon legislatif (caleg) dan calon kepala daerah, khususnya incumbent, meningkat signifikan sebesar 125 persen. [28]

POLITIK UANG DAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA


P
asal 23 C Bab VIII UUD 1945 mengamanatkan bahwa ‘keuangan negara’ harus diatur dalam Undang-Undang sehubungan dengan pengelolaan hak dan kewajiban negara. Amanat ini dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Di samping itu, dalam diktum menimbang dari Undang-Undang ini juga disebutkan latar belakang penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara yang menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Pengertian keuangan negara dalam perspektif  Undang-Undang ini dituangkan dalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka (1) yaitu:  ”Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”. Dengan demikian pengertian ‘keuangan Negara’ di atas meliputi hal-hal sebagai berikut:
(1)  hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
(2)  kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
(3)    penerimaan negara;
(4)    pengeluaran negara;
(5)    penerimaan daerah;
(6)    pengeluaran daerah;
(7)   kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan negara;
(8)  kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaran tugas pemerintahan dan atau kepentingan umum;
(9)  kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah.[29]
Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan ‘keuangan negara’ pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 ini adalah dari sisi objek, subjek, proses dan tujuan.[30]
Dari sisi objek, yang dimaksud dengan ‘keuangan Negara’ meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subjek, yang dimaksud dengan ‘keuangan Negara’ meliputi seluruh objek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.
Dari sisi proses, ‘keuangan Negara’ mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut diatas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggung-jawaban. Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Bidang pengelolaan keuangan negara yang demikian luas dapat dikelompokan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyeleng-garaan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945.
Sesuai dengan amanat Pasal 23 C UUD 1945, Undang-Undang tentang Keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945 tersebut ke dalam asas-asas umum yang meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best practises (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain: (a) akuntabilitas berorientasi hasil; (b) profesionalitas; (c) proporsionalitas; (d) keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara; dan (e) pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.
Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip pemerintahaan daerah sebagaimana telah dirumuskan dalam Bab VI Undang-Undang Dasar 1945. Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam Undang-Undang tentang keuangan negara, maka pelaksanaan Undang-Undang ini selain menjadi acuan dalam reformasi manajemen keuangan negara, sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.[31]
Erman Rajagukguk mengatakan bahwa ‘kerugian keuangan negara’ adalah salah satu unsur yang mendasar dalam tindak pidana korupsi.[32] Dan berdasarkan hasil penelitian Muhammad Dahlan Moga, diperoleh kesimpulan bahwa:
(1)  Unsur ‘kerugian keuangan negara’ dalam tindak pidana korupsi mempunyai arti yakni meruginya keuangan atau berkurangnya keuangan negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum atau kelalain. Kata “dapat” sebelum frasa merugikan keuangan negara yang dianggap sebagai delik formil yakni ‘kerugian keuangan negara’, tidak harus sudah terjadi atau dapat sebagai kemungkinan (potential loss) dalam penerapannya terjadi inkonsistensi. Seharusnya unsur kerugian keuangan negara atau perekonomian negara mutlak terjadi atau ada.
(2) Pembuktian dalam hal menentukan kerugian keuangan negara, aparat penegak hukum sangat bergantung pada keterangan ahli yaitu BPK dan akuntan publik yang bersifat independen.[33]
Pertanyaan yang sering muncul sehubungan dengan persoalan ‘kerugian keuangan negara’ dalam tindak pidana korupsi adalah pada saat kapan kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi terjadi, apakah pada saat tempus delicti atau saat yang lain?[34]
Sebagaimana diketahui bahwa yang menilai dan/atau menetapkan adanya ‘kerugian keuangan negara’ adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal ini sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) yang berbunyi: “BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”. Kerugian Negara sendiri adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai [lihat Pasal 1 ayat (15) UU BPK]. Penilaian kerugian tersebut dilakukan dengan keputusan BPK [lihat Pasal 10 ayat (2) UU BPK]. Selain BPK, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga berwenang untuk menetapkan mengenai adanya kerugian negara. Ini terkait dengan fungsi BPKP yaitu melaksanakan pengawasan terhadap keuangan dan pembangunan (lihat pasal 52 Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen).[35]
Dengan demikian jelas bahwa yang menilai/menetapkan kerugian negara adalah BPK dan BPKP. Adapun perhitungan kerugian negara sendiri bersifat kasuistis, atau dilihat per kasus. Dalam kasus di mana pembayaran sudah terjadi 100% padahal pekerjaannya baru selesai 55%, dan pencairan pembayaran dilakukan atas dasar dokumen fiktif, maka di sini terjadi pencairan secara ‘melawan hokum’. Adapun yang dihitung menjadi kerugian negara adalah besarnya pencairan yang terjadi secara melawan hukum tersebut, yaitu 45%.[36]
Pada tahun 2010 lalu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menjalin kerjasama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam penyelenggaraan Pemilu (Pemilihan Umum). Bawaslu fokus pada ‘dana kampanye’ dan ‘politik uang’ agar ada pencegahan sehingga dalam pelaksanaan Pemilukada, jangan sampai digunakan uang yang tidak jelas sumbernya, terutama dari hasil pencucian uang.[37] Bawaslu memberikan hak subsitusi kepada PPATK untuk menelusuri aliran ‘dana kampanye’ melalui ‘penyedia jasa keuangan’ (PJK) yang mengindikasikan adanya TPPU terkait penyelenggaran dalam perolehan atau penggunaan ‘dana kampanye’. Bawaslu dan PPATK dapat melakukan penelitian atau riset, tetapi tidak terbatas pada modus TPPU dan pelanggaran pemilu. Laporan PPATK tersebut selanjutnya ditindaklanjuti oleh kepolisian atau kejaksaan. [38] 
Terkait dengan pemilu legislatif, PPATK mencurigai 23 (dua puluh tiga) aliran dana dengan besaran beberapa miliar. Tiga kasus sudah dilaporkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pihak berwajib. Sementara terkait dengan adanya aliran dana dari luar negeri, ada pengurus “partai menengah” yang membayar konsultannya dari rekeningnya di luar negeri. Sebelumnya PPATK telah menemukan belasan transaksi  mencurigakan terkait kampanye yang besarnya sekitar Rp 10 miliar. Dua diantaranya telah dilaporkan ke pihak berwajib.[39]
Memang tidak dapat dipungkiri kenyataan, dan “harus diakui, peran uang memang kian vital dalam demokrasi modern, antara lain digunakan dalam pembiayaan iklan, proses seleksi kandidat, penyelenggaraan survei, dan juga mobilisasi pemilih selama kampanye. Namun, peran uang juga dianggap kian membahayakan proses demokrasi ketika setiap parpol dan kandidat terus berlomba-lomba menumpuk uang dengan berbagai cara untuk membiayai proses pemenangannya. Beragam sumber uang haram, praktik pencucian uang, dan politik uang terus dijalankan oleh parpol dan kandidat dalam memenangi pemilu. Karena itulah reformasi pengaturan atas peran uang atau donasi politik menjadi agenda yang paling krusial dalam menyehatkan sistem demokrasi”.[40]
Sinyalemen yang pernah disampaikan oleh James Kerr Pollock (1932) tampaknya benar, bahwa ada 4 (empat) hal penting yang perlu dicermati dalam arena politik lokal di Indonesia, yaitu:[41]
Pertama, pemerintahan daerah yang menganut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tampak menunjukkan sejumlah kegagalan. Beberapa di antaranya, misalnya, masifnya inefisiensi anggaran, perilaku korupsi APBD yang makin marak, dan kinerja pemerintahan daerah yang terus terjun bebas.
Kedua, ketika kekuasaan identik dengan kewenangan atas pengelolaan keuangan negara, sumber pendapatan, dan aset negara, uang menjadi perusak pola hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintahan provinsi, dan juga antara pemprov dan pemkab/prov dan pemkab/pemkot. Persoalan itu bersumber dari interpretasi kewenangan yang berbeda, baik dari sudut pandang politik maupun birokrasi.
Ketiga, pengelolaan dan akses terhadap kekuasaan keuangan pemerintahan daerah jugalah yang harus diakui ikut merusak hubungan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pasca pemilukada, banyak kondisi pemerintah daerah kian memprihatinkan akibat konflik antara kepala daerah dan wakilnya. Selama pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini, dengan mengacu kepada data Kemendagri (2010 dan 2011), 94% pasangan kepala daerah yang kembali maju dalam pemilu kada pecah kongsi dan tidak sedikit yang saling berhadap-hadapan berebut posisi kepala daerah. Pada 2010, dari 244 pemilu kada yang digelar, hanya 19 pasangan kepala daerah yang harmonis maju kembali. Kemudian pada 2011, dari 67 pemilu kada, hanya 6 pasangan yang harmonis hingga akhir masa jabatan. Ada kecenderungan kuat, enam bulan setelah pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih, banyak yang tidak harmonis dan saling berebut kewenangan.
Keempat, masifnya politik uang serta perolehan dan pengelolaan dana kampanye dalam pemilu kada kian menambah cermin buruk pelaksanaan demokrasi lokal di Indonesia. Hampir dapat dipastikan, setiap pem ilu kada berlangsung, politik uang, perolehan, dan pengelolaan dana kampanye selalu terjadi.
Indonesia menjadi contoh yang paling konkrit untuk menggambarkan betapa hubungan antara uang dan politik justru mengubur cita-cita luhur sistem demokrasi. Terjadi perselingkuhan antara politik dan uang yang dampaknya merugikan masyarakat banyak. Semua cerita suram soal perselingkuhan uang dan politik sesungguhnya bermula dari pemilihan umum (pemilu). Desain pemilu yang dibangun adalah desain kelas atas, semua kontestan pemilu dipaksa menyediakan uang sebanyak-banyaknya agar memiliki popularitas dan elektabilitas yang tinggi. Tidak jarang biaya politik didapatkan dari sumber-sumber yang dilarang oleh undang-undang. Alhasil, pemilu juga menjadi ‘ajang’ pencucian uang, karena didukung oleh sistem akuntabilitas keuangan partai politik dan kampanye yang sangat lemah. Pada sisi yang lain, ada fenomena hadirnya incumbent dalam ajang pemilu berikutnya, di mana peluang untuk memanfaatkan jabatan yang saat ini dipegang untuk kepentingan politiknya sangat terbuka lebar. Sebagian besar dari mereka berkampanye secara ‘gratis’ melalui iklan-iklan yang dibiayai anggaran negara/daerah. Lengkaplah sudah cerita soal kampanye dengan "uang haram" (Saldi Isra). Ini sebetulnya mengkonfirmasi soal ketertutupan partai politik dan kontestan pemilu mengenai sumber keuangannya. Setidaknya, penolakan atas permintaan informasi keuangan partai politik yang pernah dilakukan oleh masyarakat sipil menjadi bukti paling nyata.[42]
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, menurut Reza Syawawi, sama sekali tidak memberi batasan maksimal belanja kampanye bagi peserta pemilu. Ini berarti partai politik dan calon diperbolehkan menggunakan seluruh sumber daya untuk membiayai kegiatan kampanye. Maka, kampanye akan menjadi ajang ‘pasar bebas’ dalam praktek demokrasi (free market democracy). Hukum ‘pasar bebas’ adalah memberikan keuntungan bagi siapa pun yang memiliki modal capital (uang) kuat. Basisnya tidak lagi pada kapasitas dan kapabilitas personal calon, melainkan seberapa kuat modal uang yang dimiliki untuk memoles citranya di hadapan publik. Kampanye yang tak terbatas inilah yang di kemudian hari akan menjadi bumerang dalam pelaksanaan tugasnya sebagai pejabat publik. Fokusnya tidak lagi bagaimana bekerja untuk publik, melainkan bagaimana mengembalikan biaya politik tersebut selama menduduki jabatannya. Maka, tidak mengherankan ada begitu banyak pejabat publik yang kemudian tersandera kasus korupsi.[43]
Adanya kelemahan undang-undang dalam membatasi belanja kampanye harus disiasati melalui pembatasan aturan kampanye pada level teknis. Ruang tersebut tentu hanya dimiliki oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai satu-satunya lembaga yang dimandatkan untuk menyusun dan menetapkan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilu (Pasal 8 ayat 1 huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012). Dengan tidak mengabaikan undang-undang, peluang pembatasan tersebut setidaknya dapat dilakukan melalui beberapa hal sebagai berikut:[44]
Pertama, partai politik harus dipaksa menginisiasi kampanye gabungan di masing-masing partai. Ini untuk menghindari adanya ‘perlombaan’ kampanye di lingkup internal partai. Ini untuk menghindari agar calon yang memiliki sumber dana terbatas memiliki kesempatan yang sama untuk berkampanye. Dalam hal ini peran partai politik sangat dibutuhkan untuk menertibkan kebiasaan kampanye yang dilakukan secara ‘jorjoran’. Penguatan partai pada sisi ini sejalan dengan mandat konstitusi bahwa yang menjadi peserta pemilu anggota legislatif (kecuali DPD) adalah partai politik. Undang-undang juga mengamanatkan bahwa partai politik adalah penanggung jawab kampanye pemilu dan wajib mendanainya (Pasal 129 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012). Semangat ini sebetulnya sejalan dengan upaya memperkuat akuntabilitas dana kampanye melalui pelaporan dana kampanye oleh partai politik. Undang-undang secara jelas dan tegas mengamanatkan bahwa pendanaan kampanye yang meliputi penerimaan dan pengeluaran dibuat dalam ‘pembukuan khusus’ yang terpisah dari keuangan partai politik. Ini mengisyaratkan bahwa pendanaan kampanye wajib dilakukan melalui satu pintu, yaitu partai politik sebagai peserta pemilu. Maka, menjadi tidak relevan ketika partai seolah-olah lepas tangan terhadap kegiatan kampanye yang dilakukan oleh calon.
Kedua, hal yang bisa dilakukan adalah melalui penelusuran atas kebenaran sumber pendanaan dan biaya faktual kampanye oleh partai politik. Dalam prakteknya, tidak sedikit partai politik menerima sumbangan yang berasal dari sumber yang dilarang oleh undang-undang. Sumber yang dilarang tersebut adalah yang berasal dari pihak asing, sumber yang tidak jelas identitasnya, pemerintah, pemda, BUMN, BUMD, pemerintah desa, dan badan usaha milik desa. Sesuai dengan undang-undang, penerimaan atas sumbangan kampanye dari sumber yang dilarang dapat dikenai pidana dan tindakan hukum lainnya oleh KPU.
Di sisi lain, laporan pengeluaran dana kampanye tidak hanya didasarkan pada audit oleh akuntan publik. Penyelenggara pemilu semestinya juga memiliki data pembanding mengenai pengeluaran aktual oleh masing-masing partai. Sebab, faktanya, audit hanya dilakukan untuk memeriksa kebenaran dokumen yang diserahkan, bukan pada sisi memastikan berapa sebetulnya pengeluaran kampanye oleh partai politik.[45]
Pelacakan atas sumber pendanaan kampanye dan verifikasi atas pengeluaran kampanye faktual menjadi bagian penting untuk membatasi belanja kampanye. Kelemahan pada sisi ini sebetulnya menjadi ruang bagi terjadinya praktek pencucian uang. Kelemahan akuntabilitas dana kampanye menjadi ruang yang terbuka bagi pencucian hasil kejahatan, termasuk yang berasal dari korupsi. KPU dalam konteks ini tidak hanya terpaku dalam konteks rezim pemilu, tapi juga bersinergi dengan ketentuan undang-undang lain yang mendukung terciptanya pemilu yang demokratis. Dalam demokrasi, fakta menyebutkan bahwa politik biaya tinggi, apalagi politik yang dibiayai dari sumber yang “haram”, justru akan menghasilkan pemerintahan dan lembaga legislatif yang korup. Maka, pilihan untuk membatasi biaya politik, termasuk belanja kampanye, adalah pilihan yang harus diambil oleh penyelenggara pemilu. Dengan demikian politik biaya tinggi ini tidak lagi menjadi alat reproduksi korupsi di masa depan.[46]


PENUTUP


T
antangan terbesar dan terberat yang dihadapi oleh negara demokrasi adalah mengatasi praktik politik uang (money politics). Politik uang ini menciderai demokrasi dan pada gilirannya akan mengubur cita-cita luhur demokrasi. Praktik politik uang yang semakin meningkat akan membuat aspirasi rakyat yang didengar semakin sedikit, sehingga menjadi salah satu ancaman yang sangat serius bagi negara demokrasi yang akan melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan. 
Dalam praktiknya politik uang dimaknai warga masyarakat tidak hanya pada aspek transaksionalnya saja, tetapi juga terhadap makna-makna fungsionalnya yaitu modal politik dan biaya politik, serta untuk mendapatkan simpatisan. Terlebih-lebih di suatu negara berkembang yang rakyatnya mayoritas miskin sangat mudah sekali membeli suara para pemilih hanya dengan memberi sedikit uang dan/atau bahan pangan seperti yang ditengarai sering terjadi dalam ajang pemilihan kandidat di berbagai pelosok tanah air kita. 
Kemiskinan yang dapat membuat kesengsaraan hidup manusia dan karenanya pendirian pemilih dapat berubah (dibeli) dengan adanya praktik politik uang, bukanlah alasan pembenaran untuk terus berlangsungnya keterpurukan demokrasi di negara kita. Dengan menerapkan peraturan perundang-undangan yang ada, termasuk Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU TPK) dan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PP TPPU), maka para pelaku politik uang itu akan dapat dihukum.***

~o0o~


DAFTAR PUSTAKA

Adi Baskoro, “Menyimak Peta Aliran Dana DKP dalam Kampanye Capres”, Mediakita, 23 Juli 2007, http://mediakita.com/Info/menyimak-peta-aliran-dana-dkp-dalam-kampanye-capres.html [07-04-13].
Aji Wihardandi,  “29 Kasus Pelanggaran Izin Oleh 26 Pebisnis Tambang Dilaporkan BPK ke Bareskrim Polri”, Mongabay-Indonesia, 27 February 2013.
 Council of Europe, “Preventive Legal Measures Against Oorganized Crime”, Organised crime - Best Practice Survey n°9, Strasbourg, 2003.
Ebin Danius, “Politik Uang dan Uang Rakyat”, 1999, http://www.uniera.ac.id/pub/1/1/Politik-Uang-dan-Uang-Rakyat [05-04-13].
Erman Rajagukguk, “Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Negara”, http://www.pdp.or.id/ page.php?lang= id&menu=news_view&news_id=1559, [13-03-12].
FATF, The Forty Recommendations, 2003). Dan pada Februari 2012 diterbitkan The FATF Recommendations: International Standards on Combating Money Laundering and the Financing of Terroristm & Proliferation. Lihat, http://www.fatf-gafi.org.
Harian Umum Nusa Bali, “Bagiada Divonis 2 Tahun”, 6 Maret 2013, http://www.nusabali.com/opendoc. php?id=28951&page=&date= [07-04-13].
Harry Azhar Aziz, “Mengawal Transparansi dan Akuntabilitas Keuangan Negara”, http://hharryazharazis.com/detail/1531/.cnet, [14-02-13].
Hukum Online, “Kerugian Keuangan Negara pada Tindak Pidana Korupsi”, http://www.hukumonline. com/klinik/detail/cl3514/kerugian-keuangan-negara-pada-tindak-pidana-korupsi, diakses tang-ga; 12 Maret 2012.
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 151/Kpts-II/2003, dan Nomor 6652/Kpts-II/2002.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Marcin Walecki, “Chapter published in Challenging the Norms and Standards of Election Administration”, IFES, 2007.
______, “Political Money and Corruption”, IFES, 2004.
Muhammad Dahlan  Moga, Abstrak dalam “Pembuktian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi”, Program Studi Ilmu Hukum Universitas Airlangga, 2009.
OECD, http://www1.oecd.org/fatf/Ctry-orgpages/org-egmonten.htm (Countries with operational Financial Intelligence Units).
_____, http://www1.oecd.org/fatf/pdf./Egstat-200106_en.pdf (“Statement of Purpose of the Egmont Group of Financial Intelligence Units”, The Hague, 13 June 2001).
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan, Tanggal 8 Juni 2002.
Perludem, “Jurnal Pemilu dan Demokrasi 3rd Edition Dana Kampanye: Pengaturan Tanpa Makna”, 14 Juni 2012, http://www.perludem.or.id/index.php?option=com_k2&view=item&id=536:jurnal-pemilu-dan-demokrasi-3rd-edition-dana kampanye-pengaturan-tanpa-makna&Itemid=129 [-5-04-13].
Press Release Bawaslu, “Bawaslu dan PPATK Jalin Kerjasama”, 7 Juli 2010, http://www.bawaslu.go.id/ berita/1/tahun/2010/bulan/07/tanggal/07/id/1425/ [05-04-13],
Republika Online, “PPATK: APBN dan APBD Paling Sering Dikorupsi”, 11 Desember 2012. 

Reza Syawawi, “Korupsi dan Politik Biaya Tinggi”, TEMPO.CO, 29 Maret 2013, http://www. tempo.co/ read/kolom/2013/03/29/679/Korupsi-dan-Politik-Biaya-Tinggi [08-04-13].

_____, “Tahun Politik Uang”, rumahpemilu.org, 3 Januari 2013, http://www.rumahpemilu.org/ read/1039/Tahun-Politik-Uang-Oleh-Reza-Syawawi [09-04-13].
Umar Syadat Hasibuan, “Pemilu Kada dan Hantu Politik Uang”, Media Indonesia, 3 Mei 2012.
Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (PT).
Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/
Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Vivalog, “PDIP Minta KPU Buktikan Pencucian Uang”, http://log.viva.co.id/news/read/65618-pdip_ minta kpu_buktikan_pencucian_uang [05-04-13]
vivanews.com, “Vonis Al Amin Nasution”, 5 Januari 2009, http://foto.news.viva.co.id/read/251/17195-vonis_al_amin_nasution_1 [07-04-13].
Waspada Online, “Korupsi APBN karena ada peluang”, 27 Agustus 2012.


Endnote


[1] Ebin Danius, “Politik Uang dan Uang Rakyat”, 1999, http://www.uniera.ac.id/pub/1/1/Politik-Uang-dan-Uang-Rakyat [05-04-13].
[2] Ibid.
[3] Marcin Walecki, “Political Money and Corruption”, (IFES, 2004), hlm. 1.
[4] Lihat: “SBY Kaget Ketua MK Akil Mochtar Ditangkap KPK”, TEMPO.CO,, 3 Oktober 2013.
[5] Lihat: “Penangkapan Akil Mochtar Dimuat Diseluruh Dunia”, TEMPO.CO., 3 Oktober 2013.
[6] Lihat: “Seluruh Tersangka Kasus Suap Ketua MK Telah Ditahan KPK”, Kompas.com, 4 Oktober 2013.
[7] Lihat: “Usul Pemberhentian Akil Mochtar dari MK Segera Dikirim ke Presiden”, Kompas.com, 4 Oktober 2013.
[8] Marcin Walecki, “Chapter published in Challenging the Norms and Standards of Election Administration”, (IFES, 2007), hlm. 75-93.
[10] Pemilihan umum atau pemilu apapun, menurut Didik Supriyanto, bisa dilihat dari empat sisi: (1) sistem; (2) manajemen; (3) aktor; dan (4) penegakan hukum. Lihat: Didik Supriyanto, “Penataan Kembali Sistem Pemilihan Dalam Pemilu Kada”, makalah dalam Prosiding Seminar Nasional Evaluasi Pemilihan Umum Keppala Daerah, (Jakarta: Mehkamah Konstitusi, 2012), hlm. 259.
[11] Perludem, “Jurnal Pemilu dan Demokrasi 3rd Edition Dana Kampanye: Pengaturan Tanpa Makna”, 14 Juni 2012, http://www.perludem.or.id/index.php?option=com_k2&view=item&id=536:jurnal-pemilu-dan-demokrasi-3rd-edition-dana kampanye-pengaturan-tanpa-makna&Itemid=129 [-5-04-13].
[12] Ibid.
[13] Ibid. Istilah ‘korupsi politik’ maksudnya praktik korupsi yang terjadi di bidang politik. Menurut Budiman Soedjatmiko, ‘korupsi politik adalah sumber seluruh persoalan korupsi di Indonesia. Kalau diibaratkan, bila korupsipolitik adalah ibunya korupsi, maka rekrutmen politik adalah neneknya korupsi. Lihat: “Korupsi Politik adalah Induk Korupsi”, Waspada Online, 4 September 2013. Lingkaran setan korupsi politik yang melibatkan partai politik, politisi, kroni bisnis, proyek korup, dan birokrasi masih menjadi penyakit jalannya pemerintahan Indonesia. Temuan ICW melansir bahwa selama 2012 sebanyak 52 kader parpol, 21 anggota dan mantan anggota DPR/D, 21 mantan dan kepala daerah menjabat, serta 2 pengurus partai, serta terakhir 1 menteri aktif terjerat kasus korupsi dengan kader Partai Golkar paling banyak terjerat kasus (14 kader). Secara keseluruhan, kasus yang menjerat anggota DPR/D merupakan kasus mafia anggaran dan bantuan sosial. Lihat: “Tahun (Korupsi) Politik 2013”, http://www.beranijujur.net/id/content/tahun-korupsi-politik-2013 [12-10-13].
[14] Perludem, “Jurnal Pemilu dan Demokrasi 3rd Edition Dana Kampanye: Pengaturan Tanpa Makna”, 14 Juni 2012,
[15] Ibid.
[16] Rekomendasi ini ini merupakan standard yang dikeluarkan oleh FATF dan diharapkan dipakai oleh masing-masing negara dan diterapkan secara internasional dengan konsisten. Rekomendasi dikeluarkan pertama kali pada tahun 1990, kemudian direvisi tahun 1996 dan 2003 (Lihat FATF, The Forty Recommendations, 2003). Dan pada Februari 2012 diterbitkan The FATF Recommendations: International Standards on Combating Money Laundering and the Financing of Terroristm & Proliferation. Lihat, http://www.fatf-gafi.org.
[17] Aspek pencegahan tidak kalah penting daripada tindakan represi dalam pendekatan terpadu terhadap kejahatan terorganisir, sejauh itu bertujuan mengurangi keadaan dimana kejahatan terorganisir dapat beroperasi. Persatuan harus memiliki instrumen untuk menghadapi kejahatan terorganisir pada setiap langkah kontinyu dari pencegahan dan penindakan , serta penuntutan kejahatan terorganisir. Sebuah aspek tertentu dari pencegahan kejahatan terorganisir difokuskan pada pengurangan kesempatan yang ada atau yang akan datang bagi kelompok-kelompok penjahat terorganisasi untuk berpartisipasi di pasar yang sah dengan hasil kejahatan, melalui langkah-langkah legislatif, administratif atau tindakan lainnya. Tindakan dapat diambil secara internal dan eksternal. Lihat, “Preventive Legal Measures Against Oorganized Crime”, Organised crime - Best Practice Survey No.9, (Strasbourg: Council of Europe, 2003),  hlm. 3-4.
[18] Lihat, http://www1.oecd.org/fatf/Ctry-orgpages/org-egmonten.htm (Countries with operational Financial Intelligence Units).
[19] Pada dasarnya pembentukan FIU di beberapa negara berlandaskan dua hal pokok: (1) dalam rangka penegakan hukum; dan (2) pengembangan metode dan teknik pendeteksian TPPU, mengingat sejumlah negara telah menerapkan ketentuan rezim anti-pencucian uang yang sejalan dengan sistem penegakan hukum di negaranya masing-masing. Lihat, http://www1.oecd.org/fatf/pdf./Egstat-200106_en.pdf (“Statement of Purpose of the Egmont Group of Financial Intelligence Units”, The Hague, 13 June 2001).
[20] Lihat, “PPATK: APBN dan APBD Paling Sering Dikorupsi”, Republika Online, 11 Desember 2012. 
[21] Lihat, “Korupsi APBN karena ada peluang”,  Waspada Online, 27 Agustus 2012. Bandingkan dengan Harry Azhar Aziz yang menjelaskan, bahwa temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI terhadap penggunaan anggaran, baik itu APBN maupun APBD di suatu instansi pemerintahan, termasuk BUMN, tidak semua masuk kategori tindak pidana korupsi (Tipikor). Bisa saja hanya masalah administrasi yang bisa diselesaikan dan dipulihkan secara administrasi juga. Itulah salah satu inti dari sosialisasi bertajuk “Mengawal Transparansi dan Akuntabilitas Keuangan Negara” di kantor perwakilan BPK RI Kepulauan Riau, tanggal 26 Noveber 2012. Sosialisasi ini bertujuan memberikan pemahaman tugas, fungsi dan kewenangan BPK RI dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Lihat, http://hharryazharazis. com/detail/1531/.cnet, diakses tanggal 14 Februari 2013.
[22] Salah satu fokus sektor yang menjadi program prioritas pemberantasan korupsi dari KPK pada tahun 2010 dan 2011 adalah sektor korupsi kehutanan. Sektor ini dipilih karena pertimbangan strategis yaitu besarnya nilai kerugian negara, dampaknya bagi masyarakat luas, dan aktor yang diduga terlibat. Seperti di Propinsi Riau. berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Propinsi Riau 2004, Gubernur Riau pada tahun 2004 telah menerbitkan 10 Rencana Kerja Tahunan (RKT) dan Bagan Kerja (BK) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) atau Hutan Tanaman Industri (HTI). Padahal menurut Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan, Tanggal 8 Juni 2002 dan dua Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6652/Kpts-II/2002 dan Nomor 151/Kpts-II/2003 menyebutkan kewenangan pengesahan dan penerbitan RKT merupakan kewenanangan Menteri Kehutanan. Sehingga Gubernur Riau tidak memiliki kewenangan untuk menilai dan mengesahkan RKT atau Bagan Kerja IUPHHK-HT. Keterlibatan Rusli Zainal juga diperkuat dari beberapa kesaksian terdakwa dalam proses persidangan di pengadilan tipikor. Misal Mantan Kadishut Riau Suhada Tasman menyatakan di Pengadilan Tipikor Pekanbaru (Januari 2012) bahwa Rusli Zainal telah menyetujui dan mengesahkan 6 RKT IUPHHK/HT di Riau. Lihat, “Pemberantasan Korupsi Sektor Kehutanan Belum Tuntas!”, jikalahari,or.id, http://jikalahari. or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=180%3Apemberantaskan-korupsi-sektor-kehutanan-belum-tuntas&catid=37%3Aforest-news&Itemid=132&lang=id [07-04-13]. Selain melibatkan eksekutif, kejahatan di bidang kehutanan (illegal logging) ini juga melibatkan anggota legislatif, antara lain Al Amin Nasution. Anggota Komisi IV DPR ini terlibat kasus korupsi alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan. Akhirnya, Al Amin Nasution divonis 8 tahun penjara, denda Rp250 juta, dan subsider 6 bulan penjara. Lihat, “Vonis Al Amin Nasution”, vivanews.com, 5 Januari 2009, http://foto.news.viva.co.id/read/251/17195-vonis_al_amin_nasution_1 [07-04-13].
[23] Mantan Bupati Buleleng Putu Bagiada divonis 2 tahun penjara dalam kasus korupsi upah pungut Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor Perkebunan, Kehutanan, dan Pertambangan senilai Rp 1,6 miliar. Vonis yang dijatuhkan majelis hakim dalam sidang putusan di Pengadilan Tipikor Denpasar, lebih rendah dari tuntutan jaksa yakni 4 tahun penjara.  Selain vonis 2 tahun penjara, majelis hakim Pengadilan Tipikor yang diketuai I Gusti Agung Bagus Komang Wijaya Adhi juga mengganjar terdakwa mantan Bupati Bagiada denda Rp 150 juta dan wajib mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 574.709.326. Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan terdakwa Putu Bagiada terbukti secara sah dan meyakinkan memenuhi unsur-unsur dalam dakwaan subsider, pasal 3 jo pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP, yakni menyalahgunakan kewenangan sehingga menguntungkan diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi. Lihat, “Bagiada Divonis 2 Tahun”, Harian Umum Nusa Bali, 6 Maret 2013, http://www.nusabali.com/ opendoc.php?id=28951&page=&date= [07-04-13].
[24] Sejak 30 November 2006, Rokhmin Dahuri ditahan di Mabes Polri karena tersangkut kasus dana nonbujeter, selama menjabat sebagai menteri Kelautan dan Perikanan.  Pengakuan Amien Rais pada 15 Mei 2007, di Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK) Jogjakarta bahwa ia menerima dana nonbujeter DKP kian memperkuat bukti tersebut. Amien juga mengakui semua calon presiden lainnya yang berlaga dalam Pemilu 2004 ikut mendapat dana haram dari DKP. Putusan pengadilan menjatuhkan vonis tujuh tahun penjara untuk Rokhmin Dahuri. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan ini pun sempat melayangkan surat terbuka untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berisi bentuk kekecewaan soal peradilan kasus dirinya. Lihat, Adi Baskoro, “Menyimak Peta Aliran Dana DKP dalam Kampanye Capres”, Mediakita, 23 Juli 2007, http://mediakita.com/Info/menyimak-peta-aliran-dana-dkp-dalam-kampanye-capres.html [07-04-13].
[25] Duapuluh enam perusahaan bisnis pertambangan di Indonesia dilaporkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ke Bareskrim Polri karena melanggar aturan eksplorasi pertambangan dan merugikan negara hingga lebih dari 90 miliar rupiah. Laporan ini diserahkan oleh anggota BPK Ali Maskur Musa kepada Kepala Bareskrim Polri, Komjen Sutarman di Gedung Bareskrim tanggal 26 Februari 2013 kemarin. Laporan penyimpangan ini dilandasi oleh berbagai temuan terkait penyimpangan yang dilakukan oleh 26 perusahaan pertambangan tersebut, baik yang swasta maupun perusahaan pemerintah. Setidaknya ada 29 pelanggaran dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. BPK melaporkan berbagai pelanggaran atas izin tambang ini berdasarkan hasil audit yang dilakukan terhadap puluhan perusahaan tambang di Indonesia di tahun anggaran 2011. Empat poin utama yang dilakukan dalam audit BPK ini, adalah terkait tata ruang atas penggunaan sumber daya alam, proses izin atas penggunaan lahan termasuk analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), hak negara atas konsesi yang diberikan kepada swasta maupun BUMN, dan poin terakhir adalah pengelolaan pasca tambang. Lihat, Aji Wihardandi,  “29 Kasus Pelanggaran Izin Oleh 26 Pebisnis Tambang Dilaporkan BPK ke Bareskrim Polri”, Mongabay-Indonesia, 27 February 2013.
[26] Lihat Laporan Semester I Tahun 2013 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, hlm. 41-45.
[27] PPATK melakukan kegiatan ‘analisis strategis’ (strategic analysis) dalam rangka mengemban salah satu fungsinya sebagai Financial Intelligence Unit (FIU) di Indonesia.
[28] Lihat antara lain: “PPATK: Transaksi Mencurigakan Naik 125 Persen Saat Pilkada dan Pemilu”, Republika Online, 18  September 2013; “PPATK: Jelang Pemilu, Transaksi Mencurigakan Meningkat 125 Persen,    Kompas.com, 18 September 2013; PPATK; “Teliti Transaksi Uang di Tiga Pemilu: Pemilu tahun 2004, 2009, dan jelang 2014”, Vivanews, 19 Sepember 2013; “Jelang Pemilu, Potensi Politik Uang Meningkat Signifikan”, PNN.com, 18 September 2013; “Jelang Pemilu, Potensi Politik Uang Meningkat Signifikan”, PNN.com, 18 September 2013; “PPATK : Hati-Hati Politik Uang Di Pemilu 2014”, entitashukum.com,  18 Sep, 2013; “PPATK Siap Beberkan Aliran Dana ke Parpol”,  shnews.co, Selasa, 16 April 2013 - 13:22 WIB; dan “PPATK : Hati-Hati Politik Uang Di Pemilu 2014”, entitashukum.com,  18 Sep, 2013.
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Ibid.
[32] Namun sebelum menentukan adanya “kerugian keuangan negara”, terlebih dahulu diperlukan kejelasan dari pengertian “keuangan negara” secara yuridis. Berbagai peraturan perundang-undangan yang ada saat ini belum ada kesamaan tentang pengertian “keuangan negara”, yaitu antara Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (PT), dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Erman Rajagukguk, “Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Negara”, http://www.pdp.or.id/ page.php?lang= id&menu=news_view&news_id=1559, diakses tanggal 13 Maret 2012.
[33] Muhammad Dahlan  Moga, Abstrak dalam “Pembuktian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi”, Program Studi Ilmu Hukum Universitas Airlangga, 2009.
[34] Misalnya dengan ilustrasi sebagai berikut: (1) Kasus pengadaan barang/jasa. Misalnya, pekerjaan belum 100% (baru 55%), tetapi pembayaran sudah 100%. Pertanyaan: apakah kerugian keuangan negara dihitung dengan cara membandingkan antara nilai kontrak dengan nilai realisasi atau apakah dimungkinkan kerugian dihitung berdasarkan uang negara yang keluar yang tidak sah (dasar dokumen pencairan yang fiktif); dan (2) Kredit yang diberikan oleh bank. Apakah side streaming (penggunan kredit yang tidak sesuai peruntukkannya) dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, jika ya, bagaimana perhitungan kerugian keuangan negaranya. Lihat: “Kerugian Keuangan Negara pada Tindak Pidana Korupsi”, http://www.hukumonline.com/klinik/ detail/cl3514/kerugian-keuangan-negara-pada-tindak-pidana-korupsi, diakses tangga; 12 Maret 2012.
[35] Ibid.
[36] Ibid.
[37] Press Release Bawaslu, “Bawaslu dan PPATK Jalin Kerjasama”, 7 Juli 2010, http://www.bawaslu.go.id/ berita/1/tahun/2010/bulan/07/tanggal/07/id/1425/ [05-04-13],
[38] Ibid.
[39] Vivalog, “PDIP Minta KPU Buktikan Pencucian Uang”, http://log.viva.co.id/news/read/65618-pdip_ minta kpu_buktikan_pencucian_uang [05-04-13]
[40] Umar Syadat Hasibuan, “Pemilu Kada dan Hantu Politik Uang”, Media Indonesia, 3 Mei 2012.
[41] Ibid.
[42] Reza Syawawi, “Tahun Politik Uang”, rumahpemilu.org, 3 Januari 2013, http://www.rumahpemilu.org/ read/1039/Tahun-Politik-Uang-Oleh-Reza-Syawawi [09-04-13].

[43] Reza Syawawi, “Korupsi dan Politik Biaya Tinggi”, TEMPO.CO, 29 Maret 2013, http://www. tempo.co/ read/kolom/2013/03/29/679/Korupsi-dan-Politik-Biaya-Tinggi [08-04-13].

[44] Ibid.
[45] Ibid.
[46] Ibid.